Anda di halaman 1dari 31

TINGKAT KERUSAKAN SARAF PERIFER

1. Neuropraxia

Adalah tidak berfungsinya sistem saraf yang bersifat


sementara tanpa terjadinya disrupsi fisik axon.
Biasanya fungsi saraf akan kembali normal setelah 2-4
minggu.

Neuropraksia
Pada kasus ini, ada kerusakan transmisi impuls menuju serat saraf dan
penyembuhannya terjadi tanpa adanya degenerasi Wallerian.
 Penyebab
Konkusi atau shock seperti trauma ke saraf
Kompresi dari trauma benda tuimpul
Kehilangan fungsi
Dapat dikembalikan dalam beberapa jam sampai beberapa bulan
dari cedera
Rata- rata membutuhkan waktu 6 sampai 8 minggu

b. Axonotmesis
Merujuk kepada tingkat keparahan yang lebih buruik dari
neuropraksia.
Dimana terdapat kehilangan kontinuitas akson dan selaput myelin
meski kerangka jaringan ikat saraf (jaringan pembungkus seperti
epineurium dan perineurium) masih ada
Ciri Klinis
o Degenerasi Wallerian
o Hilangnya fungsi sensorik dan motoric dari saraf tepi
o Degenerasi proksimal retrograde dari akson
 Regenerasi
o Lesi proksimal tumbuh ke distal secepat 2-3 mm per hari
o Lesi distal lebih lambat yaitu 1,5 mm per hari
c. Neurotmesis
Merupakan lesi paling parah dengan kehilangan kontinuitas
menyeluruh, termasuk jaringan ikat yang membungkus. Sehingga
beresiko untuktidak dapat dipulihkan.

 Sebab

o Lebam parah
o Tertarik
o Laserasi
 Struktur yang terlibat
13. Akson dengan jaringan ikat pembungkus kehilangan kontinuitas.
Derajat ekstrim neurotmesis adalah transeksi, menghasilkan hilangnya
fungsi motorik, sensorik, dan autonom. Ujung – ujung akson jauh
terpisah,
kecenderungan perbaikan dari regenerasi akson menyebabkan
neuroma
dapat terbentuk pada ujung proksimal.
Pada saraf
1.d Neuropraksia
tidak berfungsinya sistem saraf yang bersifat sementara tanpa
terjadinya disrupsi fisik axon. Biasanya fungsi saraf akan kembali
normal setelah 2-4 minggu.
2.d Aksonotmesis
terjadinya disrupsi axon dan myelin. Jaringan ikat lunak sekitarnya
termasuk endoneurium intak. Terjadi degenerasi axon distal dan
proksimal lokasi terjadinya trauma. Degenerasi distal dikenal
sebagai degenerasi Wallerian. Axon akan memngalami regenerasi
dengan kecepatan 1mm/ hari. Secara bermakna fungsi akan
kembali normal setelah 18 bulan.
3.d Neurotemesis
Adalah terjadinya disrupsi axon dan endoneurial. Komponen
kolagen perifer seperti epineurium dapat intak atau terjadi
disrupsi. Degenerasi axonal terjadi pada distal dan proksimal
segmen

Menurut Seddon dan Hilary, penyebab lesi syaraf tepi menjadi 3


katagori :
Neuropraxia
Kondisi dimana terjadi paralisis motorik dengan sedikit atau
tidak ada gangguan sensorik maupun fungsi otonom. Tidak terjadi
gangguan pada sel syaraf itu sendiri. Penyebabnya adalah kompresi
pada sel syaraf oleh jaringan yang mengalami masalah. Dapat
kembali seperti semula setelah pencetus kompresi menghilang.
(Seddon, 1989).
Menurut Hilarry (1990), neuropraxia hilangnya fungsi syaraf
secara temporal tanpa adanya pada axon. Pada situasi ini stimulasi
pada bagian distal dari cedera mungkin menyebabkan kontraksi
sedangkan stimulasi pada bagian proximal tidak akan terjadi
kontraksi. Bukanlah termasuk dari bagian Wallerian Degeneration.

Axonotmesis
Adalah terjadinya disrupsi axon dan myelin. Jaringan
ikat lunak sekitarn ya termasuk endoneurium intak.
Terjadi degenerasi axon distal dan proksimal lokasi
terjadinya trauma. Degenerasi distal dikenal sebagai
degenerasi Wallerian. Axon akan memngalami
regenerasi dengan kecepatan 1mm/ hari. Secara
bermakna fungsi akan kembali normal setelah 18 bulan.

b. Axonotmesis
Gangguan syaraf yang satu lebih berat dibandingkan dengan
neuropraxia. Kondisi dimana cedera sel syaraf disertai gangguan
pada axon tetapi selubung schwan tetap terbelihara. Motorik, sensoris
dan otonom mengalami paralisis. Kesembuhan dapat dicapai apabila
hilangnya faktor pencetus kompresi pada sel syaraf dan tergantung
dari regenerasi axon. (Seddon, 1989).
Menurut Hilary (1990), terjadi gangguan total pada axon dan
selubung myelin dengan pemeliharaaan dari selubung neurolemma
dan connective tissue stroma. Tidak ada kontraksi bila diberikan
stimulasi syaraf. Sebuah kontraksi hanya dapat distimulasi melalui
penggunaan long duration pulse.

Neurotmesis
Adalah terjadinya disrupsi axon dan endoneurial.
Komponen kolagen perifer seperti epineurium dapat
intak atau terjadi disrupsi. Degenerasi axonal terjadi
pada distal dan proksimal segmen.

Neurotmesis
Merupakan gangguan syaraf yang paling serius dibandingkan
neuropraxia dan axonotmesis. Sel syaraf dan selubung mengalami
gangguan. Walaupun penyembuhan kemungkinan terjadi. Hal
tersebut tidak akan sempurna.
Menurut Hilary (1990), hilangnya kontinuitas dari seluruh
bagian sel syaraf diikuti seluruh bagian. Tidak ada respon stimulasi.
Wallerian Degeneration mengambil tempat pada kasus ini. Secara
umum sel syaraf telah mengalami gangguan secara komplit dan
serius.

Neurotmesis
Neurotmesis adalah cedera kelas V di mana ada gangguan saraf
lengkap menyebabkan kematian akson distal dan degenerasi mielin
wallerian.

Terdapat tiga macam jenis kerusakan yang dapat mengenai saraf tepi.
Masing-masing memiliki gejala dan letak kerusakan yang berbeda.
Ketiga jenis kerusakan saraf tepi tersebut antara lain :

1. NEUROPRAXIA
 Terjadi penekanan pada serabut saraf.
 Bersifat ringan.
 Gangguan hanya terjadi selama penekanan berlangsung.
 Tidak terjadi kelainan pada struktur serabut saraf.
 Gangguan akan berakhir bila penekanan hilang.

2. AXONOTNESIS

 Kerusakan saraf sampai pada axon, tetapi selubung axon masih


baik.
 Walau axon rusak, namun bila selubung axon masih baik maka
akan terjadi regenerasi.
 Pada 1-2 minggu pertama pasca trauma, kondisi cenderung
tetap.

3. NEURONOTNESIS

 Kerusakan terjadi pada axon dan selubung axon, sehingga


terjadi degenerasi Wallerian, di mana degenerasi terjadi kea rah
distal dan proximal.
 Kondisi memburuk pada 1-2 minggu pertama.

Regenerasi serabut saraf tergantung pada jarak atau panjang


kerusakan serabut saraf, di mana bila :

 Jarak atau panjang kerusakan dekat, maka regenerasi akan


terjadi secara komplit.
 Jarak atau panjang kerusakan jauh, maka bisa terjadi kegagalan
regenerasi atau inkomplit.
 Kecepatan regenerasi serabut saraf ialah 1mm/hari.
 Pada kondisi akut, kita tidak bisa mengetahui jenis kerusakan
serabut saraf karena terjadi memar dan paralysis komplit.
Menurut Anderson (1976), Stabilitas dari axon tergantung pada
hubungan dari cell body. Jika axon mengalami cedera dengan
neurotmesis (ganggguan pada endoneural continuity) ataupun dengan
axonotmesis (tidaka ada ada gangguan pada endoneural continuity),
degenerasi dari syaraf perifer terjadi ketika axon mulai mengalami
gangguan. Hal ini dimasukkan dalam jenis Wallerian Degeneration.
Degenerasi pada syaraf merupakan kondisi dimana gagalnya
selubung myelin dan hancurnya cylinder axis, bersamaan dengan
terjadinya proses poliferasi yang dihasilkan oleh sel-sel Schwann
dalam formasi dari neurolemmal band dan penyusutan dari selubung
endoneural. (Groeneworld, 1973)
Gracanin (1975) berpendapat cedera pada axon akan
terkonduksi dalam 72 jam setelah cedera. Hilangnya konduksisitas
atau daya hantar dari axon terjadi 71 sampai 78 jam setelah cedera. 8
hari kemudian, terjadi kerusakan pada selubung myelin. Perubahan
kimia terjadi dalam selubung myelin disertai tidak tampaknya lipid.
Bagian ini terjadi selama 8-23 hari. 25 hari setelah bagian syaraf
terdapat perubahan proliferasi maksimal di sel Schwann dari ujung
peripheral dan sebuah peningkatan di RNA dan DNA terjadi.
Berubahan ini mulai terjadi minimal pada beberapa hari pertama.
Fragamentasi dari motor end plate memerlukan waktu 32
setelah bagain syaraf tetapi mereka menahan excitabilitynya sampai
dengan 10 hari. Gagalnya dari selubung axon dan myelin lebih cepat
pada otot dibandingkan pada batang syaraf. Degenerasi komplit
biasanya terjadi dalam 2 minggu. Ketika degenerasi telah selesai,
EMG akan menampilkan potensial dari jaringan fibril. (Gracanin
1975)

Menurut Haslam (1973). Regenerasi saraf akan terjadi pada


axonotomesis dan pada neurotmesis jika terjadi good
appositioning pada akhir sel saraf dikarenakan operasi. Pada
keadaan normal, biasanya pertumbuhan axon, mencapai 4-5 mm
per hari. Jika terjadi trauma pada saraf tepi rata-rata perhari
regenerasi saraf terjadi 3 mm, dan 2 mm setelah dilakukan
operasi. Rata-rata regenerasi fungsional lebih lambat
dibandingkan perkembangan axon-axon. Penurunan secara
bertahap terjadi 0,5 mm per hari telah terjadi pada cidera batang
saraf. Rata-rata pertumbuhan pada tangan dan kaki terjadi 0,5
mm per hari.

Peripheral Nerve Injury atau cedera saraf perifer adalah istilah umum
yang digunakan untuk menggambarkan kerusakan saraf di luar otak
atau sumsum tulang belakang. Cedera saraf perifer biasanya
disebabkan oleh trauma. Sebuah cedera saraf perifer terjadi ketika
setiap saraf di tubuh yang tidak di otak atau sumsum tulang belakang
rusak.

Jika saraf perifer rusak kemudian otot disuplai oleh saraf yang tidak
menerima informasi dari otak, maka organ yang hanya dipersarafi
oleh saraf perifer menjadi lemah atau lumpuh. Kerusakan saraf juga
berarti bahwa otak tidak menerima informasi dari tubuh. Hal ini
menimbulkan bebrapa sensasi pada tubuh seperti mati rasa,
kesemutan dan nyeri. Tidak seperti tulang belakang, saraf perifer
memiliki kemampuan untuk disembuhkan.

Menurut WHO, technical report series 645, 1980 : batasan neuropati


saraf tepi atau kematian saraf perifer adalah kelainan menetap (lebih
dari beberapa jam) dari neuron sumsum tulang, neuron motorik
batang otak bagian bawah, sensorimotor primer, neuron susunan saraf
autonom perifer dengan kelainan klinis, elektroneurografik dan
morfologik

Salah satu contoh dari cedera saraf perifer adalah polineuropati.


Polineuropati adalah neuropati dengan lesi utama pada neuron. Pada
umumnya polineuropati dapat menyebabkan kelainan simetris dan
bilateral pada sistem saraf tepi. Kelainan ini dapat berbentuk motorik,
sensorik, sensorimotor atau autonomik. Distribusinya dapat
proksimal, distal atau umum. Polineuropati mengakibatkan
kelemahan atau paralyse pada beberapa bagian tubuh. Kerusakan ini
dapat disembuhkan seperti kerusakan pada sistem saraf perifer
lainnya karena ujung saraf akson yang rusak memiliki kemampuan
untuk degenarasi aksonal.

2.3 Etiologi

1. 1. Secara langsung, akibat luka terbuka

2. 2. Secara tidak langsung karena peregangan

3. 3. Pada patah tulang atau dislokasi sendi

4. 4. Karena tekanan akibat pembidaian, pemasangan torniket


atau tidakan pembalutan

5. 5. Iskemia pada emboli arteri atau sindrom kompartemen


6. 6. Penyuntikan yang mengenai saraf

2.4 Manifestasi Klinis

1. 1. Kausalgia yaitu nyeri hebat seperti terbakar, sepanjang


distribusi serabut saraf yang mengalami kerusakan persial.

2. 2. Hiperestesia

3. 3. Perubahan trofik pada kulit

4. 4. Hiperaktivitas vasomotor, hiperaktivitas kerja syaraf yang


menimbulkan perubahan pada diameter pembuluh darah,
biasanya vasokontriksi.

2.5 Klasifikasi

Klasifikasi cedera saraf digambarkan oleh Seddon pada tahun 1943


dan oleh Sunderland pada tahun 1951. Klasifikasi cedera saraf
digambarkan oleh seddon neurapraxia terdiri dari, aksonotmesis, dan
neurotmesis. Sunderland memperluas sistem klasifikasi menjadi 5
derajat cedera saraf.

1. Cedera saraf Tingkat pertama


Disebut juga neuropraxia, berupa kerusakan pada serabut myelin,
hanya terjadi gangguan kondisi saraf tanpa terjadinya degenrasi
wallerian. Saraf akan sembuh dalam hitungan hari setelah cedera, atau
sampai dengan empat bulan.penyembuhan akan sempurna tanp ada
masalah motorik dan sensorik.

1. Cedera saraf tingkat dua

Disebut juga axonotmesis, terjadi diskotinuitas myelin dan aksonal,


tidak melibatkan jaringan encapsulating, epineurium dan
perineurium, juga akan sembuh sempurna. Bagaimanapun,
penyembuhan akan terjadi lebih lambat daripada cedera tingkat
pertama.

1. Cedera saraf tingkat tiga

Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson dan endoneurium.


Cedera juga akan sembuh dengan lambat, tetapi penyembuhannya
hanya sebagian.penyembuhan akan tergantung pada beberapa faktor,
sepertisemakin rusak saraf, semakin lama pula penyembuhan terjadi.

1. Cedera saraf tingkat empat

Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson, endoneurium dan


perineurium. Cedera derajat ini terjadi bila terdapat skar pada jaringan
saraf, yang menghalangi penyembuhan.

1. Cedera saraf tingkat lima

Cedera ini melibatkan pemisahan sempurna dari saraf, seperti saraf


yang terpotong. Cedera saraf tingkat empat dan lima memerlukan
tindakan operasi untuk sembuh.

Tabel 1. Klasifikasi cedera saraf


Derajat cedera saraf Myeli Akso Endoneuriu perineuriu epineuriu
n n m m m

+/- Tidak tidak tidak tidak

1. Neuropraksia

Ya Ya tidak tidak Tidak

1. Axonotmesis
III Ya Ya ya tidak Tidak

IV Ya Ya ya ya Tidak

V. Neurotmesis Ya Ya ya ya Ya

Tabel 2. Cedera saraf, penyembuhan dan tindakan bedah


Derajat cedera Penyemban Waktu penyembuhan Tindakan
saraf spontan bedah

First neupraxia Berlangsung dalam hitungan hari


Penuh smpai 4 bulan setelah cedera tidak

Second Regenerasi terjadi kira-kira 1inci


Axonotmesis Penuh perbulan tidak

Third Regenerasi terjadi kira-kira 1inci


Parsial perbulan ya

Fourth Setelah tindakan bedah, regenerasi


Tidak ada terjadi kira-kira 1 inci per bulan ya

Fifth Neurotmesis Setelah tindakan bedah, regenerasi


Tidak ada terjadi kira-kira 1 inciper bulan. ya
2.6 Komplikasi

1. Remisi spontan

2. Distrofi reflex simpatik à Penyakit ini diyakini sebagai reaksi


berantai abnormal dari sistem saraf simpatik, yakni sistem tubuh
yang mengatur aliran darah di kulit. Penyakit ini secara spontan
bisa hilang dengan sendirinya tapi kalau sudah timbul luar biasa
sakitnya.

3. Kontraktur miogen akibat paralisis otot sebagai akibat


keterlambatan timbulnya kontraktur atrogen

4. Penyakit kaki diabetic akinat anesthesia dan gangguan saraf


autonom

2.7 Patofisiologi

Sistem saraf meliputi saraf perifer di wajah, lengan, kaki, badan, dan
beberapa saraf kranial. Sistem Ini berkomunikasi antara saraf otak dan
otot, kulit, organ internal dan pembuluh darah. Apabila sel saraf
perifer mengalami kerusakan terutama pada selubung mielin, maka
perjalanan impuls dari sistem saraf pusat akan terputus dan tidak ada
respon yang ditimbulkan oleh organ efektor. Kerusakan ini dapat
disebabkan oleh Demyelination yakni, kehancuran atau hilangnya
selubung mielin.

Ketika myelin mengalami degradasi, konduksi sinyal di sepanjang


saraf bisa terganggu atau hilang dan saraf akhirnya layu. Sistem
kekebalan mungkin memainkan peran penting dalam hal ini terkait
dengan penyakit yang diderita, termasuk peradangan dapat menjadi
penyebab karena produksi sitokin yang banyak melalui regulasi faktor
nekrosis tumor (TNF) [3] atau interferon.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik, meliputi :

1. Elektromiografi (EMG)

Elektromiografi dapat memberikan pemantauan secara


berkesinambungan fungsi saraf kranial dan perifer. Jika struktur saraf
teriritasi saat manipulasi operasi, aktivitas elektromiografi akan
tampak pada otot yang diinervasi saraf tersebut. Iritasi ringan
menyebabkan aktivitas EMG transien sedangkan cedera yang lebih
serius menyebabkan aktivitas EMG yang lebih panjang. Elektrokauter
dan irigasi cairan salin merupakan etiologi mayor interferensi EMG.
Pemantauan intraoperatif melalui EMG dapat digunakan untuk (1)
mempreservasi fungsi nervus fasialis pada tindakan operatif basis
cranii, misalnya reseksi neuroma akustik, (2) memonitor fungsi
nervus kranialis yang menginervasi otot, yaitu nervus III, IV, VI, IX,
X, XI, dan XII, (3) memonitor fungsi medula spinalis dan akar saraf
spinal saat operasi spinal. Elektroda diletakkan pada otot yang
diinervasi oleh saraf yang terancam cedera selama operasi. Pada
operasi stabilisasi vertebra, pedicle screw dapat distimulasi langsung
untuk menentukan ada tidaknya penetrasi ke kanalis spinalis.
Penggunaan agen pelemas otot yang memblok neuromuscular
junction sebaiknya dikontrol sehingga tidak mempengaruhi
interpretasi. Elektromiografi (EMG) studi memungkinkan lokalisasi
cedera saraf tepi dan memberikan informasi tentang prognosis. Tes
EMG terdiri dari dua bagian: studi konduksi saraf (baik motor dan
sensorik) dan pemeriksaan jarum elektroda. Studi ini idealnya harus
dilakukan 3 minggu setelah cedera. EMG Sebuah dilakukan jika
pleksus saraf tepi atau cedera saraf akar diduga, untuk
mengkonfirmasi adanya cedera saraf, serta menilai keparahan dan
lokasi. Studi-studi ini biasanya dilakukan oleh ahli saraf.

2. Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP)

Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera


pleksus brakhial. Lesi tingkat akar yang terbatas didaerah preganglion
dan tidak meluas kedaerah postganglion berakibat hilangnya sensori
distal lengkap dan tetap mempertahankan konduksi sensori distal.
Yang terakhir ini bertahan karena kerusakan serabut sensori distal
ganglion akar saraf tidak berdegenerasi. Retensi konduksi sensori dari
daerah anestetik dapat diperiksa dengan merangsang jari pada
distribusi C6 (jempol dan telunjuk), C6-7-8 (jari tengah) dan C8-T1
(kelingking dan jari manis) dan pencatatan saraf median, radial dan
ulnar diproksimal. Adanya potensial aksi saraf sensori campuran
memastikan cedera pre-ganglionik pada distribusi satu akar atau lebih.
Karena distribusi sensori akar didistal tumpang tinduh dengan satu
atau lebih akar lain, sulit menentukan dengan pemeriksaan ini bahwa
satu akar, misalnya C6, adalah suatu cedera preganglionik. Stimulasi
telunjuk (bahkan jempol) yang anestetik dapat menimbulkan SNAP
pada distribusi saraf median bila baik akar C6 atau C7, atau C6 dan
C7, rusak pada tingkat preganglionik. Ini menjadikannya sulit untuk
menentukan pada pemeriksaan SNAP apakah cedera akar C6 terjadi
preganglionik. Keadaan ini kurang jelas pada akar C5 karena tidak
ada stimulasi noninvasif spesifik atau daerah pencatatan untuk
hantaran ini: Penilaian
teliti akar sebelah atas dengan pencatatan SNAP tidak mungkin pada
tingkat ini.

3. Somatosensory-Evoked Potential (SSEP)

Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera, apakah


praganglionik atau postganglionik, pada lesi pleksus brakhial. Ia
bernilai terbatas pada bulan-bulan
pertama cedera. Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat
operasi atas cedera brakhial karena regangan atau kontusi. Bila cedera
postganglionik, stimulasi akar
proksimal dari tingkat cedera membangkitkan potensial
somatosensori diatas tulang belakang servikal (SSP) dan
membangkitkan (evoked) respons kortikal diatas kranium
kontralateral (ECR). Bila cedera praganglionik atau pra dan
postganglionik, stimulasi terhadap akar, bahkan didalam atau dekat
foramen intervertebral, tidak akan
membangkitkan respons apapun. Reparasi jarang berhasil. Sayangnya,
timbulnya SSP atau ECR mungkin hanya memerlukan beberapa ratus
serabut yang intak antara
daerah yang distimulasi dan daerah perekaman, hingga respons positif
hanya memastikan keutuhan minimal saraf atau akar spinal. ECR
negatif lebih penting dari ECR positif.

4. Potensial Aksi Saraf Intrabedah (NAP)

Mencakup pemeriksaan NAP batang saraf pada setiap sisi lesi.


Karena pelacakan yang ideal untuk memutuskan apakah akan
mereparasi saraf 8 minggu setelah cedera,
NAP menjadi pemeriksaan definitif yang penting bila dicurigai
adanya neuroma yang parah pada kontinuitas dan otot sasaran
pertama berjarak lebih dari 3 inci
dibawahnya.

Hal penting pada perekaman NAP adalah:

1. Tampilan neuroma yang parah pada kontinuitas tidak perlu


berhubungan dengan arsitektur internal.

2. Bila akson mempunyai kemampuan melintas lesi, sudah dapat


direkam oleh NAP jauh sebelum akson mampu mencapai target.

3. Tehnik ini terutama berguna pada lesi saraf ekstremitas bawah


dimana otot sasaran pertama terletak 6-8 inci dibawah lesi. Jadi
stimulasi saraf dan EMG tidak dapat memastikan hal ini untuk 6-8
bulan atau lebih, jadi penting bahwa rencana reseksi diambil sebelum
masa tersebut.
Perekaman NAP juga sangat membantu menentukan perluasan lesi
pleksus brakhial dan memberikan indeks atas berapa banyak puntung
proksimal dari lesi akan direseksi. Kebanyakan cedera pleksus
brakhial yang dipilih untuk operasi akan memiliki satu atau lebih
elemen keutuhan, namun dengan sejumlah variabel
kkerusakan intraneural. Perekaman NAP intrabedah membantu
menentukan akan perlunya reseksi. Disaat operasi, pengamatan
terpenting adalah merekam ada atau tidaknya respons, bukan bentuk
atau bahkan kecepatannya. Respons NAP regeneratif adalah kecil dan
biasanya lambat, sedang yang diakibatkan adanya sisa bagian yang
utuh mungkin kecil namun biasanya lebih cepat atau mempunyai
hantaran pada jangkauan normal. Bila cedera praganglionik tanpa
cedera postganglionik, perekaman yang lebih distal akan
memperlihatkan penghantaran cepat, NAP besar, tepat seperti
mendiagnostik tiadanya SSP atau ECR bila akar distimulasi pada
tingkat ini.

Pemeriksaan Radiologis

1. Sinar-X Tulang Belakang Servikal dll Fraktura tulang belakang


servikal sering berhubungan dengan cedera regang proksimal
yang berat yang tidak dapat direparasi, paling tidak pada tingkat
akar ruas tulang belakang bersangkutan. Fraktura tulang lain
seperti humerus, klavikula, skapula dan/atau iga, bila diamati
memberikan perkiraan kasar atas kekuatan yang menghantam
bahu, lengan atau leher, namun tidak selalu membantu
menentukan tingkat atau luasnya cedera. Kerusakan pleksus
biasanya lebih proksimal dibanding sisi fraktura yang tampak,
sering pada tingkat akar. Fraktura humerus tengah terutama
berkaitan dengan cedera saraf radial. Fraktura kominuta radius
dan ulna pada tingkat lengan bawah tengah juga berkaitan
dengan cedera saraf median dan ulner, dan terkadang dengan
palsi saraf interosseus posterior. Komponen peroneal saraf siatik
sering, namun tidak selalu, terkena secara khusus pada dislokasi
atau cedera panggul. Fraktura femur bawah dan fraktura tibial
dan fibuler bisa mengenai saraf peroneal dan/atau tibial. Sekali
lagi, cedera saraf mungkin lebih proksimal dari daerah fraktura
yang diperkirakan. Fraktura femur tengah bisa berkaitan dengan
cedera regang siatik lebih keproksimal pada tingkat bokong.
Radiograf dada bisa menampakkan elevasi diafragma yang tidak
berfungsi, yang berarti paralisis saraf frenik. Ini tanda prognosis
yang relatif buruk untuk reparasi akar saraf C5 setelah cedera
tertutup, karena biasanya berarti kerusakan proksimal pada
tingkat leher.

2. Mielografi

Bisa menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera


regang pleksus brakhial berat. Biasanya tidak diindikasikan untuk lesi
pleksus ditingkat infra klavikuler atau aksiler (kebanyakan luka
tembak pada pleksus), kecuali ada bukti radiologis kerusakan tulang
belakang servikal atau trayeknya supraklavikuler medial. Meningosel
pada tingkat bersangkutan menunjukkan tenaga yang cukup telah
terjadi pada tingkat akar proksimal yang merobek arakhnoid dan
menyebabkan bocornya agen kontras. Ini tidak harus berarti bahwa
akar mengalami avulsi dari kord spinal. Lebih sering adanya
meningosel menunjukkan walau akar mungkin secara kasar masih
utuh, terdapat kerusakan internal yang bermakna pada tingkat yang
sangat proksimal. Sejumlah pasien dengan kerusakan tingkat akar
dimana tidak terdapat meningosel (biasanya ditingkat akar yang lebih
atas) dapat direparasi dengan baik, walau terdapat meningosel pada
akar lain (biasanya pada tingkat yang lebih bawah). Walau demikian,
bila terdapat meningosel, paling sering kerusakan pada proksimal
akar, karenanya tidak dapat direparasi. Temuan ini juga menjadikan
bahwa kerusakan pada tingkat lain yang tidak dengan adanya
meningosel adalah sangat proksimal lebih mungkin. Mielografi
modern dengan kontras larut air bisa menampilkan akar-akar pada
ruang subarakhnoid, dan membandingkan sisi terkena dan sisi sehat
menentukan daerah disrupsi akar. Mielografi tetap berguna membantu
perencanaan pada cedera pleksus.
1. Tomografi Terkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi
Magnetik (MRI)

Pemaparan tomografi terkomputer dengan kontras intra-tekal


dimanfaatkan pada cedera regang walau terkadang abnormalitas tetap
tidak dijumpai karena irisan
biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah akar pada
setiap tingkat. Akibatnya, mielografi tetap merupakan pemeriksaan
radiologis yang disukai.
Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantu menampilkan akar
saraf. Pemeriksaan MRI ini hanya memperkuat mielogram dan tidak
menggantikannya. CSS didalam meningosel dapat tampak pada MRI,
namun biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi.

1. Tes konduksi saraf

2. Nerve biopsi

3. Spinal tekan

Tes lainnya yang dilakukan tergantung pada penyebab yang dicurigai


kondisi, dan dapat mencakup x-ray, imaging scan, dan tes darah.

2.9 Penatalaksanaan

Dalam mengelola pasien dengan peripheral nerve injury perlu


mengetahui mekanisme cedera, respons patologis, dan kapasitas
regenerasi yang akan terjadi. Rencana atas apakah akan dilakukan
operasi, bila akan dioperasi, dan apa yang dilakukan bila lesi terbuka
berdasar pada tidak hanya atas pengertian akan patologi
pemulihan, namun juga akan beberapa hal yang membatasi
regenerasi neural dalam arti pemulihan fungsional
praktis. Pemeriksaan klinis, pemeriksaan elektrodiagnostik,
dan pemeriksaan radiologis akan membantu dalam membuat
keputusan.

Penilaian Klinis

1. Pemeriksaan Motor

Penekanan atas pemeriksaan motor secara klinis untuk cedera saraf


spesifik adalah tahap terpenting dalam mengelola semua cedera saraf,
adalah pemeriksaan teliti anggota, dengan perhatian besar pada
semua fungsi motor dan sensori. Pemeriksaan harus menentukan
apakah kehilangan distal sisi cedera lengkap atau tidak. Hanya ini
yang akan menjelaskan pada pemeriksaan selanjutnya terjadi
perubahan atau tidak. Pemeriksaan motor adalah cukup sebagai
bukti regenerasi bila pemulihan jelas. Pengamatan klinis fungsi
motor volunter dapat juga ditentukan dengan respons motor terhadap
stimulasi. Stimulasi saraf terutama berguna dalam pengenalan awal
adanya pemulihan peroneal memadai dan mencegah perlunya operasi.
Pasien dengan cedera saraf peroneal tidak mampu memulai aksi
volunter pada otot peroneal dan tibial
anterior (eversi dan dorsifleksi kaki). Ini berlangsung beberapa
minggu setelah perbaikan elektrofisiologis yang ditunjukkan oleh
kontraksi otot yang kuat pada stimulasi saraf peroneal:

(1) tepat dibelakang kepala fibula, atau

(2) tepat didalam hamstring lateral, dimana batang saraf mudah


dipalpasi. Penting pertama-tama memastikan bahwa otot yang diamati
berkontraksi pada distribusi dari saraf yang diharapkan
untuk distimulasi.
1. Tanda Tinel

Melakukan penekanan pada pertengahan ligamentum carpi


transversum (volare). positif jika timbul nyeri, yang berarti terdapat.
penjepitan saraf (entrapment).Tanda Tinel positif hanya menunjukkan
regenerasi serabut halus dan tidak menunjukkan apapun tentang
kuantitas dan kualitas yang sebenarnya dari serabut yang baru.

Dsisi lain, interupsi saraf total ditunjukkan oleh tiadanya respons


sensori distal (tanda Tinel negatif) setelah waktu yang memadai telah
berlalu untuk terjadinya regenerasi serabut halus (4-6 minggu). Tanda
Tinel negatif lebih bernilai dalam penilaian klinis
dibanding tanda Tinel positif.

1. Berkeringat

Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi


serabut simpatis bermakna. Pemulihan ini mungkin mendahului
pemulihan motori atau sensori dalam beberapa minggu atau bulan,
karena serabut otonom pulih dengan cepat. Pemulihan berkeringat
tidak selalu berarti akan diikuti fungsi motori atau sensori.

1. Pemulihan Sensori

Pemulihan sensori sejati adalah tanda yang berguna, terutama bila


terjadi didaerah otonom dimana tumpang tindih saraf berdekatan
minimal. Daerah otonom saraf median adalah permukaan volar dan
dorsal telunjuk dan permukaan volar jempol. Saraf radial tidak
mempunyai daerah otonom yang tegas. Bila terjadi kehilangan sensori
pada distribusi ini, biasanya mengenai sejumput daerah anatomis
tertentu. Daerah otonom saraf ulnar adalah permukaan palmar 11
falang distal kelingking. Daerah otonom saraf tibial adalah tumit dan
sebagian telapak kaki, sedang saraf peroneal adalah tengah dorsal
kaki. Sayangnya pemulihan sensori, bahkan pada daerah otonom,
tidak pasti diikuti pemulihan motori.

3.1.3 Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan


paralisis ekstremitas.

2. Nyeri berhubungan dengan iritasi atau tekanan saraf/

3. Retensi urin b.d kerusakan neuromuskuler ( kehilangan sensasi


dan refleks spfingter).

4. Resiko tinggi infeksi b.d ulkus pada kaki karena kerusakan pada
sistem saraf.

5. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan hilangnya sensasi


nyeri dan suhu.

3.1.4 Intervensi

1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan


paralisis ekstremitas.

Tujuan : Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan


dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi

Kriteria hasil : Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang


memungkinkan dilkukannya kembali aktivitas.
Intervensi Rasional
Letakkan pasien pada posisi Perubahan posisi yang
tertentu, untuk menghindari teratur menyebabkan
kerusakan karena tekanan. penyebaran terhadap berat
badan dan meningkatkan
Ubah posisi pasien secara sirkulasi pada seluruh bagia
teratur dan buat sedikit tubuh. Jika ada paralisis
perubahan posisi antara atau keterbatasan kognitif
waktu perubahan posisi pasien harus diubah
tersebut posisinya secara teratur dan
posisi dari daerah yang
sakit hanya dalam jangka
waktu yang sangat terbatas.
Berikan perawatan kulit Meningkatkan sirkulasi dan
dengan cermat, masase elastisitas kulit dan
dengan pelembab, ganti menurunkan resiko
pakaian yang basah, dan terjadinya ekskoriasi kulit.
pertahankan pakaian tersebut
tetap bersih dan bebas dari
kerutan.
Periksa kembali kemampuan Mengidentifikasi
dan keadaan secara kemungkinan kerusakan
fungsional pada kerusakan secara fungsional dan
yang terjadi mempengarruhi pilihan
intervensi yang akan
dilakukan
Ajarkan dan motivasi klien
untuk

2. Nyeri berhubungan dengan kerusakan pada neuron

Tujuan : nyeri berkurang

Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri


berkurang., mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri,
mendemostrasikan penggunaan keterampilan, relaksasi sesuai indikasi
untuk situasi individu
Intervensi Rasional
Mandiri Menurunkan perasaan terisolasi,
marah dan cemas yang dapat
Anjurkan pasien untuk meningkatkan nyeri tersebut
mengungkapkan perasaan
mengenai nyeri yang dirasakan Membantu menghilangkkan
kelelahan dan tegangan otot

Menurunkan kekakuan pada


Lakukan perubahan posisi sendi
secara teratur. Berikan sokongan
dengan bantal, busa, atau dengan
selimut

Beikan latihan tentang gerak


secara pasif Berguna untuk meninggalkan
rasa nyeri ketika merode lain
yang telah dicoba tidak
memerikan hasil yang
Kolaborasi memuaskan

Berikan obat analgetik sesuai Bermanfaat dalam


dengan kebutuhan. Hindari menghilangkan
penggunaan narkotika ketidaknyuamanan pada otot.

Bantu dengan terapi terapi


alternatif seperti ultrason,
diatermia, dan menggunakan
unit TENS
1. 3. Retensi urin b.d kerusakan neuron ( kehilangan sensasi
dan refleks kandung kemih).

Tujuan : tidak terjadi retensi urin

Kriteria hasil : mendemonstrasikan pengosongan kandung kemih


adekuat / tepat waktu tanpa retensi.

Intervensi Rasional
Mandiri

Catat frekuensi dan jumlah Memberikan informasi selama


berkemih pengkajian dari fungsi kandung
kemih

Jika refleks spfingter tidak ada,


Lakukan palpasi abdomen ( kandung kemih akan penuh dan
diatas supra pubik ) untuk selanjutnya akan menjadi
mengetahui adanya distensi distensi.
kandung kemih
Anjurkan pasien untuk
minum paling tidak 2000 ml
/ dalam batas toeransi
jantung dan juga termasuk Mempertahankan laju filtrasi
minum juice buah. glomerulus dan menurunkan
resiko infeksi dan pembentukan
batu pada saluran perkemihan.

Lakukan maneuver Crede

Tekanan manual di atas kandung


kemih dapat memfasilitasi
pengosongan kandung kemih
tersebut.

Kolaborasi

Lakukan kateterisasi pada


residu urine ( kateterisasi Memantau keefektifan dari
intermiten ) sesuai pengosongan kandung kemih.
kebutuhan.

Mungkin diperlukan untuk


Pasang / pertahan kan menanggulangi terjadnya retensi
kateter indwelling sesuai urinarius atau sampai terjadinya
kebutuhan. resolusi ( perbaikan ) dan
adanya perbaikan adekuat dari
kontrol kandung kemih.

Anda mungkin juga menyukai