Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

Allâh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam , dengan disertai berbagai bukti nyata akan kebenarannya. Bukti-bukti itu tidak
menyisakan sedikit pun alasan bagi siapapun untuk tetap bertahan dengan kesesatannya.

‫ى ث ُ َّم يَ ُموتُ َولَ ْم يُؤْ ِم ْن بِالَّذِى أ ُ ْر ِس ْلتُ بِ ِه إِالَّ َكانَ ِم ْن‬ ٌّ ‫س ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه الَ يَ ْس َم ُع ِبى أ َ َحد ٌ ِم ْن َه ِذ ِه األ ُ َّم ِة يَ ُهو ِد‬
ْ ‫ى َوالَ َن‬
ٌّ ِ‫ص َران‬ ُ ‫َوالَّذِى نَ ْف‬
‫ار‬ِ َّ‫ب الن‬
ِ ‫ص َحا‬ْ َ‫أ‬

Sungguh demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Tiada seorangpun dari umat ini
yang mendengar tentang aku, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani, lalu ia meninggal dunia
sedangkan ia tidak beriman dengan agama yang aku emban, melainkan ia menjadi penghuni
neraka.[HR. Muslim, no. 240]

Diantara bukti kebenaran agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah tidak
ditemukan pertentangan dalam syari’at beliau. Seluruh syari’at yang beliau ajarkan saling
mengukuhkan dan menguatkan.

ً ‫اختِ ََلفًا َك ِث‬


‫يرا‬ َّ ‫َال َيتَدَب َُّرونَ ْالقُ ْرآنَ ۚ َو َل ْو َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد َغي ِْر‬
ْ ‫َّللاِ لَ َو َجد ُوا فِي ِه‬

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’ân ? Kalau al-Qur’ân itu bukan dari sisi Allâh,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [an-Nisa/4:82]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Telah menjadi ketetapan dalam syari’at Allâh Azza
wa Jalla bahwa hukum satu masalah adalah hukum bagi setiap masalah yang serupa dengannya.
Syari’ah Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin membedakan antara dua hal yang serupa
sebagaimana tidak menyamakan antara dua hal yang berbeda. Barangsiapa menduga ada yang
menyelisihi ketetapan ini, maka itu lebih disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang syari’at.
Bisa pula ia kurang bisa mengenali persamaan dan perbedaan antara dua masalah yang terkesan
serupa. Dan bisa pula karena ia menganggap suatu itu sebagai bagian dari syariat, padahal
sejatinya hal tersebut hanyalah pendapat sebagian orang belaka. Berkat kebijakan dan keadilan
Allâh, kesempurnaan ciptaan dan syari’at-Nya menjadi nyata. Dan berkat keadilan dan logika
yang benar, ciptaan Allâh dan syari’at-Nya dapat tegak. Dan yang dimaksud dengan logika ialah
menyamakan antara dua hal yang serupa dan membedakan antara dua hal yang berbeda.” [Zâdul
Ma’âd oleh Ibnul Qayyim 4/246]

PENGERTIAN QIYAS

Qiyâs atau analogi ialah suatu praktik penyamaan hukum antara sesuatu yang disebutkan
hukumnya secara gamblang dalam agama (yang selanjutnya disebut al-maqis ‘alaih atau masalah
utama) dengan suatu yang tidak dijelaskan hukumnya dalam agama (yang selanjutnya disebut al-
maqis atau masalah cabang). Penyamaan ini dilakukan karena ada kesamaan dalam penyebab
hukum atau yang masyhur disebut dengan ‘illah.

RUKUN-RUKUN QIYAS

Pada setiap qiyâs yang benar, pasti terdapat empat hal atau rukun. Masing-masing rukun ini
memiliki kriteria dan persyaratan tersendiri. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan
menjamin qiyâs tidak melampaui batas kekuatan hukumnya.

Rukun Pertama : Hukum Utama.

Yaitu hukum masalah utama yang ketetapannya termaktub dalam dalil al-Qur’ân, as-Sunnah atau
ijmâ’. Adapun hukum yang berketatapan berdasarkan qiyâs atau yang dalil lainnya, maka tidak
dibenarkan untuk dijadikan sebagai hukum utama dalam praktik qiyâs. Ini adalah syarat paling
pokok pada hukum utama, walau sejatinya para Ulama’ merinci lebih jauh dari apa yang
dipaparkan di sini.

