Anda di halaman 1dari 6

Pengaruh Bangsa Toinghoa Terhadap Arsitektur Di Indonesia

Proses akulturasi dimulai ketika sebuah kebudayaan awal bertemu dengan kebudayaan
baru. Kemudian unsur-unsur dari masing-masing kebudayaan yang berbeda saling bercampur
satu sama lain sebagai akibat dari pergaulan atau interaksi yang intensif dalam waktu yang lama,
namun tidak menyebabkan munculnya budaya baru. Dengan kata lain dua kebudayaan yang
berbeda membentuk sebuah kebudayaan baru dengan tidak menghilangkan ciri masing-masing
kebudayaan. Kehadiran etnis Tionghoa di Lasem sejak lebih dari empat ratus tahun lalu telah
membuat banyak perubahan. Budaya Cina telah lama berbaur dengan budaya masyarakat
pribumi. Pernikahan etnis Tionghoa dan pribumi memicu munculnya dua kelompok besar etnis
Tionghoa, yakni Cina toktok dan Cina peranakan. Bukti pembauran budaya Cina dan pribumi
yang terkenal adalah Batik Tulis Lasem. Motif batik bergaya khas Cina seperti Liong,
Burung Phoenix dan Naga banyak menghiasi batik tulis Lasem. Warna batik yang khas
yakni warna merah darah ayam seperti warna yang dianggap memiliki banyak keberuntungan di
negeri Cina juga merupakan salah satu bentuk akulturasi. Sementara itu, akulturasi batik tidak
hanya antara budaya jawa dan Cina melainkan juga Islam. Batik dengan warna khas merah darah
ayam bermotif kalimat “Allahuakbar” dan “Muhammad” juga pernah dibuat. Proses pelunturan
malam bukan dengan diinjak melainkan dengan tangan. Selain batik bukti akulturasi budaya
adalah di bidang arsitektur. Akuturasi budaya di bidang arsitektur adalah banyaknya rumah-
rumah bergaya khas arsitektur Cina di Desa Soditan dan Karangturi Lasem. Pengaruh budaya
Cina pun terasa mendominasi pada banyak segi kehidupan di Kota Lasem. Banyak peninggalan
bangunan tua yang sudah berusia ratusan tahun. Rumah-rumah tua berarsitektur Cina, sebagian
telah kosong dengan dinding mulai terkelupas dan ditumbuhi lumut hijau.

Batik lasem

Selain itu, Budaya Cina memiliki pengaruh yang sangat besar di arsitektur Kota Lasem
yang memiliki tiga kelenteng berumur ratusan tahun. Akulturasi budaya Cina islam bisa dilihat
dari bentuk atap Masjid Jami‟ Lasem. Bentuk atap yang bertingkat dua memiliki ujung
melengkung mirip dengan arsitektur bangunan Cina yang bernama Tsuan Tsien .
Wujud akulturasi budaya Cina dan islam dalam arsitektur Masjid Jami‟ Lasem. (Al)
wujud atap pada arsitektur bergaya Cina yang disebut Tsuan Tsien (Handinoto, 2008). (A2)
Wujud atap Masjid Jami‟ Lasem yang menyerupai wujud atap Tsuan Tsien. (B1) Bagian ujung
atap bangunan bergaya Cina yang khas. (B2) Bagian ujung atap Masjid Jami‟ Lasem. (C1)
Bagian ujung atap bangunan Cina yang menonjol. (C2) Bagian ujung atap Masjid Jami‟ Lasem.
(Dl) Kubah masjid yang merupakan ciri arsitektur islam. (D2) Kubah masjid Lasem yang
bergaya islam. (E1) Menara salah satu masjid di Turki yang bergaya Islam. (E2) Menara Masjid
Jami‟ Lasem. (Fl) Ukiran di salah satu rumah tradisional Kudus yang dulunya merupakan rumah
pedagang dan tukang Cina muslim (Hartono dan Handinoto, 2007:17). (F2) Ukiran di mimbar
Masjid Jami‟ Lasem
Pengaruh Seni Ukir Cina Sunan Kudus, pada tahun 1549 membangun Masjid Kudus
berbentuk Pagoda dengan ukiran bergaya Tiongkok dibantu pengukir Muslim Tionghoa
bernama The Liang Sin atau Kyai Telingsing. Ia mengajarkan seni ukir kepada masyarakat
Jepara. Gaya ukiran itu dikenal dengan nama Sun Ging, yang kemudian menjadi salah satu seni
Jawa yang diberi nama seni Sungging. . Perihal masuknya seni ukir zaman kuno ke Jepara
terdapat dalam Risalah dan Kumpulan Data Tentang Perkembangan Seni Ukir Jepara (yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Jepara, 1979), dijelaskan bahwa masuknya berbagai
kebudayaan ke pulau Jawa berturut-turut adalah kebudayaan India, kemudian kebudayaan
Tiongkok, dan kebudayaan Islam, serta perpaduan kebudayaan Tiongkok dengan kebudayaan
kerajaan Majapahit. Pengaruh ini masuk melalui pelabuhan Jepara.
Seorang pemuda bernama Raden Thoyib, yang kemudian memperoleh gelar ‘ningrat’,
yakni Pangeran Hadiri, belajar seni ukir di Tiongkok. Sekembalinya ke Jawa, ia membangun
Masjid Mantingan. Pembangunan masjid itu tak terpisahkan dengan bantuan para kriyawan
Tiongkok. Pada halaman 37 dalam buku itu di muat foto ukiran Jepara dengan di beri penjelasan
bahwa hal ini merupakan salah satu manifestasi akulturasi antara kebudayaan Majapahit yang
berasal dari India dan kebudayaan Tionghoa. Pada bagian kesimpulan dijelaskan bahwa seni ukir
Jepara mencerminkan perpaduan antara kebudayaan Majapahit setempat dengan kebudayaan
Khmer, kebudayaan Tioghoa, dan Kebudayaan Islam
Ukiran pada dinding Masjid Mantingan berbentuk panel medalion (bulat), roset, bujur
sangkar, empat persegi panjang dengan kedua sisinya berbentuk kurung kurawal, dan ada pula
yang berbentuk kelelawar. Panelpanel ini menunjukkan:
1. Binatang yang distilir seperti angsa, burung, kuda, ular, kijang, gajah kera, ketam, sehingga
bentuknya tidak lagi persis seperti aslinya
2. Tumbuh-tumbuhan daun dan bunga teratai, sulur-suluran, labu air, pandan, kangkung, nipah,
bambu, paku, kelapa, keben, sagu, dan kamboja
3. Gunung dan matahari
4. Motif makara yang distilir
5. Anyaman (jalinan)
6. Rumah panggung, pagar, gapura, dan bentar.
Beberapa motif pada panel ini memiliki kemiripan dengan motif wadasan yang berbentuk
karangkarang pada bagian dasar motif. Di mana motif wadasan diyakini sebagai motif yang
dipengaruhi kebudayaan Cina khususnya dari faham Taoisme yang banyak ditemui di Cirebon.
Kesimpulan ini muncul karena motif wadasan yang ada pada ragam kerajinan Cirebon serupa
dengan motif yang ada pada ragam hias khas Cina seperti giok dan pahatan-pahatan batu
lainnya5.
Terjadi beberapa kali perubahan pada masjid Mantingan. Pada tahun 1927 dilakukan
pemugaran pada dindingnya dengan mengganti material menggunakan semen dan kapur. Alhasil
keaslian dari bangunan ini menjadi hilang. Panel ukiran yang berasal dari masjid lama ditempel
pada kanan-kiri atas tiga pintu yang terdapat pada serambi masjid. Beberapa dipasang di dinding
bawah,

Ukiran pada dinding masjid mantingan

Anda mungkin juga menyukai