Anda di halaman 1dari 53

EPIDEMIK GLOBAL DAN LOKAL HIV/AIDS - KECENDERUNGAN,

ISU-ISU TERKAIT, DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM


PENCEGAHAN, PENANGANAN DAN DUKUNGAN BAGI PASIEN
HIV/AIDS

Mata Kuliah: Keperawatan HIV-AIDS

Kelompok 3

Disusun Oleh:

Anita Widiawati 1701001001

Deand Makenedi 1701501501

Dery Septian Ananda P 1701701701

Efrida Mia Siska 1701901901

Elen Oktayufita 1702102101

Elika Nopliana YD 1702202201

Ika Apriani 1702902901

Hilman Hidayat 1733112901

Maifiola 1703503501

Maria Immaculata Gemma ITPS 1703703701

Oktaviana Adhe Muktia 1704804801

Selfira Tiara Maharani 1705805801


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA

SAMARINDA

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesempatan kepada Kelompok 3 sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS dengan judul “Epidemik Global Dan
Lokal HIV/AIDS - Kecenderungan, Isu-Isu Terkait, Dan Kebijakan Pemerintah
Dalam Pencegahan, Penanganan Dan Dukungan Bagi Pasien HIV/AIDS” sesuai
dengan batas waktu yang ditentukan.

Dalam penyusunan makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih


kepada seluruh teman-teman yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah
ini.

Kelompok 3 menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga diharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Mudah-
mudahan makalah ini dapat berguna bagi semua pembaca terutama bagi tenaga
kesehatan.

Samarinda, 10 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Manfaat .................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 3
A. Isu Terkait HIV Di Indonesia ................................................................ 3
B. Kebijakan Kesehatan Di Indonesia Tentang Program Pengendalian
HIV ........................................................................................................... 5
1. Perventif HIV ....................................................................................... 5
2. Pengobatan HIV ................................................................................... 16
3. Promosi Kesehatan HIV ...................................................................... 19
4. Peraturan Mentri Kesehatan Terkait Pengendalian HIV ................ 18
C. Lembaga Pemerintahan Terkait HIV Di Indonesia ............................ 25
BAB III TINJAUAN KASUS ............................................................................ 37
A. Kebijakan Indonesia .............................................................................. 37
B. Kebijakan Thailand ................................................................................ 39
BAB IV PENUTUP ............................................................................................ 42
A. Kesimpulan ............................................................................................. 42
B. Saran ........................................................................................................ 44

ii
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 45

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sel


darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya
kekebalan tubuh manusia. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan
tubuh. Akibat menurunya kekebalan tubuh pada seseorang yang
mengakibatkan orang tersebut sangat mudah terkena penyakit TBC,
kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan
kanker.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) membahayakan sistem kekebalan
tubuh dengan menghancurkan sel darah putih yang melawan infeksi. Virus ini
membuat seseorang berisiko terkena infeksi serius dan kanker tertentu.
Sementara itu, AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah tahap
akhir dari infeksi HIV. Tidak semua orang dengan HIV sampai pada tahap
AIDS.
Sampai saat ini masyarakat melihat HIV sebagai penyakit yang
mengerikan, tidak dapat disembuhkan dan mematikan. Penyakit HIV
dianggap sebagai penyakit yang terhina dan bahkan menyebut sebagai
hukuman Tuhan atau kutukan Tuhan. Mereka mengatakan bahwa penyakit
HIV adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh kedosaan penderitanya.

Jika seseorang telah terinfeksi HIV maka ia harus di isolasi serta tidak
boleh bergaul secara wajar dengan orang sehat. Masyarakat masih
menganggap bahwa pasti ada yang salah dengan masa lalu penderita HIV.

