Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maraknya pelanggaran yang terkait dengan kasus korupsi di Indonesia saat ini telah memberikan citra
buruk bagi Indonesia di mata dunia internasional. Bukan hanya itu, tetapi budaya korupsi yang
merajalela telah menyengsarakan masyarakat Indonesia sendiri. Rakyat kecil yang tidak memiliki kuasa
seperti layaknya para petinggi negara dan pengusaha-pengusaha kaya, mejadi semakin terhimpit
hidupnya akibat tidak terwujudkannya “hak-hak” yang seharusnya menjadi milik masyarakat diambil oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hak-hak masyarakat yang dimaksud dalam hal ini adalah
dana yang seharusnya diperuntukan untuk baik kesejahteraan masyarakat maupun peningkatan kegiatan
ekonomi, khususnya bisnis di Indonesia hilang dan telah menjadi hak pribadi.

Hubungan antara etika bisnis dengan korupsi yaitu praktek korupsi yang banyak terjadi merupakan salah
satu dari pelanggaran etika bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban,
prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa praktek
korpusi adalah tindakan tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur,
pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan
tidak bermoral.

Dalam makalah ini, penulis memfokuskan kajian tentang salah satu patologi birokrasi yaitu tentang
korupsi, di mana saat ini kasus korupsi yang ada di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Korupsi
merupakan sebuah masalah besar bagi negara yang mana dampak dari korupsi itu adalah kerugian yang
di alami oleh negara.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun beberapa rumusan masalah yang kami angkat adalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan korupsi?

2. Apakah dampak terjadinya korupsi bagi perekonomian Indonesia?

3. Apa hubungan korupsi dengan etika bisnis?

4. Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia dan jenis-jenis korupsi?

5. Apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi korupsi yang begitu sudah menjadi budaya?

6. Bagaimana peran pemerintah dalam memberantas korupsi?


1.3 Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang korupsi hubungannya dengan
etika bisnis. Selain itu makalah ini juga ingin memberikan contoh nyata dari perilaku korupsi yang terjadi
di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Etika Bisnis

Etika adalah kebiasaan atau watak yang mengenai mana yang salah dan mana yang benar dan berkaitan
dengan hubungan antar manusia.

Etika bisnis adalah studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini
berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku
bisnis (Velasquez, 2005).

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:

1. Pengendalian diri

2. Pengembangan tanggung jawab social (social responsibility)

3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan
informasi dan teknologi

4. Menciptakan persaingan yang sehat

5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”

6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)

7. Mampu menyatakan yang benar itu benar

8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke
bawah

9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama

10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hokum positif yang berupa
peraturan perundang-undangan

Ada 3 jenis masalah yang dihadapi dalam Etika yaitu

1. Sistematik

Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai
sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi.

2. Korporasi

Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang dalam


perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas aktivitas,
kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan individual sebagai keseluruhan.

3. Individu

Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul seputar individu tertentu
dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas keputusan, tindakan dan
karakter individual.

2.1 Korupsi

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai
negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan
sepihak.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:

• perbuatan melawan hukum,

• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan


• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah

• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),

• penggelapan dalam jabatan,

• pemerasan dalam jabatan,

• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara),

• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan,
dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau
tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang,
dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau
tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak
legal di tempat lain.

2.3 Alasan Orang Melakukan Korupsi

Berdasarkan Gone Theory yang dikemukakan oleh Jack Bologne, ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya korupsi yaitu:

• Greeds (keserakahan)

• Opportunities (kesempatan melakukan kecurangan)

• Needs (kebutuhan hidup yang sangat banyak)

• Exposures (pengungkapan): tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila
pelaku diketemukan melakukan kecurangan tidak begitu jelas.

2.4 Dampak Terjadinya Korupsi Bagi Perekonomian Indonesia

A. Demokrasi
Korupsi menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan. Dalam dunia politik, itu merusak
demokrasi dan good governance (pemerintahan yang baik) dengan menghancurkan proses formal.
Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di
pembentukan kebijaksanaan. korupsi di sistem pengadilan menghentikan supremasi hukum. dan korupsi
dalam administrasi publik mengakibatkan ketidakseimbangan dalam pelayanan sipil. Secara umum,
korupsi mengikis kapasitas kelembagaan pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber
daya, dan pejabat diangkat atau mengangkat posisi bukan karena prestasi. Pada saat yang sama, korupsi
mempersulit pihak pemerintahan nilai demokrasi serta kepercayaan dan toleransi.

B. Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan inefisiensi yang tinggi.
Di sektor swasta, korupsi meningkatkan biaya perdagangan karena kerugian dari pembayaran ilegal,
biaya manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau untuk
penyelidikan.

Meskipun beberapa telah menyarankan bahwa korupsi mengurangi biaya (komersial) untuk
menyederhanakan birokrasi, konsensus yang muncul menyimpulkan bahwa ketersediaan suap
menyebabkan pejabat untuk membuat aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi yang
menyebabkan biaya perdagangan inflasi, korupsi juga mengganggu “bidang perdagangan”.

Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor
publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat di mana suap dan upah yang
lebih mudah tersedia.

Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan korupsi, yang
akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan persyaratan
keselamatan, lingkungan, atau peraturan lainnya. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan dan infrastruktur; dan menambah tekanan pada anggaran pemerintah.

Ekonom memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan ekonomi di Afrika dan Asia,
terutama di Afrika, adalah bentuk korupsi yang menyebabkan perpindahan investasi sewa penagihan
(penanaman modal) di luar negeri, bukan diinvestasikan ke negara (maka ejekan mereka sering benar
bahwa diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss).

Berbeda sekali dengan diktator Asia seperti Suharto, yang sering mengambil sepotong dari semua itu
(meminta suap), melainkan memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur,
hukum dan ketertiban, dan lain-lain.

Para ahli dari University of Massachusetts perkiraan 1970-1996, pelarian modal dari negara-negara 30
sub-Sahara mencapai US $ 187 miliar melebihi jumlah utang luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam
hal pengembangan (atau kurangnya pembangunan) telah dimodelkan dalam teori ekonomi oleh Mancur
Olson).
Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidakstabilan politik, dan juga kenyataan bahwa
pemerintahan baru sering menyegel aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi
dorongan bagi para pejabat untuk mengumpulkan kekayaan mereka di luar negeri, jauh dari jangkauan
pengambilalihan di masa depan.

C. Kesejahteraan Umum Negara

Korupsi politik di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga. Korupsi politik berarti
kebijakan pemerintah yang menguntungkan sering menyuap pemberi, daripada orang-orang pada
umumnya. Contoh lain adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan
besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politisi “pro-bisnis” ini hanya
mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan kontribusi besar untuk
kampanye pemilu mereka.

2.5 Hubungan Korupsi Dengan Etika Bisnis

Hubungan korupsi dengan etika bisnis dapat dipahami dalam kehidupan pemerintahan sebagai suatu
keadaan, di mana jika etika dipegang teguh sebagai landasan tingkah laku dalam pemerintahan, maka
penyimpangan seperti korupsi tidak akan terjadi

Korupsi dan etika bisnis merupakan satu kesatuan. Jika kita sudah memahami betul apa saja yang harus
diperhatikan dalam berbisnis, maka tindakan korupsi tidak mungkin dilakukan. Tindakan korupsi jelas –
jelas melanggar etika bisnis, karena kegiatan tersebut sangatlah merugikan banyak pihak. Intinya kita
harus mengerti dulu apa saja etika dalam berbisnis, baru kita memulai bisnis. Agar bisnis kita tidak
melanggar peraturan.

Misalnya kode etik pada PNS yang merupakan norma-norma sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan
perbuatan PNS yang diharapkan dan dipertangung jawabkan dalam melaksanakan tugas pengabdiannya
kepada bangsa, negara dan masyarakat dan tugas-tugas kedinasan, organisasinya serta pergaulan hidup
sehari-hari sesama PNS dan individu-individu di dalam masyarakat.

BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Definisi Masalah


Persidangan Angelina Sondakh banyak menguak hal baru yang cukup mengejutkan publik. Mulai dari
gajinya yang sebesar RP20 juta per bulan, kegemarannya berbelanja online, sampai masalah rumah
tangganya dengan almarhum Adjie Massaid.

Semasa Adjie masih hidup, Angie disebut-sebut pernah meminta cerai. Hal ini tentu mengherankan,
karena pasangan selebriti sekaligus politisi itu selalu terlihat harmonis di layar kaca. Tapi Elza Syarief yang
pernah menjadi kuasa hukum Adjie membenarkannya. Menurut Elza, Angie dan Adjie memang kerap
bertengkar, dan pertengkaran itu disebabkan karena sifat boros Angie.

