Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN KASUS RADIOLOGI

“SEORANG PRIA DENGAN CALCULOUS CHOLECYSTITIS,


ASITES DAN EFUSI PLEURA KANAN”

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
Di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMRANG

Disusun oleh:
Astri Gunardi
406182095

Pembimbing:
dr. Luh Putu E Santi M, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TARUMANAGARA
PERIODE 15 APRIL – 19 MEI 2019
1
LEMBAR PENGESAHAN

SEORANG PRIA DENGAN CALCULOUS CHOLECYSTITIS, ASITES


DAN EFUSI PLEURA KANAN

Oleh:
Astri Gunardi (406182095)

Laporan kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat
ujian kepaniteraan klinik di bagian departemen Ilmu Radiologi RSUD K.R.M.T.
Wongsonegoro Semarang

Semarang, Mei 2019


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Luh Putu E Santi M, Sp.Rad

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan baik. Maksud dan tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara masa periode 15 April – 19 Mei 2019 di Rumah Sakit
Umum Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro.

Selama proses penyusunan makalah ini penulis mengalami keterbatasan


dalam pengerjaan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
beberapa pihak yang telah mendukung keberhasilan penyusunan laporan kasus ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. dr. Luh Putu E Santi M, Sp.Rad selaku pembimbing bagian Ilmu Radiologi
di Rumah Sakit Umum Daerah K.R.M.T. Wongsonegoro

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.

Semarang, Mei 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

JUDUL .......................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................
KATA PENGANTAR .............................................................................................3
DAFTAR ISI ............................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7
2.1 Kandung Empedu
Anatomi ............................................................................................7
Fisiologi ...........................................................................................8
2.2 Kolelistitis dan Kolelitiasis
Definisi ...........................................................................................10
Etiologi ...........................................................................................11
Epidemiologi ..................................................................................14
Patogenesis .....................................................................................14
Manifestasi Klinis ..........................................................................21
Diagnosis ........................................................................................22
Diagnosis Banding .........................................................................28
Penatalaksanaan ............................................................................28
2.3 Ascites

Definisi ...........................................................................................35
Patofisiologi ...................................................................................36
Gejala klinis ...................................................................................37
Diagnosis .......................................................................................38
Penatalaksanaan ............................................................................39

2.4 Efusi Pleura

Anatomi dan Fisiologi ...................................................................40


Definisi ...........................................................................................41
Etiologi ...........................................................................................42
Patogenesis .....................................................................................44

4
Diagnosis ........................................................................................45
Tatalaksana.....................................................................................46

BAB III LAPORAN KASUS


3.1 Identitas ..........................................................................................48
3.2 Anamnesis ......................................................................................48
3.3 Pemeriksaan Fisik ..........................................................................49
3.4 Pemeriksaan Penunjang .................................................................51
3.5 Diagnosa kerja................................................................................55
3.6 Tatalaksana.....................................................................................55
3.7 Rencana Evaluasi ...........................................................................55
3.8 Edukasi ...........................................................................................55
3.9 Prognosis ........................................................................................56
BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................58

5
BAB I

PENDAHULUAN

Kolesistitis adalah inflamasi yang terjadi pada kandung empedu.


Berdasarkan penyebabnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis kalkulus dan
kolesistitis akalkulus. Di Amerika, 10-20% penduduknya menderita kolesistitis
yang disertai dengan kolelitiasis. Adapun tiga jenis batu empedu yaitu batu
kolesterol, batu pigmen serta batu bilirubin. Gejala klinis spesifik untuk
mendiagnosis kolesistitis adalah kolik bilier. USG,ERCP, CT scan maupun MRI
merupakan beberapa metode pencitraan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
kolelitiasis.5

Asites adalah peningkatan cairan secara abnormal pada rongga peritoneum.


Asites merupakan komplikasi utama dari sirosis. Sebesar 75% pasien dengan sirosis
memiliki asites. Beberapa metode pencitraan seperti USG dan CT scan dapat
digunakan untuk mengetahui keberadaan asites.10

Efusi pleura adalah penimbunan cairan di dalam rongga pleura akibat


transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Pada keadaan
normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan +- 10-20 ml. Penyakit
seperti tuberculosis, sirosis hati dan trauma tembus dapat menyebabkan terjadinya
efusi pleura.13

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kandung Empedu

2.1.1 Anatomi

Gambar 1 Anatomi Kandung Empedu14

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya
sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300
cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat
dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis
membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.1
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri
hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.

7
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan
kandung empedu.1
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus
coeliacus.1

2.1.2 Fisiologi Kandung Empedu


Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50
ml. Vesica fellea mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk
membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu
sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang
tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli. 2
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum
interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini
sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus
sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan
ke duodenum.2
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak
kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari
mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan
kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada
ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan
masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam
cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu
pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan
oleh dua hal yaitu:2

8
a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai
duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin
akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam
kontraksi kandung empedu.
b) Neurogen:
 Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
 Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.

Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun


hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

Komposisi Cairan Empedu


Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %

Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

Elektrolit - -

a. Garam Empedu

9
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang
terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat
dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih
lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-
kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian
besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali
oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses
dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi
disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah
tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam
empedu akan terganggu.
b. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole
menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini
di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas
diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi
pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka
bilirubin yang terbentuk sangat banyak.

2.2 Kolelisistitis dan Kolelitiasis


2.2.1 Definisi

Kolelitiasis adalah istilah medis untuk penyakit batu saluran empedu.


Kolelitiasis disebut juga sebagai batu empedu, gallstone, atau kalkulus biliaris. Batu
empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material

10
mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di
dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya.3,4

Gambar 2 Gambar batu di dalam kandung empedu dan saluran biliaris.14

Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi pada dinding kandung empedu


yang paling sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya
kolelitiasis, yang umumnya disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan
demam.5

2.2.2 Etiologi

Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:6

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung


empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistitis tanpa adanya batu empedu.

Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-
beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).

