Anda di halaman 1dari 15

115

BAB IV

ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING AGAMA DALAM

PENGELOLAAN STRES PADA LANSIA DI BALAI PELAYANAN

SOSIAL LANJUT USIA BISMA UPAKARA PEMALANG

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini berdasarakan sifat

masalahnya merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan

metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan obyek

sesuai dengan apa adanya. Metode deskripsi yang penulis gunakan dengan

menggunakan pendekatan induktif yaitu : peneliti menganalisis berangkat dari

kasus yang bersifat khusus berdasarkan pengalaman nyata (perkataan atau

perilaku obyek penelitian atau situasi di lapangan) untuk kemudian dirumuskan

menjadi konsep teori, prinsip atau definisi yang bersifat umum.

Adapun dalam penelitian ini penulis akan menganalisis tentang pengelolaan

stres pada lansia di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang,

implementasi bimbingan dan konseling agama dalam pengelolaan stres pada

lansia di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang yang

meliputi perencanaan bimbingan dan konseling agama di Balai Pelayanan Sosial

Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang dan pelaksanaan bimbingan dan konseling

agama di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang, serta

fakor pendukung dan fakor penghambat proses bimbingan dan konseling agama di

Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang berdasarkan data

yang diperoleh pada saat melakukan penelitian.

115
116

A. Analisis Pengelolaan Stress Pada Lansia di Balai Pelayanan Sosial Lanjut

Usia Bisma Upakara Pemalang

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengelolaan

adalah pengendalian, dikendalikan, proses, cara, perbuatan mengelola. 1

Pengelolan stres disebut juga coping. Menurut R.S Lazarus dan Folkman,

coping adalah proses mengelola tuntutan (internal atau eksternal) yang ditaksir

sebagai beban karena di luar kemampuan diri individu. Coping terdiri atas

upaya-upaya yang berorientasi kegiatan dan intrapsikis untuk mengelola

(seperti menuntaskan, tabah, mengurangi atau meminimalkan) tuntutan internal

dan eksternal dan konflik di antaranya. Weiten dan Lloyd mengemukakan

bahwa “coping” merupakan upaya-upaya untuk mengatasi, mengurangi, atau

mentoleransi ancaman yang beban perasaan yang tercipta karena stres.2

Berdasarkan data di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara

Pemalang bahwa lansia yang tinggal di balai pada awalnya belum bisa

mengelola stres dengan baik terhadap masalah yang dialaminya, lansia belum

bisa beradaptasi dengan lingkungan, belum bisa menerima keadaan terlantar

tidak ada yang mengurusi, tetapi setelah lansia tinggal di balai seiring

berjalannya waktu lansia bisa belajar menerima takdir yang Allah berikan

kepada mereka, mereka ikhlas menerima apa yang telah terjadi dalam

hidupnya. Hal ini dirasakan klien karena di balai mereka mempunyai banyak

teman, mereka menyadari bahwa tidak hanya dirinya saja yang mengalami

masalah tetapi orang lain juga mempunyai masalah, dan bahkan masalahnya
1
(http://kbbi.web.id/), diakses 18 Agustus 2015.
2
Samsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 265.
117

lebih berat. Selain itu dibalai juga ada berbagai kegiatan untuk mengisi waktu

luang para klien lansia, dan di balai juga ada layanan bimbingan dan konseling

agama hal ini bisa memberikan pemahaman kepada klien bahwa apa yang telah

terjadi itu merupakan takdir yang Allah berikan kepada hambanya, dan kita

harus ikhlas menjalaninya, setelah mengikuti kegiatan bimbingan dan

konseling agama maka para klien lansia lebih bisa memahami masalah yang

telah terjadi pada hidupnya dan para lasia merasa tentram.

B. Analisis Implementasi Bimbingan Agama Dalam Pengelolaan Stres Pada

Lansia Di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang

1. Analisis Pelaksanaan Bimbingan Agama

Berdasarkan data di Balai Pelayanan Soaial Lanjut Usia Bisma

Upakara Pemalang untuk pelaksanaan bimbingan agama melalui 3 tahap

yaitu tahap pembukaan, tahap inti kegiatan, dan tahap penutup.

a. Tahap Pembukaan

Pada tahap pembukaan bimbingan agama pada mulanya seorang

konselor mengawali kegiatan dengan mengucapkan salam, kemudian

menyanyikan sholawat nabi, sebagai permulaan bimbingan agar para

klien semangat dalam mengikuti bimbingan agama.Konselor memulai

kegiatan dengan menciptakan rapport (hubungan baik dengan konseli),

misalkan : menanyakan kabar, memberikan senyuman yang ramah. Hal

ini dilakukan agar klien itu merasa nyaman dalam mengikuti kegiatan

bimbingan agama.
118

b. Tahap Inti Kegiatan

Setelah melalui tahap pembukaan kemudian konselor memasuki

tahap inti kegiatan, dalam bimbingan agama penyampaian topiknya

sesuai dengan kebutuhan klien, jadi disini konselor perlu mempersipkan

materi terlebih dahulu. Setelah penyampaian materi dilanjutkan dengan

tanya jawab terkait dengan materi yang dibahas.

Materi yang dibahas dalam bimbingan agama disesuaikan dengan

kebutuhan klien, maka sebelum melakukan bimbingan ini perlu adanya

asesment kebutuhan klien, sehingga konselor mengetahui kebutuhan

apa yang diperlukan klien, dan nantinya dalam pelaksanaan bimbingan

agama klien bisa mendapatkan apa yang klien butuhkan, sehingga

tujuan bimbingan agama dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.

Metode yang digunakan dalam bimbingan agama di balai yaitu group

guidance (bimbingan kelompok), dengan menggunakan kelompok

konselor dan klien dapat mengembangkan sikap sosial, sikap

memahami peranan klien dalam lingkungannya karena ia ingin

mendapatkan pandangan baru tentang dirinya dari orang lain serta

hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, melalui metode

kelompok ini dapat timbul kemungkinan diberikannya group therapy

(penyembuhan gangguan jiwa melalui kelompok) yang fokusnya

berbeda dengan konseling, selain itu di balai juga menggunakan metode

directive counseling (metode direktif) atas dasar metode ini, konselor

secara langsung memberikan jawaban-jawaban terhadap problem yang


119

klien disadari menjadi sumber kecemasannya. Dengan mengetahui

keadaan masing-masing klien tersebut, konselor dapat memberikan

bantuan pemecahan problem yang dihadapi. 3

Bimbingan agama yang di laksanakan di Balai Pelayanan Sosial

Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang menggunakan teori Al-Mauizhoh

Al-Hasanah, dalam teori ini pembimbing atau konselor membimbing

kliennya dengan cara mengambil pelajaran –pelajaran atau i’tibar-

i’tibar dari perjalanan kehidupan para Nabi, Rasul, dan para Auliya-

Allah, riwayat hidup perjuangan para Nabi, rasul dan kekasih-

kekasihNya. Khususnya Nabi Muhammad SAW. Materi Al-Mau’izhoh

Al-Hasanah dapat diambil dari sumber-sumber pokok ajaran Islam

maupun dari para pakar yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai

Islam. Sumber-sumber tersebut adalah : (1) Al-Qur’an Al-Karim (2) As-

Sunnah (perilaku Rasulullah), (3) Al-Atsar (perilaku para sahabat

nabi).4

Sedangkan teknik yang digunakan dalam bimbingan agama yaitu

teknik yang bersifat lahir berupa lisan, dalam teknik ini konselor dapat

melakukan : nasehat, wejangan, himbauan dan ajakan yang baik dan

benar, membaca do’a atau mengajak klien untuk berdo’a. 5

3
Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm. 69-
73.
4
Erhamwilda, Konseling Islami, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 104-105.
5
Ibid., hlm. 107.
120

c. Tahap Penutup

Setelah melalui tahap inti maka tahap terakhir yaitu penutup,

konselor menyampaikan bahwa kegiatan bimbingan agama akan

berakhir, dandi lain kesempatan dapat dilanjutkan kembali apabila

bimbingan agama tersebut masih diperlukansebagai follow up,

maksudnya bagaimana efek dari klien tersebut setelah mengikuti

kegiatan bimbingan agama, perubahan apa yang terlihat dari klien

setelah mengikuti kegiatan bimbingan agama. Kemudiankonselor

menyimpulkan materi yang telah di bahas. Untuk menutup kegiatan

konselor dan klien membaca do’a bersama.

C. Analisis Implementasi Konseling Agama dalam Pengelolaan Stres Pada

Lansia Di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang

1. Analisis Pelaksanaan Konseling Agama

Pada pelaksanaan konseling agama di Balai Pelayanan Sosial Lanjut

Usia Bisma Upakara Pemalang ada 3 tahap yaitu : tahap pembukaan, tahap

inti kegiatan dan tahap penutup.

a. Tahap Pembukaan

Berdasarkan data di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma

Upakara Pemalang, pada awal proses konseling agama berlangsung

konselor menciptakan suasana yang nyaman, konselor menjalin rapport

(hubungan baik) dengan klien, konselor menyambut klien dengan

senyuman, mempersilahkan klien duduk, memberikan perhatian penuh


121

kepada klien, menanyakan kabar klien. Setelah dapat menjalin keakraban

dengan klien barulah secara perlahan konselor menggali informasi

tentang klien, terkait masalah yang sedang dialaminya.

b. Tahap Inti Kegiatan

Setelah melalui tahap pembukaan kemudian konselor memasuki

tahap inti kegiatan, pada tahap ini konselor menanyakan kepada klien

terkait masalah yang sedang dialami, kemudian konselor bersama klien

memecahkan masalahnya dengan merumuskan tujuan-tujuan yang ingin

dicapai. Konselor mengekploring (menggali perasaan, pikiran, dan

pengalaman klien. Konselor menggali perasaan, pikiran dan pengalaman

klien dengan penuh keakraban. Hal ini dilakukan agar konselor

mengetahui masalah yang sedang dialami klien. Setelah konselor

mengetahui masalah yang dialami klien maka konselor bersama klien

merumuskan tujuan yang harus dilakukan klien untuk kedepannya agar

kebih baik, selanjutnya konselor memberikan empati (kemampuan

konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, konselor


6
memberikan respon verbal maupun non verbal kepada klien. Respon

verbal seperti : konselor ikut merasakan apa yang klien rasakan, dan

memberikan pemahaman kepada klien bahwa semua yang terjadi pasti

ada hikmahnya. Respon non verbal seperti : menganggukkan kepala,

memberikan senyuman yang positif, menepuk bahunya agar klien merasa

lebih ringan dalam menghadapi masalah, hal ini dilakukan untuk klien

6
Sofyan S. Willis, Konseling Individual Teori dan Praktek, (Bandung: Alfabeta, 2011),
hlm. 161-163.
122

yang sesama jenis wanita dengan wanita, laki-laki dengan laki-laki.

Metode yang digunakan dalam konseling agama di Balai Pelayanan

Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang menggunakan directive

method (metode direktif) , metode ini merupakan metode di mana

konselor membantu konseli dalam mengatasi masalahnya dengan

menggali daya pikir mereka, tingkah laku yang barangkali terlalu

berdasarkan perasaan dan dorongan impulsif harus diganti dengan

tingkah laku yang lebih rasional.

c. Tahap Penutup

Setelah melalui tahap inti maka tahap terakhir yaitu penutup, pada

tahap ini konselor menyampaikan bahwa proses konseling agama akan

berakhir. Sebelum diakhiri konselor memberikan penekanan kembali

tentang ajaran-ajaran agama yang disampaikan. Jika proses konseling

masih perlu diadakan maka antara konselor dan klien menyepakati

waktu, kapan proses konseling agama akan di lanjutkan, hal ini sebagai

follow up atas kegiatan konseling agama yang telah dilakukan dan

bagaimana efek dari klien tersebut setelah mengikuti kegiatan

konselingagama, perubahan apa yang terlihat dari klien setelah mengikuti

kegiatan konseling agama.

Berdasarkan pelaksanaan konseling agama di atas sesuai dengan teori

Fenti Hikmawati bahwa pelaksanaan bimbingan agama melalui tiga tahap

yaitu :
123

a. Membangun hubungan yang harmonis dengan saling menghargai,

membuka diri dan juga saling percaya antara konselor dengan kliennya.

b. Konselor membantu klien, mengidentifikasi permasalahan yang sedang

dihadapi klien. Kemudian konselor menawarkan obat, setelah klien

menyadari kesalahan dan menemukan suatu solusi problem yang

dihadapinya. Karena tobatlah yang mampu mencucui jiwanya dan

membebaskannya dari perasaan bersalah. Namun demikian, tobat hanya

dapat diterima apabila syarat-syaratnya terpenuhi, yakni : (1) Penyesalan

setelah adanya instrospeksi diri, (2) Melepaskan diri dari dosa yang

pernah dilakukan, (3) keinginan kuat untuk tidak mengulangi perbuatan

dan berdoa dengan sebenar-benarnya.

c. Mengajarkan kembali ajaran-ajaran agama yang benar kepada klien,

menerangkan tujuan dari eksistensinya di dunia dan membantunya dalam

membentuk pikiran, nilai dan kecenderungan yang sejalan dengan nilai-

nilai hukum syar’i. 7

D. Analisis Faktor Pendukung dan Penghambat Proses Bimbingan dan

Konseling Agama di Balai Pelayanan Lanjut Usia Bisma Upakara

Pemalang

Dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling agama tentunya tidak lepas

dari faktor pendukung dan penghambat dan dalam hal ini penulis akan

memaparkan mengenai analisis faktor pendukung dan penghambat bimbingan

7
Fenti Hikmawati, Bimbingan dan Konseling, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2014), hlm. 197.
124

dan konseling agama di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara

Pemalang.

1. Analisis Faktor Pendukung

Berdasarkan data di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara

Pemalang bahwa faktor pendukung dalam pelaksanaan bimbingan agama

di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma Upakara Pekalonganadalah

:1) Persiapan dari petugas, petugas mempersiapkan ruangan,

mempersiapkan sound systemyang digunakan sebagai media menyampaian

pesan dalam bimbingan agama, mengajak para klien untuk berkumpul ke

aula untuk mengikuti bimbingan agama.Selain itu petugas juga

mempersiapkan kursi untuk para klien dan pembimbing, 2) Ada kemauan

dari klien untuk mengikuti kegiatan bimbingan agama, 3) Adanya motivasi

yang kuat dari pembimbing untuk mengamalkan ilmunya, 4) Sarana dan

prasarana yang memadai, sarana dan prasarana sangat mendukung

terlaksananya bimbingan agama, seperti tersedianya kursi dan meja,

adanya kipas angin di dalam ruangan, adanya buku catatan dan bolpoin

untuk mengadministrasi kegiatan bimbinganagama.

Jadi dengan adanya beberapa faktor pendukung tersebut maka

pelaksanaan bimbingan agama akan berjalan lancar dan sesuai dengan

tujuan yang telah di harapkan, jika diantara salah satu faktor pendukung

tersebut tidak ada makapelaksanaan bimbingan agama tidak dapat

mencapai tujuan yang diharapkan.


125

Sedangkan faktor pendukung konseling agama di Balai Pelayanan

Lanjut Usia Bisma Upakara Pemalang yaitu : “1) Petugas mempersiapkan

ruangan, ruangan yang sekiranya tidak banyak khalayak ramai sehingga

klien bisa leluasa mengutarakan masalah yang dialami,mempersiapkan

klien yang akan mengikuti konseling agama, selain juga mempersiapkan

kursi untuk klien dan pembimbing, 2) Tersedianya sarana dan prasarana

sangat mendukung terlaksananya bimbingan agama, seperti tersedianya

kuris dan meja, adanya kipas angin di dalam ruangan, adanya buku catatan

dan bolpoin untuk mengadministrasi kegiatan konseling agama, 3)

Kesediaan klien untuk melakukan konseling agama, adanya kemauan dari

klien merupakan faktor yang penting dalam konseling agama,karena ketika

klien merasa terpaksa maka tujuan konseling tidak akan tercapai, dan klien

tidak dapat menyerap apa yang telah peroleh setelah mengikuti konseling

agama tersebut serta bagaimana efeknya setelah mengikuti konseling

agama.

Hal ini mengacu pada teorinya Sofyan Willis, bahwasanya dalam

proses konseling seorang klien datang kepada konselor tentu ada maksud

dan tujuannya . Namun banyak pula klien yang datang tanpa maksud yang

jelas atau mungkin kehadirannya karena terpaksa oleh ajakan atau suruhan

orang lain. Berikut ini uraian berbagai jenis atau ragam klien yang akan

dihadapi konselor :
126

a) Klien Sukarela

Klien yang hadir di ruang konseling atas kesadaran sendiri,

berhubung ada maksud dan tujuannya. Mungkin ingin memperoleh

informasi, menginginkan penjelasan tentang persoalan yang

dihadapinya, tentang karir dan lanjutan studi dan sebagainya. Secara

umum dapat kita kenali ciri-ciri klein sukarela yaitu : hadir atas

kehendak sendiri, segera dapat menyeseuaikan diri dengan konselor,

mudah terbuka, bersungguh-sungguh mengikuti proses konseling,

berusaha mengemukakan sesuatu dengan jelas, sikap bersahabat

mengharapkan bantuan, bersedia mengungkapkan rahasia walaupun

menyakitkan.

b) Klien terpaksa

Klien yang kehadirannya di ruang konseling bukan atas keingginan

sendiri. Dia datang atas dorongan orang tua, wali kelas, teman dan

sebagainya. Klien terpaksa mempunyai karakteristik sebagai berikut :

bersifat tertutup, enggan berbicara, curiga terhadap konselor, kurang

bersahabat, dan menolak secara halus bantuan konselor.

c) Klien Enggan (Reluctant Client)

Klien yag banyak bicara. Pada prinsipnya klien seperti ini enggan

untuk di bantu. Dia hanya senang untuk berbincang-bincang dengan

konselor, tanpa ingin menyelesaikan masalahnya. Disamping itu ada

yang diam saja klien ini diam karena tidak suka diberi bantuan oleh

konselor.
127

d) Klien Bermusuhan / Menentang

Klien terpaksa yang bermasalah cukup serius, bisa menjelma

menjadi klien bermusuhan. Sifat-sifatnya adalah : tertutup, menentang,

bermusuhan, dan menolak secara terbuka.

e) Klien Kritis

Maksudnya jika seorang menghadapi musibah seperti kematina

(orangtua, pacar/isteri, anak yang dicintai), kebakaran rumah,

diperkosa, sebagainya yang dihadapkan pada konselor untuk diberi

bantuan agar dia menjadi stabil dan mampu menyesuaikan diri dengan

situasi yang baru (musibah tersebut). Beberapa gejala prilaku klien

krisis adalah tertutup, sangat emosional, kurang mampu berpikir

rasional, tidak mempu mengurus diri dan keluarga, dan membutuhkan


8
orang yang amat dipercayai.

Jadi dengan adanya beberapa faktor pendukung tersebut maka

pelaksanaan konseling agama akan berjalan lancar dan sesuai dengan

tujuan yang telah di harapkan, kalau misalkan diantara salah satu faktor

pendukung tersebut tidak ada maka pelaksanaan konseling agama tidak

dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

2. Analisis Faktor Penghambat

Berdasarkan data di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Bisma

Upakara Pekalonganbahwa faktor penghambatnya yaitu : 1)Ketika listrik

8
Ibid., hlm. 115-119.
128

mati maka proses bimbingan agama mengalami kendala, karena dalam

kegiatan ini menggunakan sound system sebagai media untuk

mempermudah dalam penyampaian pesan dalam bimbingan agama, maka

ketika listrik mati kegiatan bimbingan agama akan mengalami hambatan

dan kegiatan menjadi tidak kondusif, 2) Ketika musim hujan banyak klien

yang tidak hadir, disebabkan para lansia susah untuk menuju aula balai

karena di balai belum ada atap yang menghubungkan antara gedung yang

satu dengan gedung yang lain, 3) Tidak semua klien mengikuti kegiatan

bimbingan dan konseling agama karena terhalang oleh faktor kesehatan

yaitu mengalami perubahan biologis, fisik, sikap, perubahan akan

memberikan pengaruh pada keseluruhan aspek kehidupan termasuk

kesehatan. Hal ini menjadikan tidak semua klien lansia dapat mengikuti

kegiaatan bimbingan agama.

Sedangkan faktor penghambat terlaksananya bimbingan agama

yaitu : 1) Faktor usia para klien, dalam hal ini ketika pembimbing

memberikan bimbingan kepada klien lansia berbeda dengan klien yang

remaja atau dewasa, 2) Latar belakang klien yang berbeda, lansia yang ada

di balai mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, ada yang sudah taat

beribadah, ada yang kurang dalam beribadah, ada yang kurang dalam

pengetahuan agamanya, dan ada pula yang sama sekali tidak mengenal

sholat atau mengaji.

Berdasarkan beberapa penghambat tersebut, maka hal ini perlu di

siasati oleh konselor, dan mencari bagaimana solusinya agar faktor


129

penghambat tersebut bisa teratasi. Karena ketika ada hambatan dalam

pelaksanaan bimbingan dan konseling agama maka kegiatan tersebut tidak

berjalan efektif dan tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Terkait

dengan faktor usia para klien lansia di balai, bahwa ketika seorang itu

sudah lansia maka terjadi perubahan biologis, fisik, sikap, perubahan akan

memberikan pengaruh pada keseluruhan aspek kehidupan termasuk

kesehatan. 9 Kemudian terkait latar belakang yang berbeda,karena mereka

berasal dari keluarga dan lingkungan yang berbeda jadi konselor

perlumemahami klien lebih dalam dan memberikan bimbingan dengan

sabar. Selain itu untuk mengatasi hambatan ketika listrik mati makamedia

bimbingan agama bisa diganti dengan pengeras suara, dan terkait ketika

musim hujan banyak klien yang tidak hadir, disebabkanpara lansia susah

untuk menuju aula balai karena di balai belum ada atap yang

menghubungkan antara gedung yang satu dengan gedung yang lain, maka

hal ini perlu adanya anggaran pembangunan atap yang bisa mengubungkan

antara gedung satu dengan gedung yang lain.

9
Priyoto, Konsep Manajemen Stress, (Yogyakarta: Nuha Media, 2014), hlm. 79.

Anda mungkin juga menyukai