“Saya enggak tahu kapan dia mulai. Almarhum sering menegur (Angie), penggunaan uang besar,” kata
Elza. “Malu sebagai suami enggak bisa mendidik. Pernikahan mereka kan baru sebentar.”

Pernyataan senada juga dilontarkan Rufianus Hutauruk, salah satu pengacara M.Nazzarudin. Ia
menuding Angie suka bergaya hidup mewah, dan hal itulah yang menyebabkan rumah tangganya retak.
“Satu di antara penyebabnya (pertengkaran) adalah gaya hidup mewah Angie yang sulit diterima Adjie,”
katanya.

Menurut Elza, Adjie selalu ketakutan dengan sifat boros Angie, apalagi istrinya pernah dikabarkan bagi-
bagi uang di DPR. Hal itu membuatnya takut kalau keluarganya berurusan dengan KPK. “Adjie pernah
nanya ke saya, ‘Angie bagi-bagi uang di DPR pantas enggak sih tante dia begitu?’. Aku pusing kan nanti
kalau ditangkap KPK gimana? Kita yang malu. Adjie sangat takut soal itu,” katanya.

Tak hanya itu saja, Elza mengungkapkan bahwa Angie harus dibujuk dengan benda-benda mahal saat ia
ngotot ingin bercerai dari Adjie. Adjie sempat berniat membeli berlian untuk Angie agar hubungan
mereka membaik. “Aku kasih berlian, tapi gimana yah, gajiku pas-pasan. Ya sudah dibelikan Hermes
saja,” kata Elza menirukan ucapan Adjie dulu.

Elza menuturkan bahwa upaya Adjie berhasil dan rumah tangga mereka sempat membaik karena Adjie
membelikan barang kesukaan Angie. Namun hal itu tak berlangsung lama karena Angie kembali minta
cerai.

Angelina Sondakh Resmi Diberhentikan Di Demokrat

Partai Demokrat telah menggelar rapat pleno pada hari Kamis (23/2) lalu sebagai tindak lanjut
rekomendasi Dewan Kehormatan partai untuk memberhentikan kader yang bermasalah. Dari rapat yang
dipimpin oleh Ketua Umum PD Anas Urbaningrum tersebut, akhirnya diputuskan bahwa Angelina
Sondakh dipecat dari jabatannya sebagai wakil sekretaris jenderal Partai Demokrat. “DPP memutuskan
menindaklanjuti rekomendasi DK (Dewan Kehormatan) untuk memberhentikan Angelina Sondakh
sebagai pengurus DPP Partai Demokrat,” kata Andi Nurpati selaku juru bicara Partai Demokrat.

Dengan keputusan rapat tersebut, Angelina Sondakh otomatis sudah tidak aktif lagi dalam Demokrat.
Walau begitu Andi mengakui bahwa belum ada surat keputusan pemecatan bagi Angie. “(Surat
pemecatan) segera akan dikeluarkan,” kata Andi menambahkan.
Selain Angie, kader partai lain yang juga diberhentikan adalah Sudewo. Sudewo sendiri adalah Sekretaris
Divisi Pembinaan dan Organisasi Partai Demokrat yang dipecat karena melakukan pelanggaran Ad/ART.

Andi Nurpati lalu menuturkan bahwa sampai saat ini belum ada keputusan tentang siapa yang akan
mengganti posisi Angie dan Sudewo di Demokrtat. Menurut Andi, partai sendiri masih mencari-cari
seseorang yang tepat untuk mengisi kekosongan tersebut. “Segera diputuskan penggantinya. Kita tunggu
saja, pimpinan harus diberi waktu kesempatan mencari figur yang tepat,” ujarnya.

3.2 Analisis Masalah

1. Sinergi Pemerintah dan Masyarakat

Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan melalui penegakan hukum saja. Penyelesaian korupsi
harus dilakukan secara kompak, ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Intinya, ada di tangan
pemerintah, namun jika tak ada dukungan masyarakat, maka pemberantasan korupsi menjadi “omong
kosong”.