Batu kolesterol

Batu kolesterol berhubungan dengan sejumlah faktor risiko, antara lain


adalah:5

11
 Jenis kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.6
 Suku bangsa
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu
empedu bisa berjalan dalam keluarga10. Di negara Barat penyakit ini sering
dijumpai, di Amerika Serikat 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain
selain AS, Chile dan Swedia.6
 Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda. Usia rata-rata tersering
terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun.6
 Obesitas
Sindroma metabolik terkait obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepar dan merupakan faktor risiko utama untuk terbentuknya batu
kolesterol.6
 Kehamilan
Batu kolesterol lebih sering ditemukan pada wanita yang sudah mengalami lebih
dari satu kali kehamilan. Faktor utama yang diperkirakan turut berperan pada
risiko ini adalah tingginya kadar progesteron selama kehamilan. Progesteron
dapat mengurangi kontraktilitas kandung empedu, sehingga menyebabkan
terjadinya retensi yang lebih lama dan pembentukan cairan empedu yang lebih
pekat di dalam kandung empedu.6
 Stasis cairan empedu
Penyebab lain dari stasis kandung empedu yang berhubungan dengan
peningkatan risiko batu empedu meliputi cedera medula spinalis, puasa jangka

12
panjang dengan pemberian nutrisi parenteral total saja, serta penurunan berat
badan cepat akibat restriksi kalori dan lemak yang berat (seperti diet, operasi
gastric bypass).6
 Obat-obatan
Terdapat sejumlah obat yang berhubungan dengan pembentukan batu kolesterol.
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau terapi kanker prostat dapat
meningkatkan risiko batu kolesterol dengan meningkatkan sekresi kolesterol
empedu. Clofibrate dan obat hipolipidemia fibrat lain dapat meningkatkan
eliminasi kolesterol hepar hepatik melalui sekresi biliaris dan nampaknya dapat
meningkatkan risiko terbentuknya batu kolesterol. Analog somatostatin nampak
menjadi predisposisi terbentuknya baru empedu dengan mengurangi proses
pengosongan batu empedu.3,6
 Faktor keturunan
Penelitian pada kembar identik dan fraternal menunjukkan bahwa sekitar 25%
kasus batu kolesterol memiliki predisposisi genetik. Terdapat sekurangnya satu
lusin gen yang berperan dalam menimbulkan risiko ini. Dapat terjadi suatu
sindroma kolelitiasis terkait kadar fosfolipid yang rendah pada individu dengan
defisiensi protein transport bilier herediter yang diperlukan untuk sekresi
lecithin.6

Batu pigmen hitam dan coklat3

Batu pigmen hitam umumnya terbentuk pada individu dengan metabolisme


heme yang tinggi. Kelainan hemolisis yang berhubungan dengan batu pigmen
meliputi anemia sel sabit, sferositosis herediter, dan beta-thalassemia.

Seperti pada kolelitiasis, penyebab kolesistitis juga berbeda menurut


jenisnya. Faktor risiko untuk terjadinya kolesistitis kakulosa umumnya serupa
dengan kolelitiasis dan meliputi jenis kelamin wanita, kelompok etnik tertentu,
obesitas atau penurunan berat badan yang cepat, obat-obatan (terutama terapi
hormonal pada wanita), kehamilan dan usia. Sementara itu, kolesistitis akalkulosa
berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan stasis cairan empedu,
seperti penyakit kritis, operasi besar atau trauma/luka bakar berat, sepsis, pemberian
13
nutrisi parenteral total (TPN) jangka panjang, puasa jangka panjang, penyakit
jantung (termasuk infark miokardium), penyakit sel sabit, infeksi Salmonella,
diabetes mellitus, pasien AIDS yang terinfeksi cytomegalovirus, cryptosporidiosis,
atau microsporidiosis. Pasien dengan imunodefisiensi juga menunjukkan
peningkatan risiko kolesistitis akibat berbagai sumber infeksi lain. Dapat dijumpai
sejumlah kasus kolesistitis idiopatik.3

2.2.3 Epidemiologi

Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di Amerika


Serikat, dimana batu empedu kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus dan
30% sisanya terdiri atas batu pigmen dan jenis batu dari sejumlah komposisi lain.
Angka kejadian batu saluran empedu ini nampak semaking meningkat seiring
bertambahnya usia. Diperkirakan bahwa sekitar 20% pasien dewasa yang berusia
lebih dari 40 tahun dan 30% yang berusia lebih dari 70 tahun menunjukkan adanya
pembentukan batu saluran empedu. Selama usia reproduksi, rasio wanita
dibandingkan pria adalah sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut umumnya angka
kejadian hampir sama pada kedua jenis kelamin.2

Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus
sistikus (kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus
kolesistitis akalkulosa. Dari semua warga Amerika Serikat yang menderita
kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.2

2.2.4. Patogenesis

2.2.4.1. Patogenesis Kolelitiasis

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan

14
infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang
paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus.

Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada


kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan
batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol
adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-
garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam
empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat
diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu.

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui


duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus.7

Patofisiologi pembentukan batu empedu

A. Batu Kolesterol4,5

Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya
kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus.
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari
90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan

15
berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan
inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan
lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan
persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol.

Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:

 Supersaturasi empedu dengan kolesterol


Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen
yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk
micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya
dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam
keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana
kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini
kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
o Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
o Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)
o Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
o Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
 Fase Pembentukan inti batu

16
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol
sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
 Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi
kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah
terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung
empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat
pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus,
kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi
trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu
kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan
mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.

B. Batu pigmen2

Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat.


Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium
bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras
dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah
bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil
kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu
kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu
empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam. Bilirubin pigmen
kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktif disekresikan ke empedu oleh sel
liver. Kebanyakan bilirubin dalam empedu dibentuk dari konjugat glukorinide yang
larut air dan stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari bilirubin tidak terkonjugasi
yang tidak larut dengan kalsium.

Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan


mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen
17
abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan
predisposisi pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin
tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di
negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan
invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit
Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk B-
glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang
bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut.

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :

 Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
 Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris
lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah
dari cacing tambang.

C. Batu campuran4

Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini


sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat
majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai
dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol.

18
2.2.4.2. Patogenesis Kolesistitis7

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah


stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan
sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut
akalkulus).

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan


empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia
dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti
bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai
saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan
respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,
lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.

Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai


85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari
kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus
grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang
dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya
lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan
iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu.

19
Gambar 3 Patofisiologi kolesistitis akut.5

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko


terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan
trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai
persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris
lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat termasuk
vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi, diabetes
mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu (misalnya
Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit
kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan
berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis,
tuberkulosis, aktinomises).8

Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi kondisi statis dari cairan empedu.

20
2.2.5. Manifestasi Klinis

2.2.5.1. Manifestasi Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)

A. Asimtomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit
sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien
yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya
yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik.2

B. Simtomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas.


Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris.4

2.2.5.2. Manifestasi Kolesistitis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu
tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60
menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya
kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung
empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang
sembuh spontan.6

21
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis,
kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat
sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar.
Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya
menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy).6

Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan


peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering
ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik,
tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya
tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin
tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien
– pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada
tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.6

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan


dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya.

2.2.6. Diagnosis

2.2.6.1. Diagnosis Kolelitiasis

A. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis.


Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di
22
daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.2

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak


bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.2

B. Pemeriksaan Fisik

 Batu kandung empedu


Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan
nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung
empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung
jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.5
 Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.5

C. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus.

23
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.5
 Pemeriksaan radiologis
o Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.5

Gambar 4 Gambaran batu di dalam kandung empedu pada foto polos


abdomen.3

o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.5
24
o Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

Gambar 5 Hasil USG pada kolelitiasis (kiri); hasil kolesistografi pada


kolesistitis (kanan).3

2.2.6.2. Diagnosis Kolesistitis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas


dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam
dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara
10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 μmol/L (5mg/dl)]
pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase
serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase
biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim
amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis,
namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat
25
disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi
empiema dan perforasi kandung empedu dipertimbangkan.1

Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat


memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus
kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu.15 Foto polos abdomen tidak
dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien
kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena
mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga
pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya
kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya
keganasan pada kandung empedu.1

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin


dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada
kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding kandung
empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu
membantu penegakkan diagnosis.1

Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI


dilaporkan lebih besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan
perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa
tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas.
Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik
yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.4

26
Gambar 6 CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya
batu empedu dan penebalan dinding kandung empedu.5

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n


Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik
ini tidak mudah. Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis
dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna.
Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu
pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis
akut.4

Gambar 7 Kiri: Scintigrafi normal, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45


menit; Kanan: pada pasien kolesistitis, HIDA tidak mengisi kandung empedu
setelah 1 jam 30 menit5

Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat


digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu

27
empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani
laparaskopi kolesistektomi.

Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada
jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis
kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti
neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan
sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan
perforasi.

2.2.7. Diagnosis Banding

Diagnosis kolelitiasis dan kolesistitis harus dapat ditegakkan sesegera


mungkin agar dapat dilakukan penanganan sedini mungkin dan menghindari
terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien.

Untuk kolelitiasis, dapat dipertimbangkan kemungkinan adanya patologi


intra-abdominal maupun ekstra-abdominal yang menyebabkan nyeri abdomen
bagian atas. Beberapa penyakit yang perlu dipertimbangkan adalah penyakit ulkus
peptik, pankreatitis (akut atau kronik), hepatitis, dispepsia, gastroesophageal reflux
disease (GERD), irritable bowel syndrome, spasme esofagus, pneumonia, nyeri
dada karena penyakit jantung, ketoasidosis diabetik, apendisitis, striktura duktus
biliaris, kolangiokarsinoma, kolesistitis, atau kanker pankreas.1

Untuk kolesistitis akut, dapat dipertimbangkan diagnosis banding untuk


nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri
saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal,
sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark
miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan
kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera
karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi. Penyakit lain yang dapat
dipertimbangkan antara lain adalah aneurisma aorta abdominal, iskemia mesenterik
akut, dan kolik biliaris.6

28
2.2.8. Penatalaksanaan

2.2.8.1. Penatalaksanaan untuk Kolelitiasis

Saat ditemukan adanya batu empedu asimptomatik selama melakukan


pemeriksaan pasien, maka umumnya belum perlu dilakukan kolesistektomi
profilaktik karena adanya beberapa faktor. Hanya sekitar 30% pasien dengan
kolelitiasis asimptomatik yang memerlukan operasi selama masa hidup mereka, dan
ini menunjukkan bahwa pada beberapa pasien, kolelitiasis merupakan suatu
kelainan yang relatif ringan dan tidak berbahaya. Pada beberapa pasien ini dapat
dilakukan penanganan konservatif.a Namun, terdapat beberapa faktor yang
menunjukkan kemungkinan terjadinya perjalanan penyakit yang lebih berat pada
pasien dengan batu empedu asimptomatik sehingga perlu dilakukan kolesistektomi
profilaksis. Beberapa faktor ini antara lain adalah pasien dengan batu empedu yang
berukuran besar (>2,5 cm), pasien dengan anemia hemolitik kongenital atau
kandung empedu yang tidak berfungsi, atau pasien yang menjalani operasi
kolektomi.

Pada batu empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan untuk


melakukan intervensi bedah definitif menggunakan kolesistektomi, meskipun pada
beberapa kasus dapat dipertimbangkan untuk meluruhkan batu menggunakan terapi
medikamentosa. Pada kolelitiasis non-komplikata dengan kolik biliaris,
penanganan medikamentosa dapat menjadi alternatif untuk beberapa pasien
tertentu, terutama yang menunjukkan risiko tinggi bila menjalani operasi.1

A. Penatalaksanaan konservatif

Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat


menekan sintesis dan sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di
usus. Ursodiol merupakan jenis obat yang paling sering digunakan. Ursodiol (asam
ursodeoksikolat) diindikasikan untuk batu empedu radiolusens yang berdiameter
kurang dari 20 mm pada pasien yang tidak dapat menjalani kolesistektomi. Obat ini
memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan sekresi asam empedu endogen
ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak mempengaruhi sekresi fosfolipid ke
dalam cairan empedu. Setelah pemberian dosis berulang, obat akan mencapai

29
kondisi seimbang setelah kurang lebih 3 minggu. Dosis lazim yang digunakan ialah
8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian. Intervensi ini membutuhkan waktu
6-18 bulan dan umumnya berhasil bila batu berukuran kecil dan murni merupakan
batu kolesterol, serta memiliki angka kekambuhan sebesar 50 % dalam 5 tahun.1,9

Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave


Lithotripsy (ESWL). Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun yang lalu,
namun saat ini hanya digunakna pada pasien yang benar-benar dianggap perlu
menjalani terapi ini karena biayanya yang mahal. Supaya efektif, ESWL
memerlukan terapi tambahan berupa asam ursodeoksilat.9

B. Penatalaksanaan Operatif

Sebaiknya tidak dilakukan terapi bedah untuk batu empedu asimptomatik.


Risiko komplikasi akibat intervensi pada penyakit asimptomatik nampak lebih
tinggi dari risiko pada penyakit simptomatik. Sekitar 25% pasien dengan batu
empedu asimptomatik akan mengalami gejala dalam waktu 10 tahun. Individu
dengan diabetes dan wanita hamil perlu menjalani pengawasan ketat untuk
menentukan apakah mereka mulai mengalami gejala atau komplikasi. Terdapat
beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi pada batu empedu asimpomatik,
antara lain adalah:

 Pasien dengan batu empedu besar yang berdiameter lebih dari 2 cm


 Pasien dengan kandung empedu yang nonfungsional atau nampak mengalami
kalsifikasi (porcelain gallbladder) pada pemeriksaan pencitraan dan pada pasien
yang berisiko tinggi mengalami karsinoma kandung empedu
 Pasien dengan cedera medula spinalis atau neuropati sensorik yang
mempengaruhi abdomen
 Pasien dengan anemia sel sabit, dimana kita akan sulit membedakan antara krisis
yang menyebabkan nyeri dengan kolesistitis
Selain itu, terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya komplikasi batu
empedu yang dapat menjadi indikasi untuk menawarkan kolesistektomi elektif pada
pasien, meskipun masih asimptomatik. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah:

