Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
Di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMRANG
Disusun oleh:
Astri Gunardi
406182095
Pembimbing:
dr. Luh Putu E Santi M, Sp.Rad
Oleh:
Astri Gunardi (406182095)
Laporan kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat
ujian kepaniteraan klinik di bagian departemen Ilmu Radiologi RSUD K.R.M.T.
Wongsonegoro Semarang
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan baik. Maksud dan tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara masa periode 15 April – 19 Mei 2019 di Rumah Sakit
Umum Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro.
1. dr. Luh Putu E Santi M, Sp.Rad selaku pembimbing bagian Ilmu Radiologi
di Rumah Sakit Umum Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.
Penulis
3
DAFTAR ISI
JUDUL .......................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................
KATA PENGANTAR .............................................................................................3
DAFTAR ISI ............................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7
2.1 Kandung Empedu
Anatomi ............................................................................................7
Fisiologi ...........................................................................................8
2.2 Kolelistitis dan Kolelitiasis
Definisi ...........................................................................................10
Etiologi ...........................................................................................11
Epidemiologi ..................................................................................14
Patogenesis .....................................................................................14
Manifestasi Klinis ..........................................................................21
Diagnosis ........................................................................................22
Diagnosis Banding .........................................................................28
Penatalaksanaan ............................................................................28
2.3 Ascites
Definisi ...........................................................................................35
Patofisiologi ...................................................................................36
Gejala klinis ...................................................................................37
Diagnosis .......................................................................................38
Penatalaksanaan ............................................................................39
4
Diagnosis ........................................................................................45
Tatalaksana.....................................................................................46
5
BAB I
PENDAHULUAN
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Anatomi
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya
sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300
cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat
dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis
membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.1
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri
hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.
7
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan
kandung empedu.1
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus
coeliacus.1
8
a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai
duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin
akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam
kontraksi kandung empedu.
b) Neurogen:
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.
Air 97,5 gm % 95 gm %
Elektrolit - -
a. Garam Empedu
9
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang
terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat
dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih
lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-
kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian
besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali
oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses
dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi
disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah
tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam
empedu akan terganggu.
b. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole
menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini
di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas
diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi
pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka
bilirubin yang terbentuk sangat banyak.
10
mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di
dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya.3,4
2.2.2 Etiologi
Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-
beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).
Batu kolesterol
11
Jenis kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.6
Suku bangsa
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu
empedu bisa berjalan dalam keluarga10. Di negara Barat penyakit ini sering
dijumpai, di Amerika Serikat 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain
selain AS, Chile dan Swedia.6
Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda. Usia rata-rata tersering
terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun.6
Obesitas
Sindroma metabolik terkait obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepar dan merupakan faktor risiko utama untuk terbentuknya batu
kolesterol.6
Kehamilan
Batu kolesterol lebih sering ditemukan pada wanita yang sudah mengalami lebih
dari satu kali kehamilan. Faktor utama yang diperkirakan turut berperan pada
risiko ini adalah tingginya kadar progesteron selama kehamilan. Progesteron
dapat mengurangi kontraktilitas kandung empedu, sehingga menyebabkan
terjadinya retensi yang lebih lama dan pembentukan cairan empedu yang lebih
pekat di dalam kandung empedu.6
Stasis cairan empedu
Penyebab lain dari stasis kandung empedu yang berhubungan dengan
peningkatan risiko batu empedu meliputi cedera medula spinalis, puasa jangka
12
panjang dengan pemberian nutrisi parenteral total saja, serta penurunan berat
badan cepat akibat restriksi kalori dan lemak yang berat (seperti diet, operasi
gastric bypass).6
Obat-obatan
Terdapat sejumlah obat yang berhubungan dengan pembentukan batu kolesterol.
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau terapi kanker prostat dapat
meningkatkan risiko batu kolesterol dengan meningkatkan sekresi kolesterol
empedu. Clofibrate dan obat hipolipidemia fibrat lain dapat meningkatkan
eliminasi kolesterol hepar hepatik melalui sekresi biliaris dan nampaknya dapat
meningkatkan risiko terbentuknya batu kolesterol. Analog somatostatin nampak
menjadi predisposisi terbentuknya baru empedu dengan mengurangi proses
pengosongan batu empedu.3,6
Faktor keturunan
Penelitian pada kembar identik dan fraternal menunjukkan bahwa sekitar 25%
kasus batu kolesterol memiliki predisposisi genetik. Terdapat sekurangnya satu
lusin gen yang berperan dalam menimbulkan risiko ini. Dapat terjadi suatu
sindroma kolelitiasis terkait kadar fosfolipid yang rendah pada individu dengan
defisiensi protein transport bilier herediter yang diperlukan untuk sekresi
lecithin.6
2.2.3 Epidemiologi
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus
sistikus (kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus
kolesistitis akalkulosa. Dari semua warga Amerika Serikat yang menderita
kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.2
2.2.4. Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan
14
infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang
paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus.
A. Batu Kolesterol4,5
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya
kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus.
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari
90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan
15
berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan
inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan
lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan
persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol.
16
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol
sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi
kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah
terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung
empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat
pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus,
kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi
trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu
kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan
mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.
B. Batu pigmen2
Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris
lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah
dari cacing tambang.
C. Batu campuran4
18
2.2.4.2. Patogenesis Kolesistitis7
19
Gambar 3 Patofisiologi kolesistitis akut.5
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi kondisi statis dari cairan empedu.
20
2.2.5. Manifestasi Klinis
A. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit
sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien
yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya
yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik.2
B. Simtomatik
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu
tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60
menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya
kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung
empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang
sembuh spontan.6
21
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis,
kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat
sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar.
Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya
menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy).6
2.2.6. Diagnosis
A. Anamnesis
B. Pemeriksaan Fisik
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus.
23
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.5
Pemeriksaan radiologis
o Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.5
o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.5
24
o Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
26
Gambar 6 CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya
batu empedu dan penebalan dinding kandung empedu.5
27
empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani
laparaskopi kolesistektomi.
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada
jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis
kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti
neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan
sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan
perforasi.
28
2.2.8. Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan konservatif
29
kondisi seimbang setelah kurang lebih 3 minggu. Dosis lazim yang digunakan ialah
8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian. Intervensi ini membutuhkan waktu
6-18 bulan dan umumnya berhasil bila batu berukuran kecil dan murni merupakan
batu kolesterol, serta memiliki angka kekambuhan sebesar 50 % dalam 5 tahun.1,9
B. Penatalaksanaan Operatif
Sirosis
30
Hipertensi porta
Anak-anak
Kandidat transplantasi
Diabetes dengan gejala minor
Pasien dengan kalsifikasi kandung empedu
Pada pasien kolelitiasis yang diputuskan akan menjalani terapi operatif,
terdapat beberapa teknik pembedahan yang dapat digunakan:
Kolesistektomi
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan
pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi akibat adanya batu empedu,
kecuali usia atau kondisi umum pasien tidak memungkinkan dilakukannya
operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu, dapat dilakukan
drainase pus sementara dari kandung empedu (kolesistostomi) sehingga
memungkinkan dilakukannya stabilisasi, untuk nantinya dilanjutkan dengan
terapi kolesistektomi elektif.
Pada pasien dengan batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu di
saluran empedu, dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif pada
saat operasi kolesistektomi. Duktus biliaris komunis dapat dieksplorasi
menggunakan koledokoskop. Bila ditemukan adanya batu duktus biliaris
komunis, maka biasanya akan dilakukan ekstraksi intraoperatif. Alternatif lain
yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat sebuah fistula antara bagian
distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya (koledokoduodenostomi),
sehingga batu dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi yang pertama dilakukan pada akhir tahun 1800an.
Pendekatan operasi terbuka yang dikembangkan oleh Langenbuch masih
menjadi teknik standar sampai akhir tahun 1980an, dimana mulai diperkenalkan
teknik baru berupa kolesistektomi laparoskopik.
Kolesistektomi laparoskopik merupakan revolusi terapi minimal invasif,
yang telah mempengaruhi semua area praktek bedah modern. Saat ini,
kolesistektomi terbuka hanya dilakukan pada kondisi tertentu saja. pendekatan
kolesistektomi terbuka dilakukan menggunakan sebuah insisi subkostal kanan
yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi laparoskopik menggunakan 4 insisi yang
31
sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri paskaoperasi nampak jauh lebih rendah
pada pendekatan laparoskopik.
Saat ini, kolesistektomi laparoskopik biasanya dilakukan di klinik rawat
jalan. Dengan mengurangi waktu rawat inap dan waktu yang terbuang selama
pasien tidak dapat bekerja, pendekatan laparoskopik juga dapat mengurangi
biaya kolesistektomi.1
Pada pedoman penggunaan klinis operasi laparoskopik saluran biliaris yang
dipublikasikan tahun 2010, Society of American Gastrointestinal and
Endoscopic Surgeons (SAGES) menyatakan bahwa pasien dengan kolelitiasis
simptomatik dianggap memenuhi syarat untuk operasi laparoskopik. Pasien
kolelitiasis dengan kolesistektomi laparoskopik tanpa komplikasi dapat
dipulangkan di hari yang sama bila nyeri dan mual paskaoperasi sudah terkendali
dengan baik. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dapat menunjukkan risiko
yang lebih besar untuk kembali dirawat di rumah sakit.1
Selama melakukan kolesistektomi laparoskopik, seorang dokter bedah
harus mengambil semua batu yang tidak sengaja keluar melalui perforasi pada
kandung empedu. Pada beberapa kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan
perubahan menjadi operasi terbuka. Pada pasien dengan batu empedu yang
masuk dan hilang di cavum peritoneum, direkomendasikan untuk melakukan
pemeriksaan follow-up dengan USG selama 12 bulan. Sebagian besar kejadian
komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu) akan terjadi dalam jangka
waktu ini.
Komplikasi yang paling ditakuti dari kolesistektomi adalah kerusakan pada
duktus biliaris komunis. Kejadian cedera duktus biliaris nampak semakin
meningkat sejak dikembangkannya teknik kolesistektomi laparoskopik, namun
kejadian dari komplikasi ini sudah mulai berkurang seiring bertambahnya
pengalaman dan pelatihan yang dilakukan oleh para dokter bedah dalam bidang
operasi minimal invasif.6
Kolangiografi rutin umumnya tidak banyak membantu untuk mencegah
terjadinya cedera duktus biliaris komunis. Namun, bukti menunjukkan bahwa
teknik ini dapat membantu mendeteksi cedera semacam ini pada masa
intraoperasi.
32
Kolesistostomi
Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema
kandung empedu dan sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada
kondisi ini, dokter bedah dapat memilih untuk melakukan kolesistostomi, suatu
prosedur minimal invasif yang dilakukan dengan memasang pipa drainase di
kandung empedu. Teknik ini biasanya dapat memperbaiki kondisi klinis pasien.
saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan kolesistektomi definitif secara elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomi juga dapat dilakukan oleh spesialis
radiologi invasif menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak
memerlukan anestesi dan nampak bermanfaat untuk pasien dengan kondisi klinis
yang tidak stabil.
C. Komplikasi Kolesistektomi
33
2.2.8.2. Penatalaksanaan untuk Kolesistitis
A. Terapi konservatif
B. Terapi bedah
34
akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan,
timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan
lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan.
Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan
penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena
proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi.
35
2.3. Ascites
2.3.1 Definisi
Asites adalah keadaan patologis berupa terkumpulnya cairan dalam rongga
peritoneal abdomen. Asites biasanya merupakan tanda dari proses penyakit kronis
yang mungkin sebelumnya bersifat subklinis.
1. Asites eksudatif:
Biasanya terjadi pada proses peradangan (biasanya infektif, misalnya pada
tuberculosis) dan proses keganasan. Eksudat merupakan cairan tinggi protein,
tinggi LDH, ph rendah (<7,3), rendah kadar gula, disertai peningkatan sel darah
putih.
2. Asites transudatif:
Terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan perubahan bersihan
(clearance) natrium ginjal, juga bisa terdapat pada konstriksi perikardium dan
sindroma nefrotik. Transudat merupakan cairan dengan kadar protein rendah
(<30g/L), rendah LDH, pH tinggi, kadar gula normal, dan sel darah putih kurang
dari 1 sel per 1000 mm³.
2.3.2 Patofisiologi11
Ada 3 kondisi yang memungkinkan terjadinya asites, yaitu:
Hipoalbumin
Retensi natrium dan air, ada tiga teori yang menyebabkan, yaitu underfill,
overflow, dan vasodilatasi perifer
Sintesis dan aliran limfe yang meningkat
36
Menurut teori underfilling asites dimulai dari volume cairan plasma yang
menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan
meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah hipoalbuminemia akan
menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan intravascular menurun. Akibat
volume cairan intravascular menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan
reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal.. Teori overfilling
mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspamsi cairan plasma akibat reabsorpsi air
oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktivitas hormone anti-
diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormone natriuretik karena penurunan
fungsi hati. Teori vasodilatas perifer menyebutkan factor patogenesis pembentukan
asites yang amat penting adalah hipertensi portal yang sering disebut sebagai factor
local dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut factor sistemik. Pada
karsinoma ovari, cairan asites diproduksi oleh ovarium yang akan mensekresikan
cairan yang dapat bersifat serous atau musin.
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan system
portal dan terjadi hipertensi portal. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi
dengan vasodilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi portal menjadi
menetap. Hipertensi portal akan meningkatkan tekanan transudasi, terutama di
sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga
peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara lain : glukagon ,
nitric oxide ( NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, factor
natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P,
prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).
Vasodilatasi endogen pada saatnya akan mempengaruhi sirkulasi arterial
sistemik; terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses
underfilling relative. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas system
saraf simpatik, sisten rennin-angiotensin-aldosteron dan arginin vasopressin.
Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan
peningkatan indeks jantung.
37
Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.
Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam
jumlah cairan yang minimal.
Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi
permukaan abdomen tidak tegang.
Tingkatan 4 : ascites permagna.
2.3.4 Diagnosis8
38
Gagal hati akut Peritonitis TB
Metastasis hati massif Asites surgical
Gagal jantung kongestif Asites biliaris
Syndrom Budd-Chiari Penyakit jaringan ikat
Penyakit veno-oklusif Sindrom nefrotik
Miksedema Asites pankreatik
39
Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm
3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.
Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari asites. Asites sebagai
komplikasi dari penyakit yang dapat diobati, dengan menyembuhkan
penyakit yang mendasari maka asites dapat menghilang.contoh peritoneal
TB. Asites eksudat yang penyebabnya tidak dapat disembuhkan, misalnya
karsinomatosis peritoneum.
40
sehingga apa yang disebut sebagai rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah suatu
ruangan potensial. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah daripada tekanan
atmosfer sehingga mencegah kolaps paru. Jumlah normal cairan pleura adalah 10-
20 cc.
41
tekanan kapiler sistemik, meningkatnya tekanan kapiler pulmonal,
menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura dan menurunnya tekanan
intra pleura. Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah gagal
jantung kiri (terbanyak), sindrom nefrotik, obstruksi vena cava superior dan
asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk
melalui saluran getah bening)
2. Eksudat
Eksudat merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran
kapiler yang permeable abnormal dan berisi protein transudat.
2.4.3 Etiologi6
Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi
pleura berupa:
42
2) Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh
bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun
anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,
Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-
lain).
3) Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap fungi.
4) Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi
melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat
juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya
cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan
nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk
ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi
yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan
jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala
febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5) Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,
mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral
dengan ukuran jantung yang tidak membesar.
b. Transudat, disebabkan oleh :
1) Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab
lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.
Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan
tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura
parietalis.
2) Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah.
3) Hidrothoraks hepatik
43
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui
lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura.
4) Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita
dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan
sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor
ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis.
5) Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal.
c. Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb
pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak
yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor
koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila
darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari
trauma dinding dada.
44
Jumlah cairan yang abnormal dapat terkumpul jika tekanan vena
meningkat karena dekompensasi cordis atau tekanan vena cava oleh
tumor intrathorax. Selain itu, hypoprotonemia dapat menyebabkan efusi
pleura karena rendahnya tekanan osmotic di kapiler darah.
2.4.5 Diagnosis2
Diagnosis kadang-kadang dapat ditegakkan secara anamnesis dan pemeriksaan
fisik saja. Untuk diagnosis yang pasti perlu dilakukan tindakan torakosentesis dan
pada beberapa kasus dilakukan juga biopsy pleura.
1. Sinar tembus dada
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan
membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih
tinggi daripada bagian medial. Dalam foto dada pada efusi pleura adalah
terdorongnya mediastenum pada sisi yang berlawanan dengan cairan.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura dapat menentukan adanya
cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan CT Scan dada. Adanya perbedaan
densitas cairan dengan jaringan sekitarnya, hanya saja pemeriksaan ini tidak
banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.
2. Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana untuk
diagnostic maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada
penderita dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru
45
di sela iga IX garis aksilaris posterioar dengan memakai jarum Abbocath
nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi
1.000-1.500 cc pada setiap kali aspirasi. Adalah lebih baik mengerjakan
aspirasi berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat
menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau edema paru. Edema paru dapat
terjadi karena paru-paru menggembang terlalu cepat. Untuk diagnostic
caiaran pleura dilakukan pemeriksaan:
1) Warna cairan. Bila kuning kehijauan dan agak perulen, ini menunjukan
adanya empiema. Bila merah tengguli, ini menunjukan adanya abses karena
amoeba.
2) Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat.
Diperiksakan juga kadar pH dan glukosa serta kadar amylase.
3) Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk
diagnostic penyakit.
a) Sel neutrofil: menunjukan adanya infeksi akut
b) Sel limfosit: menunjukan adanya infeksi kronik seperti pleuritis
tuberkulosa atau limfoma malignum.
c) Sel mesotel: bila jumlahnya meningkat adanya infark
paru.biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
d) Sel mesotel maligna: pada mesotelioma.
e) Sel-sel besar dengan banyak inti: pada arthritis rheumatoid.
4) Bakteriologi
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah
pneumokokus, E, coli, Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacter
3. Biopsi pleura
Pemeriksaan histology menunjukan 50-75 persen diagnosis kasus-kasus
pleuritis tuberkolosa dan tumor pleura.
4. Pendekatan pada efusi yang tidak terdiagnosis
Dalam hal ini dianjurkan asppirasi dan anakisisnya diulang kembali sampai
diagnosis menjadi jelas.
46
2.4.6 Tatalaksana13
1. Thorakosentesis
- Pungsi pleura - Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis
aksila posterior dengan memakai jarum abocath nomor 14 atau 16.
- Pungsi percobaan/diagnostik
Yaitu dengan menusuk dari luar dengan suatu spuit kecil steril 10 atau 20
ml serta mengambil sedikit cairan pleura (jika ada) untuk dilihat secara fisik (warna
cairan) dan untuk pemeriksaan biokimia (uji Rivalta, kadar kolesterol, LDH, pH,
glukosa, dan amilase), pemeriksaan mikrobiologi umum dan terhadap M.
tuberculosis serta pemeriksaan sitologi.
2. Water Sealed Drainage
Penatalaksanaan dengan menggunakan WSD sering pada empyema dan efusi
maligna.
Indikasi WSD pada empyema :
a. Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi
b. Nanah terus terbentuk setelah 2 minggu
c. Terjadinva piopneumothoraxs
3. Pleurodesis
Tindakan melengketkan pleura visceralis dengan pleura parietalis dengan
menggunakan zat kimia (tetrasiklin, bleomisin, thiotepa, corynebacterium, parfum,
talk) atau tindakan pembedahan. Tindakan dilakukan bila cairan sangat banyak dan
selalu terakumulasi kembali.
47
BAB III
LAPORAN KASUS
Pasien masuk ke IGD RSUD KRMT Wongsonegoro, Semarang pada hari Jumat
tanggal 12 April 2019.
3.2 Anamnesis
Pasien tidak pernah mengalami sesak seperti ini sebelumnya. Pasien belum
mengonsumsi obat apapun untuk mengatasi sesaknya. Riwayat darah tinggi,
kencing manis, dan penyakit lainnya disangkal oleh pasien. Pasien juga
menyangkal riwayat alergi dan riwayat trauma.
48
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien mengaku tidak ada anggota keluarga mengalami hal yang
serupa dengan pasien. Ayah pasien memiliki riwayat darah tinggi. Riwayat kencing
manis, dan penyakit lain pada keluarga disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Pasien pernah merokok saat muda sekitar 2-3 batang sehari. Pasien sudah
berhenti merokok sekitar 2 tahun. Pasien memiliki kebiasaan minum kopi. Riwayat
konsumsi alkohol disangkal.
Pemeriksaan Sistem
Kepala: Bentuk normal (normocephali), rambut putih terdistribusi merata,
tidak ada benjolan
Mata : palpebral simetris, cekung (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera
ikterik (+/+), pupil bulat isokor D 3 mm, reflex cahaya pupil normal
Telinga : Serumen (-/-), tidak nyeri, tidak bengkak
Hidung : Simetris, secret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Mulut : bentuk simetris, perioral sianosis (-), mukosa rongga mulut warna
merah muda, mukosa lidah normal. Arkus faring anterior/posterior normal,
tonsil palatina ukuran T1-T1 warna merah muda, kripta tonsil normal,
49
detritus tonsil (-/-), dinding posterior faring normal, warna mukosa merah
muda.
Leher: Trakea ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, tidak teraba
benjolan
Toraks:
a. Pulmo:
Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam keadaan diam dan
pergerakan nafas, tidak ada retraksi otot-otot pernafasan
Palpasi : Stem fremitus kiri terdengar lebih kuat dibanding
kanan
Perkusi : Sonor pada lapang paru kiri dan redup pada lapangan
paru kanan
Auskultasi : Vesikuler normal pada paru kiri dan vesikuler melemah
pada paru kanan, ronkhi basah pada lapangan paru kanan, wheezing
(-/-)
b. Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada bunyi jantung
tambahan
Abdomen:
Inspeksi : perut tampak membuncit, spider naevi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Redup, fluid wave (+), shifting dullness (+). Hepar : liver
span sulit dinilai.
Palpasi : tegang, nyeri tekan (+) di kuadran kanan atas, turgor
normal, massa (-), hepar sulit dinilai
Ekstremitas: ,Akral hangat, CRT <2 detik, nadi teraba sama kuat kanan dan
kiri
Tulang belakang: Tidak ada kelainan
Kulit: Tidak ada kelainan
50
Kelenjar Getah Bening: Tidak ada pembesaran KGB di preaurikular,
postaurikular, submental, submandibular, servikal, supraklavikula dan
inguinal
Anus dan genitalia : tidak ada kelainan
Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan Darah
51
Natrium 135-147 mmol/L 130 mmol/L (L)
52
Gambar 3.2 Gambaran USG Aorta dan Gallbladder
53
Gambar 3.4 Gambaran USG Bladder, Prostat dan Pankreas
HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, eksogenitas normal, tepi
rata, sudut tajam, tak tampak nodul, V. Porta dan V. Hepatika tak melebar. Duktus
biliaris intra-ekstrahepatal tak melebar.
VESIKA FELEA tidak membesar, dinding tampak menebal (6,4 mm), tampak
batu ukuran sekitar 2,39cm,tak tampak sludge.
LIEN ukuran normal, parenkim homogen, V. Lienalis tidak melebar, tidak tampak
nodul.
GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS
tidak melebar, tidak tampak batu, tidak tampak massa
GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, kaliks
tampak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.
54
Tampak efusi pleura kanan. Tampak cairan bebas di perihepatik.
KESAN:
Kaliekstasis kiri
Ascites
Kolesistitis
3.6 Tatalaksana
OBH syr 3 x 2
Cefixime 2 x 1
Curcuma 3 x 1
Ranitidin 2 x 1
Furosemid 1 x 1
3.8 Edukasi
55
3.9 Prognosis
56
BAB IV
PEMBAHASAN
Faktor resiko yang dapat ditemukan pada pasien adalah usia. Keluhan yang
dialami pasien sesuai dengan literatur, seperti nyeri yang hilang timbul pada area
kanan atas, nyeri timbul selama 15 menit dan kemudian menghilang serta nyeri
seringkali dirasakan beberapa saat setelah pasien makan berat.
57
DAFTAR PUSTAKA
58
14. Adam. Gallstones and gallbladder disease. [Online] [2018 Januari 16] [cited
2019 April 29] Available from:URL:
http://aia5.adam.com/content.aspx?productId=10&pid=10&gid=000010
15. Gangadharan SP. Overview of Benign Pleural Conditions: Anatomy and
Physiology of Pleura. [Online] Available from:URL:
https://accesssurgery.mhmedical.com/content.aspx?bookid=1317§ionid=7
2435493
16. Boka K. Pleural Effusion. [Online] [2018 Desember 28] [cited 2019 April 29]
Available from:URL: https://emedicine.medscape.com/article/299959-
overview
59