Rukun Kedua : ‘Illah (Alasan Penetapan Hukum Pada Masalah Utama)

Qiyâs atau analogi ialah suatu praktik penyamaan antara hukum masalah utama dengan masalah
cabang. Penyamaan ini berlandaskan adanya kesamaan dalam alasan hukum atau yang masyhur
disebut dengan ‘illah. Bila demikian, berarti pada setiap qiyâs pasti terdapat ‘illah yang
mempersatukan antara kedua masalah.

Ulama’ ahli ushul fiqih telah bersepakat bahwa ‘illah yang berperan sebagai pemersatu ini
haruslah memenuhi beberapa kriteria berikut :
1. Dia adalah sesuatu yang bersifat maknawi yang benar-benar berperan utama dalam
keberadaan hukum pada masalah utama dan cabang. Sehingga, setiap kali ia ada, hukumnya juga
ada. Dan sebaliknya, setiap kali dia tiada, maka hukumnya juga hilang atau tiada. Contoh,
menurut madzhab Maliki, alasan penetapan hukum-hukum riba perniagaan (riba fadhl) pada
kurma dan gandum ialah karena keduanya sebagai makanan pokok yang dapat disimpan.
Berdasarkan ini mereka berpendapat bahwa setiap makanan pokok yang dapat disimpan berlaku
padanya hukum-hukum riba perniagaan.

2. Illah harus nampak nyata, sehingga dengan mudah diidentifikasi atau dikenali. Syarat ini
bertujuan agar penyamaan antara hukum masalah cabang dengan masalah utama dapat dilakukan
dengan mudah.

3. Pemersatu tersebut adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur’ân dan
hadits. Karena qiyâs hanya berkekuatan hukum dalam kondisi darurat, yaitu ketika tidak
ditemukan dalil al-Qur’ân, as-Sunnah atau Ijmâ’.

Rukun Ketiga : Masalah Cabang.

Karena tujuan qiyâs ialah mengetahui hukum masalah cabang, maka suatu hal yang alami bila
masalah cabang ialah :

1.Masalah yang belum memiliki ketetapan hukum dalam dalil al-Qur’ân, as-Sunnah atau Ijmâ’.

2. Masalah cabang adalah masalah baru, terjadi setelah penetapan hukum pada masalah utama.

3. Pada masalah cabang terdapat makna pemersatu ‘illah yang ada pada masalah utama.

Rukun Keempat : Hukum Masalah Cabang

Hukum masalah cabang ialah hasil akhir dari praktik qiyâs. Karenanya, bila Anda telah berhasil
menemukan hukum pada masalah cabang, maka Anda telah sukses menjalankan qiyâs. Hanya
saja, Anda perlu tahu, apakah hasil qiyâs Anda tepat atau salah ? Tepat atau tidaknya proses
qiyâs Anda, dapat dikenali dengan mengenali kriteria hukum masalah cabang. Ulama’ ahli ushul
fiqih telah menjelaskan bahwa hukum hasil qiyâs Anda harus sama dengan hukum pada masalah
utama. Bila hukum hasil qiyâs anda berbeda dengan hukum pada masalah utama, maka ini
menjadi bukti bahwa qiyâs Anda salah, atau yang sering disebut oleh para ulama’ dengan
sebutan qiyâs ma’al farqi. Yaitu memaksakan qiyâs masalah cabang dengan masalah utama,
padahal antara keduanya terdapat perbedaan mendasar.

Dengan demikian tidak dapat diterima bila hukum masalah utama wajib, sedangkan hasil qiyâs
pada masalah cabang adalah hukum sunnah. Sebagaimana tidak dapat diterima qiyâs gaji
(profesi) dengan hasil tanaman dalam hal zakat, karena zakat pertanian adalah 10% atau 5 %,
sedangkan menurut penggiat zakat profesi, zakat profesi sebesar 2,5 %.

Penjelasan tentang rukun-rukun qiyâs ini saya sarikan dari kitab Irsyâdul Fuhûl karya Imam as-
Syaukâni, 2/149-166

SYARAT-SYARAT QIYAS

Ulama’ ahli ilmu Ushûl Fiqih telah membahas masalah ini dengan panjang lebar. Dari penjelasan
mereka, dapat disarikan beberapa persyaratan berikut :

1. Hukum masalah utama ditetapkan berdasarkan dalil dari al-Qur’ân, as-sunnah atau ijmâ’
Ulama’

2. Alasan (‘illah) penetapan hukum masalah utama dapat diketahui dengan logika, sehingga
alasan ini dapat diterapkan pada masalah cabang

3. Alasan penetapan hukum pada masalah utama didapatkan pula pada masalah cabang yang
akan diqiyaskan

4. Tidak ditemukan dalil khusus yang menetapkan suatu hukum pada masalah cabang yang akan
diqiyaskan

5. Proses qiyâs akan menghasilkan hukum yang sama dengan hukum yang pada masalah utama.
Dengan demikian tidak dapat diterima bila hukum masalah utama wajib, sedangkan hasil qiyâs
pada masalah cabang adalah hukumnya sunnah. Sebagaimana tidak dapat diterima qiyâs gaji
(profesi) dengan hasil tanaman dalam hal zakat, karena zakat pertanian adalah 10% atau 5 %,
sedangkan menurut penggiat zakat profesi, zakat profesi sebesar 2,5 %

6. Alasan penetapan hukum pada masalah utama dapat diketahui dengan jelas, sebagaimana yang
telah dijabarkan oleh para Ulama’ ahli ushul fiqh

7. Alasan yang dijadikan penyatu antara masalah utama dengan masalah cabang adalah suatu hal
yang dipertimbangkan dalam syari’at dan benar-benar memiliki pengaruh pada penetapan hukum

8. Qiyâs hanya berlaku pada hukum-hukum praktis, yaitu hukum yang ada kaitannya dengan
amaliyah atau praktek . Sedangkan dalam urusan akidah atau idiologi maka qiyâs tidak dapat
dijadikan dasar hukum, terlebih-lebih bila bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur’ân dan as-
sunnah

QIYAS SEBAGAI DALIL DALAM AGAMA

Imam Syâfi’i rahimahullah berkata, “Setiap urusan yang menimpa seorang muslim pastilah ada
penjelasan tentang hukumnya atau petunjuk yang menunjukkan jalan kebenaran tentangnya.
Karenanya, bila telah ditemukan hukum khusus tentang masalahnya, maka ia wajib untuk
mengamalkanya. Namun bila tidak ditemukan hukum khusus tentang masalahnya, maka ia wajib
mencari petunjuk menuju jalan kebenaran yaitu dengan berijtihad. Dan yang dimaksud dengan
ijtihad ialah qiyâs.” [ar-Risâlah, hlm. 477].

Imam Syâfi’i rahimahullah menganggap bahwa qiyâs adalah ijtihad yang semestinya dilakukan
oleh seorang Ulama’ ketika tidak menemukan hukum suatu masalah dalam al-Qur’ân dan as-
Sunnah. Ini bukanlah klaim yang tanpa dasar, akan tetapi sebaliknya. Klaim ini adalah hasil
kajian panjang beliau t , dari berbagai dalil dalam syari’at. Beliau t mendapatkan praktek dan
contoh nyata dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan kepada sahabatnya agar
senantiasa menyamakan antara dua hal yang serupa dan membedakan antara dua hal yang
berbeda.

Berikut beberapa praktek qiyâs yang dicontohkan Nabi kepada sahabatnya :


Pertama :

Pada suatu hari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu mengadu kepada Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata, “Pada hari ini aku telah melakukan kesalahan besar, yaitu aku
mencium (istriku), padahal aku sedang berpuasa. Menanggapi pengaduan sahabatnya ini,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫ فَ ِفيم‬:‫سلَّ َم‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ْ ‫ َال بَأ‬: ُ‫صائِ ٌم ؟ فَقُ ْلت‬
ُ ‫س بِذَلِكَ فَقَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ َ َ‫ض َمضْتَ ِب َماءٍ َوأ َ ْنت‬
ْ ‫أَ َرأ َ ْيتَ لَ ْو ت َ َم‬

Apa pendapatmu bila engkau berkumur-kumur dengan air, padahal engkau sedang berpuasa ?
Sahabat Umar menjawab, “Tentu tidak masalah.” Mendengar jawaban demikian, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya dengan bersabda, “Lalu mengapa engkau risau ?
[Riwayat Ahmad dan lainnya]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pada hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengingatkan bahwa muqadimah (permulaan) suatu hal yang terlarang tidak serta merta
terlarang pula. Ciuman yang merupakan permulaan hubungan badan, tidak serta merta haram
hanya karena hubungan badan bagi orang yang sedang berpuasa itu haram. Demikian pula
dengan memasukkan air ke mulut yang merupakan permulaan dari meminumnya. Permulaan
meminum yaitu berkumur-kumur juga tidak haram.” [I’ilâmul Muwaqqi’în, 4/174]

Kedua :

‫غَلَ ًما‬
ُ ‫ت‬ ْ َ‫َّللاِ ِإ َّن ْام َرأَتِى َولَد‬ ُ ‫ى فَقَا َل يَا َر‬
َّ ‫سو َل‬ ٌّ ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – َجا َءهُ أَع َْرا ِب‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫َع ْن أ َ ِبى ه َُري َْرة َ – رضى هللا عنه أ َ َّن َر‬
َ‫ قَا َل « فَأَنَّى َكان‬. ‫ قَا َل نَعَ ْم‬. » َ‫ قَا َل « فِي َها ِم ْن أ َ ْو َرق‬. ‫ قَا َل ُح ْم ٌر‬. » ‫ قَا َل « َما أ َ ْل َوانُ َها‬. ‫ قَا َل نَعَ ْم‬. » ‫ فَقَا َل « ه َْل لَكَ ِم ْن إِبِ ٍل‬. َ‫أَس َْود‬
‫ متفق عليه‬. » ‫ قَا َل « فَلَعَ َّل ا ْبنَكَ َهذَا نَزَ َعهُ ِع ْر ٌق‬. ُ‫عه‬ َ َ‫ قَا َل أ ُ َراهُ ِع ْر ٌق نَز‬. » َ‫ذَلِك‬

Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu mengisahkan, “Ada seorang arab baduwi yang
bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya
istriku melahirkan seorang anak berkulit hitam (sedangkan aku berkulit putih).” Mendengar
keluhan sahabatnya ini, Rasûlullâh balik bertanya, “Apakah engkau memiliki onta ?” Penanya
menjawab, “Ya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa warna kulit onta-ontamu
?” Sahabat itu menjawab, “Putih kemerah-merahan.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanyalagi, “Apakah ada dari ontamu yang berkulit hitam keabu-abuan ?” Ia menjawab, “Ya.”
Nabi melanjutkan pertanyaannya, “Darimanakah datangnya warna kulit onta itu ?” Penanya
berusaha menjelaskan dengan berkata, “Menurutku dahulu ada dari induknya yang berwarna
demikian.” Mendengar penjelasan itu, Nabi balik berkata, “Mungkin juga anakmu menuruni
warna kulit salah seorang nenek moyangnya.” [Riwayat Bukhâri, no.6455 dan Muslim, no. 1500]

Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah mengatakan, ”Pada hadits ini terdapat perumpamaan,
menyerupakan suatu hal yang dipersoalkan dengan hal yang telah diketahui bersama, guna
mendekatkan pemahaman. Dan hadits ini merupakan dasar penggunaan qiyâs.” [Fathul Bâri,
9/444]

Ketiga :

Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Ada seorang wanita datang
menjumpai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia bertanya, “Sesungguhnya ibuku
meninggal dunia dan meninggalkan kewajiban berpuasa sebulan, apakah boleh bagiku untuk
menebusnya ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

َ ‫َّللاِ أَ َح ُّق أَ ْن يُ ْق‬


‫ضى‬ ْ َ‫ قَال‬.ُ‫اضيَتَه‬
َّ ُ‫ فَدَ ْين‬: ‫ قَا َل‬,‫ نَ َع ْم‬: ‫ت‬ ِ ‫لَ ْو َكانَ َعلَى أ ُ ِم ِك دَي ٌْن أ َ ُك ْن‬
ِ َ‫ت ق‬

Andai ibumu menanggung piutang, apakah engkau sudi untuk melunasinya ? Wanita itu
menjawab, “Tentu.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya dengan bersabda,
“Sesungguhnya piutang milik Allâh lebih layak untuk ditebus.” [Riwayat Bukhâri, no. 1754 dan
Muslim, no. 1148]

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Pada hadits ini terdapat petunjuk tentang benarnya
qiyâs, yaitu pada sabda beliau, “Sesungguhnya piutang milik Allâh lebih layak untuk ditebus.”
[Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, 8/26].

Berbagai dalil di atas merupakan bukti bahwa qiyâs adalah salah satu dasar pengambilan hukum
dalam syari’at Islam.
QIYAS TERCELA DAN QIYAS TERPUJI

Walaupun tidak diragukan tentang status qiyâs sebagai dalil hukum dalam syari’at, namun bukan
berarti semua bentuk qiyâs dibenarkan dalam syari’at.

Al-Karmani rahimahullah mengatakan, “Ada dua jenis qiyâs. Pertama, qiyâs yang benar, yaitu
qiyâs yang memenuhi berbagai persyaratannya. Kedua, qiyâs yang salah, yaitu yang tidak
memenuhi persyaratannya. Qiyâs yang inilah yang tercela, sedangkan qiyâs yang benar, maka
dia tidak tercela, bahkan dianjurkan. [Fathul Bâri oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah,
13/297]

Bila faktanya demikian, maka sudah sepantasnya bila anda bersikap waspada, sehingga tidak
gegabah dalam menerapkan qiyâs atau menerima hasil qiyâs orang lain. Karena kecerobohan
anda dapat berakibat fatal dan menyengsarakan anda.

Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan, “Segala bentuk amalan bid’ah dan pendapat sesat yang
disusupkan ke dalam agama para rasul berawalkan dari qiyâs yang salah.” [I’ilâmul Muwaqqi’în,
2/29].

ANDA BERHAK BERDALIL DENGAN QIYAS ?

Untuk mengetahui apakah anda berhak untuk berdalil dengan qiyâs atau tidak ? Saya ajak anda
untuk mencermati beberapa ucapan Imam Syâfi’i rahimahullah, beliaulah ulama pertama yang
membukukan ilmu ushûl fiqh berikut :

“Tidak dibenarkan untuk berdalil dengan qiyâs selain orang yang telah menguasai ilmu
pendukung qiyâs yang terdiri dari :

1. Ilmu hukum-hukum al-Qur’ân, yang wajib, sunnah, penganulir (nâsikh) dan yang dianulir
(mansûkh), yang bersifat umum, khusus dan berbagai petunjuknya.
2. Selanjutnya ia menguraikan ayat-ayat yang terkesan multi tafsir dengan bantuan hadits-hadits
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bila ia tidak menemukannya dalam hadits, maka ia
mencari petunjuk dari ijmâ’ Ulama’. Dan bila ia tidak menemukan kesepakatan Ulama’, maka ia
dapat mencari petunjuk dari qiyâs.

Tidak dibenarkan bagi siapapun untuk berdalil dengan qiyâs hingga ia menguasai seluruh hadits
yang diriwayatkan sebelumnya, berbagai keterangan Ulama’ terdahulu, kesepakatan Ulama’,
perselisihan mereka dan juga menguasai bahasa arab. Sebagaimana ia tidak dibenarkan berdalil
dengan qiyâs hingga terbukti ia memiliki kecerdasan, sehingga ia mampu membedakan antara
hal-hal yang terkesan serupa. Ditambah lagi, hendaknya ia berlaku hati-hati dan tidak terburu-
buru dalam menarik kesimpulan sebelum ia memastikan kebenaran dari kesimpulannya. ….
Adapun orang yang memiliki kecerdasan akan tetapi ia tidak menguasai berbagai ilmu
pendukung yang telah saya jelaskan, maka tidak halal baginya untuk berdalil dengan qiyâs. Yang
demikian itu dikarenakan ia tidak mengetahui dalil-dalil yang dapat ia jadikan dasar bagi
qiyâsnya. Layaknya seorang ahli fiqih yang cerdas, maka tidak boleh untuk mengutarakan
pendapatnya tentang nilai tukar uang dirham, padahal ia tidak mengetahui harga pasarannya.
Adapun orang yang menguasai berbagai disiplin ilmu yang telah saya sebutkan hanya dengan
menghafalnya tanpa memahaminya dengan utuh, maka ia juga tidak layak untuk berdalil dengan
qiyâs, karena bisa saja ia tidak memahami kandungan makna dalil-dalil yang ada.