 Sirosis

30
 Hipertensi porta
 Anak-anak
 Kandidat transplantasi
 Diabetes dengan gejala minor
 Pasien dengan kalsifikasi kandung empedu
Pada pasien kolelitiasis yang diputuskan akan menjalani terapi operatif,
terdapat beberapa teknik pembedahan yang dapat digunakan:

 Kolesistektomi
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan
pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi akibat adanya batu empedu,
kecuali usia atau kondisi umum pasien tidak memungkinkan dilakukannya
operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu, dapat dilakukan
drainase pus sementara dari kandung empedu (kolesistostomi) sehingga
memungkinkan dilakukannya stabilisasi, untuk nantinya dilanjutkan dengan
terapi kolesistektomi elektif.
Pada pasien dengan batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu di
saluran empedu, dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif pada
saat operasi kolesistektomi. Duktus biliaris komunis dapat dieksplorasi
menggunakan koledokoskop. Bila ditemukan adanya batu duktus biliaris
komunis, maka biasanya akan dilakukan ekstraksi intraoperatif. Alternatif lain
yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat sebuah fistula antara bagian
distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya (koledokoduodenostomi),
sehingga batu dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi yang pertama dilakukan pada akhir tahun 1800an.
Pendekatan operasi terbuka yang dikembangkan oleh Langenbuch masih
menjadi teknik standar sampai akhir tahun 1980an, dimana mulai diperkenalkan
teknik baru berupa kolesistektomi laparoskopik.
Kolesistektomi laparoskopik merupakan revolusi terapi minimal invasif,
yang telah mempengaruhi semua area praktek bedah modern. Saat ini,
kolesistektomi terbuka hanya dilakukan pada kondisi tertentu saja. pendekatan
kolesistektomi terbuka dilakukan menggunakan sebuah insisi subkostal kanan
yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi laparoskopik menggunakan 4 insisi yang
31
sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri paskaoperasi nampak jauh lebih rendah
pada pendekatan laparoskopik.
Saat ini, kolesistektomi laparoskopik biasanya dilakukan di klinik rawat
jalan. Dengan mengurangi waktu rawat inap dan waktu yang terbuang selama
pasien tidak dapat bekerja, pendekatan laparoskopik juga dapat mengurangi
biaya kolesistektomi.1
Pada pedoman penggunaan klinis operasi laparoskopik saluran biliaris yang
dipublikasikan tahun 2010, Society of American Gastrointestinal and
Endoscopic Surgeons (SAGES) menyatakan bahwa pasien dengan kolelitiasis
simptomatik dianggap memenuhi syarat untuk operasi laparoskopik. Pasien
kolelitiasis dengan kolesistektomi laparoskopik tanpa komplikasi dapat
dipulangkan di hari yang sama bila nyeri dan mual paskaoperasi sudah terkendali
dengan baik. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dapat menunjukkan risiko
yang lebih besar untuk kembali dirawat di rumah sakit.1
Selama melakukan kolesistektomi laparoskopik, seorang dokter bedah
harus mengambil semua batu yang tidak sengaja keluar melalui perforasi pada
kandung empedu. Pada beberapa kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan
perubahan menjadi operasi terbuka. Pada pasien dengan batu empedu yang
masuk dan hilang di cavum peritoneum, direkomendasikan untuk melakukan
pemeriksaan follow-up dengan USG selama 12 bulan. Sebagian besar kejadian
komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu) akan terjadi dalam jangka
waktu ini.
Komplikasi yang paling ditakuti dari kolesistektomi adalah kerusakan pada
duktus biliaris komunis. Kejadian cedera duktus biliaris nampak semakin
meningkat sejak dikembangkannya teknik kolesistektomi laparoskopik, namun
kejadian dari komplikasi ini sudah mulai berkurang seiring bertambahnya
pengalaman dan pelatihan yang dilakukan oleh para dokter bedah dalam bidang
operasi minimal invasif.6
Kolangiografi rutin umumnya tidak banyak membantu untuk mencegah
terjadinya cedera duktus biliaris komunis. Namun, bukti menunjukkan bahwa
teknik ini dapat membantu mendeteksi cedera semacam ini pada masa
intraoperasi.

32
 Kolesistostomi
Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema
kandung empedu dan sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada
kondisi ini, dokter bedah dapat memilih untuk melakukan kolesistostomi, suatu
prosedur minimal invasif yang dilakukan dengan memasang pipa drainase di
kandung empedu. Teknik ini biasanya dapat memperbaiki kondisi klinis pasien.
saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan kolesistektomi definitif secara elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomi juga dapat dilakukan oleh spesialis
radiologi invasif menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak
memerlukan anestesi dan nampak bermanfaat untuk pasien dengan kondisi klinis
yang tidak stabil.

C. Komplikasi Kolesistektomi

Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan


paru lainnya, pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan
interna, fistula biliaris-enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin
mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber intraabdomen akibat kebocoran
empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu, bekuan darah
intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi dini
tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi.2

Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil


yang menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala pada 75
sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala pascakolesistektomi
yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yang tidak diketahui
(misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom pascagastrektomi,
pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian kecil pasien
terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang menyebabkan
gejala persisten.2

33
2.2.8.2. Penatalaksanaan untuk Kolesistitis

A. Terapi konservatif

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis


akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status
hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat
penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada
fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis
dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai
untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti
E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien
yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian
antibiotik kombinasi.2,6

Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam


dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole
dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus
yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual
dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube.
Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien
dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda
– tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang
menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien
diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan
Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai.6

B. Terapi bedah

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,


apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah
terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus

34
akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan,
timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan
lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan.
Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan
penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena
proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi.

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu


dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi
kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada
kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap
terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan
operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis
pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini
dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin
sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya
memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis
kolesistitis akutnya masih meragukan.

Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar


pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk
kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk
kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari
60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada
organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka
panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau
keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang
terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada
lain waktu.

35
2.3. Ascites
2.3.1 Definisi
Asites adalah keadaan patologis berupa terkumpulnya cairan dalam rongga
peritoneal abdomen. Asites biasanya merupakan tanda dari proses penyakit kronis
yang mungkin sebelumnya bersifat subklinis.

Secara klinis dikelompokkan menjadi eksudat dan transudat:10

1. Asites eksudatif:
Biasanya terjadi pada proses peradangan (biasanya infektif, misalnya pada
tuberculosis) dan proses keganasan. Eksudat merupakan cairan tinggi protein,
tinggi LDH, ph rendah (<7,3), rendah kadar gula, disertai peningkatan sel darah
putih.

Beberapa penyebab dari asites eksudatif: keganasan (primer maupun


metastasis), infeksi (tuberkulosis maupun peritonitis bakterial spontan), pankretitis,
serositis, dan sindroma nefrotik.