1
Pada kenyataannya tidak semua orang yang terinfeksi HIV diakibatkan oleh
gaya hidup yang salah.

Penularan HIV tidak saja melalui hubungan seks dengan banyak pasangan
yang selama ini menjadi isu dominan penyebab seseorang terinfeksi HIV, tapi
juga diakibatkan dari sebab lain, misalnya melalui donor darah, tertular dari
suami atau istri yang telah terinfeksi HIV dan jarum suntik bergantian
pemakaian narkoba.

B. Tujuan

Salah satu kajian tentang Epidemik Global Dan Lokal HIV/AIDS -


Kecenderungan, Isu-Isu Terkait, Dan Kebijakan Pemerintah Dalam
Pencegahan, Penanganan Dan Dukungan Bagi Pasien HIV/AIDS.

C. Manfaat

Untuk mengetahui tentang Epidemik Global Dan Lokal HIV/AIDS -


Kecenderungan, Isu-Isu Terkait, Dan Kebijakan Pemerintah Dalam
Pencegahan, Penanganan Dan Dukungan Bagi Pasien HIV/AIDS.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Isu Terkait HIV Di Indonesia

Kepala Seksi HIV-ADS dan IMS Dinkes Papua, Dr Rindang Pribadi


Marahaba kepada Antara di Timika, Minggu, mengatakan epidemi kasus
HIV-AIDS di Papua membutuhkan penanganan bersama lebih serius dengan
melibatkan semua komponen masyarakat. "Untuk penanggulangan HIV-
AIDS di Papua, maka semua pihak harus terlibat. Ini bukan hanya tugasnya
orang kesehatan atau Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) serta aktivis
peduli HIV-AIDS saja, tetapi harus melibatkan semua masyarakat sebab
problem ini sifatnya multi sektor," katanya.
Sesuai data yang dilaporkan ke Dinkes Papua, hingga akhir Juni 2018
tercatat sudah 37.991 warga di Papua terinfeksi HIV-AIDS. Kasus terbanyak
ditemukan di wilayah Nabire dan beberapa kabupaten di Papua seperti
Jayawijaya, Mimika dan Jayapura.

3
"Nabiire itu positif rate-nya paling tinggi yaitu sekitar 9 persen. Kalau
Wamena hanya 1,8 persen. Mimika cenderung stabil di angka 1 persen. Kalau
dari sisi wilayah adat, yang tertinggi itu wilayah Saireri, angkanya di atas 9
persen," tutur Rindang.
Kendala yang dihadapi dalam penanganan masalah HIV-AIDS di Papua
yaitu tidak semua Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA ) bisa mengakses
layanan obat Anti Retroviral/ARV yaitu obat untuk menekan pertumbuhan
virus HIV dalam tubuh seseorang. Dinkes Papua kini terus mengupayakan
agar distribusi obat ARV bisa sampai ke tingkat Puskesmas agar ODHA lebih
mudah mengakses obat tersebut dari tempat tinggalnya. Agar distribusi obat
ARV bisa sampai ke tingkat Puskesmas, maka sangat dibutuhkan komitmen
petugas untuk melakukan pencatatan dan pelaporan kasus secara valid.
Di samping itu, dibutuhkan peran petugas Puskesmas dan Kelompok
Dukungan Sebaya/KDS untuk melakukan pendampingan kepada ODHA agar
dapat meminum ARV secara teratur.
"Persoalan yang kami temukan sekarang ada banyak kasus kegagalan
minum obat ARV dari penderita HIV-AIDS karena berbagai sebab seperti
layanan yang jauh dari tempat tinggal mereka, lalu tidak punya uang untuk
bisa mengakses layanan dan lain sebagainya," tandas Rindang. Selama tiga
tahun terakhir sejak 2016, kasus HIV positif yang ditemukan di Provinsi
Papua berkisar pada angka 4.000-an kasus atau positif rate-nya mencapai 3,9
persen.
Namun, penemuan kasus baru HIV-ADS tersebut tidak tersebar secara
merata di seluruh wilayah Provinsi Papua, mengingat di banyak kabupaten,
terutama di wilayah pedalaman belum tersedia banyak layanan pemeriksaan
HIV-AIDS dan layanan obat ARV. (Antara/Evarianus Supar)
Isu ini di ambil dari Liputan 6.com pada 03 september 2018 pada pukul
15.00 WIB dengan judul “ Kasus HIV/AIDS Baru di papua periode januari-
juni Capai 2.000 “
Jadi, menurut isu di atas Dinkes Papua, Dr Rindang Pribadi Marahaba
mengatakan kasus HIV-AIDS di Papua membutuhkan penanganan bersama
karena kasus ini cukup serius dan melibatkan semua komponen masyarakat.

