Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH DISCOVERY LEARNING 5

MASALAH-MASALAH DALAM NEUROLOGI

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Dalam Modul Keperawatan Medikal Bedah 3

Dosen Pengampu: Ns. Waras Budi Utomo M.Kep., M.K.M

Oleh :

Afrizal Nur Kadir (11171040000084)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019

A. Head Injury ( Cedera Kepala )


1. Definisi

Cedera kepala meliputi luka pada kulit kepala, tengkorang dan otak. Cedera kepala
dapat menimbulkan berbagai kondisi, dari gegar otak ringan, koma hingga kematian
(Brunner and Suddarth, 2013). Kondisi paling serius disebut dengan istilah cedera otak
traumatic ( traumatic brain injury [TBI] ).
2. Etiologi

Penyebab paling umum TBI adalah jatuh (28%), kecelakaan kendaraan bermotor
(20%), tertabrak benda (19%), dan perkelahian (11%). Kelompok beresiko tiggi
mengalami TBI adalah individu yang berusia 15-19 tahun, dengan perbandingan laki-
laki dan perempuan 2:1. Individu yang berusia 75 tahun atau lebih memiliki angka
rawat-inap (hospitalisasi) dan kematian akibat TBI tertinggi (Brunner and Suddarth,
2013).

3. Patofisiologi

Penelitian menunjukkan bahwa tidak semua kerusakan otak terjadi di otak saat
kejadian. Kerusakan otak akibat cedera traumatis dibagi menjadi dua bentuk: cedera
primer dan cedera sekunder.

3.1 Cedera primer adalah kerusakan awal pada otak yang terjadi dari peristiwa
traumatis. Hal ini termasuk luka memar, laserasi, dan pembuluh darah yang robek
karena dampak, percepatan / deselerasi, atau penetrasi benda asing.
3.2 Cedera sekunder berkembang selama beberapa jam dan hari berikutnya setelah
cedera awal dan hasil dari persalinan yang tidak memadai nutrisi dan oksigen ke sel
(Brunner and Suddarth, 2010).

Tempurung tengkorak berisi tiga komponen utama: otak, darah, dan cairan
serebrospinal (CSF). Menurut doktrin Monro-Kellie, tempurung tengkorak adalah
sistem tertutup, dan jika salah satu dari tiga komponen meningkatkan volume,
setidaknya satu dari dua lainnya harus mengalami penurunan volume, atau tekanan
meningkat. Setiap pendarahan atau pembengkakan di dalam tengkorak meningkatkan
volume isi di dalam tengkorak dan karena itu menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial (ICP). Jika tekanan meningkat cukup/mencapai batasan tertentu, hal ini
bisa menyebabkan perpindahan otak melalui atau melawan struktur tengkorak yang
kaku. Ini menyebabkan pembatasan aliran darah ke otak, mengurangi pengiriman
oksigen dan pembuangan limbah. Sel-sel di dalam otak menjadi anoksik dan tidak
dapat melakukan metabolisme dengan benar, menghasilkan iskemia, infark, kerusakan
otak ireversibel, dan, akhirnya, kematian otak (Brunner and Suddarth, 2010).

4. Klasifikasi Umum
4.1 Scalp Injury

Lokalisasi trauma pada kulit kepala secara umum diklasifikasikan sebagai sebuah
cedera minor. Karena banyaknya pembuluh darah yang menyempit,sehingga kulit
kepala yang terluka akan mengalami pendarahan hebat. Trauma dapat menyebabkan
abrasi (luka gesek), memar, laserasi, atau hematoma di bawah lapisan jaringan kulit
kepala (subgaleal hematoma). Avulsion besar (merobek) kulit kepala mungkin
berpotensi mengancam jiwa dan merupakan keadaan darurat yang sebenarnya.
Diagnosis cedera kulit kepala didasarkan pada pemeriksaan fisik, inspeksi, dan palpasi.
Luka kulit kepala adalah portal potensial masuknya organisme yang menyebabkan
infeksi intrakranial. Oleh karena itu, daerah tersebut diirigasi sebelum laserasi dijahit,
untuk menghapus materi asing dan mengurangi risiko infeksi. Hematoma subgaleal
(hematoma di bawah penutup luar tengkorak) biasanya menyerap kembali dan tidak
perlu perawatan khusus.

4.2 Skull Fractures

Cedera tulang tengkorak adalah patahnya kontinuitas tengkorak disebabkan oleh


trauma yang kuat. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Fraktur tengkorak
dapat diklasifikasikan sebagai sederhana, kominutif, depresi, atau basilar. Sederhana
(linier) fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang. Fraktur tengkorak kominutif
mengacu pada fraktur remuk/splintered atau multiple fracture line. Fraktur tengkorak
yang tertekan terjadi ketika tulang tengkorak secara paksa dipindahkan ke bawah dan
dapat bervariasi dari sedikit depresi hingga tulang tengkorak yang terpecah dan
tertanam di dalam jaringan otak. Patah tulang dasar tengkorak disebut fraktur tengkorak
basilar (Porth & Matfin, 2009). Fraktur mungkin terbuka, menunjukkan laserasi kulit
kepala atau robekan pada dura (mis. dari peluru atau ice pick), atau ditutup (Brunner
and Suddarth, 2010).

4.3 Brain Injury

Gegar otak setelah cedera kepala merupakan suatu kondisi hilangnya fungsi
neurologis sementara tanpa terlihat adanya kerusakan struktur. Gegar otak (TBI ringan)
kadang bias menyebabkan hilang kesadaran sementara, bias juga tidak. Mekanisme
cedera biasanya berupa trauma tumpul akibat gaya percepatan-perlambatan
(acceleration-deceleration), benturan langsung, atau cedera akibat ledakan. Jika
jaringan otak pada lobus frontal terpengaruh, pasien dapat menunjukkan perilaku aneh.
Sedangkan jika terkena lobus temporal dapat menyebabkan amnesia sementara atau
disorientasi. Brain injury dapat dibagi menjadi beberapa jenis kategori seperti kontusi,
cedera akson difus, perdarahan intracranial, hematoma epidural, hematoma subepidural,
dan perdarahan intraserebral (Brunner and Suddarth, 2013).

5. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi terjadinya trauma :
 Nyeri menetap yang terlokalisasi, biasanya mengindikasikan adanya fraktur.
 Fraktur basiliar sering kali menyebabkan perdarahan dari hidung, faring, dan
telinga, hingga darah terlihat dibawah konjungtiva. Begitupun keluarnya CSF,
kadang beresiko infeksi melalui laserasi trauma.
 Ekimosis terlihat diatas tulang mastoid ( Battle’s Sign ).
 Perubahan tingkat kesadaran (LOC).

6. Penatalaksanaan Medis
Kita harus berasumsi bahwa seseorang yang mengalami cedera kepala juga mungkin
mengalami cedera servikal sampai tidak ditemukannya bukti adanya cedera servikal.
Biasanya ditangani dengan pemindahan klien menggunakan long spine board,
pemasangan neck collar, dan pengaman lainnya (Brunner and Suddarth, 2013).
 Fraktur tengkorak non-depresi umumnya tidak membutuhkan penanganan bedah,
tetapi pasien perlu diobservasi secara ketat.
 Fraktur depresi pada tengkorak biasanya membutuhkan tindakan bedah dengan
pengangkatan tengkorang dan debridemen, biasanya dalam 24 jam sejak
terjadinya cedera.
 Penatalaksanaan mencakup pengontrolan tekanan intracranial, tindakan
pendukung (mis. Dukungan ventilasi, keseimbangan cairan dan elektrolit,
dukungan nutrisi, penatlaksanaan nyeri, etc) atau kraniotomi.

7. Pengkajian dan Metode Diagnostik


 Pengkajian fisik dan evaluasi status neurologis.
 Pemeriksaan radiografik : Sinar X, CT-Scan dan MRI.
 Angiografi serebral.

8. Penatalaksanaan Keperawatan
8.1 Pengkajian
 Memantau tanda-tanda vital
- Kaji kondisi intracranial dalam beberapa interval, begitupun dengan nadi,
tekanan sistolik, pernafasan dan perubahan tanda-tanda vital lainnya.
- Monitor suhu tubuh untuk antisipasi peningkatan kebutuhan metabolic otak
- Pantau takikardia dan hipotensi yang bias mengindikasikan peradarahan.
 Mengkaji fungsi motoric
- Observasi gerakan spontan, gerakan ekstremitas atas dan bawah, bandingkan
kekuatan dan kesetaraan kekuatan ekstremitas dibeberapa interval waktu.
- Kaji kemampuan dan kualitas bicara klien.
- Kaji respon pasien terhadap rangsangan nyeri.
 Memantau tanda-tanda neurologis lainnya
- Evaluasi kemampuan spontan membuka mata.
- Evaluasi ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya.

8.2 Penegakan Diagnosis


 Ketidakefektifan bersihan jalan napas dan gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan cedera otak.
 Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan intracranial, penurunan tekanan perfusi serebral dan kemungkinan
kejang.
 Hipovolemia berhubungan dengan hilang kesadaran dan disfungsi hormonal.
 Resiko cedera berhubungan dengan kejang, disorientasi, kegelisahan, dan
kerusakan otak.
 Gangguan pola piker, komunikasi, memori, tidur, yang berhubungan dengan
cedera otak dan masalah neurologis (Brunner and Suddarth, 2013).

8.3 Masalah Kolaboratif/komplikasi Potensial


 Penurunan perfusi serebral.
 Edema serebral dan herniasi.
 Gangguan oksigenasi dan ventilasi.
 Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan nutrisi.
 Resiko kejang pasca trauma.

8.4 Intervensi Keperawatan


 Mempertahankan Jalan Napas
- Fasilitasi kebersihan jalan napas bebas dari tumpukan sekresi.
- Tinggikan bed bagian kepala 30º untuk menurunkan tekanan vena intracranial
- Lakukan pengisapan lendir (suctioning) secara efektif.
- Cegah aspirasi dan ketidakadekuatan pernapasan.
- Pantau gas darah arteri (ABG) untuk mengkaji kecukupan ventilasi.
- Pantau pasien yang menggunakan ventilasi mekanik untuk mengetahui
adanya koplikasi paru (ARDS dan Pneumonia).
 Mempertahankan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
- Pantau kadar elektrolit urine dan serum (termasuk glukosa darah dan aseton
urine), osmolaritas, dan asupan serta haluaran cairan untuk mengevaluasi
fungsi endokrin.
- Catat berat badan harian (yang mungkin mengindikasikan kehilangan cairan
akibat diabetes insipidus).
 Meningkatkan Kecukupan Nutrisi
- Nutrisi parenteral melalui central line atau pemberian makanan enteral
melalui NGT dan selang nasojejenum.
- Pantau nilai laboratorium secara ketat pada pasien yang mendapat nutrisi
parenteral.
- Tinggikan kepala bed dan lakukan aspirasi selang enteral untuk mengecek
adanya residu makanan sebelum memberikan makanan tambahan. Hal ini
untuk mencegah distensi, regurgitasi dan aspirasi.
- Lanjutkan pemberian makanan secara enteral atau parenteral sampai reflex
menelan kembali normal, dan pasien dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya
melalui oral.
 Mencegah Cedera
- Obeservasi adanya gelisah akibat hipoksia, demam, nyeri, atau penuhnya
kandung kemih.
- Hindari restrein jika mungkin, karena menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial.
- Hindari distensi kandung kemih.
- Hindari penggunaan opioid pada pasien gelisah karena dapat mendepresi
pernafasan, mengecilkan pupil, dan memengaruhi kesadaran.
- Minimalkan stimulus lingkungan (Brunner and Suddarth, 2013).

B. Meningitis
1. Definisi

Meningitis adalah peradangan pada lapisan di sekitar otak dan sumsum tulang
belakang yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Meningitis dapat menjadi alasan
utama seorang pasien dirawat di rumah sakit atau dapat berkembang selama rawat inap
dan diklasifikasikan sebagai septik atau aseptic (Brunner and Suddarth, 2010).

2. Etiologi

Meningitis septik adalah disebabkan oleh bakteri. Pada meningitis aseptik,


penyebabnya adalah virus atau agen sekunder akibat limfoma, leukemia, atau defisiensi
imun manusia virus (HIV). Bakteri Streptococcus pneumonia dan Neisseria
meningitides bertanggung jawab atas 80% dari kasus meningitis pada orang dewasa
(van de Beek, de Gans, Tunkel, et al., 2006. dalam Brunner and Suddarth, 2010 ).
Haemophilus influenzae dulunya penyebab umum meningitis pada anak-anak, tetapi,
karena vaksinasi, infeksi dengan organisme ini sekarang jarang terjadi di negara maju.
Wabah infeksi meningitidis N. paling mungkin terjadi dalam kelompok masyarakat
yang padat, seperti kampus dan universitas, serta instalasi militer. Meskipun infeksi
terjadi sepanjang tahun, insiden puncaknya adalah pada musim dingin dan awal musim
semi. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko meningitis bakteri termasuk penggunaan
tembakau dan infeksi saluran pernapasan atas oleh virus, karena terjadi peningkatan
jumlah produksi droplet. Otitis media dan mastoiditis dapat meningkatkan risiko
terjadinya meningitis bakteri, karena bakteri dapat melewati membran epitel dan
memasuki ruang subarachnoid. Orang dengan defisiensi sistem kekebalan juga berada
pada tingkat risiko yang lebih besar untuk pengembangan meningitis bakteri (Brunner
and Suddarth, 2010).

3. Patofisiologi

Infeksi meningeal umumnya berasal dari satu dari dua cara penularan : melalui
aliran darah sebagai konsekuensi dari infeksi lain atau penyebaran langsung ( direct
spread ), seperti yang mungkin terjadi setelah cedera traumatis pada tulang wajah atau
penyebab sekunder akibat prosedur invasive.

N. meningitidis terkonsentrasi di nasofaring dan sedang menular melalui sekresi


atau kontaminasi aerosol. Bakteri atau meningitis meningococcus juga terjadi sebagai
infeksi oportunistik pada pasien dengan defisiensi imun yang didapat dari sindrom
(AIDS) dan sebagai komplikasi Lyme disease.

Begitu organisme penyebab memasuki aliran darah, itu melintasi sawar darah-otak
dan berkembang biak di cairan serebrospinal (CSF). Respons imun inang merangsang
pelepasan fragmen dinding sel dan lipopolisakarida, memfasilitasi peradangan pada
subarachnoid dan piamater. Karena ruang tengkorak memiliki sedikit ruang untuk
ekspansi, peradangan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intracranial (ICP). CSF
bersirkulasi melalui ruang subarachnoid, dimana material sel inflamasi dari jaringan
meningeal yang terinfeksi masuk dan mengakumulasi.

Prognosis untuk meningitis bakteri tergantung pada organisme penyebab, keparahan


infeksi dan penyakit, dan ketepatan waktu perawatan. Presentasi fulminan akut
mungkin termasuk kerusakan adrenal, sirkulasi kolaps, dan perdarahan luas
(Waterhouse-Friderichsen syndrome). Sindrom ini adalah hasil dari kerusakan endotel
dan nekrosis vaskular yang disebabkan oleh bakteri. Komplikasi termasuk gangguan
penglihatan, tuli, kejang, kelumpuhan, hidrosefalus, dan syok septic (Brunner and
Suddarth, 2010).

4. Manifestasi Klinis

Sakit kepala dan demam seringkali merupakan gejala awal. Demam cenderung tetap
tinggi selama perjalanan penyakit. Sakit kepala biasanya stabil atau berdenyut dan
sangat parah sebagai akibat iritasi meningeal (Bickley, 2007). Iritasi meningeal
menyebabkan sejumlah penyakit lain tanda-tanda yang diketahui umum untuk semua
jenis meningitis:

 Mobilitas leher: Leher yang kaku dan nyeri (kekakuan nuchal) dapat menjadi tanda
awal dan setiap upaya fleksi kepala sulit karena kejang pada otot dari leher.
Biasanya leher lentur, dan pasien dapat dengan mudah menekuk kepala dan leher
ke depan.
 Tanda Kernig Positif: Ketika pasien berbaring dengan paha tertekuk di perut, kaki
tidak bias sepenuhnya diperpanjang.
 Tanda positif Brudzinski: Saat leher pasien tertekuk (setelah mengesampingkan
trauma atau cedera serviks), fleksi lutut dan pinggul diproduksi; ketika ekstremitas
bawah dari satu sisi dilenturkan secara pasif, serupa gerakan terlihat di ekstremitas
yang berlawanan. Tanda Brudzinski adalah indikator yang lebih sensitive iritasi
meningeal daripada tanda Kernig.
 Fotofobia (sensitivitas ekstrem terhadap cahaya): Temuan ini adalah umum,
meskipun penyebabnya tidak jelas.