2. Asites transudatif:
Terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan perubahan bersihan
(clearance) natrium ginjal, juga bisa terdapat pada konstriksi perikardium dan
sindroma nefrotik. Transudat merupakan cairan dengan kadar protein rendah
(<30g/L), rendah LDH, pH tinggi, kadar gula normal, dan sel darah putih kurang
dari 1 sel per 1000 mm³.

Beberapa penyebab dari asites transudatif: sirosis hepatis, gagal jantung,


penyakit vena oklusif, perikarditis konstruktiva, dan kwasiokor.10

2.3.2 Patofisiologi11
Ada 3 kondisi yang memungkinkan terjadinya asites, yaitu:

 Hipoalbumin
 Retensi natrium dan air, ada tiga teori yang menyebabkan, yaitu underfill,
overflow, dan vasodilatasi perifer
 Sintesis dan aliran limfe yang meningkat

36
Menurut teori underfilling asites dimulai dari volume cairan plasma yang
menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan
meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah hipoalbuminemia akan
menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan intravascular menurun. Akibat
volume cairan intravascular menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan
reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal.. Teori overfilling
mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspamsi cairan plasma akibat reabsorpsi air
oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktivitas hormone anti-
diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormone natriuretik karena penurunan
fungsi hati. Teori vasodilatas perifer menyebutkan factor patogenesis pembentukan
asites yang amat penting adalah hipertensi portal yang sering disebut sebagai factor
local dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut factor sistemik. Pada
karsinoma ovari, cairan asites diproduksi oleh ovarium yang akan mensekresikan
cairan yang dapat bersifat serous atau musin.
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan system
portal dan terjadi hipertensi portal. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi
dengan vasodilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi portal menjadi
menetap. Hipertensi portal akan meningkatkan tekanan transudasi, terutama di
sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga
peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara lain : glukagon ,
nitric oxide ( NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, factor
natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P,
prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).
Vasodilatasi endogen pada saatnya akan mempengaruhi sirkulasi arterial
sistemik; terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses
underfilling relative. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas system
saraf simpatik, sisten rennin-angiotensin-aldosteron dan arginin vasopressin.
Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan
peningkatan indeks jantung.

2.3.3 Gejala Klinis 11


Derajat Ascites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut :

37
 Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.
 Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam
jumlah cairan yang minimal.
 Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi
permukaan abdomen tidak tegang.
 Tingkatan 4 : ascites permagna.

2.3.4 Diagnosis8

Pada inspeksi perut membuncit seperti perut katak, umbilicus seolah


bergerak ke kaudal mendekati simpisis os pubis. Pada perkusi, pekak samping
meningkat dan terjadi shifting dullness. Asites yang masih sedikit belum
menunjukan tanda-tanda fisis yang nyata. Diperlukan cara pemeriksaan khusus
misalnya dengan pudle sign untuk menentukan asites. Pemeriksaan penunjang yang
dapat memberikan informasi untuk mendeteksi asites adalah ultrasonografi (USG),
karena memiliki ketelitian yang tinggi.
Parasentesis diagnostic sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites baru,
pemeriksaan cairan asites dapat memberikan informai yang amat penting untuk
mengelolaan selanjutnya, misalnya:
A. Gambaran makroskopis, cairan asites hemoragik sering dihubungkan
dengan keganasan. Warna kemerahan juga dijumpai pada sirosis hati akibat
rupture kapiler peritoneum.
B. Gradient nilai albumin serum dan asites (serum ascites albumin gradient).
Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites yang ada
hubungannya dengan hipertensi porta atau asites eksudat. Gradient
dikatakan tinggi bila nilainya > 1,1 gram/dL. Kurang dari itu dianggap
rendah, gradient tinggi terdapat pada asites transudasi dan berhubungan
dengan hipertensi porta sedangkan gradient rendah lebih sering
berhubungan dengan asites eksudat.
Gradien tinggi > 1,1 mg/dL Gradien rendah < 1,1 mg/dL

Sirosis hepatis Karsimomatosis peritoneum

38
Gagal hati akut Peritonitis TB
Metastasis hati massif Asites surgical
Gagal jantung kongestif Asites biliaris
Syndrom Budd-Chiari Penyakit jaringan ikat
Penyakit veno-oklusif Sindrom nefrotik
Miksedema Asites pankreatik

C. Hitung sel, peningkatan jumlah sel leukosit menunjukan proses inflamasi.


Untuk menilai asal inflamasi lebih tepat digunakan hitung jenis sel. Sel
PMN meningkat > 250/mm3 menunjukan peritonitis bacterial spontan,
sedang peningkatan MN lebih sering pada peritonitis TB atau
karsinomatosis.
D. Biakan kuman, dilakukan pada pasien asites yang dicurigai terinfeksi.
E. Pemeriksaan sitologi.

2.3.5 Penatalaksanaan Asites6,11


Asites dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
 Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, tirah baring akan
menyebabkan aktifitas simpatis dan sistem rennin-angiotensin-aldosteron
menurun. Yang dimaksud tidah baring adalah tidur terlentang, kaki sedikit
diangkat, selama beberapa jam setelah minum obat.
 diet rendah garam ringan sampai sedang untuk membantu dieresis.
Konsumsi NaCl sehari dibatasi hingga 40-60 meq/hari.
 Diuretik yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai
antialdosteron (spironolakton). Diuretic loop sering dibutuhkan sebagai
kombinasi. Pada sirosis hepatic kurang efektif karena mekanisme utama
reabsopsi air dan natrium.
 Terapi parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5
10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8
gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan
masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C,

39
Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm
3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.
 Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari asites. Asites sebagai
komplikasi dari penyakit yang dapat diobati, dengan menyembuhkan
penyakit yang mendasari maka asites dapat menghilang.contoh peritoneal
TB. Asites eksudat yang penyebabnya tidak dapat disembuhkan, misalnya
karsinomatosis peritoneum.

