Anda di halaman 1dari 8

Formula Cairan 24 jam pertama Kristaloid pada 24 jam Koloid pada 24 jam

kedua kedua

Evans Larutan saline 1 50% volume cairan 24 jam 50% volume cairan 24 jam
ml/kg/%LB, 2000 ml pertama + 2000 ml D5W pertama
D5W*, dan koloid 1 ml/ kg /
%LB

Brooke RL 1.5 ml / kg / %LB, koloid 50% volume cairan 24 jam 50% volume cairan 24 jam
0.5 ml / kg/ %LB, dan 2000 pertama + 2000 ml D5W pertama
ml D5W

Parkland RL 4 ml / kg / %LB 20-60% estimate plasma Pemantauan output urine


volume 30 ml/jam

Modified Brooke RL 2 ml / kg / %LB

Monafo hypertonic 250 mEq/L salinepantau 1/3 lar. Saline,pantau output


demling output urine 30 ml/jam, urine
dextran 40
dalam lar. saline 2
ml/kg/jam untuk 8 jam, RL
pantau output urine 30
ml/jam, dan fresh frozen
plasma 0.5 ml/jam untuk 18
jam dimulai 8 jam setelah
terbakar.

METODE BAXTER

Menurut Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan kristaloid dalam hal ini
Ringer Laktat (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang lebih fisiologis dibandingkan dengan
Natrium Klorida) dengan alasan; cairan saja sudah cukup untuk mengantikan cairan yang hilang (perpindahan
ke jaringan interstisium), pemberian kristaloid adalah tindakan resusitasi yang paling fifiologis dan aman

Hari pertama

Dewasa : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per 24jam

Anak : Ringer laktat : Dextran = 17:3

2cc x berat badan x % luas luka bakar ditamah kebutuhkan faal

Kebutuhan faal :

<1 tahun : BB x 100cc

1-3 tahun : BB x 75cc

3-5 tahun : BB x 50cc


½ jumlah cairan diberikan alam 8 jam pertama

½ diberikan 16 jam berikutnya

Hari kedua

Dewasa : dextran 500-2000 cc + D5%

Albumin (3xX) x 80 x berat badan g/hari

(Albumin 25 % = Gram x 4cc)

1cc/menit

Anak : diberi sesuai kebutuhan faal

Protocol resesitasi :

Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka bakar, pemberian berdasarkan pedoman
berikut

Pedoman

1. Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat kejadian luka bakar)

2. Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya

Contoh resusitasi cairan pada luka bakar menurut Hettiaratchy & papini (2004) :

Seorang laki-laki 25 tahun dengan berat 70 kg dengan luka bakar 30% datang ke UGD pukul 16.00. Pasien
mengalami kejadian sekitar pukul 15.00.

1. Total cairan yang diberikan untuk 24 jam pertama adalah :

4ml x (30% total burn surface area) x (70kg) = 8400 ml dalam 24 jam.

Total cairan ini diberikan setengah pada 8 jam pertama dan setengah lagi pada 16 jam berikutnya.

1. Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 8 jam pertama adalah:

Bagi cairan pada point (a) dengan sisa waktu sampai 8 jam setelah pasien terbakar (pukul 15.00).

Kebakaran terjadi pada pukul 15.00, jadi 8 jam kedepan jatuh pada pukul 23.00. datang ke UGD pukul 16.00,
jadi dibutuhkan 4200 ml selama 7 jam kedepan:

4200cc/7 = 600 cc/jam dari pukul 16.00 sampai pukul 23.00,

1. Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 16 jam kedua adalah

4200cc/16 = 262 cc/jam dari pukul 23.00 sampai pukul 15.00

(1) Monitoring dalam fase resusitasi (sampai 72 jam)

Menurut Sjaifudin (2006)


1. Mengukur urin produksi. Urin produksi dapat sebagai indikator apakah resusitasi cukup adekuat atau
tidak. Pada orang dewasa jumlah urin 30-50 cc urin/jam.

2. Berat berat jenis urin, pasca trauma luka bakar berat jenis dapat normal atau meningkat. Keadaan ini
dapat menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Keadaan ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi
penderita. Bilamana berat jenis meningkat berhubungan dengan naiknya kadar glukosa urin.

3. Vital sign

Manifestasi klinis pada penggantian cairan yang adekuat

(1) Tekanan darah normal sampai batas tinggi

(2) Frekuensi nadi < 120 x/menit

(3) TVS < 12 cm H2O

(4) Tekanan darah kapiler pulmonal < 18 mmhg

1. PH darah

2. Perfusi perifer

Hal lain yang harus diperhatikan selama fase resusitasitatif adalah perfusi aringan. Dengan cedera jaringan,
pembuluh-pmbuluh menjadi rusak an terjadi thrombosis. Pembuluh utuh yang berdekatan segera melebar, dan
platelet serta leukosit melekat pada endotel vaskuler, menyebabkan pembentukan keropeng.Jaringan yang
mendasari membengkak, tetapi daerah pinggiran luka bakar dengan ketebalan penuh adalah takelastik dan tetap
kontraktur. Keropeng mempengaruhi perlemahan status vaskuler dengan nekrosis iskemik, yang ahirnya
akanmemerlukan amputasi. Ini sangat vital, oleh karena itu, perawat memantau perfusi jaringan setiap jam
dengan memeriksa arus balik kapiler, perubahan-perbahan neurologis, suhu, warna kulit, serta adanya nadi
perifer.Ekstremitas harus ditinggikan dan jaga agar dalam batas gerak pasif sedikitnya 5 menit perjam untuk
mencegah edema dan mobilisasi yang memang berakumulasi.

1. Laboratorium (Serum elektrolit, Plasma albumin, Hemaktokrit, hemoglobin, Urine sodium,


Elektrolit, Renal fungsion test, Total protein atau albumin, Pemeriksaan lain sesuai indikasi)

2. Penilaiaan keadaan paru

Pemeriksaan kondisi paruperlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadi antara
lain stridor, bronkhospam, adanya sekret, wheezing, atau dispnue merupakan adanya impending obstruksi.

1. Penilaian gastrointestinal

Monitoring gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi untuk mengetahui bisisng usus dan
pemeriksaan sekresi lambung. Adanya darah dan PH kurang dari 5 merupakan tanda adanya Culing’s ulcer.

1. Penilaian luka bakarnya

Bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan berbau atau ada tanda-tanda pus maka
kasa perlu diganti. Bila bersih perawatan selanjutnya dilakukan 5 hari kemudian.
Formula resusitasi berkenaaan dengan perkiraan, dan haluaran urin dan tekanan darah harus dipantau per jam
untuk mengevaluasi respon terhadap tindakan.Haluaran urin adalah indicator tunggal terbaik dari resusitasi
cairan pada pasien dengan fungsi ginjal sebelumnya normal.Pasien biasanya ditimbang setiap hari.Penambahan
berat badan15% dari berat pertama masuk rumah sakit dapat terjadi.Masukan dan haluaran urin harus dipantau
dengan cermat.Awitan dieresis spontan adalah tanda yang menunjukkan akhir dari fase resusitatif. Kecepatan
infuse harus diturunkan sampai 25% dalam satu jam jika haluaran urin memuaskan da dapat dipertahankan
selama dua jam, penuruna dapat diturunkan kemudian. Adalah penting bahwa haluaran urin dipertahankan
dalam batas normal (50-70 ml/jam).

5) Fluid Creep Phenomena

Dalam dekade terakhir, resusitasi cairan pada pasien luka bakar telah dilakukan sebagai proses yang rutin;
kebanyakan klinisi menggunakan rumus Parkland dalam 24 jam pertama untuk menyesuaikan volume cairan
yang diberikan.Sesuai dengan variasi situasi pada pasien luka bakar, penggunaan volume cairan yang berlebih
cenderung terjadi untuk meningkatkan pengeluaran urin.Pemberian cairan yang berlebihan dapat
mengakibatkan komplikasi edema yang dikenal dengan fenomena "fluid creep".Banyak penelitian yang telah
dilakukan untuk optimasi titrasi dan jenis cairan yang digunakan, seperti pemakaian koloid atau larutan garam
hipertonik.Tujuannya adalah untuk menurunkan kebutuhan volume cairan dan terjadinya edema.Penelitian saat
ini tentang resusitasi cairan pasien luka bakar berkonsentrasi padapendekatan untuk meminimalisir fenomena
"fluid creep" dengan memperketat kontrol cairan intravena.Formula Parkland sebaiknya hanya digunakan
sebagai panduan dalam pemberian cairan.Untuk selanjutnya harus dilakukan penyesuaian pada volume dan
kecepatan cairan intravena sesuai dengan respon pasien. Banyak penelitian menunjukkan perbandingan antara
pemakaian kristaloid dan koloid pada 24 jam pertama setelah kejadian luka bakar. Saat ini, masih terdapat
perdebatan penentuan waktu yang tepat untuk pemakaian cairan koloid untuk resusitasi. Bagaimanapun,
penggunaan albumin 5% dalam 24 jam kedua dapat dipertimbangkan sebagai alternatif yang bisa diterima
(Septrisa, 2012)

6) Penatalaksanaan pencegahan infeksi

Menurut Hudak & Gallo (2000), ketika kestabilan hemodinamik dan pulmonal telah tercapai, perhatian
ditujukan pada perawatan awal luka bakar.

Menurut Moenadjat (2009), Infeksi luka yang berkembang menjadi sepsis menjadi topik yang banyak dibahas
dan merupakan penyebab kematian pada luka bakar. Konsekuensinya penggunaan antibiotika dalam
penatalaksanaan luka bakar menjadi sesuatu kebutuhan yang mutlak. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah
dan mengatasi infeksi terdiri dari beberapa rangkaian, yaitu:

(1) Tindakan aseptic

Yang dimaksud dengan tindakan aseptik adalah serangkaian perlakuan yang diterapkan dan mencerminkan
upaya mencegah infeksi, dengan cara:

1. Mengupayakan ruang perawatan dalam kondisi aseptik. Hal ini diupayakan melalui beberapa cara
termasuk desain ruangan yang memungkinkan ventilasi laminar berlangsung layaknya sebuah ruang
operasi, penerapan sistem positive air preasure air filter, termasuk perawatan yang bertalian dengan
proses desinfeksi ruangan, dll.

2. Linen dan bahan lain yang steril

3. Penggunaan perangkat khusus seperti baju (piyama), skort, topi, masker, alas-kaki, pencucian tangan,
penggunaan sarung tangan, dll. Hal ini mencerminkan perilaku petugas sebagai digariskan
dalamgeneral precaution upaya mencegah infeksi .
(2) Pencucian luka

1. pencucian luka dilakukan menggunakan air yang disterilkan. Prinsipdilution is the best solution for
pollution diterapkan.

1. Pencucian luka dikerjakan saat penderita masuk ke unit luka bakar (dalam delapan jam
pertama) dan dilakukan satu sampai dua kali dalam sehari sebelum dilakukan nekrotomi dan
debridement.

2. Tindakan nekrotomi dan debridement dilakukan bertujuan membuang eskar atau jaringan
nekrosis maupun debris yang memicu respon inflamasi dan menghalangi proses penyembuhan
luka karena berpotensi besar untuk berkembang menjadi fokus infeksi. Tindakan ini dilakukan
seawal mungkin, dan dapat dilakukan tindakan ulangan sesuai kebutuhan. Yang dimaksud
tindakan awal adalah dalam 3-4 hari pertama pasca trauma, saat konsistensi eskar masih padat
dan belum mengalami lisis, eskar yang mengalami lisis memicu respon inflamasi sangat kuat
dan sulit dilakukan. Pada prosedur ini, luka dicuci menggunakan larutan steril.

3. Perawatan pasca nekrotomi dan debridement, luka dicuci setiap kali penggantian balutan.

(3) Eskarotomi,

Meskipun peninggian ekstrimitas dapat menurunkan edema, namun eskarotomi sering diperlukan. Eskarotomi
adalah insisi pada jaringan parut yang menebal sehingga memungkinkan jaringan edematosa yang hidup di
bawahnya melebar, dengan demikian memulihkan perfusi jaringan yang adekuat. Eskarotomi dibuat pada garis
midlateral atau midmedial ekstrimitas yang terkait. Prosedur dilakukan di tempat tidur, dan tidak memerlukan
anestesi lokal. Tempat eskarotomi ditutupi dengan agen topikal karena karena jaringan hidup terpajan, dan
dipasang balutan tipis. Biasanya prosedur ini diperlukan hanya pada cedera yang terjadi lingkungan arus listrik
bertegangan tinggi atau cedera hancur (Hudak, 1996).

(4) Pemberian antibiotik

Pemberian antibiotik secara umum dibedakan atas:

Tujuan : profilaksis dan teraupetik

1. Antibiotika profilaksis pada luka bakar

Secara umum yang dimaksud dengan pemberian antibiotik profilaksis adalah pemberian antibiotik sistemik
bertujuan mencegah berkembangnya infeksi sebelum melakukan sayatan tindakan pembedahan atau prosedur
invasif lainnya. Antibiotik diberikan melalui jalur intravena 30 menit sebelum tindakan untuk satu kali
pemberian (single dose). Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas pola bakteri yang didasari atas pola bakteri
yang paling sering menimbulkan infeksi di rumah sakit pada kurun waktu tertentu.

1. Antibiotika teraupetik pada luka bakar

Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi yang timbul. Pemilihan jenis antibiotik
dilakukan berdasarkan hasil kultur mikroorganisme penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap
mikroorganisme penyebab. Pemberiannya diberikan sesuai dosis lazim.

7) Amputasi

Menurut Hudak & Gallo (1996), Indikasi amputasi apabila terdapat

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN LUKA BAKAR


PADA KEPERAWATAN KRITIS

3.1 Pengkajian

1. Anamnese

1) Data Demografi

Nama, umur, alamat, pekerjaan.

Umur : Meskipun luka bakar terjadi pada semua kelompok umur, insidennya lebih tinggi pada kedua kemompok
ujung kontinum usia. Orang yang usianya lebih lebih muda dari 2 tahun dan lebih tua dari 60 tahun mempunyai
angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya dengan keparahan luka bakar
yang sama. Seseorang yang berusia kurang dari 2 tahun akan lebih muda terkena infeksi karena respon imun
yang imatur, dan orang yang tua mengalami proses degenaratif yang memperumit proses penyembuhan (Hudak
dan Gallo, 1996)

2) Keluhan utama :

Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan
keluhan stridor, takipnea, dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).

3) Riwayat penyakit sekarang:

Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga
kecurigaan terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi
(Sjaifuddin, 2006).

4) Riwayat penyakit masa lalu:

Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk
mengatasi perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan
sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa masalah seperti
diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan
penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat
terganggu (Hudak dan Gallo, 1996).

5) Status kesehatan umum

Kaji tentang kesadaran pasien, tnda-tanda vital (TTV), berat badan (BB), dan pemeriksaan luka bakar (apakah
termasuk luka bakar berat, sedang atau ringan)

(1) Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan Rule of Nine untuk menentukan luas luka bakarnya.

(2) Ditentukan kedalaman luka bakar (derajat kedalaman)

(Sjaifuddin, 2006)

1. Pemerikasaan fisik

1) Breathing

Kaji adanya tanda disteres pernapasan, seperti rasa tercekik, tersedak, malas bernafas, atau adanya wheezing
atau rasa tidak nyaman pada mata atu tenggorokan, hal ini menandakan adanya iritasi pada mukosa.Adanya
sesak napas atau kehilangan suara, takipnea atau kelainan pada uaskultasi seperi krepitasi atau ronchi.
(Sjaifuddin, 2006)

2) Blood

Pada luka bakar yang berat, perubahan permiabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan
cairan massif di jaringan interstisial menyababkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravascular mengalami
defisit, timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen kejaringan (syok). Sjaifuddin
(2006)

3) Brain

Manifestasi sistem saraf pusat karena keracunan karbon monoksida dapat berkisar dari sakit kepala, sampai
koma, hingga kematian (Huddak dan Gallok, 1996)

4) Bledder

Haluaran urin menurun disebabkan karena hipotensi dan penurunan aliran darah ke ginjal dan sekresi hormone
antideuretik serta aldosteron (Hudak dan Gallok, 1996)

5) Bowel

Adanya resiko paralitik usus dan distensi lambung bisa terjadi distensi dan mual. Selain itu pembentukan ulkus
gastrduodenal juga dikenal dengan Curling’s biasanya merupakan komplikasi utama dari luka bakar (Hudak dan
Gallok, 1996).

6) Bone

Penderita luka bakar dapat pula mengalami trauma lain misalnya mengalami patah tulang punggung atau spine.

1. Pemeriksaan penunjang

Menurut Schwartz (2000) & Engram (2000), Kidd (2010) pemeriksaan diaknostik pada penderita luka bakar
meliputi :

1) Pemeriksaan Laboratorium

(1) Hitung darah lengkap, elektrolit dan profil biokimia standar perlu diperoleh segera setelah pasien tiba di
fasilitas perawatan.

(2) Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat menurun pada luka bakar masif

(3) Konsetrasi gas darah dan PO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50 %, FiO2= 0,5)
mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase awal, tetapi dapat meningkat pada fase
lanjut.

(4) Karboksihemoglobin perlu segera diukur oleh karena pemberian oksigen dapat menutupi keparahan
keracunan kerbon monoksida yang dialami penderita. Pada trauma inhalasi, kadar COHb akan menurun setelah
penderita menghirup udara normal. Pada kadar COHb 35-45% (berat), bahkan setelah tiga jam dari kejadian
kadar COHb masih pada batas 20-25%. Bila kadar COHb lebih dari 15% setelah 3 jam kejadian ini merupakan
bukti kuat adanya trauma inhalasi
(5) Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan biokimia. Ini terutama penting untuk
memeriksa kalium terhadap peningkatan dalam 24 jam pertama karena peningkatan kalium dapat menyebabkan
henti jantung.

(6) Albumin serum, kadarnya mungkin rendah karena protein plasma terutama albumin hilang ke dalam
jaringan yang cedera sekunder akibat peningkatan permeabilitas kapiler.

(7) Urinalis menunjukkan mioglobin dan hemokromagen menandakan kerusakan otot pada luka bakar
ketebalan penuh luas.

(8) BUN dan kreatinin mengkaji fungsi ginjal

(9) Pemeriksaan penyaring terhadap obat-obatan, antara lain etanol, memungkinkan penilaian status mental
pasien dan antisipasi terjadinya gejala-gejala putus obat.

1) Rontgen dada : Semua pasien sebaiknya dilakukan rontgen dada, tekanan yang terlalu kuat pada dada, usaha
kanulasi pada vena sentralis, serta fraktur iga dapat menimbulkan pneumothoraks atau hematorak. Pasien yang
juga mengalami trauma tumpul yang menyertai luka bakar harus menjalani pemeriksanaann radiografi dari
seluruh vertebrata, tulang panjang, dan pelvis

2) Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap

3) Elektrocardiogram : EKG terutama diindikasikan pada luka bakar listrik karena disritmia jantung adalah
komplikasi yang umum

4) CT scan : menyingkirkan hemorargia intrakarnial pada pasien dengan penyimpangan neurologik yang
menderita cedera listrik.

1.1 DiagnosaKeperawatan
1. Defisit volume cairan yang berhubungan dengan peningkatan permiabilitas kapiler, peningkatan
tekanan hidrostatik kapiler, penurunan tekanan osmotic koloid kapiler, peningkatran kehilangan
evaporative.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi saluran nafas atas; oedema laring & hipersekresi mukus.
3. Pertukaran gas yang berhubungan dengan cedera alveolar, keracunan karbon monoksida dan atau
cedera inhalasi.
4. Perubahan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan edema seluruh tubuh, jaringan avaskuler,
penurunan haluaran jantung, dan hipovolemia.
5. Nyeri berhubungan dengan stimulasi terhadap sensor nyeri yang terpajan.
6. Kerusukan integritas kulit berhubungan dengan luka bakar, edema.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit, pertahanan primer tidak adekuat.

Tinggalkan Komentar

Anda mungkin juga menyukai