Menurut beberapa artikel di media cetak, disebutkan bahwa pemimpin yang tegas sangat mendukung
penghentian korupsi. Namun, dia luput mengkaji kekolektifan kinerja pemerintah. Artinya, pemerintahan
tidak hanya ada satu atau dua orang saja, namun puluhan dan bahkan ratusan. Jika ingin memberantas
korupsi, seluruh aparat pemerintah harus berkomitmen memberantasnya. Apalagi, tindak korupsi saat
ini tak lagi perorangan, melainkan sudah masuk dalam kategori ‘korupsi berjamaah’. Ini mengharuskan
bahwa pemberantas korupsi juga harus dilakukan berjamaah, melalui herakan kompak secara bersama-
sama.

Dalam konteks ini, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara maksimal oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). ‘Nakhoda’ kapal KPK harus berani, tegas, dan ‘cekatan’ dalam memberantas korupsi.
Tanpa tindakan tegas dari KPK, maka pemberantasan korupsi hanya akan merupakan mimpi belaka. Jika
dirumuskan, pemberantasan korupsi bisa dimulai dari pencegahan, penindakan, termasuk dengan
melibatkan peran masyarakat.

Pemberantasan korupsi harus difokuskan pada ‘perbaikan sistem’ (hukum, kelembagaan, ekonomi).
Selain itu, perbaikan kondisi manusia juga penting. Antara lain, melalui bimbingan dari segi moral,
kesejahteraan, di samping lewat pendidikan antikorupsi. Yang terpenting bukan sekadar ‘mencegah’, tapi
juga ‘menindak tegas’ koruptor.

2. Solusi Radikal

Korupsi merupakan extra ordinary crime, maka penanganannya harus dengan cara radikal. Jadi,
‘hukuman mati’ untuk koruptor harus dilegalkan. Meskipun belum ada terdakwa kasus korupsi dijatuhi
hukuman mati, tapi suatu saat pasal ini akan efektif dan harus diberlakukan di Indonesia. Sehingga,
hukuman mati menjadi solusi jitu untuk memberantas korupsi. Jika tak ada pemberlakuan hukuman mati
kepada koruptor, dan hukuman yang diberikan kepada mereka terlalu ringan, maka hal itu pasti tidak
akan menimbulkan efek jera. Untuk itulah, perlu pembenahan sistem hukum, sehingga tidak ada lagi
yang berani melakukan korupsi.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Alvon Kurnia, pihaknya menyetujui jika ada
hukuman mati bagi koruptor. (Suara Karya, 18/7/2012). Namun, pemberlakuan hukuman mati kepada
koruptor bisa menjadi kontroversi. Pasalnya, hal itu bersentuhan dengan HAM, khususnya terkait hak
untuk hidup.

Karena itu, yang mendesak dilakukan seharusnya menyangkut reformasi dan pembenahan sistem
hukum. Ini penting untuk memberikan efek jera kepada koruptor, dan bukan mematikannya. Sebab,
sistem hukum selama ini tidak memberikan efek jera. Pembenahan itu terkait banyaknya koruptor yang
divonis bebas. Apalagi, banyak koruptor mendapat fasilitas mewah di dalam tahanan.

Lebih disayangkan, hukuman yang dijatuhkan pengadilan terlalu ringan. Inilah sesungguhnya yang perlu
diperbaiki, karena banyak koruptor mendapat hukuman tidak setimpal dengan perbuatannya. Padahal,
dampak dari korupsi sangatlah luas.

3. Sistem penggajian yang layak.

Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji
mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa.

4. Larangan menerima suap dan hadiah.

Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud
tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar
aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah.

5. Perhitungan kekayaan.

Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak
selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi.

6. Teladan pemimpin.

Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam
sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan
penuh amanah.

7. Hukuman setimpal.

Pada dasarnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila
ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman
setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam,
koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota,
sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan
hukuman.
8. Hukuman Mati?

Jika korupsi terus menggurita dan merugikan rakyat Indonesia, maka sudah sepantasnya koruptor
dihukum mati, sehingga hal itu membuat calon pelaku lainnya berpikir dua kali. Hukuman mati memang
dianggap belum cocok dan melanggar hak asasi manusia (HAM), dan Tuhan saja maha pengampun. Lalu,
hukuman apa yang cocok untuk koruptor? Tentu berupa tindakan radikal. Meskipun dianggap tak cocok
dan melanggar HAM, khusus koruptor, hukuman mati sangat cocok dan merupakan solusi cerdas. Jika
perlu, pemerintah harus membuat UU HAM khusus untuk koruptor.

Hukuman mati sangat cocok diberlakukan kepada koruptor di negeri ini. Jika tidak, Indonesia akan
terpuruk jika penegakan hukumnya masih ‘remeh-temeh’. Jadi, sudah saatnya Pemerintah Indonesia
meniru kebijakan Pemerintah China dalam menciptakan pemerintahan bersih dengan menerapkan
hukuman mati kepada koruptor. Buktinya, di negeri Tirai Bambu ini, pemberantasan korupsi berjalan
lancar dan sangat efektif.

Memang, hukuman itu membuat perekonomian China maju, dan menjadikan pemerintahan menjadi
lebih disiplin, jujur, dan bertanggung jawab. Lalu, kapan Indonesia berani meniru langkah pemerintahan
China? Apakah menunggu koruptor menguasai negeri ini? Tentu tidak. Wallahu a’lam bisshawab.

3.3 Sebab Terjadinya Praktek Korup Dan Korupsi.

1. Kelemahan Pengendalian Intern di Negara Kita.

Tujuan bangsa Indonesia yang belum tercapai sampai sekarang adalah masyarakat adil dan makmur.
Pengendalian intern suatu Negara akan efektif bila rancangan pengendalian intern dibuat cukup efektif
dan dilaksanakan atau diterapkan secara konsekuen. Rancangan pengendalian yang dibuat Pemerintah
sangat banyak, aturan pokoknya UUD 1945, rancangan pengendalian intern yang lain adalah semua
Peraturan. Per Undang-Undangan yang dibuat di Pusat maupun Daerah. Sebagai contoh UU No. 28
Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.

Rancangan pengendalian intern terutama yang menyangkut penyelenggara Negara tersebut cukup
efektif, namun sejauh mana UU tersebut di sosialisasikan kepada Para Penyelenggara Negara termasuk
anggota DPR dan Calon Penyelenggara Negara penulis belum pernah mengetahuinya. Apabila kepada
Calon Bupati, Walikota, Gubernur, yang akan ikut PILKADA, diberitahukan bahwa ia apabila terpilih harus
melaksanakan UU No. 28 Tahun 1999, lebih-lebih bila ditambahkan apabila melakukan korupsi atau
kolusi akan ditangani KPK / Pengadilan Tipikor barangkali ia akan berfikir panjang untuk ikut PILKADA,
sehingga tidak terjadi kasus sebagai berikut : Sesuai berita koran Media Indonesia tanggal 26 Agustus
2008, ada Calon Bupati yang kalah dalam PILKADA mempunyai hutang Rp. 2,97 M. Untuk menghindari
penagihan utang Calon Bupati yang kalah membuat sensasi dengan berlaku tidak waras, yakni berada di
jalan hanya mengenakan celana dalam. Timbul pertanyaan kalau dia menang, besar kemungkinan utang
tersebut dibayar dari uang yang tidak benar. Barangkali kasus ini terjadi ditempat lain, yaitu baik yang
kalah atau menang mempunyai hutang, di mana hutang yang harus dibayar saat di menjabat setelah
menang PILKADA.

Dalam Pertimbangan UU No. 30 Tahun 2002 UU. dibentuknya KPK , antara lain dikemukakan :

Pemberantasan korupsi sampai saat ini belum dapat dilaksanakan secara optimal, hal ini disebabkan
karena Lembaga Pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien.

Walaupun barangkali dalam Perundang-undangan tidak terdapat kelemahan, namun karena Lembaga
yang menangani belum efektif dan efisien maka praktek korupsi semakin merajalela.

Dalam rangka meningkatkan pengendalian intern maka dalam kurun waktu 43 tahun Undang-Undang
korupsi telah diganti sebanyak 4 kali, yaitu tahun 1960, 1971, 1999, dan 2001.

Dari 5 UU/Peraturan Pemberantasan Korupsi yang paling lengkap adalah Peraturan Pemberantasan
Korupsi tahun 1958, karena dalam Peraturan tersebut di lengkapi Badan Penilik Harta Benda yang
mempunyai kekuasaan untuk menyita barang yang diperoleh dari korupsi dan kekayaan yang setelah
diselidiki tidak sebanding dengan penghasilan mata pencahariannya. Kekusasaan Badan Penilik Harta
Benda dihilangkan pada Undang-Undang penggantinya (UU 1960).

Terhadap sering digantinya undang-uandang tersebut Prof. DR. Andhi Hamzah dalam bukunya
Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara memberi komentar sebagai berikut :

Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi selalu menjadi kambing hitam, padahal orang yang
harus menegakkan Undang-Undang itu yang kurang becus, baik pengetahuan hukumnya maupun moral
dan mentalitasnya.

Salah satu persyaratan agar pengendalian intern suatu entitas / negara efektif, maka rancangan
pengendalian internharus dibuat cukup efektif dan dilaksanakan dengan konsekuen. Di samping itu
mereka yang terlibat dalam organisasi dalam melaksanakan tugasnya harus dilandasi integritas dan nilai
etika, tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi yang bertentangan dengan tujuan organisasi.
Penyelenggara Negara tidak boleh meletakkan kepentingan pribadi atau golongan di atas kepentingan
Negara.

Keadilan erat hubungannya dengan hukum dan penerapannya. Keadilan sangat luas sebagai contoh Gaji
anggota DPR entah berapa kali lipat dibanding gaji pegawai negeri golongan IV D dengan masa kerja 20
tahun, belum fasilitas lainnya. Walaupun telah mendapat gaji yang tinggi dan fasilitas yang cukup, toh
banyak berita diantara mereka ada yang korupsi.

Sanksi lamanya hukuman penjara dan besarnya denda sama, tanpa memandang besarnya kerugian
negara akibat korupsi tersebut. Disamping itu sampai sekarang belum ada aturan pelaksanaan uang
pengganti, yang ada kalau tidak dibayar hukumannya ditambah. Perlakuan di penjara lain dengan maling
ayam, pulang dari penjara masih kaya raya. Status sosial pegawai negeri bukan atas dasar pangkat,
melainkan di mana tempat bekerja, apakah di tempat basah atau kering Ini sangat tidak adil.
Para Penyelenggara negara dan calon penyelenggara negara yang akan mengkuti PILKADA harus
menyadari bahwa dia menjabat tujuan utamanya mencapai tujuan negara yang sampai sekarang belum
terwujud yaitu masyarakat adil dan makmur. Jika UU No. 28 Tahun 1999 disosialisasikan dan kepada
Calon Bupati, Walikota, dan Gubernur atau bahkan sampai calon Presiden, dan ada kontrak Politik untuk
menerapkan secara konsekuen bila menjadi pemenang, tentu akan mengurangi keinginan mengikuti
PILKADA. Apalagi bila ditambahkan bahwa dia menjabat mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur di wilayah kerjanya Di samping itu misalnya Bupati dan Penyelenggara
negara yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme penanganan kasusnya dilakukan KPK dan
Pengadilan Tipikor. Walaupun UU No. 28 Tahun 1999 dirancang dengan efektif, bila tidak dilaksanakan
dalam praktek tidak ada artinya.

2. Teori dari Belanda Pada Umumnya Sangat Filosofis, dan Hanya Bisa Ditafsirkan Secara Benar Oleh
Orang Yang Jujur dan Tidak Mempunyai Kepentingan Lain

Pada awal kemerdekaan semua perundangan-undangan dan peraturan dari zaman Penjajahan Belanda
masih berlaku. Barangkali para Pendiri republik ini tahu semua ketentuan akan dapat dilaksanakan
dengan baik , sepanjang yang meksanakan jujur dan tidak mempunyai kepentingan pribadi, seperti para
Pendiri Republik ini sewaktu menjabat sebagai “amtenar”. Sebagai contoh teori Belanada dalam bidang
akuntansi yaitu : Penyusunan laporan keuangan (neraca dan rugi laba) perusahaan didasarkan pada asas
adat kebiasaan pedagang yang baik. Laporan keuangan ini antara lain digunakan Jawatan Pajak untuk
menetapkan besarnya pajak dari keuntungan. Apabila orang yang menyusun laporan keuangan tidak
jujur, maka tentu berusaha memperkecil laba. Untung sekitar tahun 1969 teori Belanda tersebut sudah
ditinggalkan dan diganti : Laporan keuangan disusun atas dasar prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Apakah di bidang hukum masih Undang-Undang yang dalam penerapannya harus dilandasi dengan
kejujuran seperti contoh dalam penyusunan laporan keuangan diatas, penulis tidak tahu.

3. Para Penyelenggara Negara Tidak Melaksanakan Pesan Para Pendiri Republik.

Sekitar tahun 2000 banyak pendapat yang mengatakan keterpurukan Negara kita diakibatkan karena
sistem negara kita didasarkan pada UU Dasar 1945 yang sentralistis. Memang yang paling mudah
menyalahkan barang mati. Keinginan mengamandemen UU Dasar 1945 sangat besar. Sedang pada
umumnya kelemahan suatu sistem terjadi bukan karena sistemnya, melainkan mereka yang
melaksanakan sistem khususnya para penyelenggara negara tidak mematuhi aturan atau melanggar
aturan/ ketentuan yang telah ditetapkan dalam sistem. Yang dimaksud Penyelenggara Negara sesuai
Pasal I UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme adalah :

Pejabat yang menyelenggarakan fungsi esksekutif, legislative atau yudikatif dan Pejabat lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan per-undang-
undangan yang berlaku.

Peranan Penyelenggara Negara sesuai Pertimbangan butir a undang-undang tersebut adalah :


Penyelenggara negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam Penyelenggaraan negara
untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya orang yang terlibat dalam sistem dalam melaksanakan
tugas harus dilandasi integritas dan nilai etika. Kejujuran belum tentu berkaitan dengan uang, tetapi
terutama jujur terhadap tugasnya yaitu melaksanakan tugas sesuai aturan atau tata kerja yang telah
ditetapkan dalam organisasi. Setiap orang yang terlibat dalam organisasi pasti mempunyai kepentingan
pribadi. Kepentingan pribadi boleh saja sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan organisasi.
Seperti di Negara kita sepanjang masih banyak pejabat yang korup dan korupsi sepertinya tujuan
kemerdekaan yaitu masayarakat adil dan makmur masih terus di awang-awang.

Para Pendiri Republik ini adalah orang-orang pintar dan jujur, hal ini dapat dilihat bahwa pada tahun
1945 sudah memberi pesan kepada para penyelenggara negara agar dalam melaksanakan tugas, secara
garis besar hampir sama dengan pengaturan orang yang terlibat dalam sistem sekarang ini yaitu
dilandasi kejujuran sehingga tidak berfikir perseorangan. Para Pendiri Repubik ini barangkali sudah
mempunyai gambaran apa yang akan dilakukan oleh generasi penerus dengan kekayaan alam yang
melimpah, maka minta agar penyelenggara Negara selalu berpikir untuk kepentingan orang banyak dan
menjauhi kepentingan perseorangan atau kepentingan pribadi, dan minta kepada penyelengara Negara
agar dalam melaksanakan penyelenggaraan negara dilakukan dengan penuh semangat untuk
mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.

4. Sebab Timbulnya Korupsi Berdasarkan Tinjauan Sosiologi

Timbulnya korupsi menurut Syed Hussein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi (LP3 ES, 1986)
halaman 4 disebabkan oleh faktor-faktor berikut :

1) Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham
dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi. Sebagai mana dalam peribahasa Cina dan
Jepang, “ Dengan berhembusnya angin, melengkunglah buluh “

2 ) Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika

3) Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang
diperlukan untuk membendung korupsi

4 ) Kurangnya pendidikan

5 ) Kemiskinan

6 ) Tiadanya hukuman yang keras

7 ) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi

8 ) Struktur Pemerintahan
9 ) Perubahan radikal. Tatkala suatu sistem mengalami perubahan radikal korupsi muncul sebagai suatu
penyakit tradisional.

5. Sebab Timbulnya Korupsi Berdasarkan Teori GONE

Ada pula yang menjelaskan bahwa korupsi disebabkan adanya 4 unsur yang dikenal dengan GONE, yaitu :

1) G – Greed (keserakahan, ketamaan, kerakusan)

2) O – Oppurtunity (kesempatan)

3) N – Need (kebutuhan)

4) E – Exposure (pengungkapan, artinya kalau terungkap hukumannya ringan atau sama artinya dengan
kelemahan hukum)

Rupanya 4 unsur ini di negara kita sudah menyatu, sehingga orang tidak takut melakukan korupsi.

( disarikan dari Majalah Warta Pengawasan No.5 Tahun 1/1993)

6. Faktor Kekuasaan, Yurisdis, dan Budaya

Terdapat pula hubungan antara korupsi dengan kekuasaan, hukum, dan budaya.

• Faktor Kekuasaan

Seorang sejarahwan Inggris telah mengucapkan kata-kata yang termashur : “The power tends to corrupt,
absolute powers corrupts absolute “ (kekuasaan itu cenderung ke korupsi, kekuasaan mutlak
mengakibatkan korupsi mutlak pula).

• Faktor Yuridis

Korupsi yang disebabkan oleh faktor yuridis yaitu berupa lemahnya sanksi hukum maupun peluang
terobosan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jika
membicarakan lemahnya sanksi hukuman berarti analisis pemikiran dapat mengarah pada dua aspek
yaitu :

1. Aspek peranan hakim dalam menjatuhkan hukuman.

2. Aspek sanksi yang lemah berdasarkan bunyi pasal-pasal dan ayat-ayat pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

• Faktor Budaya
Faktor ini berkaitan dengan kepribadian yang meliputi mental dan moral. Dalam faktor ini termasuk tidak
adanya budaya malu.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Tindakan korupsi dalam kegiatan bisnis merupakan salah satu masalah sistematik dalam prinsip etika
bisnis, hal ini dikarenakan akan ada pihak-pihak yang dirugikan, antara lain:

a. Efek suap yang utama adalah timbulnya ekonomi biaya tinggi dan berakibat makin tingginya tingkat
harga barang dan jasa karena harus menutup biaya yang tidak langsung berkaitan dengan proses
produksi barang dan jasa. Hal ini bisa merugikan konsumen

b. Korupsi meningkatkan ketidak-pastian karena persaingan pasar menjadi tidak sehat. Keberhasilan
bergantung pada kekuatan dan kesanggupan menyisihkan dana untuk suap, bukan peningkatan kualitas
produk dan jasa.

4.2 Saran

Untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi dalam kegiatan bisnis perusahaan. Perlu dilakukan tindakan
pencegahan. Tindakan pencegahan ini dilihat dari dua sisi pihak yang berkepentingan yaitu:

1. Perusahaan (Pelaku Bisnis)

Yaitu dengan melakukan transformasi budaya perusahaan untuk menetapkan iklim etis (ethical
climaters) yang kondusif untuk menerapkan bisnis tanpa suap ataupun korupsi, menuntut perubahan
pada empat komponen utama perusahaan yang saling terkait yaitu: Struktur, Sistem, Prosedur, dan
Sumber Daya Manusia Perusahaan, yaitu dengan cara menanamkan nilai-nilai dan norma budaya
perusahaan yang mengharamkan.

a). Penggunaan kekuatan uang atau barang untuk memperoleh perlakuan istimewa atau khusus.

b). Mengalahkan pesaing dengan cara-cara yang tidak sehat.

Upaya perusahaan untuk mengurangi biaya-biaya yang tidak memberi nilai tambah dan membebani
konsumen termasuk pula dalam upaya transformasi budaya.

2. Pemerintah (Regulator)

a). Menerapkan sistem reward dan punishement. Misalnya A adalah pengusaha yang memiliki
kesempatan melakukan penyuapan dan B adalah pejabat yang memiliki kesempatan untuk menerima
suap. Ketika A melakukan penyuapan, jika B melaporkan A maka B akan mendapatkan reward (tentunya
yang lebih besar dibandingkan nilai suap yang diberikan oleh A) dan A akan mendapatkan punishement
atas perbuatannya. Sebaliknya jika B memaksa A untuk tindakan suap, jika A melaporkan B maka A akan
mendapatkan reward dan B mendapatkan punishement atas perbuatannya.

b). Menghukum dengan tegas kedua pihak yang terlibat tindakan suap-menyuap bukan hanya pihak yang
disuap tetapi juga menghukum pihak yang menyuap, misalnya dengan mencabut ijin ekspor atau impor
untuk perusahaan yang melakukan tindakan korupsi atau penyuapan.

DAFTAR PUSTAKA

http://hafiedzmizan.blogspot.co.id/

http://intanstemapal24.blogspot.co.id/2012/11/kasus-korupsi-dan-upaya-pemberantasan.html

Anda mungkin juga menyukai