Anda di halaman 1dari 6

Think-tank pada era 1990-an

Tahun 1990-an adalah masa subur pertumbuhan think-tank. Akan tetapi dilaporkan The
Sunday Times pada 1994, rumor kemusnahan mereka terlalu berlebihan.

Memetakan think-tank Inggris

Barberis dan May (1993) mengusulkan sebuah perta think-tank di Inggris pada
kontinum dari kiri ke kanan.

Kiri Tengah Kanan

Fabien Society Center for Policy Studies

Labour Research Depatement Hansar Society Adam Smith Institue

Institute

For Publich Policy Research Policy Studies Institute Institute For Economic Affair’s

Di luar Inggris dan Amerika

Carol Weiss (1992) mengatakan bahwa ada tiga faktor utama yang
menimbulkan perkembangan organisasi analisis kebijakan di AS: fragmentasi dan
disegregasi politik, kompleksitas problem sosial, dan penurunan pengaruh pegawai
negeri sipil. Pada tingkat tertentu, faktor-faktor ini memengaruhi sistem politik lain.
Mereka mengisi kesenjangan yang diciptakan oleh perkembangan pengetahuan,
pertumbuhan kompleksitas dan perkembangan pluralisme. Tetapi, karena alasan-alasan
yang disebut oleh Weiss, semakin banyak pengetahuan, semakin besar kompleksitas
dan pluralisme, membuat ide-ide yang berhubungan dengan proses pembuatan
kebijakan menjadi sangat berbeda dengan yang terjadi di masa Keynes. Partisipasi
dalam proses kebijakan harus membahas isu tentang bagaimana analisis kebijakan dapat
mengurangi kesenjangan pengaruh.

Pertumbuhan think-tank, seperti yang diperkirakan Trevor Smith pada 1970-an,


secaraefektif mengisi kevakuman yang ditinggalkan oleh penurunan partai dan politik
parlementer. Smith (1994) beragumen bahwa yang kita perlukan, terutama sekali,
adalah reformasi susunan konstitusional dan demokrasi liberal seperti di Inggris guna
merevitalisasi peran yang dapat dimainkan oleh voting dan politik yang berbeda dengan
“analisis” dalam bentuk agenda politik. Think-tank dalam pengertian ini adalah tanda-
tanda dari kekecawaan terhadap politik “klasik”. Dan, sebuah agenda politik yang
didominasi oleh think-tank tidak akan memperluas ide ide, namun dalam jangka
panjang hanya akan mempersempit rentang opsi politik dan ide.
2.8.3 Ide dan Proses Politik

Di sepanjang sjeara, para teoritis dan filsuf telah memberi perhatian besar pada
peran ide. Gagasan bahwa ide mengubah dunia dan bahwa orang-orang besarlah yang
memperjuangkan ide-ide adalah gagasan sentral yang bernada pongah dari kaum
liberalisme abad ke-19. Keynes percaya pada keutamaan ide-ide dalam persoalan
manusia. Pengaturan masyarakat perlu menggunakan pengetahuan ketimbang hanya
memenuhi kepentingan mereka. Dan dari sini muncul padangan bahwa dunia akan
tertata dengan baik jika orang-orang yang berpengetahuan menduduki posisi yang bisa
memengaruhi jalannya kebijakan. Akan tetapi, meskipun kita mengkritik pandangan
Keynes mengenai pemerintah harus dijalankan oleh orang-orang berpengetahuan.
Keyakinan Keynes bahwa pengetahuan dan ide adalah sumber legitimasi pemerintah
sangat dekat dengan realitas pembuatan kebijakan modern. Yang dikatakan Keyes
adalah bahwa pembuat kebijakan harus membuat keputusan rasional yang didasarkan
pada pengetahuan dan “pengalaman rasional”.

Bagaimana Ide Berpengaruh? Empat Pendekatan.

Pendekatan Hall. Dalam model Hall ini ide-ide menduduki tempat penting, demikian
pula dengan faktor-faktor yang bisa mendorong atau merintangi kemajuan. Agar ide
bisa diadopsi sebagai kebijakan, ide itu harus sesuai dengan keadaan ekonomi yang ada;
ide itu harus tampak sesuai dengan kepentingan politik dominan dan harus bisa
dijalankan dari segi administratif.

Coast dan Colander: tiga model cara penyebaran ide.

1. model infeksi penyakit, fokus utamanya disini adalah titik kontak antara orang dan
orang yang rawan terkena penyakit (ide).

2. model pasar ide, proses penyebaran ide seperti di pasar dimana ada penjual dan
pembeli dari ide tersebut.

3. model teori informasi, disini ide sebagai arus informasi.

Pendekatan “jaringan” (network) dan “komunitas” untuk politik ide. Fokus


penjelasan ini adalah cara dimana jaringan kebijakan dan komunitas kebijakan yang
meliputi politisi, pegawai sipil, analis kebijakan, pakar, kelompok kepentingan, dan
sebagainya mendukung ide terentu dalam area kebijakan tertentu. Jadi, jika kita ingin
menjelaskan bagaimana ide berdampak atau tidak berdampak terhadap kebijakan, kita
harus mengkaji jaringan atau komunitas tertentu yang terlibat didalamnya.

Kontribusi pendekatan sejarah untuk kebijakan publik. Sebagai ganti teori sejarah
ide yang umum dan terlalu menyederhanakan, analisis sejarah terhadap perubahan
kebijakan tertentu cenderung tidak tegas dalam menjelaskan kapan ide nyata
memengaruhi dan bagaimana dampaknya terhadap pembuatan kebijakan. Untuk
menentukan dimana ide membentuk kebijakan bukanlah tugsa yang mudah. Adanya
motivasi politik dari pembuat keputusan dan pegawai sipil, dan konteks dimana
kebijakan disusun, membuat keputusan, dan ide dalam praktiknya sulit untuk di nilai
terpisah.

2.9 Kebijakan dan Problem sebagai Simbol

2.9.1 Bahasa, Kekuasaan, dan Kebijakan

Profesionalisme sebagai “bahasa”

Menurut mereka, politik adalah “aktivitas” yang dilakukan secara linguistik. Artinya,
politik adalah soal bahasa dan ide yang diekspresikan atau disembunyikan melalui
bahasa. Sejak masa klasik, arti penting dari bahasa dalam politik dan kekuasaan telah
diakui. Retorika atau seni berbicara dan membujuk adalah subjek yang diajarkan untuk
anak-anak muda sebagai bagian dari pendidikan mereka. Belakangan ini peran bahasa
dalam politik kembali mendapat perhatian dalam studi politik modern. Tugas utama
cendikiawan adalah mengungkapkan dan menyinkitkan dunia bahasa, simbol, dan
“gaya” dalam komunikasi politik sebagai aspek essensial dari studi politik, kekuasaan
dan untuk klasifikasi nilai kebijakan. Politisi dan pembuat kebijakan pada dasarnya
adalah “ahli spesialis simbol”.

Bahasa dan kekuasaan

Minat Lasswell pada sifat komunikatif, simbolis dan distrotif dari pembuatan kebijakan
menjadi, untungnya smekin penting bagi studi kebijakan publik sejak akhir 1980-an
berkat karya Habermas, Foucault, Derrida, dan karya yang lainnya yang membahas
perkembangan pendekatan “argumentatif”.

2.9.2 Edelman: Kata-kata yang Berhasil dan Kebijakan yang Gagal

Setelah Lasswell, Edelman adalah ilmuwan politik yang banyak mengkaji


hubungan antara aspek simbolis dan aspek substabtif problem dengan kebijakan.
Kekuasaan rill dalam pembuatan kebijakan, menurutnya berada di dalam proses dimana
problem dikonstruksi dan diartikulasikan karena dari bahasalah kita memahami politik.
Edelman berusaha mengkaji isi simbolis dari kebijakan dan politik dan cara pembuat
kebijakan mengeksploitasi simbol dan bahasa. Menurutnya, simbol-simbol bisa jadi
referensial, yakni simbol itu mungkin mengacu pada sesuatu yang nyata dan berkaitan
dengan imbalan dan sumber daya rill.

Definisi problem dan bahasa kebijakan karenanya selalu bersifat taksa


(ambiguous)(Edelman, 1988: 25-30). Dalam pembicaraan kebijakan dan juga dalam
semua bahasa dan perlaku pragmatis sesuatu yang dikatakan atau dapat dikatakan
biasanya mengandung arti yang lebih banyak daripada yang dikatakan itu. Cara dimana
sebuah kebijakan diekspreskan adalah penting untuk memahami apa yang sedang terjadi
ketika isu,problem, dan kebijakan didefinisikan. Bahasa adalah elemen kunci dalam
pembuatan problem dan pendefinisian solusi. Kebijakan mungkin sukses pada level
simbolik, tetapi gagal dalam praktiknya. Kebijakan publik adalah tentang “melakukan
sesuatu” ketimbang “memecahkan problem”. Karena itu, pembuat kebijakan
berpandangan bahwa sebuah kebijakan telah “menyelesaikan”problem, atau suatu
kondisi sudah diperbaiki, padahal dalam “kenyataannya” semuanya itu hanya simbol-
simbol yang dimanipulasi.

Kebijakan sebagai aktivitas simbolis

Pembuatan kebijakan sebagai teater: presentasi kebijakan dalam kehidupan


sehari-hari

Dalam negara modern, politik sebagian besar dibentuk oleh diskursus “kebijakan”.
Presntasi kebijakan menjadi perhatian besar. Bahkan sudah dikertahui umum jika
pembuat kebijakan berargumen bahwa kebijakan adalah baik tapi presentasinya buruk:
orang-orang tidak “mendapat pesan sesungguhnya”. Jika kita memandang pembuatan
kebijakan dari sudut pandang teatrikal ini, maka bisa dikatakan bahwa agenda dan
problem adalah bagian dari hubungan antara warga sebagai penonton dengan pembuat
kebijakan sebagai aktor panggung.

2.10 Jaringan, Streams. Koalisi Advokasi, dan Punctuated Equilibrium

2.10.1 Pendekatan Baru untuk Analisis Agenda dan Penyusunan Kebijakan

Argumen bahwa agenda kebijakan dari negara demokrasi liberal dan negara lainnya
selaing bertemu menguatkan ide bahwa kita perlu model dan teroti umum proses-proses
yang telah kita analisis diatas. Ada sedikit kekurangan dalam model menengah yang
menjelaskan berbagai aspek kebijakan dalam fase formatifnya. Serangkaian ide itu
bahkan agak membingunkan bagi mahasiswa dan analisi profeisonal. Akibatg dari
proliferasi pendekatan ini, salah satu ciri utama dari analisis kebijakan ditahun-tahun
belakangan ini adalah pencarian model pendekatan yang lebih komprehensif. Berikut
empat pendekatan utama:

 Jaringan dan komunitas kebijakan


 Policy streams
 Koalisi advokasi
 Punctuated equilibrium

2.10.2 Jaringan dan komunitas

Pendekatan ini mengkaji aspek relasional dan informasional dalam pembuatan


kebijakan. Kata jaringan berarti meliputi atau menutupi dengan jaringan atau dengan
sepotong jaring. Sebagai kata kerja, menyusun jaringan berarti menjalin kontak untuk
mendapat keuntungan.

Metafora jaringan atau komunitas menitikberatkan pada pola kontak dan hubungan
formal dan infromal yang membentuk agenda kebijakan dan pembuatan keputusan. Pola
ini berbeda dengan pola ketersalinghubungan didalam dan di antara organisasi dan
institusi pembuatan kebijakan. Analisis jaringan didasarkan pada ide bhwa sebuah
kebijakan dibentuk dalam konteks relasi dan depedensi.

Richardson (1982) kemudian mengembangkan ide komunitas kebijakan pada level


komparatif melalui ide bahwa negara yang berbeda menunjukkan variasi pola atau gaya
formulasi kebijakan dan pembuatan keputusan. Dua dimensi utama dari gaya kebijakan
menurut Richardson adalah:

 Gaya antisipatif (tendensi untuk mengantisipasi problem) atau gaya reaksioner


(tendensi untuk bereaksi terhadap kemunculan kejadian dan situasi)
 Gaya pencarian konsensus (tendensi untuk membuat keputusan melalui
keputusan melalui kesepatakan anarkelompok yang berkepentingan) atau gaya
yang cenderung memaksakan keputusan pada masyarakat.

Pendekatan gaya kebijakan merupakan kontribusi penting untuk alat analisis kebijakan
karena pendekatan ini memberikan kerangka yang sederhana tapi efektif untuk
membandingkan komunitas-komunitas kebijakan baik itu di dalam maupun di antara
sistem politik. Akan tetapi, meski pendekatan ini menawarkan penjelasa tentang proses
pembuatan kebijakan, pendekatan ini kurang meyakinkan untuk menjelaskan apa yang
sesungguhnya dilakukan pemerintah dan apa efek dan hasil tindakan itu.

Dengan menggunakan teori organisasi Benson membedakan antara berbagai tipe


kepentingan struktural: kelompok penutut; kelompok pendukung (penyedia sumber
daya); kelompok administratif; kelompok penyedia (yang menyediakan jasa) dan
kelompok pengoordinasi (yang mengoordinasikan program). Akan tetapi, konfigurasi
jaringan dan tipe akan berbeda dari isu ke isu dan dari kebijakan ke kebijakan. Studi
jaringan kebijakan berusaha mengeksploitasi cara kebijakan dibuat dalam konteks
jaringan aktor dan organisasi.

Jaringan dan komunitas

Martin J. Smith, Pressure, Power and Policy, 1993

Martin J. Smith mengemukakan lima proporsi tentang relasi otonomi negara dengan
jaringan:

 Tipe hubungan jaringan dan hubungan akan bervariasi sepanjang waktu,


bervariasi disetiap sektor dan negara.
 Aktor negara mempunyai kepentingan yang membentuk perkembangan
kebijakan dan jaringan kebijakan.
 Otonomi negara dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan
dipengaruhi oleh tipe-tipe jaringan kebijakan yang eksis.
 Tipe jaringan kebijakan memberikan konteks untuk memahami peran kelompok
kepentingan dalam pembuatan kebijakan. Jaringan adalah
“enstructuration”kebijakan, ideologi.
 Tipe jaringan akan memengaruhi jalannya perubahan kebijakan.
Selain itu dia mengemukakan empat proposisi tentang konteks kebijakan komparatif
jaringan/komunitas kebijakan di AS dan Inggris:

 Komunitas kebijakan lebih mungkin berkembang di mana negara tergantung


pada kelompokuntuk mengimplementasikan kebijakannya.
 Komunitas kebijakan lebih mungkin berkembang ketika kelompok kepentingan
memiliki sumber daya penting yang bisa mereka pertukarkan.
 Jaringan isu akan berkembang di area yang kurang penting bagi pemerintah, di
area yang penuh kontroversi, atau di dala areaisu baru dimana kepentingan
belum dilembagakan.
 Komunitas kebijakan lebih mungkin berkembang di Inggris ketimbang di AS.

Smith menunjukkan bagaimana ide-idejaringan kebijakan mungkin digunakan dalam


serangkaian kerangka teroti makro yang mendefinisikan relasi yang berbeda-beda antara
otonomi negara dan jaringan kebijakan.

Michael M. Tkinson dan William D. Coleman, “Policy network, policy


communities and the problem of governance,” 1992

Ide komunitas kebijakan dan jaringan kebijakan telah mendapat banyak perhatian
sebagai model pembuatan kebijakan di dalam masyarakat modern. Akan tetapi, model
ini bukannya tanpa kritik. Hogwood misalnya, tidak sepenuhnya yakin akan
kegunaannya untuk memahami bagaimana isu diproses dalam sistem politik.
Menurutnya, banyak isu tidak serapi dan setereatur yang digambarkan ter\ori
“komunitas kebijakan”. Dalam praktiknya, isu-isu cenderung tumpang tindihdan
bercampur tangan dengan isu lainnya. Namun dia berpendapat bahwa ini bukan berarti
bahwa kita harus mengabaikan konsep ini, namun kita harus lebih hati-hati dalam
mendefinisikan batas-batas antara komunitas kebijakan dan area kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai