Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Sinus atau
sering pula disebut dengan sinus paranasal. Sinus paranasal merupakan salah satu
organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya bervariasi pada
tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu
sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung. Beberapa penyebab dapat menjadi pencetus terjadinya sinusitis, salah
satunya adalah jamur, selain ada pula penyebab lain seperti bakteri, ataupun
virus.1
Jamur adalah suatu organisme yang mirip seperti tumbuhan namun tidak
memiliki klorofil yang cukup oleh karena mereka tidak memiliki klorofil, jamur
harus menyerap makanan dari bahan-bahan organik yang telah mati. Infeksi jamur
pada sinus paranasal jarang terjadi dan biasanya terjadi pada individu dengan
system imun tubuh yang kurang. Namun, baru-baru ini, terjadinya sinusitis jamur
telah meningkat pada populasi imunokompeten.1, 2, 3
Insidensi sinusitis jamur mempunyai angka yang beragam diseluruh dunia,
di Eropa Grigoriu et al mendapatkan 81 kasus infeksi disebabkan jamur diantara
600 kasus rinosinosinositis maksila kronis, sedangkan di Asia, Chakrabarti et al
mendapatkan 50 kasus (42%) kasus rinosinositis disebabkan infeksi jamur
diantaranya 199 pasien. Sedangkan See Goh et al di Malaysia mendapatkan 16
kasus infeksi jamur pada 30 pasien sinusitis maksilaris kronis.2 Ketika system
imun tubuh menurun, jamur memiliki kesempatan untuk masuk dan berkembang
dalam tubuh. Oleh karena organisme ini tidak membutuhkan cahaya untuk
memproduksi makanannya,maka Jamur dapat hidup dilingkungan yang lembab
dan gelap. Sinus paranasalis yang terdapat pada hidung menjadi suatu tempat
yang alami dan paling strategis dimana jamur dapat ditemukan. Hal inilah

1
yang menyebabkan timbulnya sinusitis jamur. Jenis patogen yang paling umum
adalah dari jenis Aspergillus sp dan Candida. 3
Infeksi sinus oleh jamur jarang terdiagnosis karena sering luput dari
perhatian. Penyakit ini mempunyai gejala yang mirip dengan sinusitis kronik
yang disebabkan oleh bakteri, adakalanya gejala yang timbul non-spesifik,
bahkan tanpa gejala, oleh karenanya pemahaman lebih mendalam terhadap infeksi
ini akan sangat membantu dalam menegakan diagnosis dan penentuan
penatalaksanaan yang akan dilakukan.1, 3

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Hidung


Hidung luar berbentuk pramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak
hidung (tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bagian hidung dalam terdiri
atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga
koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga
hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan
dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi
yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea
dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise. 1, 2, 4-6

Gambar 1. Tulang Hidung Bagian Luar Tampak Inferior


3
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.

Gambar 2. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)


Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha
media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih
kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan
konka suprema biasanya rudimenter.4-6

4
Gambar 3. Kartilago septum nasi sisi lateral
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media
disebut meatus superior. Meatus medius merupakan salah satu celah yang
penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus
superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian
anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit
yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus.1, 2, 4-6

Gambar 4. Concha Nasalis


Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid.

5
2.2 Vaskularisasi Hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari tiga sumber utama,
yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal
dari arteri karotis eksterna.4
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan
arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (epistaksis anterior).
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernesus.1, 2, 4-6

2.3 Fisiologi Hidung


1. Fungsi Respirasi
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk

6
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini
dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara.
Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara
hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan
pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu.
Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian
suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan
silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lisosim.
4. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga

7
terdengar suara sengau.
6. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan.

2.4 Anatomi Sinus Paranasal

Gambar 5. Anatomi Sinus Paranasalis


Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai
dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus
sfenoid kanan dan kiri.1,4
Pembagian Sinus Paranasal
a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
8
permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding
inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid.1,4

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi
taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
dan menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan
komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar
sinus sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase
juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian
dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.1,4
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 6-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak berkembang.1,4

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan


dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk
dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus
9
frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.1,4
c. Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
dianggap paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-
sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior
4-5 cm, tingginya 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5
cm di bagian posterior.1,4
Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara
di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum,
tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.1,4
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang
sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid.1,4
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum

10
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan
lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Batas-
batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai
indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri
posterior di daerah pons.1,4
Kompleks Osteomeatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara- muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal
(KOM) terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.1,4
Sistem Mukosilier
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa
bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara
teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-
jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2
aliran transpor mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di
depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di
postero- superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret
pasca-nasal (post nasal drpi), tetapi belum tentu ada sekret di rongga
hidung.1,4

2.5 Fisiologi Sinus


Secara fisiologis sinus paranasalis memiliki peran yang sangat penting
bagi manusia. Beberapa fungsi sinus paranasal, antara lain:1

11
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam
ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam
sinus
2. Sebagai panahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita
dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini tidak dianggap bermakana.
4. Membantu resonansi udara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan
mempengaruhi kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
resonansi yang efektif.

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara


Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus.
6. Membantu produksi mucus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya
kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara.

2.6 Sinusitis Jamur


2.6.1 Definisi
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu
12
keadaan yang tidak jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat
dengan meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikoseroid, obat-obatan
imunosupresan dan radioterapi.
2.6.2 Epidemiologi
Telah menjadi suatu kesepakatan bahwa infeksi jamur pada hidung
dan sinus paranasal jarang, tapi dalam dua dekade terakhir ini hampir
seluruh ahli setuju bahwa telah terjadi peningkatan frekuensi
rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi jamur. Pada laporan
terdahulu infeksi jamur diperkirakan terdapat pada 10% dari
keseluruhan pasien yang memerlukan pembedahan hidung dan sinus.
Ponikau et al, dalam penelitiannya menduga jamur ditemukan pada
96% pasien dengan sinusitis kronis. 5,6
Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya penggunaan
antibiotik, kortikosteroid, imunosupresan, dan radioterapi. Kondisi
predisposisi pada pasien dengan diabetes mellitus, neutropenia,
penderita AIDS, dan pasien yang lama dirawat di rumah sakit. Jenis
jamur yang paling sering menyebabkan sinusitis jamur adalah
Aspergillus dan Candida. 7

2.6.3 Etiologi
Pada sinusitis jamur non invasif ada dua bentuk yaitu alergic
fungal sinusitis dan sinus mycetoma/fungal ball. Kebanyakan
penyebabnya adalah Aspergillus fumigatus. Aspergillus Fumigatus
satu-satunya jamur yang dihubungkan dengan sinusitis jamur invasif
kronik.

13
Gambar 6. Mikroskopis Aspergillus fumigatus

2.6.4 Faktor Predisposisi Fungal Sinusitis


Terdapat beberapa faktor penyebab meningkatnya insiden infeksi
jamur pada sinusitis kronis, yaitu : 8
1. Kemajuan di bidang mikologi, serologi, dan radiologi yang dapat
membantu dalam menegakkan infeksi jamur pada hidung dan sinus
paranasal.
2. Terjadinya peningkatan pertumbuhan jamur pada hidung dan sinus
paranasal yang disebabkan tingginya penggunaan antibiotika
spektrum luas dan obat topikal hidung yang tidak proporsional.
3. Terjadinya peningkatan frekuensi infeksi jamur invasif yang
berhubungan dengan peningkatan jumlah penderita dengan sistem
imun yang rendah, termasuk penderita diabetes melitus, penurunan
sistem imun karena penggunaan radiasi atau kemoterapi, AIDS,
penggunaan obat-obatan yang dapat menurunkan daya tahan tubuh
setelah transplantasi organ dan penggunaan steroid yang
berkepanjangan.

14
4,5,8
2.6.5 Klasifikasi
Tabel 1. Pembagian Klasifikasi Fungal Sinusitis
Sinusitis jamur ekstramukosa (non invasif)
- Mikosis sinus superfisial
- Misetoma (Fungal ball)
- Sinusitis alergi Jamur
Sinusitis jamur invasif
- Sinusitis jamur kronis invasif (indolen)
- Sinusitis jamur akut invasif (fulminan)
- Sinusitis jamur invasif granulomatosus
1. Sinusitis jamur ekstramukosa (non invasif)
Keadaan ini timbul pada saat infeksi jamur ekstramukosa yang
menyebabkan inflamasi pada sinus. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh
lingkungan, faktor pejamu, terutama pengaruh genetik yang diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE) mediasi alergi.8
a. Mikosis sinus superfisial
Mikosis sinus superfisial adalah merupakan suatu keadaan inflamasi
mukosa sinus paranasal yang disebabkan infeksi jamur ekstramukosal.
Pemeriksaan kultur sekret yang dicurigai dapat ditemukan adanya jamur.
Keadaan ini jarang ditemukan dalam keadaan yang berat oleh karena
patogenisitasnya rendah. 8
Infeksi jamur tipe ini tidak akan menjadi infeksi yang berat. tetapi
potensial menjadi penyebab sinusitis kronis. Beberapa pendapat menyatakan
bahwa kondisi ini timbul oleh karena berkumpulnya spora jamur dengan
konsentrasi yang tinggi sehingga dapat mencetuskan sinusitis pada individu
yang memiliki kemungkinan untuk alergi terhadap jamur. 8
Tidak ada keluhan yang khas pada penderita. Penderita hanya
melaporkan adanya tercium bau tidak enak pada hidung yang disertai krusta
atau debris. Bentuk sinusitis jamur ini paling khas diidentifikasi pada saat
nasoendoskopi, tampak materi jamur yang tumbuh pada krusta hidung.

15
Biasanya krusta tersebut terdapat pada daerah hidung yang tinggi aliran
udaranya seperti pada bagian tepi anterior konka dan dapat juga pada rongga
sinus yang luas. Pada pemeriksaan dengan menggunakan endoskopi tampak
pada bagian dibawah krusta memperlihatkan mukosa yang eritem, edema
dan disertai adanya pus. Pemeriksaan Kultur pada krusta tersebut
menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri dan jamur. 8
Terapi meliputi pembersihan daerah yang terinfeksi dan
meminimalkan penggunaan antihistamin dan steroid topikal. Perlu
dilakukan pemberian antibiotika untuk bakteri yang mendasari infeksi
jamur, hidung dilembabkan dengan irigasi dan perlu diberikan mukolitik
seperti guaifenesin. Anti jamur sistemik tidak digunakan secara khusus pada
kondisi ini. Karena mikosis sinonasal superfisial cenderung timbul kembali
maka endoskopi ulangan diperlukan untuk memonitor hasil pengobatan.
Pada kondisi yang berbeda apabila infeksi jamur disebabkan oleh Candida
Sp, maka perlu pertimbangan untuk memberikan anti jamur sistemik atau
topikal. 8,9
b. Misetoma (Fungal ball)
Fungal Ball atau misetoma adalah merupakan kumpulan hifa jamur
yang berbentuk seperti bola atau massa tanpa disertai adanya invasi jamur
ke jaringan dan reaksi granulomatosa. Fungal ball ini biasanya mengenai
satu sisi sinus. Sinus maksila adalah lokasi yang paling sering menjadi
tempat infeksi jamur tipe ini. 5,8

16
Gambar 7. Endoskopi pasien dengan Fungal ball
Meskipun mekanisme terbentuknya fungall ball belum dapat diketahui
secara pasti, secara teori hal ini dapat timbul pada saat spora jamur terhirup,
spora tersebut masuk kedalam rongga sinus dan menjadi antigen yang dapat
menyebabkan iritasi dan proses inflamasi mukosa sinus sehingga pada
akhirnya terjadi obstruksi ostium sinus. Oleh karena sinus merupakan
rongga lembab yang cocok untuk perkembangan jamur maka terjadi
pengumpulan hifa jamur yang berbentuk seperti bola.
Gejala klinik awal fungal ball umumnya tidak khas. Gejalanya mirip
dengan sinusitis kronik yang hanya mengenai satu sinus. Fungal ball
biasanya tanpa gejala sehingga sulit terdeteksi. Fungal ball ini dapat terjadi
pada keseluruhan sinus paranasal dan paling sering pada sinus maksilaris.
Gejala yang tampak dapat berupa gangguan penglihatan, kakosmia (selalu
mencium bau busuk), demam, batuk, hidung tersumbat, sekret hidung dan
kadang – kadang disertai nyeri pada wajah dan sakit kepala. Edema wajah
unilateral yang disertai nyeri pipi pada perabaan, atau kelainan pada mata
dapat terlihat pada pemeriksaan. Pada nasoendoskopi menunjukkan adanya
sinusitis minimal yang disertai dengan mukosa eritem, edema, disertai ada
atau tidak adanya polip dan sekret mukopurulen. 8
Meskipun gambaran fungal ball tidak khas, pada radiografi polos
menunjukkan penebalan mukoperiosteal disertai opasifikasi sinus yang
homogen. CT scan adalah pemeriksaan radiologi paling baik, secara khas
dapat menunjukkan batas tipis antara jaringan lunak sepanjang dinding
tulang sinus yang terlibat dimana hampir keseluruhannya teropasifikasi.
Tampak beberapa fokus hiperdens jelas dapat terlihat dengan ukuran yang
bervariasi. Jaringan tulang sekitarnya tampak menebal karena respon
peradangan dan efek tekanan karena proses penyakit yang kronis. 10
Secara makroskopis lesi pada fungal ball dapat berbentuk mulai dari
debris halus yang basah, berpasir atau bergumpal. Warna yang bervariasi
dari putih kekuningan, kehijauan, coklat hingga hitam. Diagnosis fungal ball

17
ditegakkan secara mikroskopis dengan tidak adanya infiltrasi sel radang
yang nyata dan banyaknya kumpulan hifa jamur. Mukosa di sekitarnya
menunjukkan adanya peradangan yang kronis dengan sel plasma ringan
hingga menengah dan infiltrasi sel limfosit. Neutrofil dan eosinofil dapat
dijumpai dan kadang – kadang dapat di jumpai kristal oksalat. 8
Penanganan utama fungal ball adalah memperbaiki ventilasi sinus
yang diduga terinfeksi. Drainase sinus yang adekuat dan pengembalian
fungsi bersihan mukosilia dapat mencegah terjadinya kekambuhan. Perlu
dilakukan pelebaran atau pembukaan ostium sinus secara endoskopik agar
dapat mengembalikan fungsi sinus secara normal. Apabila sulit untuk
melakukan ekstraksi fungal ball secara utuh melalui ostium, maka dapat
dilakukan insisi eksterna pada ginggivobukal (Luc Operation). Irigasi sinus
tekanan rendah dapat dilakukan untuk mengurangi resiko penyebaran
infeksi melalui struktur vital penting disekelilingnya.
Terapi medis diperlukan untuk mengurangi edema mukosa, termasuk
pemberian mukolitik (guaifenesin), irigasi hidung dan steroid. penggunaan
antibiotik diberikan berdasarkan kultur. Hal ini dimaksudkan untuk
mengobati infeksi bakteri yang sering timbul bersamaan dengan fungal ball.
Terapi medis awal preoperatif dapat diberikan untuk mengurangi edema
pada rongga sinus dan memudahkan pengangkatan fungal ball pada saat
pembedahan. 7,8
Pada kelainan ini memiliki prognosis baik jika operasi debridement
dan pengisian udara di sinus adekuat. Follow-up sangat penting.
Penggunaan topikal steroid jangka panjang mengontrol kekambuhan.
Sistemik steroid jangka pendek digunakan bila kekambuhan terjadi. 10
c. Sinusitis alergi Jamur
Sinusitis jamur alergik ini merupakan keadaan kronik yang
dikarakteristikkan dengan 3 kondisi : (1) Adanya Jamur pada mucin alergik
yang dapat diperiksa secara mikologi atau histopatologi, (2) tidak adanya
invasi jaringan subepitel oleh jamur yang dibuktikan dengan pemeriksaan

18
histopatologi (3) dijumpai alergi yang diperantarai IgE terhadap jamur
tertentu atau family-nya. 7,8
Secara teori, sinusitis alergi jamur timbul setelah terhirup dan
terperangkapnya spora jamur yang memungkinkan antigen jamur tersebut
bereaksi dengan sel mast yang telah disensitisasi IgE. Reaksi imunologik
yang terjadi selanjutnya menyebabkan inflamasi yang kronik dan diikuti
dengan destruksi jaringan. Terjadinya penumpukan eosinofil dan
terperangkapnya hifa jamur pada sekret memungkinkan terjadinya stimulasi
antigen secara terus menerus. Pada saat terjadinya degenerasi eosinofil,
granul enzimatik yang kaya akan major basic protein pun dilepaskan. Major
basic protein adalah suatu mediator peradangan yang toksik terhadap
jaringan dan biasanya sering dijumpai pada penyakit kronis. 8
Diagnosis sinusitis alergi jamur harus dicurigai pada penderita
rinosinusitis kronis yang tidak sembuh dengan terapi medikamentosa
khususnya pada pasien dengan riwayat polip nasi berulang dan telah
dilakukan beberapa kali pembedahan sebelumnya. Gambaran klinis sinusitis
alergi jamur dapat mulai dari gejala alergi ringan, polip dan mucin alergi
yang disertai adanya hifa hingga penyakit masif yang dapat meluas ke arah
intrakranial dan orbita yang disertai komplikasinya. Pada pemeriksaan fisik
biasanya sinusitis alergi jamur ini sama seperti sinusitis kronis, yaitu
mukosa sinus yang edema, eritema dan polipoid dan kadang - kadang dapat
disertai adanya polip. Pemeriksaan endoskopi pada rongga sinus dapat
terlihat sekret mucin alergi. Secara makroskopis mucin alergi tersebut
berupa sekret yang tebal, berwarna coklat keemasan dengan konsistensi
lunak. 8 , 9,10

19
Gambar 8. Mukus yang kental di Sinus Maxillaris

Penderita sinusitis alergi jamur dapat mempunyai kriteria sebagai


berikut, antara lain:
(1) Adanya peningkatan eosinofil pada darah tepi,
(2) Adanya reaksi test kulit yang positif terhadap jamur
(3) peningkatan kadar serum IgE total,
(4) adanya antibodi pencetus pada allergen penyebab, dan
(5) peningkatan IgE spesifik jamur.
(6) Foto polos sinus paranasal akan menunjukan opasifitas pada beberapa
atau seluruh sinus paranasal yang terlibat. CT scan merupakan metode
pencitraan yang terpilih untuk keadaan ini. 10

20
Gambar 9. CT Scan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Alergi
Jamur yang Unilateral menunjukan gambaran hiperdens dan
inhomogenitas sinus; opaksifikasi: terdapat musin alergi.

Secara histologi kondisi ini ditandai dengan adanya hifa jamur pada
sekret dengan disertai eosinofil yang sangat banyak dan adanya kristal
Charcot-Leyden. Sekret tersebut adalah merupakan “allergic mucin”.
Allergic mucin ini dikarakteristikan dengan kumpulan eosinofil yang
nekrotik dan debris seluler lainnya, granul eosinofil bebas dengan latar
belakang pucat, dan sekret eosinofilik hingga basofilik yang amorf. Keadaan
ini dibedakan dari sekret inflamasi non alergi yang banyak netrofil. Allergic
mucin diidentifikasi dengan pewarnaan standar hematoksilin-eosin.

Terapi medikamentosa termasuk pemberian antibiotik yang


berdasarkan kultur, antihistamin, steroid sistemik, imunoterapi, dan anti
jamur. Karena proses inflamasi berhubungan dengan manifestasi klinis,
terapi multimodalitas diperlukan untuk jangka panjang. Bakteri dapat
terlibat secara langsung sebagai pencetus timbulnya sinusitis alergi jamur
dengan mempengaruhi frekuensi gerakan silia. Data in vitro menunjukan
Stafilokokus aureus, Hemofilus influenza dan Pseudomonas aeruginosa
merupakan bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi
gerakan silia.
21
Irigasi hidung juga diyakini dapat menurunkan stasis mukous dan
menurunkan konsentrasi bakteri dan jamur. Topikal steroid intranasal tidak
efektif bila digunakan sendiri tetapi dapat memberikan efek pencegahan
jangka panjang setelah pemberian steroid sistemik. Perlu diingat bahwa
pemberian steroid yang tidak rasional pada sinusitis alergi jamur dapat
menyebabkan penyakit yang berulang. 8,9
Keadaan ini memiliki prognosis yang sangat baik jika fungus ball
dapat diangkat dan pengisian udara yang adekuat pada sinus dapat dilakukan
kembali. Tidak dibutuhkan follow-up jangka panjang untuk sebagian besar
pasien. 9,10
2. Fungal Sinusitis Invasive / Sinusitis Jamur Invasif

Kondisi ini terjadi pada saat terdapat invasi jamur ke jaringan sinus.
Sinusitis jamur kelompok ini dibagi menjadi dua bentuk : Sinusitis Jamur
Invasif Kronik (Indolen) Dan Sinuistis Jamur Invasif Akut (Fulminan).
Sinusitis jamur invasif kronik banyak ditemukan pada penderita sinusitis yang
imunokompeten, sedangkan pada tipe fulminan sering ditemukan pada
penderita dengan penurunan sistem imun (imunokompromis). 8

Gambar 10. Invasif Fungal Sinusitis

22
a. Acute Invasive Fungal Sinusitis ( Fulminant )
Sinusitis jamur invasif memiliki perjalanan penyakitnya sangat cepat,
infeksi jamur tipe ini banyak ditemukan pada individu dengan sistem imun
yang menurun, seperti pada pasien yang mendapatkan transplantasi organ,
diabetes melitus dan pasien yang sedang dilakukan kemoterapi. Perjalanan
penyakitnya hanya memerlukan waktu beberapa hari atau bulan saja. Karena
rendahnya imunitas tubuh penderita, dan sifat jamur yang angioinvasif,
perjalanan klinis biasanya sangat cepat meluas dan dapat menghancurkan
sinus yang terlibat kemudian dapat meluas ke daerah sekitarnya seperti
orbita, sinus kavernosus, parenkim otak sehingga dapat menyebabkan
kematian dalam beberapa jam apabila tidak dikenali dan dilakukan
penanganan secara cepat. 8 , 10
Gejala klinisnya diawali dengan demam yang tidak respon dengan
pemberian antibiotik, adanya keluhan pembengkakan pada wajah dan orbita,
nyeri pada wajah yang disetai kerusakan saraf kranial unilateral atau
perubahan penglihatan akut dengan gangguan pergerakan mata dan
penurunan tajam penglihatan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema di
daerah muka atau periorbita disertai eritema, kemosis, proptosis, dan
oftalmoplegia. Adanya gejala tersebut yang disertai penurunan tajam
penglihatan menandakan telah terjadi keterlibatan orbita yang progresif.
Pada pemeriksaan rongga mulut dapat ditemukan eschar pada ginggiva dan
palatum. Pemeriksaan endoskopik dapat ditemukan edema mukosa hidung
yang disertai sekret purulen, tetapi umunya secara khas rongga hidung
tampak kering disertai krusta darah. Adanya eschar pada rongga hidung,
merupakan tanda patognomonik dari rinosinusitis jamur invasif akut. 10
CT scan merupakan pemeriksaan radiologi yang harus dilakukan
segera, diperlukan untuk mengetahui apakah sudah terjadi erosi tulang dan
keterlibatan jaringan lunak. Pada CT scan tampak penebalan jaringan yang
berbentuk nodular pada mukosa sinus dan disertai adanya destruksi dinding
sinus. Perluasan ke arah orbita dapat terjadi langsung melewati lapisan tipis

23
lamina papirasea atau melewati pembuluh darah etmoid. Destruksi tulang
jarang ditemukan pada awal infeksi dan dapat ditemukan apabila telah
terjadi nekrosis jaringan lunak. Penggunaan MRI digunakan untuk
mengetahui apakah sudah terjadi keterlibatan mata, khususnya untuk
mengevaluasi keadaan orbita, sinus kavernosus, dan otak. Temuan utama
pada pemeriksaan dengan MRI termasuk keterlibatan bagian dasar hemisfer
otak, batang otak, dan daerah hipotalamus. 9

Gambar 11. CT-Scan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Jamur


Invasif Akut Pada Sinus Maxillaris Kanan dengan gambaran destruksi
dinding Lateral Sinus Maxillaris.

Pada pemeriksaan mikroskopi dari jaringan yang dicurigai dengan


mengunakan 2 atau 3 tetes larutan KOH 10% atau 20% dapat terlihat adanya
jamur dalam beberapa menit setelah dilakukan prosedur biopsi. Apabila ada
infeksi disebabkan jamur golongan Mucor maka pada pemeriksaan
histopatologi didapati bentuk hifa yang besar, tidak beraturan, tidak bersepta
dan bercabang dengan arah sudut kekanan. Sedangkan apabila pada
Aspergilus, dapat dicurigai apabila di temukan hifa dengan ukuran yang
lebih kecil yaitu 2.5 sampai 5µm dibandingkan dengan ukuran hifa pada
Mucor yang berukuran 6 sampai 50 µm. Bentuk lainnya yang dapat
membedakan jenis jamur tersebut yaitu pada Aspergilus di temukan bentuk
hifa yang bersepta dan beraturan, dan pada bagian cabangnya membentuk
sudut 45 0. Temuan tersebut dapat di identifikasi dengan pewarnaan
24
hematoxylin – Eosin dan dapat lebih mudah dikenali dengan pewarnaan
khusus, seperti periodic acid-Schiff (PAS) dan pewarnaan methenamine
silver. 8,9,10
Terapi yang optimal termasuk (1) melakukan penatalaksanaan
penyakit metabolik atau imunologik yang mendasari, (2) penggunaan anti
jamur sistemis yang tepat, (3) pembedahan dengan debrideman luas pada
keseluruhan daerah yang terinfeksi, temasuk daerah mulut ,hidung, sinus
paranasal, dan jaringan orbita (4) mempertahankan drainase daerah hidung,
sinus paranasal dan orbita yang adekuat (5) secara terus menerus memonitor
agar tidak terjadi kekembuhan. Penatalaksanaan medis pada penyakit yang
mendasarinnya adalah merupakan faktor paling penting dalam
meningkatkan survival rate. 8 , 10
Amfoterisin masih merupakan obat pilihan untuk terapi sistemis pada
hampir kebanyakan rinosinusitis jamur akut, walaupun masalah toksisitas
obat ini tinggi, oleh kerena itu perlu dilakukan pemantauan yang baik.
Pemberian Amfoterisin B dapat menyebabkan efek samping yang akut
seperti, demam, mengigil, sakit kepala, tromboflebitis, mual, dan muntah.
Walupun obat ini tidak dieksresikan langsung oleh ginjal, obat ini sangat
nefrotoksik dan dapat menyebabkan (biasanya reversibel) asidosis tubuler.
Reaksi lanjutannya adalah termasuk hipokalemia, nefrotoksik, penekanan
sumsum tulang, dan ototoksik. Toksisitas Amfoterisin B ini sangat perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan metabolik. Apabila serum
kreatinin menjadi lebih dari 3.0 mg/dl, pemberian obat ini ditunda sampai
fungsi ginjal kembali stabil. Dosis total yang optimum dan durasi dengan
menggunakan amfoterisin ini masih belum jelas, secara umum digunakan
dosis tes 1 mg dalam dextrosa 5 % pada hari pertama terapi, kemudian
dilakukan peningkatan dosis 5 mg sampai tercapai dosis 1 mg /kg berat
badan. Pada pasien dengan infeksi yang lebih berat dapat diberikan dosis tes
1 mg yang diberikan dalam beberapa jam kemudian diikuti dosis ulangan
tiap 12 jam yaitu 10 sampai 15 mg sampai tercapai dosis 0,7 sampai 1 mg /

25
kg berat badan. 8,9,10
Keadaan memiliki prognosis yang kurang baik. Angka mortalitas
dilaporkan 50%, meskipun dengan operasi yang agresif dan pengobatan.
Kekambuhan sering terjadi. 9,10
b. Chronic Invasive Fungal Sinusitis ( Indolen )
Sinusitis jamur invasif kronik (indolen) ini perjalanan penyakitnya
bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan sampai tahun, dan banyak terdapat
pada penderita dengan imunokompeten, tipe ini dihubungkan dengan
gambaran granulomatosa pada pemeriksaan histopatologi. Sinusitis jamur
invasif kronik ini adalah bentuk yang jarang ditemukan. Tanda khas dari
infeksi jamur tipe ini adalah adanya invasi jamur ke dalam jaringan mukosa
sinus. Infeksi jamur tipe ini dapat diawali oleh misetoma sinus (Fungal ball)
kemudian menjadi invasif oleh karena perubahan status imun penderita.
Oleh karena prognosis yang buruk, tipe ini disarankan dilakukan
pentalaksanaan secara agresif. 8 -10
Gejala dari infeksi jamur tipe ini secara umum sama seperti
rinosinusitis kronis yaitu berupa sakit kepala dan sumbatan hidung. Pada
keadaan tertentu dapat ditemukan massa pada daerah sinus, massa tersebut
dapat mengerosi pembatas anatomi ke dalam pipi, orbita, palatum durum,
otak ataupun kelenjar pituitari. Keluhan pandangan ganda, termasuk
proptosis sering ditemukan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan biopsi yang
menggambarkan adanya invasi jaringan oleh hifa jamur. Pada pemeriksaan
fisik, terdapat deformitas wajah, proptosis, dan disfungsi saraf kranialis.
Pemeriksaan endoskopi hidung tampak gambaran yang sangat mirip dengan
fungal ball (misetoma). Tampak inflamasi kronis pada sinus yang terinfeksi
disertai jaringan granulasi yang mudah berdarah.8-10
Pemeriksaan dengan CT scan dianjurkan, dan didapatkan gambaran
penebalan jaringan yang meluas ke bagian tulang. Pemeriksaan dengan MRI
direkomendasikan pada pasien dengan infeksi yang meluas ke rongga orbita
dan kompartemen intrakranial.7

26
Gambar 12. CT Scan Potongan Coronal Pasien dengan Sinusitis Jamur
Invasif Kronik Pada Sinus Maxillaris Kanan, Rongga Hidung Kanan, dan
Sinus Sfenoid; erosi fossa kranial anterior, dengan ekstensi intrakranial pada
sisi kanan
Aspergilus adalah organisme yang paling sering ditemukan pada
infeksi jamur tipe ini. Gambaran Aspergilus ini seperti lobang pada giant
cell yang dapat diidentifikasi dengan pewarnaan perak. Organisme ini
berpendar (berfluoresensi) pada pemeriksaan dengan lampu ultraviolet. 8
Penatalaksanaan yang paling baik adalah dikombinasikan dengan
tindakan bedah. Diagnosis dikonfirmasikan melalui pemeriksaan
histopatologi potongan beku dari jaringan yang dicurigai. Pembedahan
dapat dilakukan dengan tehnik minimal invasif atau tehnik operasi terbuka.
Biasanya diperlukan tindakan biopsi ulang untuk mengetahui apakah ada
sisa jamur atau penyakit yang berulang. Penggunan anti jamur dipilih
berdasarkan jamur yang menginfeksi. Amfoterisin merupakan anti jamur
yang paling sering digunakan. Lamanya pengobatan tergantung dari sisa
infeksi jamur atau letak infeksi, kemungkinan penyakit berulang yang
dipengaruhi oleh penurunan daya tahan tubuh penderita dan respon
pengobatan. Kekambuhan sering terjadi, walaupun telah diberikan
pemberian anti jamur sistemis setelah pembedahan. Biasanya tidak perlu
dilakukan pembedahan ulang, dan pasien dapat terapi dengan pilihan anti
jamur lainnya seperti Itrakonazol. 7-10
Prognosis baik pada pasien yang menerima anti jamur sistemik dalam
27
waktu yang lama. Pasien yang menerima anti jamur sistemik dalam waktu
singkat sering kambuh, dengan demikian memerlukan terapi lebih lanjut. 10
c. Granulomatous Invasive Fungal Sinusitis
Pasien penderita sinusitis jamur invasif granulomatosus datang dengan
gejala sinusitis kronik yang berhubungan dengan proptosis. Penyakit ini
mulai sering dilaporkan terjadi pada individu imunokompeten dari Afrika
Utara. Penyakit granulomatosa sinusitis jamur invasif ini pada umumnya
dikaitkan dengan proptosis.10-11
Pada pemriksaan histopatologis ditemukannya granuloma
dengan sel raksasa multinuklear dengan disertai nekrosis akibat tekanan,
dan erosi yang ditemukan dalam granulomatosa sinusitis jamur invasif.10
Debridemen bedah menjadi pilihan utama yang terbaik dalam
pengobatan, diikuti dengan pemberian pengobatan secara sistemik dengan
obat anti jamur. Rekurensi kekambuhan dari penyakit ini jarang terjadi.
Endoskopi dan pendekatan eksternal dapat menjadi pertimbangan dalam
penatalaksanaan penderita granulomatosa sinusitis jamur invasif.8,9,10
Pengalaman mengenai penyakit ini sungguh jarang dan terbatas
bahkan sedikit sekali. Secara umum prognosisnya baik namun terdapat
kecenderungan terjadinya kekambuhan. 10

2.6.6 Diagnosis
Infeksi jamur pada sinus harus dipertimbangkan pada semua
penderita sinusitis kronis yang tidak respon terhadap pengobatan
antibiotika dan pembedahan. Sinusitis jamur invasif biasanya terdapat
pada penderita dengan penurunan sistem imun dengan disertai gejala
akut seperti demam, batuk, ulserasi pada mukosa hidung, epistaksis dan
sakit kepala. Bentuk kronis invasif dapat timbul dengan gejala proptosis
atau sindroma apeks orbital.6
Beberapa faktor yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis sinusitis jamur yaitu : gejala yang kompleks, perjalanan

28
penyakit (hari, minggu, tahun), keadaan sistem imun penderita,
pemeriksaan fisik (endoskopi hidung), dan pemeriksaan radiologi,
patologi, dan mikologi. Semua faktor tersebut ada sangat penting dalam
menentukan penanganan penderita pada fase awal. Adanya invasi
jaringan dapat dicurigai pada pasien yang mempunyai resiko penurunan
sistem imun atau secara klinis jelas tampak adanya keterlibatan jaringan
di sekitar sinus. Erosi pada daerah sekitar harus dapat dibedakan dengan
invasi jaringan. Bentuk noninvasif dapat ditandai dengan proses erosi
tanpa adanya invasi jaringan. Pemeriksaan histopatologi selalu
digunakan untuk membedakan suatu keadaan bentuk invasif atau
noninvasif. Infeksi jamur pada sinus mempunyai bentuk akut dan
kronis. Status imun penderita sangat mempengaruhi perkembangan
penyakit. Misetoma dapat timbul tanpa gejala dalam beberapa tahun
atau hanya dengan gejala sumbatan hidung kronis yang disertai sekret
pada hidung, sedangkan bentuk akut invasif perkembangan penyakitnya
sangat cepat, dengan gejala nyeri, pembengkakan pada daerah wajah,
gangguan orbita dan gangguan saraf pusat yang disebabkan perluasan
penyakit pada daerah sekitarnya. Diagnosis awal sinusitis jamur
fulminan sangatlah penting oleh karena penyakit ini perjalanannya
sangat singkat dan dapat terjadi kematian dalam beberapa jam.8-10

2.6.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding sinusitis jamur adalah neoplasma benigna
maupun maligna. Sinusitis jamur invasif dengan neoplasma maligna
sulit dibedakan atau tidak dapat dibedakan dari gambaran radiologi.
Tetapi dapat dibedakan dari gambaran histopatologi. Pada sinusitis
jamur invasif ada tanda yang khas yaitu adanya invasi ke jaringan
mukosa. 10

29
Gambar 13. Pasien dengan obstruksi nasi dan epistaksis; gambaran
massa di sinus maksilaris kanan dengan destruksi dinding medial,
ekstensi ke rongga hidung; diagnosis radiologi: sinusitis jamur,
histopatologi: inverted papilloma

2.6.8 Terapi
Pembedahan / Surgical Therapy
Sebelum dilakukan tindakan bedah, ahli THT harus
mempertimbangkan prognosa pasien secara keseluruhan, termasuk
penyakit yang mendasarinya. Perluasan eksisi bedah harus
dipertimbangkan dengan perluasan infeksi. Secara umum dikatakan,
bahwa debrideman semua daerah yang terinfeksi dan perbaikan fungsi
adalah merupakan tujuan utama pembedahan. Debrideman setelah
operasi dan pemantauan pasien sangat penting dan perlu dilakukan
biopsi ulang pada dareah operasi. Terapi medis terus diberikan sampai
diyakini infeksi telah teratasi dan keadaan status imun penderita telah
stabil. CT scan ulang diperlukan untuk memastikan tidak ada lagi
perkembangan penyakit. Setelah pembedahan, irigasi pada rongga
hidung dapat dilakukan untuk mencegah adanya krusta dan invasi
jamur. Amfoterisin B ( 50 mg / liter air) irigasi ( 20 ml, empat kali
sehari ) dapat diberikan melalui selang kateter pada sinus yang
terinfeksi. Debrideman ulang dilakukan, apabila terdapat krusta yang
menetap atau terjadi kekambuhan.7, 8, 10

30
2.6.9 Komplikasi
Pada alergic fungal sinusitis dapat terjadi erosi pada struktur yang
di dekatnya jika tidak diterapi. Erosi sering dapat terlihat pada pasien
yang mengalami proptosis. Pada mycetoma fungal sinusitis jika tidak
diterapi dapat memperburuk gejala-gejala sinusitis yang berpotensi
untuk terjadi komplikasi ke orbita dan sistem saraf pusat. Pada Acute
Invasive Fungal Sinusitis dapat menginvasi struktur di dekatnya yang
menyebabkan kerusakan jaringan dan nekrosis. Selain itu juga dapat
terjadi trombosis sinus kavernosus dan invasi ke susunan saraf pusat.
Pada chronic Invasive Fungal Sinusitis dan pada Chronic
Granulomatous Fungal Sinusitis dapat menginvasi jaringan sekitarnya
sehingga terjadi erosi ke orbita atau susunan saraf pusat. 8,9,10

31
BAB III
PENUTUP

Sinusitis jamur merupakan salah satu penyakit hidung yang sebelumnya


jarang sekali menjadi topik bahasan kalangan pakar medis di bidang telinga,
hidung dan tenggorokan serta kepala leher. Namun semakin hari insiden
terjadinya penyakit ini semakin banyak ditemui dan di keluhkan oleh pasien. Hal
ini membuat penyakit ini menjadi salah satu pokok bahasan menarik di kalangan
pakar medis bidang telinga, hidung dan tenggorokan serta kepala leher.
Penelitian-penelitian mengenai penyakit ini pun semakin banyak dilakukan.
Dengan demikian pemahaman kita tentang berbagai hal mengenai penyakit ini
pun terus berkembang seiringnya waktu.
Adanya tingkat kesadaran yang tinggi para dokter dan juga kemajuan
teknologi radiologi yang semakin canggih sekarang ini memberi kemudahan
dalam mendiagnosa penyakit ini.
Dokter harus memiliki perhatian khusus dan kecurigaan yang tinggi
untuk mendiagnosa penyait ini karena kenampakan gejala penyakit ini samar dan
tidak begitu berbeda secara umum dengan penyakit radang mukosa hidung
lainnya.
Pendekatan yang menyeluruh dan anamnesa yang terarah serta
pemeriksaan fisik yang dikombinasikan dengan computed tomography serta
endoskopi hidung menjadi andalan dan sangat membantu dalam menegakan
diagnosis sinusitis setiap jenis jamur.
Seiring dengan kemajuan dalam bedah sinus endoskopi fungsional,
kemampuan kita untuk mengobati dan memberantas penyakit sinusitis jamur terus
meningkat dan membaik. Berbgai penelitian di masa depan harus mengarah pada
kemajuan lebih lanjut dalam pengobatan dan bedah sinusitis jamur.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA,


Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, ( Editor ). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2009. Hal 145-153.
2. Higler PA. Hidung: Anatomi Dan Fisiologi Terapan. Dalam : Adams GL,
Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Cetakan
Ketiga. Jakarta: EGC; 1997. Hal 176, 241.
3. Dudley J. Paranasal Sinus Infection. In: Otorhinolaryngology: Head And
Neck Surgery. Ballenger JJ, Snow JB, Editors. 15th Ed. Williams &
Wilkins. Philadelphia; 1996. Hal 3 -192.
4. Rita Anggraini D. Anantomi Dan Fungsi Sinus Paranasal. Dalam: Jurnal
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan; 2005.
Hal 15 - 50
5. Graney DO, Rice DH. Anatomy. In: Otolaryngology-Head And Neck
Surgery. Cummings CW, Frederickson JM, Harker LA, Krause CJ,
Schuller DE, Editors. 2nd Ed. Mc Graw Hill. New York; 1999. Hal 901- 40.
6. Ballenger JJ. Hidung Dan Sinus Paranasal, Aplikasi Klinis Anatomi Dan
Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal. Dalam : Penyakit Telinga Hidung
Dan Tenggorokan Dan Leher. Edisi 13. Jilid Satu. Binarupa Aksara.
Jakarta; 1994. Hal 1 – 25
7. Amedee G Ronald. Sinus Anatomy And Function. In : Head And Neck
Surgery Otolaryngology Bryon J. Bailey. J.B. Lippincott Company.
Philadhelpia; 1993. Hal 343 - 49
8. Tri Andhika Nasution M. Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis
Yng Disebabkan Infeksi Jamur. Dalam: Jurnal Kedokteran Fakultas
Kedokteran Unversitas Sumatera Utara. Medan; 2007. Hal 24 - 56
9. Mccaffrey. Diagnosis Of Fungal Sinusitis. In : Rhinologic Diagnosis And
Treatment Thomas V. Mccaffery. Thieme. New York Stuttgart; 1997. p.
33
317 - 33
10. Manning S. 1998. Fungal Sinusitis. In : Rhinology And Sinus Disease A
Promblem-Oriented Approach, Schaefer S. Mosby, St Louis: p. 99 – 104

34
35
36

Anda mungkin juga menyukai