Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus
berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua
makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap
individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang
dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks
dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang
pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang
berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya
tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh.
Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang
sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak
seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan
pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit,
dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan
tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang
usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran
diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme
yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta
menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai
dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling
berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier
dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan
fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan
(handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.

1
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan
tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman bagi
integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan
kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang
dicintai.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi inkontinensia urin pada lanjut usia ?
2. Apa saja Klasifikasi dari inkontinensia urin pada lanjut usia ?
3. Apa etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia ?
4. Apa saja faktor predisposisi atau faktor pencetus inkontinensia urin pada lanjut
usia ?
5. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia?
6. Bagaimana pathway inkontinensia urin pada lanjut usia ?
7. Apa saja tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut usia ?
8. Apa saja pencegahan dari inkontinensia urin pada lanjut usia ?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada lanjut usia ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut usia ?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut
usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai Klasifikasi inkontinensia urin pada lanjut
usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut
usia.
4. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor pencetus
inkontinensia urin pada lanjut usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada
lanjut usia.
6. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada lanjut
usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin pada
lanjut usia.
8. Mengetahui dan memahami mengenai Pencegahan inkontinensia urin pada
lanjut usia.
9. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut usia.
10. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia urin
pada lanjut usia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

KONSEP MEDIS
A. Definisi
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter
dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan
ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk
mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa
proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan
penggunaan obat narkotik atau sedatif.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak
yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera
ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin
(Hariyati, 2000).
B. Klasifikasi
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat (2006) :
1. Inkontinensia Keadaan dimana seseorang mengalami
Dorongan pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah
merasa dorongan yang kuat setelah berkemih.

Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya


terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame
kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia
dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera
setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini
disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan
kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum
terpenuhi.
2. Inkontinensia Total Keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat
diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total
antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi independen
dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis,
fistula, neuropati.
3. Inkontinensia Stress Tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan

3
berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi
disebabkan otot spingter uretra tidak dapat menahan
keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan
di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan
abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin,
mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker, 2007).
4. Inkontinensia Reflex Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.

Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan


oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis).
Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih
penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak
dihambat pada interval teratur
5. Inkontinensia Keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran
Fungsional urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih
penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk
mengeluarkan urin

C. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis.
Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau
adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya
dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika
perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi
urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti
diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan

4
yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang
bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan
ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas.
Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau
menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis,
maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau
farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit
yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau
penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal
pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika,
antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic
alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU.
Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal
yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot
dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan
otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar
hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi
penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).
D. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus
1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja,
tetapi juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak
masih belum mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air
kecil karena sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan baik.
Manusia usia lanjut juga akan mengalami perubahan dalam eliminasi
tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik
menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan
eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami

5
konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot
sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).

2. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya,
misalnya jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat
menghambat miksi karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat,
dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam
jengkolat yang akan menyumbat saluran kemih sehingga pengeluaran utine
menjadi terganggu. Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol.
Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot, sehingga
mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses maupun
urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh
terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ
perkemihan(Asmadi, 2008).
3. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke
ginjal untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang
dan lebih pekat(Asmadi, 2008).
4. Latihan Fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus
otot. Tonus otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan
diagfragma sangat penting bagi miksi (Asmadi, 2008).
5. Stres Psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia
akan mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).
6. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan
cairan tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut
menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan sehingga dampaknya
berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain
itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu terjadi anoreksia,
kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).
7. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet
yang seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada
eliminasi urine (Asmadi, 2008).
8. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di
masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka
sesuatu yang pribadi , sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet
yang digunakan secara bersama-sama (Potter & Perry,2006).

6
9. Status Volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam
keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan
peningkatan produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatakan
volume filtrat glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2006).
10. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih
menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh
kandung kemih, dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol
urinasi. Misalnya diabetes melitus dan sklerosis multiple menyebabkan
kondusi neuropatik yang mengubah fungsikandung kemih. Artritis
reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis
atau penyakit ginjal tahap akhir (Potter & Perry,2006).
11. Prosedur Bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum
menjali pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa
praoperasi, yang memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres
juga meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran
urine dalam upaya mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter &
Perry,2006).
12. Obat-Obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik
(atropin), antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat
penyekat beta adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2006).
E. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat
di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume
kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung
kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher
kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis
yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung
kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan
merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini
dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia
urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi
kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung
kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

7
G. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006) :
1) Inkontinensia Dorongan :
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
H. Pencegahan
1. Dekatkan kamar mandi
2. Jaga lantai tetap bersih dan tidak licin
3. Minum 6-8 gelas air setiap hari kecuali dokter anda telah
menginstruksikan sebaliknya
4. Batasi asupa alkohol dan minuman berkafein
5. Perhatikan gizi dan hindari obes (Ambil diet seimbang yang mencakup
semua kelompok makanan dan tetap dalam kisaran berat badan yang sehat)
6. Sertakan cukup cairan dan serat dalam diet anda dan berolahraga secara
teratur untuk mencegah sembelit yang dapat menyebabkan kontrol
kandung kemih yang buruk
7. Memakaika pempers
8. Latihan perilaku berkemih
9. Membuat catatan berkemih
10. Lakukan latihan dasar panggul secara teratur untuk memperkuat otot-otot
yang mendukung outlet kandung kemih.
11. Beri pegangan dikamar mandi
12. WC dibuat datar, tidak tinggi
13. Atur pencahayaan.

8
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.
2. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih.
3. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
4. Urografi ekskretorik
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
5. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal
tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut
misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar
secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat
pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi Non Farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang
interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan
untuk berkemih bila belum waktunya.Lansia dianjurkan untuk berkemih
pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya
diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3
jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari
lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada

9
lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot
dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah
dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka,
kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke
belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita
buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar
panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
c. Terapi Farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah anti
kolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergicagonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter
relax diberikan kolinergikagonis sepertiBethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi dan terapi diberikan
secara singkat.
d. Terapi Pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipeoverflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan
untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
e. Modalitas Lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu
bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers,
kateter.
f. Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari
dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan
asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat
membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah kejadian-
kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan sebelum waktu tidur
dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi cairan harus
diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan setiap
harinya tetap sama.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah


mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol

10
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Pemanfaatan Kartu Catatan Berkemih


Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah
urin yang keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena
tak tertahan, selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang
diminum.
b. Terapi Non Farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari.
2. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila
belum waktunya.
3. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-
mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai
lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
4. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengankebiasaan lansia.
5. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia
dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
c. Terapi Farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah :
1. antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
2. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
3. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan
terapi diberikan secara singkat.
d. Terapi Pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnyamemerlukan tindakan pembedahan
untuk menghilangkan retensi urin. Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic(pada wanita).

11
e. Modalitas Lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu
bagi lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers,
kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan
K. Komplikasi
1. Ruam Kulit Atau Iritasi
Diantara komplikasi yang paling jelas dan memanifestasi kita
menemukan masalah dengan kulit, karena mereka yang menderita masalah
ini terkait kandung kemih, memiliki kemungkinan mengembangkan luka,
ruam atau semacam infeksi kulit, karena fakta bahwa kulit mereka
overexposed cairan dan dengan demikian selalu basah. Ruam kulit atau
iritasi terjadi karena kulit yang terus-menerus berhubungan dengan urin akan
iritasi, sakit dan dapat memecah.
2. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Inkontinensia meningkatkan risiko infeksi saluran kemih berulang
3. Prolapse
Proleps merupakan komplikasi dari inkontinensia urin yang dapat
terjadi pada wanita. Hal ini terjadi ketika bagian dari vagina, kandung kemih,
dan dalam beberapa kasus uretra, drop-down ke pintu masuk vagina.
Lemahnya otot dasar panggul sering sering menyebabkan masalah. Prolaps
biasanya perlu diperbaiki dengan menggunakan operasi.
4. Perubahan Dalam Kegiatan
Inkoninensia dapat membuat pasien tidak dapat berpartisipasi dalam
aktivitas normal. Pasien dapat berhenti berolahraga, berhenti menghadiri
pertemuan sosial. Salah satu jenis tersebut adalah inkontinensia stress. Hal ini
terjadi ketika otot-otot dasar panggul mengalami kelemahan dari beberapa
macam, da tidak lagi mampu menjaga uretra tertutup. Karena itu, membuat
gerakan tiba-tiba seperti batuk atau tertawa dapat menyebabkan kebocoran
urin. Penyebab melemahnya otot dasar panggul bisa berbeda dan disebabkan
oleh berbagai faktor, mislanya untuk kehamilan dn persalinan (strain atau otot
terlalu melar), menopouse (kurangnya esterogen melemahkan otot),
penghapusan rahim (yang kadang-kadang dapat merusak otot), usia, obesitas.
5. Perubahan Dalam Kehidupan Pribadi
Inkontinensia dapat memiliki dampak pada kehidupan pribadi pasien.
Keluarga pasien mungkin tidak memahami perilaku pasien. Pasien dapat
menghindari keintiman seksual karena malu yang disebabkan oleh kebocoran
urin. Ini tidak jarang mengalami kecemasan dan depresi bersama dengan
inkontinensia (Mayo, 2012).
6. Komplikasi terapi bedah inkontinensia stress terutama terdiri dari
pembentukan sisa urin segera dalam fase pascabedah. Biasanya masalah ini
bersifat sementara dan dapat diatasi dengan kateterisasi intermiten, dengan

12
karakter yang ditinggalkan atau lebih baik dengan drainase kandung kemih
suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian pembentukan sisa urin tanpa
kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi yang salah.
Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urin, infeksi saluran kemih yang
berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasi Marshall-Marchhetti-krantz
merupakan komplikasi yang jarang terjadi. (Andrianto, 1991)

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi
pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan,
tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko
mengalaminya.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang
dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada
sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa,
gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan
diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi
ketidakmampuan.
b. Riawayat Kesehatan Masa Lalu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia
b. Pemeriksaan sistem
1) B1 (Breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan
pada perkusi.

13
2) B2 (Blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3 (Brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (Bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam
kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada
bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus
uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria
akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti
rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu
kencing.
5) B5 (Bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
6) B6 (Bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
4. Data Penunjang
a. Urinalisis
b. Hematuria
c. Poliuria
d. Bakteriuria
5. Pemeriksaan Radiografi
a. IVP (Intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter
b. VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan
fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat),
mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
6. Kultur Urine
a. Steril
b. Pertumbuhan tak bermakna (100.000 koloni/ml)
c. Organisme
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai
berikut :

1. Inkonteninsia urin berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur


dasar penyokongnya.

14
2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu
yang lama.
3. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

C. Rencana Ashuhan Keperawatan


1. Inkonteninsia urin berhubungan dengan kelemahan otot pelvis
Tujuan : Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan
inkonteninsia, klien dapat menjelaskan penyebab.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari.
2. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang
direncanakan.
3. Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat kandung
kemih.
4. Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien
berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.
5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan
cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
6. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya
dengan latihan
7. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam


waktu yang lama.
Tujuan:
Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas
normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan
setelah buang air besar
Rasional : Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki
kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.

15
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau
darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan
kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik
asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari
kateter indwelling.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan
masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi
sesuai dengan kebutuhan.
Rasional : Untuk mencegah stasis urine.
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
a. Tingkatkan masukan sari buah berri.
b. Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
Rasional : Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah
sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman
urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam
pengobatan infeksi saluran kemih.
3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi
konstan oleh urine
Tujuan :
1) Jumlah bakteri < 100.000 / ml.
2) Kulit periostomal tetap utuh.
3) Suhu 37° C.
4) Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi :

1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.

Rasional : Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari


hasil yang diharapkan.

2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi.


Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru.
Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter
stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar
menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
Rasional : Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit

16
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan
peningkatan resiko infeksi.
4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
Intervensi :
1) Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria,
diskusikan pada saat pertama.
Rasional : Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien /
orang terdekat tentang situasi individu dan Pasien menerimanya(contoh;
inkontinensia tak sembuh, infeksi)
2) Dorong pasien/orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui
kenormalan perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena kehilangan.
Diskusikan “peningkatan dan penurunan” tiap hari yang dapat terjadi
setelah pulang.
Rasional : Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep.
Membantu pasien / orang terdekat menyadari bahwa perasaan yang
dialami tidak biasa dan bahwa perasaan bersalah pada mereka tidak perlu
/ membantu. Pasien perlu mengenali perasaan sebelum mereka dapat
menerimanya secara efektif.
3) Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan,
manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan.
Rasional : Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi
lanjut dan terapi lebih efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan
terhadap kehilangan bagian / fungsi tubuh dan kawatir terhadap
penerimaan orang lain, juga rasa takut akan ketidakmampuan yang akan
datang / kehilangan selanjutnya pada hidup karena kanker.
4) Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang dan
menyentuh stoma, gunakan kesempatan untuk memberikan tanda positif
penyembuhan, penampilan, normal, dsb.
Rasional : Meskipun integrasi stoma ke dalam citra tubuh memerlukan
waktu berbulan-bulan / tahunan, melihat stoma dan mendengar komentar
(dibuat dengan cara normal, nyata) dapat membantu pasien dalam
penerimaan ini. Menyentuh stoma meyakinkan klien / orang terdekat
bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit gerakan stoma secara nyata
menunjukkan peristaltic normal.
5) Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui
partisipasi dalam perawatan diri.
Rasional : Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.
6) Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan, menghindari
ekspresi menghina atau reaksi mendadak. Jangan menerima ekspresi
kemarahan pasien secara pribadi.

17
Rasional : Membantu pasien / orang terdekat menerima perubahan tubuh
dan menerima akan diri sendiri. Marah paling sering ditunjukkan pada
situasi dan kurang kontrol terhadap apa yang terjadi (tidak terduga),
bukan pada pemberi asuhan.
7) Rencanakan / jadwalkan aktivitas asuhan dengan orang lain.
Rasional : Meningkatkan rasa kontrol dan memberikan pesan bahwa
pasien dapat mengatasinya, meningkatkan harga diri.
8) Diskusikan fungsi seksual dan implan penis, bila ada dan alternatif cara
pemuasan seksual.
Rasional : Pasien mengalami ansietas diantisipasi, takut gagal dalam
hubungan seksual setelah pembedahan, biasanya karena pengabaian,
kurang pengetahuan. Pembedahan yang mengangkat kandung kemih dan
prostat (diangkat dengan kandung kemih) dapat mengganggu syaraf
parasimpatis yang mengontrol ereksi pria, meskipun teknik terbaru ada
yang digunakan pada kasus individu untuk mempertahankan syaraf ini.

Asuhan Keperawatan Kasus


Kasus :
Ny.W berusia 63 tahun datang kerumah sakit Dr,soetomo dengan keluhan ingin BAK
terus menerus dan tidak bisa ditahan hingga sampai ke toilet. Ny.W mengatakan
kencing sebanyak lebih dari 12 kali dalam sehari. Ny.W juga mengatakan bahwa dirinya
tidak bisa menahan kencingnya untuk sampai ke toilet dan terasa perih pada area
perianalnya. Karena sering mengompol, Ny.W mengaku mengurangi minum dan sering
menahan haus. Ny.W merasa malu apabila keluar rumah karena mengompol dan bau air
kencingnya yang menyengat sehingga hanya tinggal di dalam rumah. Saat ditanyakan
tentang riwayat kehamilan, anak klien mengatakan bahwa klien memiliki 2 orang anak,
dan tidak pernah mengalami keguguran. Anaknya mengatakan bahwa keluarganya tidak
ada yang mengalami penyakit seperti itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.
Dulunya klien adalah seorang penjahit di rumahnya, namun beberapa tahun yang lalu
sudah tidak lagi bekerja. Setelah dilakukan pemeriksaan awal pada Ny.W ditemukan
membran mukosa kering, turgor kulit kering dan keriput serta lecet-lecet pada kulitnya.
Hasil dari TTVnya adalah TD: 160/90 mmHg, Nadi 90x/menit, RR 19x/menit, dan
suhunya 37oC. Setelah dilakukan pemasangan kateter, didapatkan data jumlah urin klien
1500-1600 mm selama 24 jam.
A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Klien :
Nama : Ny. W
Umur : 63 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
2. Keluhan Utama :
Klien BAK terus-menerus, tidak bias menahannya sehingga mengompol.

18
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Klien datang kerumah sakit dengan keluhan BAK terus menerus dengan
frekuensi lebih dari 10 kali dalam sehari.Klien tidak bias menahan
kencingnya untuk pergi ke toilet sampai klien mengompol.Klien mengaku
mengurangi minum dan menahan rasa haus.
4. Riwayat Penyakit Dahulu : -
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Anak klien mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang mengalami
penyakit seperti itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.
6. Riwayat Obat-Obatan : -
7. Riwayat Psikologis :
Klien merasa malu jika keluar rumah karena sering mengompol dan bau
kencingnya sangat menyengat.
8. Riwayat Pekerjaan :
Klien dulunya adalah seorang penjahit
9. Riwayat Kehamilan :
Klien memiliki 2 orang anak, dan tidak pernah mengalami keguguran.
10. Pemeriksaan fisik (Review of System)
a. B1 (breathing)
RR : 19 x/menit, normal tidak ada gangguan
b. B2 (blood)
TD : 160/90 mmHg (peningkatan tekanan darah), nadi : 90x/menit
c. B3 (brain)
Tingkat kesadaran :compos mentis
d. B4 (bladder)
BAK > 10 x/hari, bau urin menyengat
e. B5 (bowel) : -
f. B6 (bone &integumen)
Kelemahan ekstremitas karena bolak-balik pergi ke toilet, kulit kering
dan lecet-lecet
Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1. 1. DS: Inkontinensia urin Kekurangan
- Ny.W mengatakan kencing Volume Cairan
sebanyak lebih dari 10 kali Haluaran urine yang sering
dalam sehari
Ny. A mengaku mengurangi Pembatasan intake cairan
minum dan sering menahan
- haus Ketidakseimbangan intake
DO: output cairan & elektrolit
- membran mukosa kering
Kekurangan volume cairan
- turgor kulit kering

19
- Jumlah urine lebih dari
1500-1600 mm dalam 24 jam
2. DS: Seiring pertambahan usia Perubahan Pola
- Klien mengatakan ingin Berkemih
BAK terus menerus Kelemahan pada sfingter
- Klien mengatakan externa
kencingnya lebih dari 10x
dalam sehari Inkontinensia urin
- Klian mengatakan tidak bisa
Gangguan pola eliminasi
menahan kencingnya
DO: Klien sering
mengompol
3. DS: Klien merasa perih di Inkontinensia urin Kerusakan
area perianalnya Integritas Kulit
DO: lecet-lecet pada kulitnya Urin keluar terus menerus

Meninggalkan sisa di area


perianal

Kelembaban meningkat

Lecet pada area perianal

Kerusakan integritas kulit

B. Diagnosa Keperawatan
1. Inkontinensia urin urgensi berhubungan dengan penurunan kapasitas kandung
kemih, sekunder akibat berkemih sering
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake dan output yang tidak
adekuat
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi konstan oleh urine
C. Intervensi Keperawatan

1. Inkontinensia urin urgensi berhubungan dengan penurunan kapasitas


kandung kemih, sekunder akibat berkemih sering.
Tujuan:
Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu mengontrol pola
berkemih agar dapat berkemih normal
Kriteria Hasil :
Klien akan menjadi kontinen dan mampu mengidentifikasi penyebab inkontinens
dan rasional untuk pengobatan

20
Intervensi Rasional
Tentukan pola berkemih normal klien Memberikan kesempatan menerima isu /
dan tentukan variasi salah konsep. Membantu klien / orang
terdekat menyadari bahwa perasaan yang
dialami tidak biasa dan bahwa perasaan
bersalah pada mereka tidak perlu /
membantu. Klien perlu mengenali
perasaan sebelum mereka dapat
menerimanya secara efektif
Dorong meningkatkan pemasukan Peningkatan hidrasi membilas bakteri,
cairan
Selidiki keluhan kandung kemih Retensi urine dapat terjadi menyebabkan
penuh, palpasi untuk daerah distensi jaringan dan potensial resiko
suprapubik infeksi.
Kolaborasi: Menentukan adanya ISK, yang penyebab
Ambil urine untuk kultur dan atau gejala komplikasi
sensivitas

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake dan output yang


tidak adekuat
Tujuan:
Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu menunjukkan
hidrasi yang adekuat/kekurangan cairan dapat diatasi
Kriteria Hasil:
a. TTV stabil
b. Membran mukosa bibir lembab
c. Turgor kulit elastic
d. Intake dan output seimbang
Intervensi Rasional
Dapatkan riwayat klien / orang Memperoleh data tentang penyakit klien,
terdekat sehubungan dengan lamanya agar dapat melakukan tindakan sesuai
gejala seperti pengeluaran urine yang dengan yang dibutuhkan
berlebihan
Pantau TTV, catat adanya perubahan Indikator hidrasi/ volum sirkulasi dan
TD warna kulit dan kelembaban-nya kebutuhan intervensi
Monitor status hidrasi dengan Kondisi turgor kulit, membran mukosa,
mengkaji turgor kulit dan membran dan peningkatan berat jenis urin dapat
mukosa serta memeriksa berat jenis mengindikasikan dehidrasi.
urin setiap 8 jam sekali
Pantau masukan dan pengeluaran Membandingkan keluaran aktual dan yang
setiap hari diantisipasi membantu dalam

21
mengevaluasi fungsi/ derajat stasis/
kerusakan sistem urinary.
Timbang BB setiap hari Peningkatan BB yang cepat mungkin
berhubungan dengan retensi
Pertahankan untuk memberikan cairan Mempertahankan keseimbangan cairan
paling sedikit 2500 ml/hari dalam
batas yang dapat ditoleransi jantung
Kolaborasi: Memenuhi kebutuhan cairan tubuh
Berikan terapi cairan sesuai indikasi
Berikan cairan IV Mempertahankan volum sirkulasi,
meningkatkan fungsi ginjal
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi konstan oleh urine

Tujuan:
Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu menunjukkan
perbaikan keadaan turgor dan mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria Hasil :
a. Jumlah bakteri < 100.000/ml
b. Kulit periostomal tetap utuh
c. Urin jernih dengan sedimen minimal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan kulit terhadap perubahan
warna, turgor dan adanya kemerahan
Pantau penampilan kulit periostomal Mengidentifikasi kemajuan
setiap 8 jam serta melihat adanya tanda-tanda
kerusakan integritas kulit.
Jaga agar kulit tetap kering Kulit atau daerah lipatan yang lembab
mudah terjadi tumbuhnya kuman
Berikan perawatan kulit termasuk Kulit yang kotor dapat menimbulkan
kebersihan pada kulit rasa gatal sehingga timbul keinginan
untuk menggaruk.
Ubah posisi setiap 2 jam sekali Menghindari tekanan dan meningkatkan
aliran darah
Berikan pakaian dari bahan yang dapat Mencegah iritasi dermal dan
menyerap air atau anjurkan klien untuk meningkatkan kelembaban pada kulit.
memakai pakaian longgar.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan
mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis
inkontinensia urine yang utama yaitu inkontinensiastres, urgensi, luapan dan
fungsional. Penatalaksanaan konservatif dilakukanpada kasus inkompetem sfingter
uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen atau mental maka
pengobatan disesuaikan dengan faktor penyebab.
B. Saran
Agar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan diri agar terhindar
dari infeksi pada saluran kemih bagian bawah dan tetap menjaga keseimbangan
intake dan output cairan, agar tidak terjadi deficit volum cairan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo B. 2009. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta :


Salemba Medika.

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses


pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke.

24

Anda mungkin juga menyukai