4
Kasus HIV terbanyak di papua di temukan pada wilayah Nabiire dan
beberapa kabupaten di papua seperti Jayawijaya, mimika dan jayapura.
Di wilayah Papua khususnya diwilayah Nabiire orang yang terkena
positif HIV paling tinggi 9%. Angka ini membuat dinas kesehatan
menghadapi kendala untuk memberikan obat Anti Retroviral/ARV ke orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) . Namun, Dinkes mengatakan akan terus
mengupayakan agar distribusi obat ARV dapat di akses di puskesmas terdekat
oleh ODHA.
Menurut kami, Disamping upaya yang dilakukan oleh dinas kesehatan,
seharusnya juga didukung dalam melakukan pendampingan kepada ODHA
agar dapat meminum ARV secara teratur. Karena orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) membutuhkan support dan obat yang mereka minum ini adalah obat
yang harus dikonsumsi seumur hidup.
B. Kebijakan Kesehatan Di Indonesia Tentang Program Pengendalian HIV
1. Perventif HIV

Hari AIDS sedunia (HAS) diperingati pada 1 desember saban tahun.


Tema peringatan HAS 2015 di Indonesia adalah “perilaku sehat” pada
momentum HAS ke-51 ini, menarik bagi kita untuk membahas upaya
penangulangan HIV & AIDS dalam rangka ending AIDS 2030 dan
merefleksikan upaya-upaya yang sudah dilakukan mencapainya.

Ending AIDS 2030 merupakan target dunia yang dipancangkan


sebagai salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
sudah banyak upaya penangulangan HIV & AIDS yang telah dilakukan
oleh banyak pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah dengan
berbagai kebijakan dan program, masyarakat sipil, sektor swasta, dan
mitra pembangunan internasional, untuk mencapai target tersebut. Untuk
mencapai target ambisius ini, UNAIDS pun menerapkan Strategi fast
Track : End AIDS by 2030. Strategi ini sudah direspons di tingkat
regional seperti workshop internasional dimumbai pada tanggal 23 -29
mei 2015. Dalam workshop tersebut, provinsi DKI jakarta telah dirancang
sebagai salah satu lokasi uji coba program nasional dalam

5
penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia melalui program fast track
jakarta city ending AIDS epidemi 2020.

Indonesia secara legal-formal berkomitmen untuk mencapai target


ambisius ini melalui berbagai produk kebijakan seperti arah
pembangunan kesehatan dalam rencana pembangunan menengah nasional
dan rencana aksi nasional pengendalian HIV disektor kesehatan 2015-
2019 dengan strategi: (1) meningkatkan cakupan layanan HIV & AIDS
dan IMS melalui layanan komperhesif berkesinambungan (LKB); (2)
memperkuat sistem kesehatan nasional dalam pelaksanaan LKB HIV &
AIDS juga banyak bermunculan, termasuk pembentukan lembaga KPA
didaerah. Tetapi komitmen ini belum solid dan konsisten sebagaimana
ditunjukan oleh hasil penelitian PMKM FK UGM (2015) bahwa
komitmen politik dalam upaya penangulangan HIV& AIDS masih ala
kadarnya belum sampai pada tingkat implementasi secara kokoh.

Sebagai bahan refleksi tentang apa yang telah dilakukan indonesia


dalam upaya penangulangan HIV & AIDS, laporan kajian paruh waktu
(midterm review) pelaksanaan strategi dan rencana aksi nasional (SRAN)
2010-2014 untuk mencapai target pengurangan dampak epidemi ternyata
belum sepenuhnya memnuhi harapan. Informasi pencangan DKI jakarta
sebagai proyek percontohan ini dapat dari rumusan hasil workshop fast-
track jakarta city AIDS epidemic 2020 dalam penangulangan AIDS
provinsi DKI jakarta dihotel syahira, bogor, 7-9 oktober 2015.

Cakupan pengobatan pada 2012 baru 17 persen dari perkiraan ODHA


yang membutuhkan pengobatan penggunaan kondom secara konsisten
pada wanita pekerja seks langsung (WPSL) dan pelanggannya masih
belum optimal (dibawah 60 %) cakupan pencegahan penularan dari ibu ke
anak (PPIA) walau meningkat tapi masih 20 persen (14-16 persen ) ;
cakupan pengobatan pada anak hanya 15 persen pervalensi HIV pada
beberapa populasi kunci belum menunjukan penuran, kecuali pada
penasun dan wanita pekerja seks tidak langsung (WPSTL). Sementara itu,

6
pervalensi HIV pada lelaki seks dengan lelaki (LSL) meningkat dua kali
lipat.

Selain itu, sumber pendanaan yang ditargetkan 70 persen dari sumber


demostik pada tahun 2014 belum tercapai. Lebih dari 50 persen
pendanaan masih bersumber dari luar negeri. Sudah begitu, belum ada
dana dari anggaran daerah (APBD) untuk upaya penangulangan HIV &
AIDS yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Padahal, berbagai perda
penangulangan HIV & AIDS menyebutkan tantangan perlunya partisipasi
masyarakat. Dari capaian tersebut tantangan upaya penanggulangan HIV
& AIDS tanmpaknya masih cukup berat. Perlu usaha yang lebih besar
lagi dari berbagai pihak untuk mencapai target terberantasnya AIDS pada
2030

Kemenkes RI telah menyususn peta-jaan (roadmap) untuk memandu


upaya percepatan proram penangulangan HIV & AIDS menuju getting to
zero pada 2030 melalui inisiatif yang dikena sebagai 90-90-9- sejalan
dengan itu, kemenkes RI juga melaksanaan program indonesia sehat
dengan “paradigma” sehat menyasar pada penentu kebijakan di lintas
sektor, untuk memperlihatkan dampak kesehatan dari kebijakan yang
diambil baik hulu maupun hilir.

Kemenkes RI juga dapat membuat rencana peningkatan berbagai


layanan terkait AIDS dan IMS, mulai dari pencegahan berupa
peningkatan jumlah layanan tes HIV dan konseling pengembanagan
layanan PPIA, layanan jarum dan alat suntik steril (LASS) dan program
terapi rumatan metadon (PTRM) secara bertahap pengembangan layanan
PPIA, layanan jarum dan alat suntik steril (LASS), dan program tetapi
rumatan metadon (PTRM) secara bertahap pengembangan layanan
promosi dan pencegahan (PDP) pengembangan layanan IMS, TB-HIV
dan rencana pengembangan unit penatalaksanaan teknis daerah (UPDT)
selain itu kemenkes RI merencanakan penguatan sistem kesehatan berupa
pengutan pembiayaan program dan subsistem lainnya, seperti pembagian
proporsi alokasi pembiyaan pusat dan daerah untuk obat dan komoditas

7
lain dalam program HIV & AIDS rencana ini cukup maju, tetapi perlu
didasari bahwa pada era desentralisasi saat ini secara politik dan ekonomi
pemerintahan daerahlah yang mempunyai kepentingan dan kekuasaan
tinggi dalam penerapan kebijakan termasuk berbagai rencana
pengembangan layanan kesehatan.

Penentu kebijakan sangat berperan dalam keberhasilan upaya


penangulangan HIV & AIDS. Mereka merupakan pemegangan kekuasaan
yang memiliki kepentingan sehingga cukup menentukan sebuah program
dapat berjalan atau tidak. Dengan kekuasaannya yang tinggi mereka perlu
dorongan agar kepentingannya juga tinggi sehingga keberpihakan pada
program penangulangan HIV & AIDS meningkat dan terukur. Kita ambil
contoh DPRD yang mempunyai peran dan fungsi legislasi dan kekuasaan
politik untuk menyetujui atau mengusulkan oleh pemerintah (eksekutif).

Komitmen politik pemerintah untuk menguatkan fungsi regulasi


melalui pengembangan kebijakan oprasional di tingkat daerah terkait
dengan perda atau peraturan ditingkat pusat perlu dorongan. Pengutan
fungsi regulasi ini dapat dilakukan dengan mendorong pemangku
kepentingan utama daerah seperti kepala daerah (gubernur, bupati,
walikota) untuk mengelurkan aturan pelaksanaan dari perda yang telah
dibuat dari sisi peningkatan layanan dan pengutan sistem kesehatan diera
desentralisasi saat ini diperlukan perencanaan bersamaan dan pemberian
kewenangan berbagai layanan agar terpenuhi rasa kepemilikan
pemerintah daerah perlu melakukan penilaian kebutuhan, ketersediaan
dan kesenjangan sumber daya baik untuk layanan maupun pendanaan
sehingga punya posisi tawar terhadap berbagai program dan pendanaan
yang ditawarkan oleh pihak lain didaerahnya. Selanjutnya inovasi ,
adopsi, dan penyesuaian strategi menjadi penting agar dalam pelaksanaan
sebuah strategi dapat mencapai target. Program interview HIV&AIDS
selama ini masih cenderung seragam dalam arti perencanaannya dibuat
dari pusat atau penyadangan dana sehingga sering kali daerah hanya
menjalankan program saja dan dalam pelaksaan sering mendapatkan
hambatan bahkan resistensi. Oleh karena itu, pengalaman intervensi

8
selama ini sdapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan inovasi
melalui berbagai perubahan dan penyesuaian, seperti penentuan target
wilayah, penyediaan dan peningkatan askes layanan, pelibatan komunitas
agar terpenuhinya rasa kepemilikan atas program, sertab memperhatikan
isu stigma, diskriminasi, dan ham.

Pengendalian HIV & AIDS perlu melibatkan berbagai pihak, baik


lintas program, lintas sektor, juga sangat penting keterlibatan keluarga,
komunitas, dan seleuruh masyarakat. Pelibatan mereka dalam
penanggulanagan HIV & AIDS harus pula disertai dengan tindakan nyata
untuk berprilaku sehat.perilaku sehat tidak cukup hanya perilaku pribadi,
tetapi perlu dibangun perilaku sehat dalam arti luas yang meliputi relasi
struktural, kelembagaan, dan lingkungan. Ditingkat individu, prilaku
sehat ini bisa dimulai dari perubahan menset atau cara pikir tentang
prilaku sehat dan perilaku mencari sehat. Sedangkan ditingkat struktural,
atau organiasi, dimulai dengan penciptaan sistem keluarga atau organisasi
yang sehat, sebagaimana disarankan oleh Scott 2003 bahwa mengelola
budaya organisasi adalah hal yang esensial dalam upaya revormasi sistem
kesehatan.

Program yang menyangkut perilaku hidup sehat populasi kunci dan


ODHA, juga pengembangan lembaga pencegahan AIDS yang berbudaya
sehat perlu menjadi bagian dari program penanggulangan HIV&AIDS
tujuannya, mempercepat upaya peninggkatn produktivitas dan derajat
hidup populasi kunci dan ODHA. Tiga agenda utama yang penting untuk
disikapi dalam upaya penangulanag HIV & AIDS diIndonesia untuk
beberapa tahun kedepan: peratama, HIV & AIDS tetap menjadia agenda
global yang tampak dalam sustainable developmeny goals (SDGS) meski
tidak menjadi indikator kusus seperti dalam milenium development goals
(MDGS), tetapi menjadi bagian dari indikator kesehatan dengan terget
utama universal helth coverage (UHC). Kedua, kondisi politik dalam
negeri dengan terbitnya ndang-undang dengan nomor 23 tahun 2014 yang
menegaskan pembagian peran pemerintah dalam penyediaan pelayanan
dasar termasuk kesehatan, diama urusan tersebut menjadi tanggung jawab

9
pemerintah daerah yang bersifat kongkruen agar lebih mendukung
terjadinya integrasi agenda pembangunan pemerintah pisat dan daerah.
Ketiga, saat ini pembiayaan penanggulangan HIV & AIDS yang
bersumber dari mitra pembangunan internasional mulai berkurang dan
akan semakin berkurang pada akhir tahun 2017, sementara disis lain
pembiayan dari pemerintah, kususnya pemerintah daerah masih sangat
minimal. Selama ini, pembiayaan dari mitra pembangunan internasional
untuk penanggulangan HIV & AIDS telah menimbang sekitar 50 % nya.

Tiga agenda tersebut tentu saja akan menjadi tantangan yang serius
bagi program penangulangan HIV & AIDS di masa depan, karena
agenda-agenda tersebut menyiratkan tuntuan agar efektifitas upaya
penanggulangan di tingkat layanan semakin efektif, sehingga target 95
sebagai target SDGS bisa terpenuhi. Selain itu, tuntutan terhadap peeran
daerah yang lebih besar baik dalam perencanaan dan pengaangaran untuk
mendukung efektifitas pelayan dan terbangunya sinergi yang lebih besar
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk penanggulangan
HIV & AIDS tantangan ini semkakin perlu diperhatikan jika melihat
kenyataan bahwa upaya penanggulangan HIV & AIDS sebelum
terintegrasi kedalam sistem kesehatan baik ditingkat nasional maupun
daerah, dimana diyakini bahwa integrasi bisa jadi jalan keluar dan
sekaligus sebagai strategi untuk perluasan dan peningkatan efektifitas,
efisensi dan keberlanjutan HIV & AIDS tantangan dari sisi tata kelola ini
menjadi lebih kompleks dimasa depan, manakala secara programatik
upaya penanggulangan HIV & AIDS hingga saat ini masih belum mampu
beranjak dari pendekatan individual, belum mampu menjadi program
kesehatan yang inklusif dan tidak responsif terhadap situasi epidemi.

Pertama, mendorong penerapan kebijakan penanggulangan


HIV&AIDS dengan aksi yang nyata ditingkat daerah.

Kedua, peran pemerintah daerah yang lebih besar dalam


penanggulanagan HIV & AIDS dimasa depan mengandaikan adanya

10
kapasitas yang mencukupi untuk melakukan perencanaan dan
penganggaran penanggulangan HIV&AIDS didaerahnya.

Ketiga, perencanaan dan penganggaran penanggulangan HIV&AIDS


secara teknis membutuhkan ketersediaan informasi strategis yang berupa
data epidemiologis dan data programatik didaerah.

Keempat, pembiayaan penanggulangan HIV&AIDS selama ini


berasal dari berbagai sumber dan penggalokasianya juga menggunakan
mekanisme yang berbeda.

Kelima, kontribusi organisasi masyarakat sipil sudah terbukti mampu


meningkatkan kinerja upaya pennaggulangan HIV&AIDS diIndonesia.

Penelitian integrasi kebijakan dan program penanggulangan AIDS


kedalam sistem kesehatan berangkat dari kenyataan bahwa program
HIV&AIDS diIndonesia ini merupakan bagian dari inisiatif kesehatan
global untuk merespon situasi epidemi diIndonesia. Oleh karenanya
permasalah integrasi dengan sistem kesehatan menjadi sebuah pertanyaan
besar karena model penanggulangan HIV&AIDS yang didorong oleh
inisitif kesehatan global telah mengakibatkan berbagai konsekuensi
negatif pada sistem kesehatan seperti terbangunnya sistem pelayanan
kesehatan yang paralel., diterapkanya model-model intervensi yang
bersifat global, dan terpisahnya dan terpisahnya layanan HIV &AIDS dari
pelayanan kesehatan lainnya yang justru memperbesar eksklusi sosoal
bagi kelompok marginal. Atas keprihatinan tersebut maka penelitian ini
mengembangkan tiga agenda utama yang dikaji dan direkomendasikan
selama proses penelitian ini berlangsung. Ketiga agenda tersebut adalah
(1) pentingnya integrasi program AIDS kedalam sistem kesehatan, (2)
mengintegrasikan pendekatan struktural kedalam intervensi
penanggulangan AIDS saat ini yang didominasi oleh pendekatan
individual yang pada dasarnya diintrotruksikan oleh inisiatif kesehatan
global dan (3) mendorong pelayanan kesehatan yang inklusif menginggat
populasi utama dari penanggulangan AIDS ini adalah kelompok yang
terpinggirkan didalam masyarakat. Atas dasar tiga agenda utama seri

11
penelitian tersebut, para penulis mencoba membuat catatan-catatan kecil
tentang berbagai temuan yang diperoleh selama proses penelitian
termasuk respon terhadap topik-topik terkini yang sedang hangat
dibicarakan oleh pengiat HIV&AIDS.

a. Pada PSK (Pekerja Seks Komersial)

Pencegahannya pada PSK (Pekerja Seks Komersial) antara lain;


penggunaan kondom, konseling HIV/AIDS, pemeriksaan kesehatan
secara rutin, kebersihan alat kelamin, dalam hal ini sesuai dengan
pendapat Green (1980) dalam Notoatmodjo.

1) Penggunaan Kondom

Tindakan informan terhadap upaya penggunaan kondom


pada umumnya masih sangat kurang. Pada umumnya informan
mengatakan penggunaan kondom tergantung dari tamu, kalau
tidak bersedia maka mereka akan mengikuti saja, informan tidak
memiliki aturan tertentu yang mengharuskan tamu harus
menggunakan kondom baru dilayani. Masih kurangnya tindakan
PSK dalam upaya penggunaan kondom mungkin disebabkan
karena tidak adanya aturan dari PSK dalam menggunakan
kondom setiap tamu yang dilayani, tidak adanya pengawasan dan
motivasi tinggi dari germo kepada PSK dalam menggunakan
kondom bagi tamu mereka.

2) Kebersihan Alat Kelamin

Tindakan kebersihan alat kelamin setelah berhubungan juga


bervariasi pada umumnya informan menggunakan pembersih
sabun sirih, namun ada sebagian informan dalam tindakan
menjaga kebersihan alat kelamin masih ada yang keliru dengan
menggunakan odol untuk membersihkan alat kelaminnya setelah
berhubungan seksual. Jika dilihat dari kesehatan penggunaan
odol tidak baik dilakukan, karena bisa membuat alat kelamin
menjadi teriritasi. Adanya tindakan yang masih keliru karena

12
informan masih percaya dengan menggunakan dari teman mereka
hal tersebut yaitu menggunakan odol disertai tingkat pengetahuan
yang rendah tentang upaya pencegahan infeksi HIV/AIDS.

3) Konseling HIV/AIDS

Untuk tindakan dalam upaya konseling HIV/AIDS dan


melakukan tes darah mereka banyak mengatakan belum pernah
terutama untuk melakukan tes darah, jika upaya konseling
informan dapat melakukan dengan menemui kakak Yayasan
Utama, Jika mereka ada permasalahan dan ingin mengetahui
banyak tentang HIV/AIDS.

4) Pemeriksaan Kesehatan

Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan


ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan
sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan.

b. Pada Ibu dan Anak

Ketika seorang wanita terinfeksi HIV, virus menularkan HIV


kepada bayinya selama kehamilan, selama persalinan dan melahirkan,
atau dengan cara menyusui. