Anda di halaman 1dari 16

LAND USE PLANNING

Ariesta Nugraha/170406095
Departemen Arsitektur, Universitas Sumatera Utara
Jl. Abdul Hakim No.1, Medan Telp. (061) 8211633
Email : arisarisaris0028500285@gmail.com

Abstrak
Pertambahan jumlah penduduk, peningkatan kualitas hidup, dan kesejahteraan
masyarakat berimplikasi terhadap meningkatnya berbagai kebutuhan dan fasilitas yang
semuanya membutuhkan lahan. Sementara itu, jumlah lahan relative tetap sehingga
sering menimbulkan permasalahan dalam penggunaan lahan wilayah pedesaan dan kota.
Pada saat jumlah penduduk masih relatif sedikit penggunaan lahan untuk berbagai
keperluan masih bisa dilakukan secara sederhana dengan memilih lahan-lahan yang
sesuai untuk penggunaan tertentu yang dibutuhkan. Sebaliknya, pada saat jumlah
penduduk banyak dengan beragam kebutuhan sesuai dengan tuntunan zaman,
pengalokasian lahan sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan secara tradisional
sehingga perlu dilakukan secara rasional melalui kegiatan evaluasi sumber daya lahan
dan dilanjutkan dengan perencanaan penggunaan lahan. Hal ini penting agar lahan yang
jumlahnya terbatas dapat dioptimalkan penggunaannya melalui cara yang rasional, paling
sesuai dengan sifat dan karakteristik utama lahan tersebut dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.

Pengalokasian lahan (ruang) selain mempertimbangkan kesesuaian lahan dan


ketersediaan lahan juga merupakan seni (art) untuk bisa memenuhi berbagai jenis
kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders), baik pemerintah, masyarakat, kalangan
pengusaha/ swasta.

Evaluasi sumberdaya dapat memberikan informasi tentang lahan-lahan yang


berpotensi untuk pembangunan, yang selanjutnya dapat digunakan dalam menyusun
rencana penggunaan lahan. Hasil evaluasi lahan ini sangat dibutuhkan sebagai landasan
ilmiah dalam pengalokasian ruang pada Rencana Tata Ruang Wilayah dari mulai dari
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota, baik di kawasan pedesaan maupun
perkotaan. Dengan demikian, akurasi Rencana Tata Ruang Wilayah yang disusun akan
tinggi dan dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang dan penggunaan
lahan wilayah secara optimum dan berkelanjutan.

Kata Kunci. penggunaan lahan, penduduk, kebutuhan, Rencana Tata Ruang Wilayah

Pendahuluan

Tata guna lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan penggunaan lahan
dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi
tertentu,misalnya fungsi pemukiman, perdagangan, industri, dan lain sebagainya. Rencana tata
guna lahan merupakankerangka kerja yang menetapkan keputusan-keputusan terkait tentang
lokasi, kapasitas dan jadwalpembuatan jalan, saluran air bersih dan air limbah, gedung sekolah,
pusat kesehatan, taman dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya. Tata guna lahan
merupakan salah satu faktor penentu utama dalam pengelolaan lingkungan. Keseimbangan
antara kawasan budidaya dan kawasan konservasi merupakan kunci dari pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Perencanaan tata guna lahan (Land Use Planning) adalah inti praktek perencanaan
perkotaan. Sesuai dengan kedudukannya dalam prencanaan fungsional, perencanaan tata guna
lahan merupakan kunci untuk mengarahkan pembangunan kota. Hal itu ada hubungannya dengan
anggapan lama bahwa seorang perencana perkotaan adalah “seorang yang berpengetahuan
secara umum tetapi memiliki suatu pengetahuan khusus.” Pengetahuan khusus kebanyakan
perencana perkotaan ialah perencana tata guna lahan. Pengembangan tata guna lahan yang
disesuaiakan dengan meningkatkan perekonomian suatu kota atau wilayah.

Catanesse (1988: 281), mengatakan bahwa secara umum ada 4 kategori alat-alat perencanaan
tata guna lahan untuk melaksanakan rencana, yaitu :

a. Penyediaan Fasilitas Umum


Fasilitas umum diselenggarakan terutama melalui program perbaikan modal
dengan cara melestarikan sejak dini menguasai lahan umum dan daerah milik jalan
(damija).
b. Peraturan-peraturan Pembangunan
Ordonansi yang mengatur pendaerahan (zoning), peraturan tentang pengaplingan,
dan ketentuan-ketentuan hukum lain mengenai pembangunan, merupakan jaminan agar
kegiatan pembangunan oleh sektor swasta mematuhi standar dan tidak menyimpang dari
rencana tata guna lahan.
c. Himbauan, Kepemimpinan, dan Koordinasi
Sekalipun sedikit lebih informal daripada program perbaikan modal atau
peraturan-peraturan pembangunan, hal ini dapat menjadi lebih efektif untuk menjamin
agar gagasan-gagasan, data-data, informasi dan risat mengenai pertumbuhan dan risat
mengenai pertumbuhan dan perkembangan masyarakat daat masuk dalam pembuatan
keputusan kalangan developer swasta dan juga instansi pemerintah yang melayani
kepentingan umum.
d. Rencana Tata Guna Lahan
Rencana saja sebenarnya sudah merupakan alat untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan serta saran-saran yang dikandungnya selama itu semua terbuka dan tidak basi
sebagai arahan yang secara terus-menerus untuk acuhan pengambilan keputusan baik
bagi kalangan pemerintah maupun swasta.
Suatu cara untuk melaksanakan hal itu adalah dengan cara meninjau, menyusun
dan mensahkan kembali rencana tersebut dari waktu ke waktu. Cara lain adalah dengan
menciptakan rangkaian bekesinambungan antara rencana tersebut dengan perangkat-
perangkat pelaksanaan untuk mewujudkan rencana tersebut.

Land use Planning memiliki dua aliran yaitu Mix Use Planning dan Single Use Planning :

 Mix Use Planning merupakan perencanaan suatu kawasan untuk beberapa fungsi,
industri, fungsi komersil dan sebagainya. Dengan kata lain Mix Use Planning merupakan
pemusatan kegiatan hanya dilakukan di satu kawasan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi kemacetan dan penggunaan kendaraan pribadi karena dengan jarak yang
saling berdekatan maka akan lebih mudah untuk melakukan kegiatan dengan berjalan
kaki.
 Single Use Planning merupakan perencanaan suatu kawasan dimana kawasan
pemukiman, kawasan komersil, area industri, dan sebagainya saling terpisah antar satu
sama lain.
Dalam Land Use kita harus memperhatikan land barrying capacity sehingga kita dapat
mendesain penggunaan lahan yang sesuai, baik secara fungsi, kepadatan, maupun ratio ruang
terbangunnya. Faktor yang harus dipertimbangkan dalam land barrying capacity diantaranya
adalah negative externalities, transect planning, aturan yang mengikat seperti KKOP untuk
penerbangan, daerah hutan lindung, dan lain sebagainya. Negative externalities bisa dikatakan
sebagia efek samping yang ditimbulkan dari suatu pembangunan dan aktifitasnya. Misalnya
suatu pabrik dibangun, pembangunan pabrik ini tentunya akan menghasilkan limbah yang akan
mencemari daerah di sekitarnya. Oleh karena itu pabrik ini harus menanggulangi pencemaran
yang diakibatkan dari aktifitasnya, atau dikenakan “hukuman” atau denda.

Terdapat dua pola dalam mendesain Land Use berdasarkan penyediaan pra-sarana, yaitu :
1. Infrastructure Led Development, adalah pembangunan suatu daerah dengan penyediaan pra-
sarananya dahulu baru kemudian terbentuk permukiman dan lain-lain sehingga pembangunan
akan mengikuti alur pra-sarana dan infrastruktur yang telah tersedia.

2. Infrastructure Follow Development, adalah pembangunan sauatu daerah dimana daerah itu
sudah lebih dahulu terbentuk, pemukiman telah ada sehingga pembangunan pra-sarana dan
infrastrukturnya megikuti pola yang sudah terbentuk.

Faktor-faktor yang mendorong Perlunya Landuse Planning

 Perlunya perubahan,
 Kebutuhan untuk memperbaiki pengelolaan lahan
 Kebutuhan akan pola penggunaan lahan yang berbeda.

Tujuan Land Use Planning

Tujuan adanya Land Use Planning adalah memilih dan mempraktekkan penggunaan lahan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sambil menjaga kelestarian sumberdaya lahan untuk masa
depan yang meliputi :

 Efisiensi
Penggunaan lahan harus ekonomis, sehingga salah satu tujuan tata guna lahan
adalah menyusun penggunaan lahan yang efisien dan produktif. Efisiensi dicapai dengan
mencocokkan berbagai penggunaan lahan dengan kondisi daerah, sehingga menghasilkan
manfaat terbesar dengan biaya terkecil. Untuk individu pengguna lahan, “efisiensi”
berarti keuntungan terbesar atas investasi modal dan tenaga kerja, atau manfaat terbesar
dari lahan yangtersedia. Bagi pemerintah, makna “efisiensi” lebih kompleks; mungkin
termasuk memperbaiki nilai tukar global dengan memproduksi komoditi ekspor atau
substitusi impor
 Ekuitas dan Aksebilitas
Penggunaan lahan harus dapat diterima secara sosial, mencakup keamanan
pangan, kesempatan pekerjaan, dan keamanan pendapatan di daerah pedesaan. Perbaikan
lahan dan redistribusi lahan dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan atau untuk
pengentasan kemiskinan.
 Sustalnabilitas
Penggnaan lahan yang berkelanjutan adalah yang memenuhi kebutuhan saat ini
dan pada saat yang sama juga melestarikan sumber daya lahan generasi mendatang Hal
ini memerlukan kombinasi sinergistik antara produksi dan konservasi: produksi barang
yang dibutuhkan oleh orang-orang sekarang, dikombinasikan dengan konservasi
sumberdaya lahan untuk memastikan fungsi produksinya berlanjut di masa mendatang.
Suatu komunitas yang merusak sumberdaya lahannya, pasti mengancam masa
depannya.
Penggunaan lahan harus direncanakan bagi masyarakat secara keseluruhan;
karena konservasi lahan, air dan sumberdaya lainnya sering berarti di luar
kepentingan individu pengguna lahan.

Aspek-aspek yang direncanakan dalam Land Use Planning

1. Planning for People


Kebutuhan masyarakat mendorong proses perencanaan. Petani lokal, pengguna
lahan lain, dan masyarakat luas yang bergantung pada lahan harus menerima perlunya
perubahan penggunaan lahan, karena mereka hidup dari hasil-hasil penggunaan lahan
tersebut. Perencanaan penggunaan lahan harus “positif”. Tim perencanaan harus
menganalisis kebutuhan masyarakat dan juga pengetahuan lokal, keterampilan, tenaga
kerja dan modal yang dapat berkontribusi. Hal ini berarti harus mempelajari praktik
penggunaan lahan yang ada dan mencari alternatif baru, sambil mendorong perhatian
public atas bahaya yang mungkin terjadi kalau penggunaan lahan seperti sekarang ini
diteruskan; berarti perlu perubahan.
Akseptabilitas lokal paling mudah dicapai dengan partisipasi lokal dalam
perencanaan. Dukungan dari para pemimpin lokal sangat penting; partisipasi lembaga
yang menguasai sumberdaya untuk melaksanakan rencana juga sangat penting.
2. ” Land is not the same everywhere”
Modal, tenaga kerja, keterampilan manajemen dan teknologi dapat dipindahkan
ke tempat yang membutuhkannya. Lahan tidak dapat dipindahkan, dan daerah yang
berbeda mempunyai kesempatan yang berbeda dan masalah manajemen yang berbeda
pula. Sumberdaya lahan “relatif tidak berubah” dalam jangka pendek, tetapi dapat
mengalami degradasi secara ireversible, misalnya kehilangan tanah oleh erosi. Informasi
tentang ketersediaan dan kualitas sumberdaya lahan sangat penting untuk perencanaan
tataguna lahan.
3. Teknologi.
Elemen ketiga dalam perencanaan lahan adalah IPTEK tentang penggunaan
lahan: agronomi, silvikultur, peternakan dan sarana lain yang memanfaatkan lahan.
Teknologi yang direkomendasikan haruslah teknologi tepat guna, sehingga penggunanya
mampu mengaplikasikan teknologi tersebut dengan modal, keahlian dan sumberdaya
yang dimilikinya. Teknologi baru mungkin memiliki implikasi sosial dan lingkungan
yang harus dipertimbangkan oleh perencana.
4. Integrasi.
Suatu kekeliruan dalam perencanaan lahan biasanya terjadi karena fokus yang
terlalu sempit pada sumberdaya lahan, kurang mempertimbangkan bagaimana lahan
tersebut digunakan. Lahan pertanian yang baik biasanya juga cocok untuk penggunaan
lain yang bersaing. Keputusan penggunaan lahan tidak hanya berdasarkan kesesuaian
lahan, tetapi juga mempertimbangkan permintaan akan produk-produk lain dan sejauh
mana suatu lahan diperlukan untuk tujuan khusus.
Perencanaan harus mengintegrasikan informasi tentang kesesuaian lahan,
permintaan akan produk-produk atau penggunaan alternatif , dan kesempatan untuk
memenuhi permintaan tersebut dari lahan yang tersedia, sekarang dan di masa depan.
Oleh karena itu, perencanaan penggunaan lahan tidak sektoral. Bahkan kalau rencana
difokuskan pada satu sektor tertentu, misalnya pengembangan irigasi, pendekatan terpadu
harus dilakukan sesuai dnegan perencanaan strategis di tingkatnasional, dengan rincian
masing-masing proyek dan program di tingkat kota dan kabupaten.

Peta Land Use

Peta studi Land Use berada di Kota Padang Panjang dengan fokus pada koridor jalan
lingkar utara.Secara administratif, sekitar 95% wilayah studi berada di Kecamatan Padang
Panjang Timur yang sebagian besar termasuk kedalam wilayah Kelurahan Ganting danKelurahan
Sigando serta sebagian kecil wilayah Kelurahan Guguk Malintang.

(Gambar 1. Contoh peta Land Use Wilayah Studi)

(Gambar 2. Perubahan Penggunaan Lahan di Wilayah Studi Tahun 1991-2002-2010 )


Proses Land Use Planning

Secara umum proses Land Use Planning adalah survey pendahuluan untuk memperoleh
data dasar, yang meliputi studi pustaka, survey primer di lapangan, dan mengkompilasi data
dasar menggunakan paduan peta tematik. Studi pustaka ini dipergunakan untuk mengetahui
tujuan, prinsip, dan standar minimal terkait penggunaan suatu guna lahan. Misalnya guna lahan
perumahan, perdagangan, industri, perkantoran, dsb yang memiliki karakteristik yang berbeda-
beda.

Melakukan penilaian kapabilitas lahan dari hasil survey dan menganalisis kesesuaian
lahan dengan aktivitas. Hal ini dilakukan melalui analisis SKL (satuan kemampuan lahan) yang
melihat kondisi fisik dasar suatu wilayah, persebaran sarana, dan tata guna lahan eksisting untuk
mengetahui pola aktivitas eksisting.

Identifikasi sifat dan pola perkembangan kota. Apakah terpusat atau bisa jadi meloncar (leap-
frog). Selain itu juga mengidentifikasi kawasan yang belum berkembang dan pusat-pusat
aktivitas untuk membaca pola pertumbuhan kota dan memprediksi perkembangan di masa
mendatang. Menyiapkan rencana lokasi dan tujuan untuk peruntukkan guna lahan.

Proses Land Use Planning dapat diuraikan menjadi 10 tahapan, meliputi :

1. Langkah Pertama, Menentukan Tujuan dan kerangka acuan


Tujuan dan kerangka acuan dalam hal ini pengambilan keputusan dan perencanaan
dilakukan bersama sama meliputi menentukan wilayah perencanaan, memperoleh
informasi dasar tentang wilayah, menghubungi orang terlibat, dll.
2. Langkah Kedua, Organisasi pekerjaan, meliputi :
 Membuat daftar tugas-tugas menentukan tugas prioritas;
 Membuat rencana kerja proyek;
 Membuat rencana kerja pribadi;
 Mengalokasikan anggaran dan peralatan;
 Mengatur urusan administrasi dan logistik; dan
 Menyediakan dan mengkoordinasikan dukungan teknis
3. Langkah ketiga, Menganalisis masalah, meliputi :
 Mengumpulkan data tentang situasi yang ada;
 Mengidentifikasikan dan memetakan lahan dan penggunaan lahan tsb;
 Mengidentifikasikan masalah penggunaan lahan;
 Melakukan survey dan wawancara; dan
 Membuat laporan masalah
4. Langkah keempat, Mengidentifikasi peluang untuk perubahan, meliputi :
 Identifikasi peluang untuk perubahan berdasarkan tujuan dan masalah;
 Mengisolasi masalah yang solusi selain perencanaan penggunaan lahan harus
dicari;
 Mengembangkan opsi realsitis yang paling memenuhi kebutuhan produksi;
 Konservasi, dan keberlanjutan dan meminimalkan konflik penggunaan lahan;
 Mempersiapkan anggaran garis besar dan kreangka waktu untuk setiap opsi; dan
 Menyajikan laporan masalah dan alternatif untuk perubahan dalam hal cocok
untuk diskusi public dan eksekutif
5. Langkah kelima, Evaluasi untuk kesesuaian lahan, meliputi :
 Menjelaskan jenis penggunaan lahan secara cukup rinci untuk analisis
selanjutnya;
 Memilih kualitas lahan dan karakteristik lahan yang akan digunakan dalam
perbandingan persyaratan penggunaan lahan dengan tanah;
 Peta unit lahan dan menentukan karakteristik lahan yang relevan dan memiliki
kualitas;
 Mengatur dan membatasi nilai untuk persyaratan penggunaan lahan, yang akan
digunakan untuk menentukan batas-batas kelas untuk kesesuaian lahan;
 Menyesuaikan penggunaan lahan dengan tanah;
 Peta kesesuaian lahan untuk setiap jenis penggunaan lahan; dan
 Rencana penelitian yang dibutuhkan, survey tambahan, penelitian oleh lembaga
luar atau di dalam rencana tata guna lahan
6. Langkah keenam, Meniai alternatif : Analisis ekonomi, sosial dan lingkungan, meliputi :
 Analisa dampak lingkungan : tanah dan sumber daya air, padang rumput dan sumberdaya
hutan, konservasi satwa liar, sumber daya untuk pariwisata dan rekreasi, efek off-site;
 Analisis Keuangan: adalah penggunaan lahan jenis diusulkan menguntungkan bagi petani
atau pengguna lahan lainnya ?;
 Analisis ekonomi : apa nilai dari perubahan yang diusulkan kepada masyarakat , di dalam
dan di luar wilayah perencanaan ? Apakah ada daerah lahan sangat penting (untuk
produksi atau konservasi ) untuk keperluan tertentu ?;
 Dampak Sosial : Efek apa yang akan usulan perubahan terhadap bagian yang berbeda
dari masyarakat, khususnya perempuan, kelompok minoritas dan kaum miskin ?;
 Perencanaan strategis : bagaimana perubahan yang diusulkan dalam penggunaan laud
mempengaruhi aspek yang lebih luas dari perencanaan pembangunan
pedesaan, termasuk tujuan nasional ?
7. Langkah ketujuh, Memilih pilihan terbaik, meliputi :
 Menetapkan serangkaian pilihan untuk alokasi atau rekomendasi jenis
penggunaan lahan untuk satuan lahan. Juga menyatakan evaluasi mereka dalam
hal kesesuaian lahan dan analisis ekonomi dan sosial lingkungan;
 Menetapkan konsekuensi dari pilihan ini dalam hal tujuan dan sasaran
perencanaan;
 Menyajikan pilihan dan konsekuensi mereka dengan cara yang sesuai untuk
ulasan;
 Membuat pengaturan untuk konsultasi dengan masyarakat yang terkena dampak
serta dengan lembaga pelaksana, mendapatkan pandangan tentang kelayakan dan
akseptabilitas; dan
 Merakit dan meninjau komentar yang masuk. Dengan berdasarkan
8. Langkah kedelapan, Siapkan rencana penggunaan lahan, meliputi :
 Menyiapkan peta dasar atau master plan penggunaan lahan dan peta pendukung;
 Menetapkan alokasi penggunaan lahan dan rekomendasinya. Berikan deskripsi
jenis penggunaan lahan, termasuk rekomendasi manajemen pada setiap jenis
lahan;
 Tetapkan target untuk berprestasi, jenis penggunaan lahan, daerah dan lembaga.
Tentukan bagaimana pencapaian target. Periksa bahwa pencapaian target tersebut
sesuai dengan kemampuan lembaga dan infrastruktur yang tersedia;
 Membuat persiapan logistik, menetapkan modal kerja, dan tanggung jawab untuk
implementasi;
 Membangun mekanisme untuk memantau kemajuan dan merevisi rencana;
 Membuat program penelitian yang diperlukan untuk mendukung perencanaan
tersebut;
 Tentukan keuangan yang diperlukan untuk setiap operasi dan menentukan sumber
dananya;
 Menulis laporan - ringkasan eksekutif, laporan utama, peta dan lampiran;
 Membangun mekanisme komunikasi dengan stakeholde, dan partisipasi semua
lembaga yang terkait; dan
 Menyiapkan materi untuk public relations
9. Langkah kesembilan, Melaksanakan acara, meliputi :
 Memastikan bahwa perubahan yang disarankan dalam rencana diterapkan dengan
benar dalam rencana; akan tersedia untuk konsultasi teknis, berdiskusi dengan
lembaga pelaksana modifikasi yang disarankan;
 Bantuan untuk menjaga komunikasi antara semua orang dan lembaga yang
berpartisipasi dalam atau dipengaruhi oleh rencana , yaitu pengguna lahan,
instansi sektoral, pemerintah, organisasi non -pemerintah , organisasi komersial;
 Membantu dalam koordinasi kegiatan lembaga pelaksana;
 Membantu dalam pembangunan lembaga dengan memperkuat hubungan antara
lembaga-lembaga yang ada, membentuk badan baru di mana diperlukan
kerjasama dan penguatan;
 Fokus pada partisipasi pengguna lahan , memastikan insentif yang memadai;
 Mengatur penelitian berkaitan dengan rencana , memastikan bahwa hasil dari
penelitian dikomunikasikan dan, jika perlu, dimasukkan ke dalam rencana; dan
 Mengatur pendidikan dan pelatihan staf proyek dan pengguna lahan
10. Langkah terakhir, Memantau dan merevisi rencana, meliputi :
 Membuats daftar tujuan dan pencapaian kriteria yang telah disepakati pada
Langkah. Tambahkan apapun yang muncul kemudian selama periode
perencanaan;
 Mengumpulkan data yang relevan dengan setiap kriteria pencapaian: fisik,
ekonomi dan sosial;
 Membandingkan apa yang telah dicapai dengan apa yang direncanakan.
Mengidentifikasi unsur keberhasilan dan kegagalan;
 Mencari penjelasan atas kegagalan yang ada;
 Tinjau tujuan : apakah masih relevan ?; dan
 Melakukan modifikasi atau revisi rencana :
- Modifikasi kecil melalui tindakan oleh lembaga pelaksana;
- Revisi besar dengan jalan menyusun proposal dan referensi kembali.

Land Use Planning Issues

Pola penggunaan lahan dalam suatu daerah dapat berbeda satu dengan lainnya, hal ini
dipengaruhi oleh banyak hal antara lain kondisi geografis serta kondisi sosial budaya dari
masyarakat setempat. Arahan atau rencana pengembangan suatu wilayah juga turut
mempengaruhi perbedaan-perbedaan pola penggunaan lahan pada wilayah yang berbeda.
Perbedaan pola penggunaan lahan ini tentunya juga memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Hal inilah yang kemudian mendasari munculnya teori-teori mengenai
penggunaan lahan yang telah dibahas sebelumnya. Berikut akan dibahas preseden mengenai
perbedaan pola penggunaan lahan di beberapa negara di Asia Tenggara

Selama dua dekade terakhir, negara-negara di Asia Tenggara mengalami pertumbuhan


perkonomian yang cepat. Namun, peningkatan standar hidup sebagian dibayangi oleh degradasi
lingkungan yang serius. Tekanan di daratan, terutama terhadap produksi beras dataran banjir
yang paling berharga semakin meningkat karena perluasan areal perumahan, industri,
perkebunan atau konstruksi jalan. Pada saat yang sama, daerah hulu telah gundul dan banyak
daerah pedalaman pedesaan tertinggal dalam hal pengembangan dibandingkan dengan wilayah
pesisir yang lebih makmur. Hal ini akan mempercepat migrasi dari desa ke kota. Kebutuhan
untuk perencanaan yang lebih sistematis dan terlembaga terhadap pemanfaatan lahan pada
berbagai tingkat pemerintahan sangat dirasakan dan kerangka kerja kelembagaan untuk
pendekatan administrasi regulasi perencanaan penggunaan lahan telah didirikan di banyak
negara. Negara-negara dengan sistem politik dan pengalaman sejarah yang berbeda telah
melakukan perubahan administratif yang luar biasa. Sistem administrasi yang sangat terpusat
telah melihat pelimpahan fungsi regulasi dan administrasi dari tingkat nasional hingga tingkat
pemerintah provinsi (regional) dan kabupaten/ kota (lokal) terrnasuk mandat dan tanggung jawab
untuk merencanakan penggunaan lahan lokal dan pengelolaan lahan. Pendekatan perencanaan
tata guna lahan teiah diprakarsai oleh LSM dan lembaga donor di banyak negara di Asia
Tenggara pada tahun 1980-an dan tahun 1990-an. Di antara lembagalembaga tersebut, GTZ telah
memainkan peran utama dalam proses ini. Awalnya, perencanaan penggunaan lahan memiliki
cakupan wilayah yang terbatas dan terutama dilakukan dalam konteks proyek pengelolaan DAS.

Di Thailand perencanaan penggunaan lahan dimulai pada tahun 1980 dengan fokus pada
pengelolaan DAS dan pengurangan opium. Sejak saat itu telah diperluas ke berbagai daerah
pegunungan, khususnya di bagian barat negara, tetapi tidak pernah menjadi prosedur dan
peraturan yang dilembagakan. Elemen perencanaan penggunaan lahan telah diperkenalkan dalam
rencana wilayah sungai yang lebih baru.

Di Vietnam pemerintah mulai mengelaborasi dan secara teratur memperbarui rencana


induk penggunaan lahan untuk semua kabupaten dan provinsi sebagai bagian dari pendekatan
perencanaan pembangunan nasional. Dalam konteks pengelolaan DAS lokal dan hutan
kemasyarakatan, pendekatan yang lebih partisipatif diperkenalkan di tingkat komunitas pada
tahun 1990-an. Saat ini, perencanaan penggunaan lahan lokal secara luas dilakukan di kawasan
hutan danpegunungan, sedangkan rencana induk masih kurang memperhatikan hal ini.

Di Filipina pemerintah telah memberikan tanggung jawab kepada kota(kabupaten) dan


kepala pemerintah daerah dalam perencanaan penggunaanlahan yang belum pernah terjadi pada
masa sebelumnya. Kota-kota tersebutharus menetapkan apa yang disebut Comprehensive Land
Use Plans (CLUPs)untuk wilayah mereka, yang membatasi zona penggunaan lahan khusus
untuk kehutanan, perlindungan lingkungan, produksi pertanian dan perluasan pemukiman
perkotaan. Rencana pembangunan sektor kehutanan, air dan sanitasi atau reformasi lahan harus
diselaraskan dan terintegrasi dengan rencana penggunaan lahan umum yang komprehensif.
Padahal sebelumnya alat-alat modern teknis perencanaan penggunaan lahan seperti pemetaan
digital, penggunaan lahan berdasarkan foto udara dan citra satelit dan survei darat (GPS) banyak
digunakan terutama dikaitkan dengan proyek-proyek khusus dari dana donor asing. Banyak
pemda sekarang sudah mulai membangun kelembagaan mereka sendiri. GIS dan unit pemetaan
menghasilkan dan memelihara dokumen perencanaan digital mereka sendiri atau menggunakan
jasa perusahaan GIS.
Sebuah kendala utama untuk penggunaan alat-alat perencanaan penggunaan lahandigital
adalah kurangnya resolusi basis data digital yang lebih tinggi. Meskipun kerangka kelembagaan
telah ada dan beragam alat administratif dan hukum banyak, rencana penggunaan lahan secara
hukum telah gagal mempengaruhi pola penggunaan lahan secara langsung dalam arah yang
dituju. Masalah utama biasanya adalah lemahnya implementasi dan penegakan hukum.
Tantangan utama dari perencanaan penggunaan lahan di wilayah tersebut adalah:
1. Membina kemauan politik untuk mengembangkan sistem perencanaan penggunaan lahan yang
komphensif;
2. Memungkinkan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan penggunaan
lahan;
3. Mengintegrasikan perencanaan penggunaan lahan pendekatan partisipatif ke dalam rencana
induk tingkat pembangunan yang lebih tinggi;
4. Membuat standar, dilembagakan dan pendekatan peraturan perencanaan penggunaan lahan
untuk mencapai implementasi luas;
5. Mengatasi lemahnya implementasi dan penegakan hukum, misalnya rencana undang-undang
peningkatan kualitas penggunaan lahan termasuk partisipasi yang lebih baik dan lebih luas dari
pemangku kepentingan lokal dalam memonitoring dan evaluasi rencana;
6. Mencapai kerja sama lintas batas yang efektif pada penggunaan lahan skala besar dan isu-isu
lingkungan untuk melindungi lingkungan, mencegah bencana.