2.4 Efusi Pleura


2.4.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura12
Pleura terletak dibagian terluar dari paru-paru dan mengelilingi paru. Pleura
disusun oleh jaringan ikat fibrosa yang didalamnya terdapat banyak kapiler limfa
dan kapiler darah serta serat saraf kecil. Pleura disusun juga oleh sel-sel (terutama
fibroblast dan makrofag). Pleura paru ini juga dilapisi oleh selapis mesotel. Pleura
merupakan membran tipis, halus, dan licin yang membungkus dinding anterior
toraks dan permukaan superior diafragma. Lapisan tipis ini mengandung kolagen
dan jaringan elastis.
Ada 2 macam pleura yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura
parietalis melapisi toraks dan pleura viseralis melapisi paru-paru. Kedua pleura ini
bersatu pada hilus paru. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan antara kedua pleura
ini yaitu pleura viseralis bagian permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesotelial
yang tipis (tebalnya tidak lebih dari 30 µm). Diantara celah-celah sel ini terdapat
beberapa sel limfosit. Di bawah sel-sel mesotelia ini terdapat endopleura yang berisi
fibrosit dan histiosit. Seterusnya dibawah ini (dinamakan lapisan tengah) terdapat
jaringan kolagen dan serat-serat elastik. Pada lapisan terbawah terdapat jaringan
intertitial subpleura yang sangat banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari
A. Pulmonalis dan A. Brankialis serta pembuluh getah bening.
Di antara pleura terdapat ruangan yang disebut spasium pleura, yang
mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan
memungkinkan keduanya bergeser secara bebas pada saat ventilasi. Cairan tersebut
dinamakan cairan pleura. Cairan ini terletak antara paru dan thoraks. Tidak ada
ruangan yang sesungguhnya memisahkan pleura parietalis dengan pleura viseralis

40
sehingga apa yang disebut sebagai rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah suatu
ruangan potensial. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah daripada tekanan
atmosfer sehingga mencegah kolaps paru. Jumlah normal cairan pleura adalah 10-
20 cc.

Gambar 8 Gambaran Anatomi Pleura15


2.4.2 Definisi Efusi Pleura6
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura akibat
transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Rongga pleura
adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga
dada, diantara permukaan viseral dan parietal. Dalam keadaan normal, rongga
pleura hanya mengandung sedikit cairan sebanyak 10-20 ml yang membentuk
lapisan tipis pada pleura parietalis dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai
pelicin gesekan antara permukaan kedua pleura pada waktu pernafasan. Jenis cairan
lainnya yang bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah, nanah, cairan
seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. Efusi pleura bukan
merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.
Terdapat beberapa jenis efusi berdasarkan penyebabnya, yakni :
a. Bila efusi berasal dari implantasi sel-sel limfoma pada permukaan pleura.
b. Bila efusi terjadi akibat obstruksi aliran getah bening.
c. Bila efusi terjadi akibat obstruksi duktus torasikus (chylothorak).
d. Efusi berbentuk empiema akut atau kronik.
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi :
1. Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu
adalah transudat. Biasanya hal ini terdapat pada keadaan meningkatnya

41
tekanan kapiler sistemik, meningkatnya tekanan kapiler pulmonal,
menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura dan menurunnya tekanan
intra pleura. Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah gagal
jantung kiri (terbanyak), sindrom nefrotik, obstruksi vena cava superior dan
asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk
melalui saluran getah bening)
2. Eksudat
Eksudat merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran
kapiler yang permeable abnormal dan berisi protein transudat.

Tabel 1 Perbandingan antara Transudat dan Eksudat


PARAMETER TRANSUDAT EKSUDAT
Warna Jernih Jernih, keruh, berdarah
BJ < 1,016 > 1,016
Jumlah set Sedikit Banyak (> 500 sel/mm2)
Jenis set PMN < 50% PMN > 50%
Rivalta Negatif Negatif
Glukosa 60 mg/dl (= GD plasma) 60 mg/dl (bervariasi)
Protein < 2,5 g/dl >2,5 g/dl
Rasio protein TE/plasma < 0,5 > 0,5
LDH < 200 IU/dl > 200 IU/dl
Rasio LDH T-E/plasma < 0,6 > 0,6

2.4.3 Etiologi6
Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi
pleura berupa:

a. Eksudat, disebabkan oleh :


1) Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-
6000/cc.

42
2) Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh
bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun
anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,
Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-
lain).
3) Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap fungi.
4) Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi
melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat
juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya
cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan
nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk
ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi
yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan
jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala
febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5) Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,
mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral
dengan ukuran jantung yang tidak membesar.
b. Transudat, disebabkan oleh :
1) Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab
lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.
Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan
tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura
parietalis.
2) Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah.
3) Hidrothoraks hepatik

43
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui
lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura.
4) Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita
dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan
sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor
ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis.
5) Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal.
c. Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb
pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak
yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor
koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila
darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari
trauma dinding dada.

2.4.4 Patogenesis Efusi Pleura6


Secara garis besar akumulasi cairan pleura disebabkan karena dua hal yaitu:
1. Pembentukan cairan pleura berlebih
Hal ini dapat terjadi karena peningkatan: permeabilitas kapiler
(keradangan, neoplasma), tekanan hidrostatis di pembuluh darah ke
jantung / v. pulmonalis ( kegagalan jantung kiri ), tekanan negatif
intrapleura (atelektasis ).
2. Penurunan kemampuan absorbsi sistem limfatik
Hal ini disebabkan karena beberapa hal antara lain: obstruksi stomata,
gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening,
peningkatan tekanan vena sentral tempat masuknya saluran limfe dan
tekanan osmotic koloid yang menurun dalam darah, misalnya pada
hipoalbuminemi. Sistem limfatik punya kemampuan absorbsi sampai
dengan 20 kali jumlah cairan yang terbentuk.

44
Jumlah cairan yang abnormal dapat terkumpul jika tekanan vena
meningkat karena dekompensasi cordis atau tekanan vena cava oleh
tumor intrathorax. Selain itu, hypoprotonemia dapat menyebabkan efusi
pleura karena rendahnya tekanan osmotic di kapiler darah.

2.4.5 Diagnosis2
Diagnosis kadang-kadang dapat ditegakkan secara anamnesis dan pemeriksaan
fisik saja. Untuk diagnosis yang pasti perlu dilakukan tindakan torakosentesis dan
pada beberapa kasus dilakukan juga biopsy pleura.
1. Sinar tembus dada
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan
membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih
tinggi daripada bagian medial. Dalam foto dada pada efusi pleura adalah
terdorongnya mediastenum pada sisi yang berlawanan dengan cairan.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura dapat menentukan adanya
cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan CT Scan dada. Adanya perbedaan
densitas cairan dengan jaringan sekitarnya, hanya saja pemeriksaan ini tidak
banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.

Gambar 9 Gambaran Toraks dengan Efusi Pleura16

2. Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana untuk
diagnostic maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada
penderita dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru

45
di sela iga IX garis aksilaris posterioar dengan memakai jarum Abbocath
nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi
1.000-1.500 cc pada setiap kali aspirasi. Adalah lebih baik mengerjakan
aspirasi berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat
menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau edema paru. Edema paru dapat
terjadi karena paru-paru menggembang terlalu cepat. Untuk diagnostic
caiaran pleura dilakukan pemeriksaan:
1) Warna cairan. Bila kuning kehijauan dan agak perulen, ini menunjukan
adanya empiema. Bila merah tengguli, ini menunjukan adanya abses karena
amoeba.
2) Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat.
Diperiksakan juga kadar pH dan glukosa serta kadar amylase.
3) Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk
diagnostic penyakit.
a) Sel neutrofil: menunjukan adanya infeksi akut
b) Sel limfosit: menunjukan adanya infeksi kronik seperti pleuritis
tuberkulosa atau limfoma malignum.
c) Sel mesotel: bila jumlahnya meningkat adanya infark
paru.biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
d) Sel mesotel maligna: pada mesotelioma.
e) Sel-sel besar dengan banyak inti: pada arthritis rheumatoid.
4) Bakteriologi
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah
pneumokokus, E, coli, Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacter
3. Biopsi pleura
Pemeriksaan histology menunjukan 50-75 persen diagnosis kasus-kasus
pleuritis tuberkolosa dan tumor pleura.
4. Pendekatan pada efusi yang tidak terdiagnosis
Dalam hal ini dianjurkan asppirasi dan anakisisnya diulang kembali sampai
diagnosis menjadi jelas.

46
2.4.6 Tatalaksana13
1. Thorakosentesis
- Pungsi pleura - Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis
aksila posterior dengan memakai jarum abocath nomor 14 atau 16.
- Pungsi percobaan/diagnostik
Yaitu dengan menusuk dari luar dengan suatu spuit kecil steril 10 atau 20
ml serta mengambil sedikit cairan pleura (jika ada) untuk dilihat secara fisik (warna
cairan) dan untuk pemeriksaan biokimia (uji Rivalta, kadar kolesterol, LDH, pH,
glukosa, dan amilase), pemeriksaan mikrobiologi umum dan terhadap M.
tuberculosis serta pemeriksaan sitologi.
2. Water Sealed Drainage
Penatalaksanaan dengan menggunakan WSD sering pada empyema dan efusi
maligna.
Indikasi WSD pada empyema :
a. Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi
b. Nanah terus terbentuk setelah 2 minggu
c. Terjadinva piopneumothoraxs
3. Pleurodesis
Tindakan melengketkan pleura visceralis dengan pleura parietalis dengan
menggunakan zat kimia (tetrasiklin, bleomisin, thiotepa, corynebacterium, parfum,
talk) atau tindakan pembedahan. Tindakan dilakukan bila cairan sangat banyak dan
selalu terakumulasi kembali.

47
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. D Alamat : Jl. Peterongan Kobong


No 33. Semarang

Usia : 39 tahun Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal lahir : 28 Desember 1979 Agama : Islam

Pasien masuk ke IGD RSUD KRMT Wongsonegoro, Semarang pada hari Jumat
tanggal 12 April 2019.

3.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal Nakula 3 pada hari Rabu


tanggal 16 April 2019 pukul 13.00.

Keluhan Utama: Sesak Napas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dibawa keluarganya ke IGD RSUD KRMT Wongsonegoro


Semarang pada tanggal 12 April 2019 dengan keluhan sesak nafas sejak 4 hari yang
lalu. Sesak dirasakan terus menerus dan bertambah berat ketika melakukan
aktivitas. Selain sesak, pasien juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna kuning
sejak 1 minggu yang lalu. Pasien pun mengeluhkan nyeri dada kiri, bengkak kaki
kiri, mata berwarna kuning dan badan lemas sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami sesak seperti ini sebelumnya. Pasien belum
mengonsumsi obat apapun untuk mengatasi sesaknya. Riwayat darah tinggi,
kencing manis, dan penyakit lainnya disangkal oleh pasien. Pasien juga
menyangkal riwayat alergi dan riwayat trauma.

48
Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien mengaku tidak ada anggota keluarga mengalami hal yang
serupa dengan pasien. Ayah pasien memiliki riwayat darah tinggi. Riwayat kencing
manis, dan penyakit lain pada keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan

Pasien pernah merokok saat muda sekitar 2-3 batang sehari. Pasien sudah
berhenti merokok sekitar 2 tahun. Pasien memiliki kebiasaan minum kopi. Riwayat
konsumsi alkohol disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum: Tampak sakit sedang
 Kesadaran: GCS: 15, Compos mentis
 Tanda-tanda vital:
 Tekanan darah : 108/83 mmHg
 Frekuensi nadi : 104 kali/menit
 Frekuensi napas : 20 kali/menit
 Suhu tubuh : 36,7oC
 SpO2 : 99% O2 NRM
 Data Antropometri : BB 55 kg; TB 167 cm (IMT 19,72 kg/m2)
Kesan: Normal

Pemeriksaan Sistem
 Kepala: Bentuk normal (normocephali), rambut putih terdistribusi merata,
tidak ada benjolan
 Mata : palpebral simetris, cekung (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera
ikterik (+/+), pupil bulat isokor D 3 mm, reflex cahaya pupil normal
 Telinga : Serumen (-/-), tidak nyeri, tidak bengkak
 Hidung : Simetris, secret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
 Mulut : bentuk simetris, perioral sianosis (-), mukosa rongga mulut warna
merah muda, mukosa lidah normal. Arkus faring anterior/posterior normal,
tonsil palatina ukuran T1-T1 warna merah muda, kripta tonsil normal,

49
detritus tonsil (-/-), dinding posterior faring normal, warna mukosa merah
muda.
 Leher: Trakea ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, tidak teraba
benjolan
 Toraks:
a. Pulmo:
Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam keadaan diam dan
pergerakan nafas, tidak ada retraksi otot-otot pernafasan
Palpasi : Stem fremitus kiri terdengar lebih kuat dibanding
kanan
Perkusi : Sonor pada lapang paru kiri dan redup pada lapangan
paru kanan
Auskultasi : Vesikuler normal pada paru kiri dan vesikuler melemah
pada paru kanan, ronkhi basah pada lapangan paru kanan, wheezing
(-/-)
b. Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada bunyi jantung
tambahan
 Abdomen:
Inspeksi : perut tampak membuncit, spider naevi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Redup, fluid wave (+), shifting dullness (+). Hepar : liver
span sulit dinilai.
Palpasi : tegang, nyeri tekan (+) di kuadran kanan atas, turgor
normal, massa (-), hepar sulit dinilai
 Ekstremitas: ,Akral hangat, CRT <2 detik, nadi teraba sama kuat kanan dan
kiri
 Tulang belakang: Tidak ada kelainan
 Kulit: Tidak ada kelainan

50
 Kelenjar Getah Bening: Tidak ada pembesaran KGB di preaurikular,
postaurikular, submental, submandibular, servikal, supraklavikula dan
inguinal
 Anus dan genitalia : tidak ada kelainan

Pemeriksaan Neurologis

Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah

DARAH NORMAL HASIL (16-04-2019)

Hemoglobin 11,7-15,5 g/dL 13,3 g/dL

Hematokrit 35-47% 40,60%

Eritrosit 4700 – 6100/L 4510/L (L)

Leukosit 4.000-11.000/L 10.200/L

Trombosit 150.000-400.000/L 201.000/L

KIMIA KLINIK NORMAL HASIL (14-04-2019)

Ureum 17-43 mg/dL 73,2 mg/dL (H)

Creatinin 0,5-0,8 mg/dL 1,7 mg/dL (H)

SGOT 0-50 U/L 109 U/L (H)

SGPT 0-50 U/L 219 U/L (H)

51
Natrium 135-147 mmol/L 130 mmol/L (L)

Kalium 3,5-5 mmol/L 4,6 mmol/L

Kalsium 1,12-1,32 mmol/L 1,13 mmol/L

Kolesterol Total <200 mg/dL 223 mg/dL (H)

Trigliserida <=150 mg/dL 115 mg/dL

Bilirubin Total 0 – 1 mg/dL 2,02 mg/dL (H)

Bilirubin direk 0 – 0,35 mg/dL 1,16 mg/dL (H)

Bilirubin indirek 0 – 0,65 mg/dL 0,66 mg/dL (H)

SEROLOGI NORMAL HASIL

Leptospira Negatif Negatif

Pemeriksaan USG Abdomen (16-04-2019)

Gambar 3.1 Gambaran USG Hepar

52
Gambar 3.2 Gambaran USG Aorta dan Gallbladder

Gambar 3.3 Gambaran USG Ginjal Kanan-Kiri dan Lien

53
Gambar 3.4 Gambaran USG Bladder, Prostat dan Pankreas

HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, eksogenitas normal, tepi
rata, sudut tajam, tak tampak nodul, V. Porta dan V. Hepatika tak melebar. Duktus
biliaris intra-ekstrahepatal tak melebar.

VESIKA FELEA tidak membesar, dinding tampak menebal (6,4 mm), tampak
batu ukuran sekitar 2,39cm,tak tampak sludge.

LIEN ukuran normal, parenkim homogen, V. Lienalis tidak melebar, tidak tampak
nodul.

PANKREAS ukuran normal, parenkim homogen, duktus pankreatikus tidak


melebar.

GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS
tidak melebar, tidak tampak batu, tidak tampak massa

GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, kaliks
tampak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.

AORTA tak tampak melebar. Tidak tampak pembesaran limfonodi paraaorta.

VESIKA URINARIA dinding tidak menebal, reguler, tidak tampak batu/massa.

PROSTAT ukuran normal, tidak tampak kalsifikasi, tak tampak nodul

54
Tampak efusi pleura kanan. Tampak cairan bebas di perihepatik.

KESAN:

 Kolelisistitis disertai kolelitiasis (ukuran sekitar 2,39 cm)  gambaran


calculous cholecystitis

 Kaliekstasis kiri

 Ascites

 Efusi pleura kanan

3.5 Diagnosa Kerja

 Kolesistitis

3.6 Tatalaksana

 OBH syr 3 x 2

 Cefixime 2 x 1

 Curcuma 3 x 1

 Ranitidin 2 x 1

 Furosemid 1 x 1

3.7 Rencana Evaluasi

 Keadaan umum dan tanda-tanda vital


 Hasil laboratorium
 Awasi timbulnya komplikasi

3.8 Edukasi

 Penjelasan mengenai kemungkinan penyebab dan mekanisme penyakit


yang diderita

 Penjelasan mengenai tatalaksana

 Penjelasan mengenai kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi

55
3.9 Prognosis

 Ad vitam : dubia ad bonam


 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad functionam : dubia ad bonam

56
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien adalah seorang laki-laki berusia 33 tahun datang ke RSUD KRMT


Wongsonegoro Semarang pada tanggal 12 April 2019 dengan sesak nafas. Keluhan
sesak nafas dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Sesak dirasakan terus menerus dan
bertambah berat ketika melakukan aktivitas. Selain sesak, pasien juga mengeluhkan
batuk berdahak berwarna kuning sejak 1 minggu yang lalu. Pasien pun
mengeluhkan nyeri dada kiri, bengkak kaki kiri, mata berwarna kuning dan badan
lemas sejak 1 minggu yang lalu. Pasien tidak pernah mengalami sesak seperti ini
sebelumnya. Pasien belum mengonsumsi obat apapun untuk mengatasi sesaknya.
Pasien dahulu juga merupakan serorang perokok aktif tetapi sudah berhenti
merokok sekitar 2 tahun. Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi kopi.

Faktor resiko yang dapat ditemukan pada pasien adalah usia. Keluhan yang
dialami pasien sesuai dengan literatur, seperti nyeri yang hilang timbul pada area
kanan atas, nyeri timbul selama 15 menit dan kemudian menghilang serta nyeri
seringkali dirasakan beberapa saat setelah pasien makan berat.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya konjungtiva anemis, sklera


ikterik, stem fremitus kiri yang terdengar lebih kuat disbanding kanan, suara redup
pada lapang paru kanan, vesikuler melemah pada paru kanan, ronkhi basah pada
lapang paru kanan dan nyeri tekan di kuadran kanan atas. Hal ini sesuai dengan
literatur mengenai adanya nyeri tekan pada penderita kolelithiasis.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien sudah tepat, yaitu


pemeriksaan USG. Dari hasil pemeriksaaan USG abdomen didapatkan adanya
kolesistitis disertai kolelitiasis dengan ukuran sekitar 2,39 cm disertai adanya
kaliektasis kiri, asites dan efusi pleura kanan.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Welling TH, Simeone D. M.Gallbladder and Biliary Tract: Anatomy and


Structural Anomalies, in Textbook of Gastroenterology (ed T. Yamada),
Blackwell Publishing Ltd., Oxford, UK. 2008.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.826-42.
3. Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 28 April 2019. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
4. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th
edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
5. Bloom AA, Katz J. Cholecystitis. Diunduh tanggal : 28 April 2019. Dari
[online] http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
6. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. Hal 477-478.
7. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatology. Sep 9 2009
8. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts,
dari Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi ke-14. Mc Graw Hill,
1998. hal.1725-1736
9. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380-
4.
10. Davey Petrick, 2005. Ascites in at a glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
11. Hirlan, 2006. Asites Dalam: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed:4 Jakarta. Pusat
penerbitan, departemen ilmu penyakit dalam FKUI; 449.
12. Moore, KL. 2009. Clinically Oriented Anatomy. 6th edition. Philadelphia: WB
Saunders Company.
13. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.

58
14. Adam. Gallstones and gallbladder disease. [Online] [2018 Januari 16] [cited
2019 April 29] Available from:URL:
http://aia5.adam.com/content.aspx?productId=10&pid=10&gid=000010
15. Gangadharan SP. Overview of Benign Pleural Conditions: Anatomy and
Physiology of Pleura. [Online] Available from:URL:
https://accesssurgery.mhmedical.com/content.aspx?bookid=1317&sectionid=7
2435493
16. Boka K. Pleural Effusion. [Online] [2018 Desember 28] [cited 2019 April 29]
Available from:URL: https://emedicine.medscape.com/article/299959-
overview

59

Anda mungkin juga menyukai