PUTRI ALVIANITA
P27820716005
I. Definisi Haemothorax
Haemothorax adalah akibat yang sering terjadi dari cedera toraks traumatis.
Dimana terdapat kumpulan darah di ruang pleura yang terletak antara di permukaan
visceral dan parietal. Mekanisme trauma yang paling umum adalah cedera tumpul
atau tembus ke struktur intrathoracic atau ekstrathoracic yang mengakibatkan
perdarahan ke dalam thorax. Pendarahan dapat timbul dari dinding dada, arteri
mamaria interkostal atau internal, pembuluh darah besar, mediastinum, miokardium,
parenkim paru-paru, diafragma, atau perut (Gomez, et al, 2019).
Haemothorax biasanya didiagnosis menggunakan rontgen dada , tetapi dapat
diidentifikasi menggunakan bentuk pencitraan lain termasuk ultrasonografi , CT scan
, atau MRI . Mereka dapat dibedakan dari bentuk cairan lain dalam rongga pleura
dengan menganalisis sampel cairan , dan didefinisikan memiliki hematokrit lebih
besar dari 50% dari darah seseorang. Haemothorax dapat diobati dengan mengalirkan
darah menggunakan tabung dada , tetapi mungkin memerlukan pembedahan jika
perdarahan berlanjut. Jika diobati, prognosisnya biasanya baik. Komplikasi
haemothorax meliputi emfiema pleura dan fibrothorax.
3.1. Haemothorax Kecil: yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15% pada
foto rontgen, perkusi pekak sampai iga IX. Jumlah darah sampai 300 ml.
3.2. Haemothorax Sedang: 15-35% tertutup bayangan pada foto rontgen, perkusi
pekak sampai iga VI. Jumlah darah sampai 800 ml.
3.3. Haemothorax Besar: lebih 35% pada foto rontgen, pekak sampai cranial, iga
IV. Jumlah darah sampai lebih dari 800 ml. (Bararah, 2013)
IV. Etiologi
Haemothorax adalah manifestasi yang sering dari cedera traumatis (tumpul atau
penetrasi) ke struktur toraks. Sebagian besar kasus haemothorax timbul dari
mekanisme tumpul dengan mortalitas keseluruhan 9,4% (Goodman M, et al, 2013).
Penyebab haemothorax menurut Wikipedia (2019) meliputi :
4.1 Traumatis
Haemothorax sering disebabkan oleh cedera, baik trauma tumpul atau
luka yang menembus dada, dan kasus-kasus ini disebut haemothorax
traumatis. Bahkan cedera dada yang relatif kecil dapat menyebabkan
haemothorax yang signifikan. Cedera sering menyebabkan pecahnya
pembuluh darah kecil seperti yang ditemukan di antara tulang rusuk. Namun,
jika pembuluh darah yang lebih besar seperti aorta rusak, kehilangan darah
bisa sangat besar (Seligson, et al, 2019).
4.2 Iatrogenik
Haemothorax juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari operasi
jantung dan paru-paru, misalnya pecahnya arteri paru-paru yang disebabkan
oleh penempatan kateter yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis
(Boersma WG, et al, 2010).
4.3 Non-traumatis
Lebih jarang terjadi, haemothorax dapat terjadi secara spontan.
Haemothorax lebih mungkin terjadi sebagai respons terhadap trauma yang
sangat kecil ketika darah kurang mampu membentuk gumpalan, baik sebagai
hasil dari obat-obatan seperti antikoagulan , atau karena gangguan perdarahan
seperti hemophilia (Patrini D, et al, 2015).
Selain itu haemothorax dapat terjadi setelah robekan spontan
pembuluh darah seperti pada pembedahan aorta, meskipun perdarahan dalam
keadaan ini biasanya ke dalam ruang pericardial. Robekan spontan pembuluh
darah lebih mungkin terjadi pada orang-orang dengan kelainan yang
melemahkan pembuluh darah seperti beberapa bentuk sindrom Ehlers-Danlos
, atau pada orang-orang dengan pembuluh darah cacat seperti yang terlihat
pada sindrom Rendu-Osler-Weber. Penyebab lain yang jarang dari
haemothorax termasuk neurofibromatosis tipe 1 dan haematopoiesis
ekstrameduler (Patrini D, et al, 2015).
V. Patofisiologi
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua
gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon
fisiologis terhadap perkembangan haemothorax diwujudkan dalam 2 area utama:
hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah
dan kecepatan kehilangan darah.
Perubahan hemodinamik bervariasi, tergantung pada jumlah perdarahan dan
kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang pria 70
kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan gejala awal
syok yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan darah.
Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk
terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena
rongga pleura seorang pria 70 kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah,
perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah.
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat menghambat
gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi dan oksigenasi
bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding dada. Sebuah
kumpulan darah yang cukup besar menyebabkan pasien mengalami dyspnea dan
dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang diperlukan untuk
memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung pada sejumlah
faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan cadangan paru dan
jantung yang mendasari.
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana haemothorax
berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk penyakit
metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk menghasilkan
respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan utama.
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru,
dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa jam
penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura dimulai.
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik
tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan
sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan cara
ini, sebuah haemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi besar dan
gejala efusi pleura berdarah.
Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari
haemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi bakteri pada
haemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar, hal ini dapat
mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.
7.2 Gas darah BGA : variable tergantung dari derajat fungsi paru yang
dipengaruhi, gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan
mengompensasi. PCO2 kadang-kadang meningkat > 45. PO2 mungkin
normal atau menurun <80, saturasi oksigen biasanya menurun.
7.3 Hemoglobin : Kadar Hb menurun < 10 gr %, menunjukkan kehilangan
darah
7.4 Volume tidal menurun < 500 ml, kapasitas vital paru menurun (Bararah,
2013)
7.5 Analisis Cairan Pleura
Pada analisis cairan pleura, setelah dilakukan aspirasi, cairan tersebut
diperiksa kadar hemoglobin atau hematokrit. Dikatakan haemothorax jika
kadar hemoglobin atau hematokrit cairan pleura separuh atau lebih dari kadar
hemoglobin atau hematokrit darah perifer.
7.6 CT scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang cukup akurat untuk mengetahui
cairan pleura atau darah, dan dapat membantu untuk mengetahui lokasi
bekuan darah. Selain itu, CT scan juga dapat menentukan jumlah bekuan
darah di rongga pleura.
VIII. Penatalaksanaan
IX. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi setelah hemotoraks, dan lebih mungkin terjadi jika
darah belum dikeringkan secara memadai dari rongga pleura (Chou YP, et al ,2015).
Darah yang tersisa di dalam rongga pleura dapat terinfeksi, dan dikenal sebagai
empiema . Darah yang tertahan juga dapat mengiritasi pleura, menyebabkan jaringan
parut terbentuk. Jika luas, jaringan parut ini dapat membungkus paru-paru, membatasi
pergerakan dinding dada, dan kemudian disebut sebagai fibrothorax. Komplikasi
potensial lainnya termasuk atelektasis, infeksi paru-paru, hematoma intrathoracic,
infeksi luka, pneumotoraks, atau sepsis.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PADA PASIEN DENGAN
HAEMATHORAX
I. Pengkajian
1.1 Identitas : identitas adalah tanda pengenal bagi klien, identitas dibagi menjadi 2
yaitu identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi yaitu identitas
yang melekat pada pribadi pasien (termasuk ciri-cirinya) misalnya
Nama,Tanggal Lahir/Umur,Jenis Kelamin,Alamat, Status Perkawinan dan lain-
lain termasuk.Sedangkan identitas sosial meliputi identitas yang menjelaskan
tentang sosial,ekonomi dan budaya pasien misalnya, agama,
pendidikan,pekerjaan,identitas orang tua,identitas penanggung jawab
pembayaran dan lain-lain.
1.2 Kondisi pasien
1.2.1 Aktivitas atau istirahat
Gejala : Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat
1.2.2 Sirkulasi
Tanda : takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), irama jantung
gallop, nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan
mediastinal, tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan
jantung, menunjukkan udara dalam mediastinum).
1.2.3 Psikososial
Tanda : ketakutan, gelisah.
1.2.4 Makanan atau cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral atau infuse tekanan.
1.2.5 Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri dada unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba
gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau nyeri menusuk yang
diperberat oleh napas dalam.Tanda : Perilaku distraksi, mengerutkan wajah
1.2.6 Pernapasan
Tanda : pernapasan meningkat / takipnea, peningkatan kerja napas,
penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat,
bunyi napas menurun, fremitus menurun,
perkusi dada : hipersonan diatas terisi udara, observasi dan palpasi dada :
gerakan dada tidak sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat,
mental: ansietas, gelisah, bingung,dan pingsan.
Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada atau trauma :
penyakit paru kronis, inflamasi / infeksi paru (empiema atau efusi),
keganasan (mis.Obstruksi tumor).
1.2.7 Keamanan
Gejala : adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.
1.3 Pemeriksaan fisik
1.3.1 Sistem Pernapasan :
Sesak napas , Nyeri , batuk-batuk , Terdapat retraksi , klavikula / dada .
Pengambangan paru tidak simetris. Fremitus menurun dibandingkan dengan
sisi yang lain. Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor atau hipersonor
atau timpani , hematotraks ( redup ) Pada asukultasi suara nafas , menurun ,
bising napas yang berkurang atau menghilang . Pekak dengan batas seperti ,
garis miring atau tidak jelas. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
1.3.2 Sistem Kardiovaskuler :
Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk. Takhikardia , lemah ,
Pucat , Hb turun / normal .Hipotensi
1.3.3 Sistem Muskuloskeletal – Integumen.
Kemampuan sendi terbatas . Ada luka bekas tusukan benda tajam. Terdapat
kelemahan. Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
1.3.4 Sistem Endokrine :
Terjadi peningkatan metabolisme.
1.3.5 Spiritual :
Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
1.4 Pemeriksaan Diagnostik
1.4.1 Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
PaCo2 kadang – kadang menurun. Pa O2 normal / menurun
1.4.2 Saturasi O2 menurun (biasanya). Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
Toraksentesis : menyatakan darah/cairan.
3.1 Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma
Tujuan:Pola pernapasan efektive.
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
Intervensi:
1) Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi
pada sisi yang tidak sakit.
2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan
tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat
stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan
dengan hipoksia.
3) Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin
keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
4) Jelaskan pada klien tentang etiologi atau faktor pencetus adanya sesak atau
kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana teraupetik.
5) Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan
menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan atau ansietas.
6) Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 – 2 jam :
(1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang
meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
(2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang
ditentukan.
R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara
atmosfir masuk ke area pleural.
(3) Observasi gelembung udara botol penempung.
R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari
penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring
dengan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung
dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
(4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak
terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage.
Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang
mengubah tekanan negative yang diinginkan.
(5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang
memerlukan upaya intervensi.
7) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.Pemberian antibiotika.Pemberian
analgetika.Fisioterapi dada.Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
3.2 Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar atau normal
Intervensi :
1) Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
2) Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif,
menyebabkan frustasi.
3) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
4) Lakukan pernapasan diafragma
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi
alveolar.
5) Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan-lahan,
keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk
pendek dan kuat
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi
sekret.
6) Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
7) Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan
hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari
bila tidak kontraindikasi
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan
mukus, yang mengarah pada atelektasis.
8) Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau
mulut.
9) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian expectoran. Pemberian antibiotika. Fisioterapi dada.Konsul photo
toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi
perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
3.3 Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan
reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non
invasif.
R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah
menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
2) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka,
yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan
akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
3) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
4) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan
kenyamanan.
5) Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat
membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
3.5 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow
drainage.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Intervensi :
1) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam
melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses
peradangan.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering
dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah
terjadinya infeksi.
5) Jika pemulihan tidak terjadi. kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area
kulit normal lainnya.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak
nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
7) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/ antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah
yang berisiko terjadi infeksi.
Wijaya A.S, Putri Y.M. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan
Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika. ISBN : 978-602-17607-7-2
http://codenurman.blogspot.com/2013/01/v-behaviorurldefaultvmlo_4.html diakses
pada tanggal 2 Oktober 2019 pukul 21.03 WIB