Di Indonesia, memiliki ciri khas antara wilayah bagian pusat serta pinggiran wilayah
terjadi kesenjangan pembangunan. Di kabupaten-kabupaten sendiri, untuk pusat wilayahnya
mengalami perkembangan pesat yang ditunjang dengan sarana-prasarana yang lengkap dan
mumpuni sehingga guna lahannya beragam tidak hanya terfokus pada satu jenis guna lahan.
Sedangkan untuk daerah pinggiran yang jauh dari pusat wilayah, untuk jenis guna lahannya
mayoritas ke arah pertanian di mana selaras dengan ciri khas Negara Indonesia yaitu Negara
Agraris.
Kondisi alam yang berpotensi menjadi daerah wisata dan hasil alamnya dapat
memberikan income yang menjanjikan bagi wilayah tersebut, yang dapat menumbuhkan daerah
pinggiran untuk selaras dengan pusat wilayahnya. Kurangnya kualitas dan kuantitas jaringan
jalan yang menjadi penghubung antara pusat dengan pinggiran untuk keperluan kegiatan-
kegiatan pertumbuhan, minimnya sumber dana yang dimana wilayah-wilayah Indonesia masih
belum bisa mandiri, serta belum cukupnya sumber daya manusia yang mumpuni untuk mampu
mengelola keselarasan konteks wilayah menjadi titik lemah pengembangan wilayah-wilayah di
Indonesia sehingga terkesan antara wilayah dan kota terjadi perbedaan padahal berdasar saluran
interaksinya terhubung satu sama lain dan hasilnya adalah adanya daerah terpencil dan paradoks.

KESIMPULAN
Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak teori tentang
perencanaan tata guna lahan, baik terkait dari segi geografis, transportasi, maupun ekonomi yang
berfungsi sebagai dasar dalam merumuskan rencana tata guna lahan yang diharapkan bisa
menghasilkan guna lahan yang sustainable dan produktif. Dengan adanya acuan teori tersebut
dapat digunakan sebagai dasar atau acuan dalam melakukan penyusunan rencana tata guna lahan,
sehingga rencana yang dihasilkan dapat berfungsi dengan baik serta dapat
dipertanggungjawabkan. Pengaplikasian dari teori-teori tata guna lahan tersebut kemudian
memunculkan beberapa pemodelan dalam perencanaan penggunaan lahan, seperti misalnya
Model Zoning yang mengadaptasi Teori Konsentris Burgess. Dengan demikian dapat
dilihat bahwa sudah banyak model perencanaan tata guna lahan yang sudah berdasarkan pada
teori-teori tata guna lahan. Pemodelan berdasar teori ini juga dirasa cukup efektif, efisien, tepat
guna, serta tepat sasaran dalam implementasinya pada kasus pengembangan wilayah dan kota.
Namun demikian meskipun teori yang digunakan adalah sama, bisa saja terdapat perbedaan pola
penggunaan lahan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini tergantung dari aspek
geografis, kondisi sosial budaya masyarakat, serta dokumen arahan atau kebijakan
pengembangan wilayah di daerah tersebut. Dalam beberapa kondisi meskipun memiliki
kemiripan dari segi geografis. Perbedaan kondisi sosial masyarakat dan perbedaan arahan
kebijakan pengembangan wilayahlah yang memicu adanya perbedaan tersebut. Sehingga secara
keseluruhan dapat ditarik pemahaman bahwa dalam merencanakan suatu tata guna lahan perlu
memperhatikan teori-teori terkait tata guna lahan sebagai dasar perencanaan. Selain itu perlu
juga memperhatikan faktor eksternal seperti kondisi geografis, kondisi sosial budaya masyarakat,
serta arahan kebijakan dari peraturan tata ruang yang sudah ada sebelumnya.

Daftar Pustaka

https://psaonone.wordpress.com/2013/01/19/land-use-planning/

https://slideplayer.info/slide/15154393/

https://www.slideshare.net/mobile/dekpian/land-use-planning-35623164

https://www.researchgate.net/profile/Santun_Sitorus/publication/321996261_Perencanaan_Peng
gunaan_Lahan/links/5a3c948faca272dd65e4db64/Perencanaan-Penggunaan-Lahan.pdf

http://ejournal.sumbarprov.go.id/index.php/jpn/article/download/7/6/

https://www.academia.edu/13367793/Teori_Tata_Guna_Lahan_Land_Use_?show_app_store_po
pup=true

http://player.slideplayer.info/download/86/14015080/BI3wM8lRZ1w1Ncr3migNHA/156814076
3/14015080.ppt

Anda mungkin juga menyukai