Demikian pula halnya dengan orang yang kuat hafalannya akan tetapi ia kurang cerdas, atau
kurang menguasai bahasa arab. Ia juga tidak berhak untuk berdalil dengan qiyâs, karena ia
kurang pandai dalam memahami berbagai disiplin ilmu pendukung dalil qiyâs. Dan menurut
pendapatku, orang yang demikian ini halnya tidak halal untuk mengutarakan suatu pendapat –
wallahu a’alam- kecuali dengan mengikuti Ulama’ lain dan tidak berdalil sendiri dengan qiyâs.”
[ar-Risâlah, hlm. 509-511]

Jujur saja saudaraku ! Bagaimana perasaan Anda tatkala membaca penjelasan Imam Syafi’i
rahimahullah di atas ? Setelah membaca ucapan beliau rahimahullah ini, sudahkah anda merasa
layak untuk berdalil dengan qiyâs ?

KAPAN ANDA BOLEH BERDALIL DENGAN QIYAS ?

Mungkin saat ini Anda bergumam dan berkata, “Begitu sulitnya untuk bisa berdalil dengan
qiyâs.” Dan mungkin juga Anda bertanya, “Sejatinya, seberapa jauh peranan dalil qiyâs dalam
penetapan hukum syari’at ?”
Untuk mengobati rasa penasaran Anda, kembali saya mengajak Anda untuk merenungkan
penegasan Imam Syâfi’i rahimahullah. Rasa penasaran Anda jauh-jauh hari telah beliau
rahimahullah sediakan penawarnya. Simak dan camkanlah jawaban beliau berikut :

“Kami menentukan suatu hukum dengan dasar kesepakatan hasil ijtihâd Ulama’ dan juga qiyâs,
dan ini adalah dalil yang jauh lebih lemah bila dibanding dengan dalil al-Qur’ân dan as-Sunnah.
Akan tetapi pengambilan dalil dari kesepakatan hasil ijtihâd dan qiyâs ini kami lakukan ketika
dalam keadaan darurat. Sejatinya tidak halal berdalil dengan qiyâs selama ditemukan dalil dari
al-Qur’ân dan as-Sunnah. Sebagaimana tayammum, dia dianggap sebagai kesucian ketika dalam
perjalanan dan kesulitan menemukan air. Tayammum tidak dianggap sebagai kesucian bila Anda
mendapatkan air. Tayammum hanya dianggap sebagai kesucian bila sedang dalam kesulitan
untuk mendapatkan air.” [ar-Risâlah, hlm. 509-600].

Demikianlah kedudukan qiyâs yang sebenarnya sebagai dalil hukum dalam syari’at. Qiyâs hanya
berlaku ketika tidak ada penjelasan hukum dalam al-Qur’ân dan as-Sunnah. Adapun bila pada
suatu masalah ditemukan dalil dari al-Qur’ân dan as-Sunnah, maka anda tidak dibenarkan untuk
berdalil dengan qiyâs dan menghasilkan kesimpulan hukum yang menyelisihi keduanya. Seluruh
Ulama’ telah bersepakat bahwa qiyâs yang menghasilkan kesimpulan hukum yang menyelisihi
ayat atau hadits adalah qiyâs tidak sah atau disebut fasidul i’itibar (tidak pada tempatnya).. [al-
Ihkâm Fi Ushûlil Ahkâm oleh al-Aamidi, 4/76 dan Irsyâdul Fuhûl oleh as-Syaukâni, 2/158]

PENUTUP

Demikian selayang pandang tentang dalil qiyâs yang pada zaman sekarang sering disalah pahami
oleh sebagian umat Islam. Qiyâs yang sejatinya hanya menjadi dalil pada kondisi darurat, yaitu
ketika tidak ditemukan dalil al-Qur’ân dan as-sunnah, akan tetapi pada zaman sering
dipertentangkan dengan keduanya. Sebagaimana qiyâs hanya boleh digunakan oleh orang yang
benar-benar mumpuni, akan tetapi sekarang, banyak orang yang lancang menggunakannya untuk
membenarkan sikap dan pendapatnya. Semoga penjelasan singkat ini mampu membuka
wawasan Anda tentang dalil qiyâs sebagaimana yang dipahami oleh Ulama’-ulama’ kita.
Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
858197 Fax 0271-858196]

Read more https://almanhaj.or.id/3601-selayang-pandang-tentang-qiyas.html

Anda mungkin juga menyukai