Anda di halaman 1dari 5

Letnan Jenderal Wiranto adalah seorang purnawirawan berhati luhur sederhana, lahir dari keluarga

sederhana yang awalnya berniat menjadi guru SD tapi perang membuat jalan hidupnya berbeda, ia
malah menjadi tentara dan karirnya meroket dalam dunia ketentaraan, ia turut andil dalam membasmi
pemberontakan saat republik muda ini belum lama berdiri. Karir pesat yang diraihnya, Letjen Wiranto
selalu mengatakan bahwa sebenarnyalah ia hanya orang udik yang didorong ke atas hingga ia menduduki
berbagai jabatan bergengsi, di antaranya sempat menjadi duta besar di London, Inggris, dan terakhir
menjadi Komisaris Bank Pusat Negara. Sang Letjen mantan duta besar dan Komisaris Bank Pusat Negara
ini memiliki seorang istri yang menurut putri bungsunya adalah wanita yang cantik tapi sayang-tidak-
peka-humor, Serafin Yuniati, peranakan Jawa-Kawanua, Manado. Mereka berdua merupakan manusia
konvensional, generasi kemerdekaan yang hidupnya sarat perjuangan dan revolusi dengan lima orang
anak pascakemerdekaan yang kesemuanya saling bertentangan satu sama lain, menjelajah dunia dengan
cara mereka masing-masing. Kelimanya merupakan burung-burung rantau yang tak lagi merasa terikat
sebagai orang Indonesia, walau tak pernah menampik, dan bukannya tidak nasionalis, dalam tubuh
mereka mengalir darah Indonesia dalam hal ini Jawa-Manado, namun mereka adalah manusia-manusia
Pascaindonesia.

Putri pertama pasangan Letjen Wiranto dan Yuniati adalah Anggraini Primaningsih atau lebih akrab
disapa Anggi, seorang wanita karir, pengusaha sukses yang serba mandiri, fleksibel dan lihai dalam
membuat celah peluang demi kepentingannya pribadi, membuat bingung orangtuanya, tak tahu
darimana bakat bisnisnya itu menurun.

Anak kedua mereka sekaligus putra sulung adalah Wibowo Laksono atau Bowo, doktor fisika-nuklir, anak
kesayangan Yuniati yang lebih suka menetap di Jenewa, Swiss, bekerja di laboratorium internasional
CERN dan menikah dengan seorang wanita Yunani, Agatha Anaxopoulos.

Letkol Candra Sucipto, anak ketiga pasangan Wiranto-Yuniati adalah pilot pesawat tempur. Menurut Neti,
adiknya, Candra jiwanya memang batu kasar seperti Bima Werkudara, tetapi pada dasarnya hatinya
intan. Di awal-awal kisah Candra memang terlihat kasar dan jiwanya yang seorang pilot pesawat tempur
nyata tergambar dengan semangat meledak-ledak ingin menghancurkan segala macam yang dibenci,
seperti ketika adik bungsunya, Edi meninggal karena jerat narkoba. Saat mendapat kesempatan
bergabung dalam sebuah aksi penyergapan ke jantung sindikat narkoba di Bogota, bersama pasukan anti
narkoba Amerika, dalam percakapannya dengan ayahnya, Candra mengungkapkan gejolak emosinya,
darahnya terasa mendidih, ungkapnya, saat teringat nasib malang Edi, adiknya yang meninggal akibat
kekejaman para gembong-gembong narkoba itu yang tega menjerat hidup anak-anak muda labil macam
Edi, adik bungsunya itu.
Meski terkesan keras dan serba suka sembarang hantam, tapi Candra juga terlihat merupakan kakak
yang bijak dan sangat menyayangi adik perempuannya, Marineti Dianwidhi, yang memiliki nama
panggilan Neti. Setelah kematian Edi, praktis Neti menjadi anak bungsu pengganti Edi yang malang itu.
Sebenarnya pula Neti yang paling terluka akibat kematian Edi, adik bungsunya. Terlebih mereka berdua
sangat dekat sejak kecil. Dan sejak kecil pula, Edi sudah terlihat pribadinya paling lembut dan halus
dibanding kakak-kakaknya. Neti bisa dibilang sudah bagai orangtua bagi Edi mengingat ayah dan ibu
mereka yang sangat sibuk. Bahkan Neti seorang yang hadir di saat terakhir Edi menghembuskan nafas
terakhirnya. Di atas pangkuan Neti, kakaknya seorang yang paling memahaminya, Edi malang itu
menemui ajalnya.

Sebuah kesalahan fatal Wiranto adalah sebagai ayah ia kurang memahami kelembutan jiwa dan hati
putra bungsunya yang malang itu kala di suatu hari Edi yang gemar menggambar membuat sebuah
lukisan wajah Karl Marx, tokoh pencetus paham komunisme membuat Wiranto, ayahnya berang bukan
main dan merobek-robek gambar coretan tangan putra bungsunya yang begitu terluka atas perbuatan
ayahnya.

Sebagai panglima perang, Wiranto begitu hebat gagah membasmi gerakan-gerakan pemberontakan di
pedalaman nusantara yang menggerogoti perjalanan awal republik muda ini, tapi justru terhadap anak-
anaknya sendiri Wiranto memang tak berdaya sama sekali. Tanpa disadarinya, saat merobek-robek
lukisan wajah Karl Marx karya anak bungsunya itu, ia telah pula merobek-robek hati putra bungsunya
yang hatinya kelewat lembut dan halus itu, hal yang baru terakhir disadarinya, tapi sayangnya terlambat,
anaknya yang berjiwa labil itu mencetuskan pemberontakannya dalam jeratan narkoba yang
memberinya dunia ilusi semu berujung pada kematiannya. Duka dan sesal yang harus ditanggung
seluruh anggota keluarga Wiranto.

Meski senantiasa dibayangi kenangan sendu akan Edi, tapi hidup menawarkan pula segala macam
keindahan dalam kesedihan. Marineti Dianwidhi, anak keempat sekaligus putri bungsu keluarga Letjen
Wiranto, sarjana antropolog dan tengah melanjutkan ke jenjang S2, yang merupakan tokoh sentral dari
novel ini melalui sikap cerianya yang suka menggoda ibunya yang cantik-tapi-sayang-tidak-peka-humor
itu.

Neti, anak manja tapi juga sangat dewasa bertanggung jawab, memilih menjadi sosiawati, atas inisiatif
pribadi, seorang diri menjadi guru anak-anak keluarga kumuh di bawah jembatan, walau ia akui aksi
sosialnya itu tak sepenuhnya murni melainkan didasari rasa sakit hatinya akibat kematian adiknya yang
malang tapi toh pada akhirnya Neti benar-benar menghayati sepenuhnya tindakan mulianya ini.
Kegiatan sosialnya ini pula yang membawa Neti berjumpa dengan Gandhi Krishnahatma, seorang
pemuda asal Punjab, India dari kalangan Brahmana yang selalu terikat pada karma, dalam sebuah
konferensi untuk pekerja sosial antar negara Asia di India. Nama Gandhi itu memang diberikan
orangtuanya karena ia dilahirkan di hari ulangtahun Mahatma Gandhi dan tentunya dengan harapan ia
memiliki kebijakan hati seperti Mahatma Gandhi. Nyatanya pula, meski sebagai seorang pemuda dari
kalangan atas dengan kekayaan melimpah, tapi Krish, panggilan Neti untuk sahabatnya dari India ini,
memiliki hati yang amat mulia seperti Mahatma Gandhi, tokoh perjuangan perdamaian India yang justru
menemui ajalnya di tangan seorang penganut Hindu fanatik. Kelembutan hati pemuda Punjab inilah yang
membuat Neti jatuh hati. Mereka kembali bertemu saat pesta pernikahan Bowo - Agatha di Yunani.
Dalam perjalanan wisata ke beberapa tempat wisata terkenal di Yunani bersama Krish dan Candra, usai
pernikahan Bowo-Agatha, perasaan Neti terhadap Gandhi Krishnahatma, ilmuwan mikro biologi yang
tengah mempersiapkan diri untuk jadi doktor bioteknologi di Heidelberg ini pun makin dalam. Tapi
kendalanya adalah suasana muram India yang senantiasa terikat aturan kasta dan karma, membuat
perasaan Neti gamang.

Di samping itu, walau tak memperlihatkan penolakan, Yuniati, ibunda Neti yang cantik tapi tidak peka
humor itu, menghadapi dilema, di satu sisi, ia gembira karena ternyata toh putri bungsunya yang selalu
berikrar tak ingin menikah ini, akhirnya bisa juga jatuh cinta, tapi di sisi lain, latar belakang pria yang
telah mengharu-biru perasaan putrinya terlalu rumit. Krish, memang merupakan putra dari pengusaha
media Punjab yang kaya raya, tapi Krish adalah seorang duda beranak satu, belum lagi India, negeri
asalnya yang diikat oleh pembagian nasib bernama kasta dan karma, membuat hati masygul. Namun
pada akhirnya semua kegelisahan dan kegamangan itu terjawab. Krish yang senantiasa terikat oleh
karma, nyatanya tak bisa menolak desakan orangtuanya untuk menikahi seorang kerabatnya yang telah
dijodohkannya dan disebut sebagai karmanya. Meski pedih, tapi toh Neti adalah Neti, gadis manja, putri
bungsu Letjen Wiranto, hidupnya terus berjalan, dan ia justru bisa menemukan kekuatannya di tengah
kawasan kumuh di kolong jembatan bersama anak-anak malang secara ekonomi tapi tak mampu
memudarkan semangat, keceriaan masa kanak-kanak, dan wanita-wanita sederhana yang walau sikap
dan perilakunya tak seelegan, seanggun ibu-ibu pejabat, tapi toh hati mereka sebenarnya murni indah.
Mereka yang sebenarnya adalah juga burung-burung rantau kehidupan.

Catatan: Sebagai sebuah novel filsafat, tentu saja pembaca akan dibawa pada kedalaman kata yang
mungkin akan membuat kening berkerut dalam, meski begitu, jalan ceritanya cukup ringan mengalir
membawa para pembacanya hanyut pada kedalaman berpikir para tokohnya. Perpaduan berpikir antara
kaum teknokrat yang digambarkan melalui tokoh Candra, si pilot pesawat tempur itu dan Bowo,
abangnya yang profesor fisika nuklir dan astro-fisika dengan pandangan humanis Neti, si antropolog
sekaligus sosiawati, juga tak kalah mengesankan, yang disampaikan dengan bahasa yang ringan dan
mudah dipahami sehingga mampu menggugah hati dan pikiran kita. Belum lagi pemilihan kata-kata khas
Y.B. Mangunwijaya yang lugas membuat novel ini makin menarik seperti dalam halaman 55 dalam
kenangan Neti akan percakapannya dengan almarhum adiknya, Edi:
"Kaukira manusia berbakat untuk melupakan masa lampau? Aku tidak mudah, mungkin orang lain bisa?"

Percakapan antara Neti dengan ayahnya di makam Edi, membahas soal korban dan pelaku, dalam
halaman 56:

"Anehnya, dalam manusia tokoh pelaku dan sosok korban sulit dibedakan satu dari yang lain. Dalam hal
ini memang benar kau: kita bukan hanya boneka wayang yang digerak-gerakkan oleh Ki Dalang, tetapi
pelaku otonom seratus persen tidak juga."

Simak juga kalimat menarik dalam halaman 87 mengenai pemikiran Neti yang membuat abangnya,
Candra, si pilot pesawat tempur spontan mengingatkan Neti bahwa pemikirannya itu berbahaya dan
salah-salah bisa menyebabkan perang saudara:

'Pernah dalam suatu anggar pendapat dengan Mas Candra sang pilot ulung itu, abangnya marah karena
Neti mengungkapkan pengamatannya, bahwa rupa-rupanya ada keharusan faktual, bahkan mungkin
prinsipial, pesawat hanya dapat lepas bila ada landasan, landasan yang stabil dari beton bertulang atau
batu beraspal. Teori-teori yang bertebaran memang mengingkari, tetapi kenyataan menunjukkan betapa
kemajuan masyarakat kalangan atas hanya dapat lepas meninggi ke udara apabila ada lempeng-lempeng
masyarakat lain yang terpaksa mau diinjak roda-roda pesawat.'

"Sejarah bukan monopoli satu-dua bangsa."

"Kematian diganti kehidupan yang tumbuh dalam benih dunia lain, seperti manusia pun demikian"

"Berpolitik adalah merealisasikan diri selaku manusia yang bertanggung jawab kepada diri sendiri,
keluarga maupun masyarakat."

Pemaparan mengenai manusia yang pada dasarnya tak memiliki apa-apa selain akal budinya, seperti
yang disampaikan dalam halaman 238 pun tak kalah menarik menggugah daya pikir:
"... betapa manusia adalah satu-satunya makhluk dunia yang serba kurang. Menghadapi burung dia tidak
bisa terbang. Menghadapi ikan dia tidak bisa menang berenang dalam air. Berpacu dengan kuda dia
kalah. Melawan badak dia lemah; kemampuan tubuh untuk dapat menembus tanah nyaris nol bila
disuruh melawan tikus atau ular. Tetapi manusia punya otak, dan inilah yang dimanfaatkan sampai sel da

Anda mungkin juga menyukai