PENDAHULUAN
Sampai saat ini batu saluran kemih (BSK) pada anak masih merupakan
masalah kesehatan anak di negara yang sedang berkembang. Urolitiasis atau batu
saluran kemih telah dikenal sejak beberapa abad yang lampau. Beberapa laporan dari
Eropa dan Amerika yang menunjukkan adanya penurunan frekuensi kejadian BSK
pada anak. Namun di beberapa negara Asia, penyakit ini masih bersifat endemis.[1]
Penyebab pasti yang membentuk BSK belum diketahui, oleh karena banyak
faktor yang dilibatkannya. Diduga dua proses yang terlibat dalam BSK yakni
supersaturasi dan nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi yang menyusun batu
terdapat dalam jumlah besar dalam urin, yaitu ketika volume urin dan kimia urin yang
menekan pembentukan batu menurun. Pada proses nukleasi, natrium hydrogen urat,
asam urat dan kristal hidroksipatit membentuk inti. Ion kalsium dan oksalat kemudian
merekat (adhesi) di inti untuk membentuk campuran batu. Proses ini di namakan
nukleasi heterogen. Analisis batu yang memadai akan membantu memahami
mekanisme patogenesis BSK dan merupakan tahap awal dalam penilaian dan awal
terapi pada penderita BSK.[2]
Penyakit ini berhubungan erat dengan faktor sosioekonomi. Berbagai
penelitian telah membuktikan bahwa dengan perbaikan status sosio-ekonomi,
frekuensi kejadian BSK bagian bawah akan menurun, namun frekuensi kejadian BSK
bagian atas akan meningkat. Penyakit ini juga menunjukkan adanya predisposisi
dalam keluarga. Penyelidikan faktor penyebab terjadinya BSK pada setiap kasus
perlu dilakukan untuk dapat mengatur cara pencegahan kekambuhan.[1]
Akibat yang ditimbulkan oleh batu saluran kemih ialah obstruksi, infeksi, rasa
nyeri dan metaplasia, yang sangat merugikan penderita. Obstruksi dan infeksi yang
berlangsung lama akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal, bahkan dapat sampai
ke taraf gagal ginjal.[2]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2) Ureter
Ureter adalah organ berbentuk saluran kecil yang berfungsi mengalirkan
air kemih dari pielum (pelvis) ginjal ke dalam buli-buli. Pada orang dewasa
panjangnya lebih kurang 25-30 cm, dan diameternya 3-4 mm. Dindingnya terdiri
atas: (1) mukosa yang dilapisi oleh sel transisional, (2) otot polos sirkuler, dan (3)
otot polos longitudinal. Kontraksi dan relaksasi kedua otot polos itulah yang
memungkinkan terjadinya gerakan peristaltik ureter guna mengalirkan air kemih
ke dalam buli-buli. Jika karena suatu sebab terdapat sumbatan pada lubang ureter
sehingga menyumbat aliran air kemih, otot polos ureter akan berkontraksi secara
berlebihan, yang bertujuan untuk mendorong atau mengeluarkan sumbatan itu
dari saluran kemih. Kontraksi itu dirasakan sebagai nyeri kolik yang datang
secara berkala, sesuai dengan irama peristaltik ureter. [6]
2) Uretra
Uretra merupakan saluran yang menyalurkan air kemih ke luar dari buli-
buli melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian,
yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga
dalam menyalurkan cairan mani. Uretra dilengkapi dengan katup uretra
interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra,serta katup uretra
eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Mukosa
uretra yang meliputi dari glans penis dibentuk oleh lapisan skuamos
epithelium. Pada bagian proksimalnya dibentuk oleh tipe lapisan
transisional.[6]
Katup uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem
simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, katup ini terbuka.Katup uretra
eksterna terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem
somatik.Aktivitas katup uretra eksterna ini dapat diperintah sesuai dengan
keinginan seseorang.Pada saat berkemih katup ini terbuka dan tetap terutup
pada saat menahan rasa ingin berkemih.Panjang uretra wanita kurang lebih 3-
5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23-25 cm. [6]
Diduga dua proses yang terlibat dalam BSK yakni supersaturasi dan nukleasi.
Supersaturasi terjadi jika substansi yang menyusun batu terdapat dalam jumlah yang
besar dalam urine, yaitu ketika volume urine dan kimia urine yang menekan
pembentukan menurun. Pada proses nukleasi, natrium hidrogen urat, asam urat dan
kristal hidroksipatit membentuk inti. Ion kalsium dan oksalat kemudian merekat
(adhesi) di inti untuk membentuk campuran batu. Proses ini dinamakan nukleasi
heterogen. Analisis batu yang memadai akan membantu memahami mekanisme
patogenesis BSK dan merupakan tahap awal dalam penilaian dan awal terapi pada
penderita BSK.[3]
Sebab-sebab batu saluran kemih adalah multiple, dan daftar lengkap terdapat dalam
tabel berikut ini:[4]
Sindroma Tubuler Ginjal
Asidosis tubuler ginjal
Inhibitor karbonik anhidrase
Sistinuria
Glisinuria
Gangguan Enzim
Hiperoksiuria primer
Xantinuria
Hiperurikisuria metabolic
Status hiperkalsemik
Hiperparatiroidisme primer
Sarkoidosis
Hipervitaminosis D
Neoplasma
Litiasis Asam urat dan gangguan yang terkait
Hiperurikosuria metabolic herediter
Status pengeluaran urin rendah
Nefolitiasis dan penyakit usus
Hiperoksaluria didapat
Litiasis asam urat
Litiasis ginjal ideopatik
Urolithiasis terinfeksi dan stasis urin
Kalkuli endemic
B. Ureterolithiasis
Batu yang berada di ureter, biasanya terletak
pada ketiga penyempitan yaitu ureteropelvico
junction, abdominopelvico junction, ureterovesico
junction.[5]
Etiologi
Biasanya berasal dari batu ginjal yang lepas dan turun ke distal.[5]
Gejala
1) Nyeri mendadak di perut kanan atau kiri tergantung letak batu. Nyeri
dapat bersifat kolik hebat sehingga penderita berteriak atau berguling.
Kadang-kadangn nyeri perut terus mwnerus. Biasanya nyeri dimulai di
daerah pinggang kemudian menjalar ke daerah testis atau labia mayora,
disertai mual, muntah, pucat, dan berkeringat dingin.
2) Hematuria
3) Nyeri ketok di daerah pinggang
Gejala
Rasa nyeri waktu miksi (disuria). Hematuria kadang-kadang disertai
urin keruh. Pancaran urin tiba-tiba berhenti keluar lagi pada perubahan posisi.
Sering miksi. Pada anak nyeri miksi ditandai oleh kesakitan, menangis,
menarik-nrik penis, miksi mengedan sering diikuti defekasi arau prolapsus
ani.[5]
7. Pemeriksaan Penunjang
A. Laborarorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut: [5]
1) Urinalisis
Pada urin biasanya dijumpai hematuria dan kadang-kadang kristaluria.
Hematuria biasanya terlihat secara mikroskopis, dan derajat hematuria
bukan merupakan ukuran untuk memperkirakan besar batu atau
kemungkinan lewatnya suatu batu. Tidak adanya hematuria dapat
menyokong adanya suatu obstruksi komplit, dan ketiadaan ini juga
biasanya berhubungan dengan penyakit batu yang tidak aktif. Pada
pemeriksaan sedimen urin, jenis kristal yang ditemukan dapat memberi
petunjuk jenis batu. Pemeriksaan pH urin < 5 menyokong suatu batu asam
urat, sedangkan bila terjadi peningkatan pH (≥7) menyokong adanya
organisme pemecah urea. Pada batu ginjal kadang-kadang terdapat
proteinuria ringan. Pada batu buli-buli, leukosit lebih banyak daripada
eritrosit dan tersebar.
Gambar mikroskopik Kristal urin
2) Pengumpulan urin 24 jam untuk
- Bersihan kreatinin
- Kalsium
- Fosfor
- Oksalat
- Asam urat
3) Serum
- Kalsium
- Fosfor
- Asam urat
B. Pemeriksaan Radiologis
Bebrapa pemeriksaan radiologi syng dapat dilakukan adalah sebgai berikut: [5]
1) Foto polos abdomen
Foto polos abdomen dapat menentukan besar, macam dan lokasi batu
radiopaque. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat
radiopaque dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan
batu asam urat bersifat radiolusen.
Gambaran hasil foto polos abdomen
2) Intravenous Pyelogram (IVP)
IVP dapat menentukan dengan tepat letak batu, terutama batu-batu
yang radiolusen dan untuk melihat fungsi ginjal. Selain itu IVP dapat
mendeteksi adanya batu semi opaque ataupun batu non opaque yang
tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen.
3) CT Scan
CT Scan (Computerized Tomography) adalah tipe diagnosis sinar X
yang dapat membedakan batu dari tulang atau bahan radiopaque lain.
8. Diagnosis Banding
Kelianan ini hendaknya ibedakan dari pielonefritis akut, tumor ginjal, ureter
dan buli-buli, tuberculosis ginjal, nekrosis pelvis renalis, kolesistitis akut dan
apendisitis akut.[5]
9. Komplikasi
Hidrpnefrosis, pielonefrosis, uremia dan gagal ginjal. [5]
10. Pengobatan
Pengobatan batu saluran kemih dilakukan dengan pendekatan dari dua
perspektif. Satu aspek adalah pengobatan gangguan metabolic yang
mendasarinya, infeksi, atau faktor anatomic yang merupakan predisposisi; aspek
laina dalah pengobtan komlikasi dari batu itu sendiri, secara prinsip obstruktif
dan infeksi. Tindakan yang paling sederhana dan paling efektif untuk mencegah
berulangnya batu saluran kemih adalah mempertahankan status hidrasi yang
adekuat dan diurisis 24 jam sehari, untuk membuat urin encer untuk mengurangi
kemungkinan presipitasi bahan-bahan batu.[4]
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5
mm, karena diharapkan batu dapat keluar secara spontan. Terapi yang diberikan
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran air kemih dengan
pemberian diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar
dari saluran kemih.[6]
Perubahan pH urin dapat juga mencegah berulangnya batu. Sistin jauh lebih
mudah larut apabila pH urin > 7,5. Dan alkalisasi urin dengan natrium bikarbonat
atau natrium sitrat adalah efektif.[4]
Kalau mingkin dana pabila tindakan sederhana gagal, terapi spesifik untuk
setiap gangguan metabolic yang mendasari harus digunakan: [4]
- Tiazid tampaknya efektif dalam pengendalian hiperkalsiuria ginjal primer
- Alupurinol adalah suatu inhibitor sntin oksidase dan efektif mengurangi
produksi asam urat
- N-asetilsistein tampaknya mempunyai toksisitas rendah dan mungkin eektif
dalam pengendalian sistinuria.
- Piridoksin telah digunakan dalam bebrapa kasus hiperoksaluria
Pengobatan bedah penyakit batu telah dilaksanakan secara luas pada masa
lampau. Batu harus diambil, apabila batu menyebabkan obstruksi sistem koleksi,
sakit dan perdarahan, atau apabila hal ini merupakan faktor pelestarian infeksi.
Semua batu struvit harus diambil, karena batu ini membawa risiko berarti
destruksi parenkima ginjal dan pembentukan abses ginjal dan perirenal. Cara-
cara baru pengambilan batu, baik secara endoskopik maupun jalan masuk
perkutan ke dalam ginjal, telah diterapkan dengn skala terbatas pada anak.
Ekstracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) telah diterapkan dengan
berhasil pada batu ginjal maupun batu ureter pada anak dengan angka
keberhasilan lebih dari 75%.[4]
BAB III
KESIMPULAN
1. Batu Saluran Kemih (BSK) adalah penyakit dimana didapatkan masa keras
seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih baik saluran kemih atas
(ginjal dan ureter) dan saluran kemih bawah (kandung kemih dan uretra), yang
dapat menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih dan infeksi.
2. Teori pembentukan batu saluran kenih adalah teori fisika kimia, prinsip dari teori
ini adalah terbentuknya BSK karena adanya proses kimia, fisika maupun
gabungan fisiko kimiawi. Dari hal tersebut diketahui bahwa terjadinya batu sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pembentuk batu di saluran kemih.
3. Komposisi kimia yang terkandung dalam batu ginjal dan saluran kemih dapat
diketahui dengan menggunakan analisis kimia khusus untuk mengetahui adanya
kalsium, magnesium, amonium, karbonat, fosfat, asam urat oksalat dan sistin.
4. Anak dengan batu saluran kemih hampir selalu mengalami hematuria yang
mencolok atau hematuria mikroskopik. Tanda lainnya adalah sakit perut, sakit
panggul, atau punggung, diikuti gejala-gejala infeksi saluran kemih.
5. Pemeriksaan yang dapat dilakakn untuk mendiagnosis batu saluran kemih dapat
berupa:
1) Pemeriksaan laboratorium : urinalisis, pemeriksaan kadar serum oksalat,
kalsium, asam urat, dll.
2) Pemeriksaan radiologis: Foto polos abdomen, IVP, CT-scan.
6. Pengobatan batu saluran kemih dilakukan dengan pendekatan dari dua perspektf.
Satu aspek adalah pengobatan gangguan metabolik yang mendasarinya, infeksi,
atau faktor anatomic yang merupakan predisposisi; aspek laina dalah pengobtan
komlikasi dari batu itu sendiri, secara prinsip obstruktif dan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pudjiastuti, P. 2010. Batu Saluran Kemih pada Anak di RS. Cipto angunkusumo
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Diakses 24 Desember 2015.
Dari <http://www.lib.ui.ac.id >
2. Ratu dkk. 2006. Profil Analisis Batu Saluran Kemih di Laboratorium Patologi Klinik.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No.
3, pp 114 – 117.
3. Rahayu, H. 2012. Batu Saluran Kemih. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Diakses 24 Desember 2015. Dari <http://www.repository.usu.ac.id>.
4. Behram, Kliegman, dan Arvin. 2000. Ilmi Kesehatan Anak Nelson Edisi 15
Volume 3. Jakarta:EGC.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Infomedika Jakarta.
6. Syafrina, I. 2012. Batu Saluran Kemih. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Diakses 24 Desember 2015. Dari <http://www.repository.usu.ac.
id >.