Ruam dapat menjadi fitur yang mencolok dari infeksi N. meningitidis, terjadi pada
sekitar setengah dari pasien dengan jenis meningitis ini. Lesi kulit berkembang, mulai
dari petekie ruam dengan lesi purpura ke area ekimosis yang luas.

Disorientasi dan gangguan memori sering terjadi di awal perjalanan penyakit.


Perubahan tergantung pada tingkat keparahan infeksi serta respons individu untuk
proses fisiologis. Manifestasi perilaku juga umum. Saat penyakit berkembang,
kelesuan, tidak responsif, dan koma dapat berkembang.
Kejang dapat terjadi dan merupakan hasil dari daerah iritasi di otak. ICP meningkat
sekunder ke otak pembengkakan difus atau hidrosefalus (van de Beek, et al., 2006
dalam Brunner and Suddarth, 2010). Tanda-tanda awal peningkatan ICP termasuk
penurunan tingkat kesadaran dan defisit motor fokal. Jika ICP tidak dikontrol, uncus
dari lobus temporalis mungkin keluar melalui tentorium, menyebabkan tekanan pada
batang otak. Herniasi batang otak adalah peristiwa yang mengancam jiwa yang
menyebabkan disfungsi saraf cranial dan menekan pusat fungsi vital, seperti medula.

Infeksi fulminan akut terjadi pada sekitar 10% pasien dengan meningitis
meningokokus, menghasilkan tanda-tanda luar biasa septikemia: timbulnya demam
tinggi secara tiba-tiba, lesi purpura meluas (di wajah dan ekstremitas), syok, dan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Kematian dapat terjadi dalam
beberapa jam setelah timbulnya infeksi (Brunner and Suddarth, 2010).

5. Pengkajian dan Penemuan Diagnostik

Jika presentasi klinis menunjukkan meningitis, pengujian diagnostic dilakukan


untuk mengidentifikasi organisme yang menjadi penyebab. Pemindaian computed
tomography (CT) atau pemindaian resonansi magnetic imaging (MRI) digunakan untuk
mendeteksi pergeseran isi otak (yang dapat menyebabkan herniasi) sebelum pungsi
lumbal. Kultur bakteri dan pewarnaan Gram CSF dan darah adalah tes diagnostik
utama. Studi CSF menunjukkan bahwa glukosa rendah, kadar protein tinggi, dan
jumlah sel darah putih tinggi terhitung sebagai penentuhasil diagnostic (Mazzoni, et al.,
2006 dalam Brunner and Suddarth, 2010). Pewarnaan gram memungkinkan identifikasi
cepat bakteri penyebab dan inisiasi yang sesuai terapi antibiotic.

Para peneliti telah mengembangkan skor risiko untuk digunakan pada orang dewasa
dengan meningitis bakteri. Risiko untuk yang tidak menguntungkan termasuk usia yang
lebih tua, detak jantung lebih dari 120 bpm, skor Glasgow Coma rendah, kelumpuhan
saraf kranial, dan pewarnaan Gram positif 1 jam setelah presentasi ke rumah sakit
(Weisfelt, van de Beek, Spanjaard, et al., 2007 dalam Brunner and Suddarth, 2010).

6. Penatalaksanaan Medis
Hasil yang sukses tergantung pada administrasi awal dari antibiotik yang melintasi
sawar darah-otak ke dalam ruang subarachnoid dalam konsentrasi yang cukup untuk
menghentikan perbanyakan bakteri. Vancomycin hidroklorida dalam kombinasi dengan
salah satu sefalosporin (misalnya, ceftriaxone natrium, cefotaxime sodium) diberikan
secara intravena (IV).

Dexamethasone (Decadron) telah terbukti bermanfaat sebagai terapi tambahan


dalam pengobatan bakteri akut meningitis dan meningitis pneumokokus jika diberikan
15 hingga 20 menit sebelum dosis pertama antibiotik dan setiap 6 jam selama 4 hari
berikutnya. Studi menunjukkan bahwa deksametason meningkatkan hasil outcomes
pada orang dewasa dan tidak meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal (van de
Beek, et al., 2006 dalam Brunner and Suddarth, 2010). Dehidrasi dan syok diobati
dengan ekspander volume cairan. Kejang, yang mungkin terjadi di awal perjalanan
penyakitnya, dikendalikan dengan fenitoin (Dilantin).

7. Penatalaksanaan Keperawatan

Pasien dengan meningitis merupakan sakit kritis; oleh karena itu, banyak intervensi
keperawatan adalah kolaborasi dengan dokter, terapis pernapasan, dan anggota lain dari
tim perawatan kesehatan. Keselamatan dan kesejahteraan pasien tergantung pada
penilaian keperawatan yang sehat. Status neurologis dan tanda-tanda vital terus dinilai.
Oksimetri nadi dan nilai gas darah arteri digunakan untuk cepat mengidentifikasi
kebutuhan untuk bantuan pernapasan jika ICP meningkat hingga membahayakan
batang otak. Penyisipan endotrakeal tube (atau trakeotomi) dan ventilasi mekanis
mungkin diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang memadai.

Tekanan darah (biasanya dipantau menggunakan garis arteri) dinilai untuk syok
yang baru terjadi, yang mendahului jantung atau kegagalan pernapasan. Penggantian
cairan IV cepat dapat diresepkan, tetapi perawatan harus dilakukan untuk mencegah
kelebihan cairan. Demam juga meningkatkan beban kerja jantung dan metabolisme
otak. ICP akan meningkat sebagai respons terhadap peningkatan permintaan
metabolisme serebral. Karena itu, langkah-langkah diambil untuk mengurangi suhu
tubuh secepat mungkin.
Komponen penting lain dari asuhan keperawatan termasuk langkah-langkah
berikut:

 Melindungi pasien dari cedera sekunder pada aktivitas kejang atau perubahan LOC
 Memantau berat badan harian; serum elektrolit; dan volume urin, berat jenis, dan
osmolalitas, terutama jika sindrom hormon antidiuretik tidak tepat (SIADH)
menjadi suspek yang diduga.
 Mencegah komplikasi yang terkait dengan imobilitas, seperti borok tekan dan
pneumonia
 Melembagakan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi hingga 24 jam
setelah beberapa jam dimulainya terapi antibiotik (oral dan secret hidung yang
dianggap menular)

Secara tiba-tiba penyakit kritis dapat menghancurkan bagi keluarga. Karena kondisi
pasien sering kritis dan prognosisnya dijaga, keluarga perlu diberi tahu tentang kondisi
pasien. Kunjungan keluarga berkala sangat penting untuk memfasilitasi koping pasien
dan keluarga. Aspek penting peran perawat adalah untuk mendukung keluarga dan
membantu mereka dalam mengidentifikasi orang lain yang dapat mendukung mereka
selama krisis (Brunner and Suddarth, 2010).

C. Epilepsi
1. Definisi

Epilepsi adalah sekelompok sindrom yang ditandai dengan tidak diprovokasi,


kejang berulang. Sindrom epilepsy diklasifikasikan berdasarkan pola spesifik fitur
klinis, termasuk usia saat onset, riwayat keluarga, dan jenis kejang. Jenis epilepsi
dibedakan berdasarkan manifestasi kejang, sindrom yang paling umum menjadi orang-
orang dengan kejang umum dan orang-orang dengan kejang onset parsial (Brunner and
Suddarth, 2010). Epilepsi bisa bersifat primer (Idiopatik) atau sekunder (ketika
penyebabnya diketahui dan epilepsi adalah gejala dari kondisi mendasar lainnya, seperti
tumor otak).

Epilepsi mempengaruhi sekitar kurang lebih 3% dari orang selama umur hidup
mereka, dan sebagian besar bentuk epilepsi terjadi di masa kanak-kanak. Perbaikan
pengobatan gangguan serebrovaskular, kepala cedera, tumor otak, meningitis, dan
ensefalitis telah meningkatkan jumlah pasien yang berisiko kejang setelah pemulihan
dari kondisi ini. Juga, kemajuan dalam EEG miliki peran dalam diagnosis epilepsi.
Masyarakat umum telah dididik tentang epilepsi, yang telah mengurangi stigma terkait
dengannya; sebagai hasilnya, lebih banyak orang yang mau mengakui bahwa mereka
menderita epilepsy (Brunner and Suddarth, 2010).

2. Etiologi

Meskipun beberapa bukti menunjukkan kerentanan itu untuk beberapa jenis epilepsi
mungkin diturunkan, penyebab kejang pada banyak orang adalah idiopatik (tidak
diketahui). Epilepsi dapat mengikuti trauma kelahiran, asfiksia neonatorum, cedera
kepala, beberapa penyakit menular (bakteri, virus, parasit), toksisitas (karbon
monoksida dan keracunan timbal), masalah peredaran darah, demam, metabolisme dan
nutrisi gangguan, atau keracunan obat atau alkohol. Itu juga terkait dengan tumor otak,
abses, dan bawaan malformasi (Brunner and Suddarth, 2010).

3. Patofisiologi

Pesan dari tubuh dibawa oleh neuron (sel-sel saraf) otak melalui pelepasan energi
elektrokimia yang menyapu mereka. Impuls ini terjadi setiap kali sel saraf memiliki
tugas untuk dilakukan. Terkadang, sel-sel atau kelompok sel ini terus terpancar meski
tugas telah selesai. Selama periode pembuangan yang tidak diinginkan, bagian-bagian
tubuh yang dikendalikan oleh sel-sel yang salah dapat bekerja tidak menentu. Disfungsi
yang dihasilkan berkisar dari ringan hingga tidak mampu dan sering menyebabkan
hilangnya kesadaran (Cupu, 2009 dalam Brunner and Suddarth, 2010). Jika ini tidak
terkendali, pelepasan abnormal terjadi berulang kali, maka seseorang dikatakan
memiliki sindrom epilepsi.

Epilepsi tidak terkait dengan tingkat intelektual. Orang-orang yang menderita


epilepsi tanpa masalah otak atau cacat sistem saraf lain berada dalam rentang
kecerdasan yang sama dari keseluruhan populasi. Epilepsi tidak identik dengan
keterbelakangan mental atau penyakit. Namun, banyak orang yang mengalami
perkembangan cacat karena kerusakan neurologis yang serius juga menderita epilepsy
(Brunner and Suddarth, 2010).

4. Manifestasi Klinis
Bergantung pada lokasi neuron yang dilepaskan, kejang bisa berkisar dari episode
menatap sederhana (tidak ada kejang) hingga gerakan kejang yang berkepanjangan
dengan kehilangan kesadaran.

Pola awal kejang menunjukkan wilayah otak tempat kejang berasal. Dalam kejang
parsial sederhana, hanya jari atau tangan yang bisa bergetar, atau mulut bisa menyentak
tak terkendali. Orang tersebut dapat berbicara namun tidak dapat dipahami; mungkin
pusing; dan mungkin mengalami hal yang tidak biasa atau pandangan yang tidak baik,
suara, bau, atau rasa yang tidak menyenangkan, tetapi tanpa kehilangan kesadaran
(Hickey, 2009 dalam Brunner and Suddarth, 2010).

Dalam kejang parsial kompleks, orang tersebut tetap tidak bergerak atau bergerak
secara otomatis tetapi tidak sesuai untuk waktu dan tempat, atau dia mungkin
mengalami emosi yang berlebihan seperti ketakutan, kemarahan, atau mudah marah.
Apapun manifestasinya, orang tersebut tidak ingat episode ketika sudah berakhir
(kejang berakhir).

Kejang umum, yang sebelumnya disebut kejang grand mal, melibatkan kedua
belahan otak, menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi (Hickey, 2009). Intens kekakuan
seluruh tubuh dapat terjadi, diikuti oleh pergantian relaksasi dan kontraksi otot
(menyeluruh) kontraksi tonik-klonik. Kontraksi simultan otot diafragma dan dada dapat
menghasilkan karakteristik tangisan epilepsi. Lidah sering dikunyah, dan pasien tak
mampu menahan urin dan tinja. Setelah 1 atau 2 menit, gerakan kejang mulai mereda;
pasien rileks dan berbaring dalam koma yang dalam, bernapas dengan ribut. Respirasi
pada titik ini terpusat di perut. Di keadaan postictal (setelah kejang), pasien sering
bingung dan sulit untuk mbangkit dari posisi berbaring dan dapat tidur berjam-jam.
Banyak pasien melaporkan sakit kepala, sakit otot, kelelahan, dan depresi (AANN,
2007 dalam Brunner and Suddarth, 2010).

5. Penatalaksanaan Medis

Manajemen epilepsy dilakukan secara individual untuk memenuhi kebutuhan setiap


pasien dan bukan hanya untuk mengelola dan mencegah kejang. Manajemen yang
digunakan berbeda dari pasien satu ke pasien lainnya, karena beberapa bentuk epilepsi
muncul dari kerusakan otak dan lainnya disebabkan oleh perubahan kimia otak.
5.1 Terapi Farmakologis
Banyak obat yang tersedia untuk mengendalikan kejang, meskipun mekanisme
pasti tidak diketahui. Tujuannya adalah untuk mencapai pengontrolan kejang
dengan efek samping minimal. Terapi pengobatan lebih mengontrol daripada
menyembuhkan kejang. Obat dipilih berdasarkan jenis kejang yang sedang dirawat
dan efektivitasnya serta keamanan obat-obatan. Jika diresepkan dan diminum
sesuai resep, obat mampu mengendalikan kejang pada 70% - 80% pasien dengan
kejang. Namun, 20% pasien dengan generalisasi kejang dan 30% dari mereka yang
mengalami kejang parsial tidak menunjukkan perbaikan dengan obat yang
diresepkan atau mungkin tidak dapat mentolerir efek samping dari obat-obatan
(AANN, 2007 dalam Brunner and Suddarth, 2010).

5.2 Manajemen Operasi


Pembedahan diindikasikan untuk pasien yang menderita epilepsy tumor
intrakranial, abses, kista, atau kelainan pembuluh darah. Beberapa pasien memiliki
gangguan kejang yang tidak dapat diatasi menggunakan pengobatan. Proses atrofik
fokal dapat terjadi sekunder akibat trauma, radang, stroke, atau anoksia. Jika
kejang berasal dari daerah yang cukup terbatas dengan otak yang dapat dieksisi
tanpa menghasilkan efek yang signifikan terhadap defisit neurologis, penghapusan
daerah yang menghasilkan kejang dapat menghasilkan kontrol dan peningkatan
jangka panjang (AANN, 2007 dalam Brunner and Suddarth, 2010).

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan efek daribberbagai


pendekatan bedah pada tingkat komplikasi, kualitasbkehidupan, kegelisahan, dan
depresi, yang semuanya merupakan masalah bagi pasien dengan epilepsi.

6. Penatalaksanaan Keperawatan
6.1 Penegangan Diagnosa
Berdasarkan data penilaian, perawatan utama diagnosis pasien dapat meliputi:
 Risiko cedera terkait aktivitas kejang
 Ketakutan terkait dengan kemungkinan kejang
 Penanganan individu yang tidak efektif terkait dengan tekanan yang
ditimbulkan oleh epilepsi
 Kurang pengetahuan terkait dengan epilepsi dan kontrolnya
 Potensi komplikasi utama bagi pasien dengan epilepsi adalah status
epileptikus dan efek samping obat (toksisitas)-masalah kolaboratif.

6.2 Perencanaan dan Tujuan


Tujuan utama bagi pasien dapat mencakup pencegahan cedera, kontrol kejang,
pencapaian psikososial yang memuaskan penyesuaian, akuisisi pengetahuan dan
pemahaman tentang kondisi, dan tidak adanya komplikasi.

6.3 Intervensi Keperawatan


 Mencegah cedera
 Mengurangi ketakutan akibat kejang
 Mengembangkan Mekanisme Koping
 Memfasilitasi Pasien dan keluarga dengan Edukasi
 Mengatur dan Memonitor Kemungkinan Komplikasi
 Promosi Pemulangan dan Perawatan Berbasis Komunitas

6.4 Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari pasien dapat meliputi:
1. Tidak menyebabkan cedera selama aktivitas kejang
a. Mematuhi rejimen pengobatan dan mengidentifikasi bahaya
menghentikan obat
b. Dapat mengidentifikasi perawatan yang tepat selama kejang; pengasuh
dapat juga melakukannya
2. Menunjukkan penurunan ketakutan
3. Menampilkan koping individu yang efektif
4. Menunjukkan pengetahuan dan pemahaman tentang epilepsi
a. Mengidentifikasi efek samping obat
b. Menghindari faktor atau situasi yang mungkin mengendap kejang
(misalnya, lampu berkedip, hiperventilasi, alkohol)
c. Mengikuti gaya hidup sehat dengan mendapatkan kecukupan tidur dan
makan pada waktu yang teratur untuk menghindari hipoglikemia
5. Tidak adanya komplikasi

Daftar Pustaka

 Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12. Jakarta : EGC.
 Brunner & Suddarth. 2010. Medical Surgical Nursing. 12thEdition . China : Wolters
Kluwer

Anda mungkin juga menyukai