Anda di halaman 1dari 6

Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Oleh
Robby Yahya Rumalutur, S.H
UU No. 23 tahun 2004 Bab III tentang larangan kekerasan dalam rumah tangga dalam
pasal 5, dijelaskan bahwa: setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. Kekerasan fisik; b.
Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; d. Penelantaran rumah tangga.
a. Kekerasan Fisik
Adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat
(Pasal 6 UU PKDRT).[1] Bentuk-bentuk kekerasan fisik yang dialami
perempuan/korban mencakup, antara lain: tamparan, pemukulan, penjambakan,
penginjak-injakan, penendangan, pencekikan, lemparan benda keras, penyiksaan
menggunakan benda tajam, seperti pisau, gunting, setrika serta pembakaran.[2]
b. Kekerasan Psikis
Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hila ngnya rasa percaya diri,
hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat
pada seseorang (Pasal 7 UU PKDRT).[3]Bentuk kekerasan secara psikologis yang
dialami perempuan mencakup makian, penghinaan yang berkelanjutan untuk
mengecilkan harga diri korban, bentakan dan ancaman yang dimaksudkan untuk
memunculkan rasa takut.[4]Bahkan, menurut Pusat Komunikasi Kesehatan
Berspektif Gender, kekerasan psikis meliputi juga membatasi istri dalam
melaksanakan program keluarga berencana dan mempertahankan hak-hak
reproduksinya sebagai perempuan.
Hak-hak reproduksi perempuan, misalnya, hak untuk mendapatkan informasi dan
pendidikan, hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan, hak untuk
mendapatkan kebebasan berpikir, hak untuk memutuskan kapan dan akankah mempunyai
anak, hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk, hak memilih
bentuk keluarga, atau hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.[5]
c. Kekerasan Seksual (Pasal 8 UU KDRT) Kekerasaan seksual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf c meliputi:
1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.[6]
Kekerasan seksual termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai
makna seksual, atau sering disebut „pelecehan seksual‟, maupun berbagai bentuk pemaksaan
hubungan seks yang disebut sebagai pemerkosaan.[7]Kekerasan seksual, meliputi:
pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau disetujui oleh istri,
pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak menghendaki, istri sedang sakit atau
menstruasi.[8]
d. Penelantaran Rumah Tangga (Pasal 9 UU PKDRT)1)
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,atau pemeliharaan kepada
orang tersebut.
2. Penelantaran yang dimaksud sebelumnya juga berlaku bagi setiaporang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomidengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut.[9]
Kekerasan ekonomi, meliputi: tidak memberi nafkah pada istri, menelantarkan,[10]atau
memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomis untuk mengontrol kehidupan istri,
membiarkan istri bekerja kemudian penghasilannya dikuasai oleh suami.[11]
Bentuk-bentuk kekerasan sebagaimana diatur dalam Undang-undang PKDRT
sesungguhnya merupakan cermin dari berbagaibentuk kekerasan yang sering terjadi dan
menjadi fenomena umum ditengah-tengah masyarakat.Untuk jenis kekerasan yang bersifat
fisik, proses pembuktiannya sangat mudah dengan merujuk pada ketentuan dalam hukum
pidana (KUHP) dengan tolok ukur yang jelas. Sedangkan untuk jenis kekerasan psikis dan
penelantaran rumah tangga proses pembuktiannya sulit karena terkait dengan rasa/emosi yang
bersifat sub jektif.[12]
Dari definisi bentuk-bentuk kekerasan tersebut diatas terlihat bahwa UU PKDRT
berusaha untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.Dalam undang-undang ini
hak-hak korban mendapat pengakuan dan diatur sementara dalam KUHPidana hak-hak
korban tidak diatur karena sejak awal ditujukan untuk menangani terdakwa atau pelaku
kekerasan/kejahatan sehingga ketentuannya pun menitik beratkan pada kepentingan
terdakwa.[13]
UU PKDRT juga telah mengatur mengenai perlindungan bagi korban kekerasan dalam
rumah tangga,[14]seperti yang diatur dalam BAB IV Pasal 10 mengenai hak-hak korban yang
berbunyi: Korban berhak mendapatkan:
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemer iksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
e. pelayanan bimbingan rohani.[15]
Perlindungan hak-hak korban pada hakikatnya merupakan bagian dari perlindungan hak
asasi manusia.Korban membutuhkan perlindungan agar hak-haknya terpenuhi karena selama
ini di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hak-hak korban kurang terlidungi
dibandingkan dengan hak-hak tersangka.[16]

Penyebab KDRT
Penyebab KDRT adalah:

 Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara


 Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki
harus kuat, berani serta tanpa ampun
 KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap
relasi suami istri
 Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki
boleh menguasai perempuan
Akhir-akhir ini, kita banyak menemukan berbagai berita tentang kekerasan dalam rumah
tangga
(KDRT) di berbagai media masa. Bahkan tidak jarang, kita menemukan KDRT di lingkungan
kita.
Akan tetapi, hal apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita sudah paham tentang lingkup
KDRT
itu sendiri sehingga dapat menghindari atau meminimalisir kejadian?
Oleh karena itu, artikel berikut ini akan membahas tentang istilah dan siklus KDRT. Selain
itu,
artikel ini akan membahas tentang karakter korban dan pelaku KDRT agar kita dapat
mencegah atau menghindari terjadinya KDRT di sekeliling kita.

Definisi KDRT (UU No 23/2004, Pasal 1):


KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Bentuk KDRT (Pasal 5):


Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. kekerasan fisik
b. kekerasan psikis
c. kekerasan seksual
d. penelantaran rumah tangga

Siklus kekerasan dalam KDRT


Relasi Personal sering disertai dengan siklus kekerasan, dengan pola berulang. Siklus
kekerasan ini menyebabkan korban terus mengembangkan harapan dan mempertahankan
rasa cinta atau kasihan, membuatnya sulit keluar dari perangkap kekerasan.

Siklus kekerasan umumnya bergulir sebagai berikut:


• Dimulai dengan individu tertarik dan mengembangkan hubungan
• Individu dan pasangan mulai lebih mengenal satu sama lain, “tampil asli” dengan
karakteristik dan tuntutan masing-masing, muncul konflik dan ketegangan.
• Terjadi ledakan dalam bentuk kekerasan
• Ketegangan mereda. Korban terkejut dan memaknai apa yang terjadi. Pelaku bersikap
”baik” dan mungkin meminta maaf.
• Korban merasa ”berdosa” (bila tidak memaafkan), korban menyalahkan diri sendiri karena
merasa atau dianggap menjadi pemicu kejadian, korban mengembangkan harapan akan
hubungan yang lebih baik.
• Periode tenang tidak dapat bertahan. Kembali muncul konflik dan ketegangan, disusul
ledakan kekerasan lagi, demikian seterusnya.
• Korban “terperangkap”, merasa bingung, takut, bersalah, tak berdaya, berharap pelaku
menepati janji untuk tidak melakukan kekerasan lagi, dan demikian seterusnya.
• Bila tidak ada intervensi khusus (internal, eksternal) siklus kekerasan dapat terus berputar
dengan perguliran makin cepat, dan kekerasan makin intens.
• Sangat destruktif dan berdampak merugikan secara psikologis (dan mungkin juga fisik).

Dampak psikologis pada korban


KDRT dapat menimbulkan dampak yang serius pada korban dan orang terdekatnya
(misal: anak). Adanya dampak fisik mungkin lebih tampak. Misal: luka, rasa sakit, kecacatan,
kehamilan, keguguran kandungan, kematian. Apapun bentuk kekerasannya, selalu ada
dampak
psikis dari KDRT. Dampak psikis dapat dibedakan dalam ”dampak segera” setelah kejadian,
serta ”dampak jangka menengah atau panjang” yang lebih menetap. Dampak segera, seperti
rasa takut dan terancam, kebingungan, hilangnya rasa berdaya, ketidakmampuan berpikir,
konsentrasi, mimpi buruk, kewaspadaan berlebihan. Mungkin pula terjadi gangguan makan
dan tidur.

Karakteristik korban KDRT


Seorang perempuan yang terpelajar dan mandiri secara ekonomi, tetap dapat menjadi pribadi
yang tidak mudah mengambil keputusan dalam menghadapi KDRT. Hal ini dapat terjadi
karena:
1. Karakteristik individu (pasif, cenderung kecil hati dan tidak mampu mengambil
keputusan).
2. Peristiwa masa lalu yang membekas dan menghalangi bersikap asertif (trauma masa lalu
yang belum terselesaikan dengan baik dan berpengaruh terhadap cara berpikir, merasa dan
bertindak saat ini).
3. Keluarga berasal dari keluarga konvensional dan menekankan keutuhan rumah tangga
sebagai hal yang paling baik (ideologi gender yang kaku).

Karakteristik umum pelaku


Pelaku baik sadar atau tidak memiliki peran gender yang kaku dan seolah-olah
membenarkan
mereka untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan atau anak yang ada di bawah
lindungannya.

Meski demikian, ada pula karakteristik psikologis yang berbeda, misalnya:


• Ada yang pada dasarnya memang telah hidup dalam budaya kekerasan, melihat kekerasan
sebagai cara menyelesaikan konflik dan mendapatkan hal yang diinginkan. Misal, orang
dengan
kepribadian ”preman”.
• Ada yang mungkin tampak baik-baik saja di depan orang yang tidak mengenal secara
dekat.
Ia terkesan sopan dan bersedia bekerja sama. Akan tetapi secara khusus orang ini
berpandangan rendah tentang perempuan dan menuntut perempuan untuk patuh, melayani,
mengikuti hal yang diinginkan. Ia tersosialisasi untuk mengembangkan dominasi yang
besar
atas perempuan. Sebagai kepala keluarga, ia juga menuntut anak untuk patuh.
• Dekat dengan ciri di atas, pelaku yang dibesarkan dalam lingkungan disiplin bernuansa
kekerasan di masa kecil akan mengambil pola yang sama untuk keluarganya ketika
dewasa.

Tanda-tanda potensi pelaku KDRT sebelum menikah:


• Cenderung kasar pada semua orang. Misal: pada teman, saat menyetir mobil, di tempat
umum, dan keluarga sendiri. Ia mudah tersinggung dan marah, ketika marah bersikap
kasar.
• Dalam keluarganya, kita melihat kebiasaan kekerasan, kurang peduli pada orang lain, mau
menang sendiri, tidak mau berbagi. Ayah mungkin memberikan contoh kekerasan dan
anak-anak menirunya.
• Ia mungkin egois dan selalu memikirkan kepentingannya sendiri, enggan berbagi. Orang
lain
yang harus menjaga perasaan dan lebih banyak menyesuaikan diri.
• Ia tidak terlihat kasar saat pergaulan sehari-hari, tetapi terkesan tidak dapat mengendalikan
diri saat kecewa atau marah. Bila kecewa atau marah, ia dapat bersikap kasar, bertingkah
laku
membahayakan, dan membuat orang merasa takut.
• Ia mudah curiga pada orang lain, mudah menyalahkan, banyak berpikiran buruk,
khususnya
perilaku pasangan.
• Ia posesif dan tidak memberikan ruang pribadi bagi kita.
• Ia cenderung meyakini pembagian peran gender yang kaku, menempatkan laki-laki sebagai
penentu.
• Ia tidak menunjukkan penyesalah setelah berbuat salah atau menyakiti orang lain. Ia malah
mempersalahkan orang lain atas kekasaran yang dilakukannya.
• Ia senang berjudi, minum dan mabuk, terlibat penggunaan obat-obatan bahkan hingga
kecanduan.

Anda mungkin juga menyukai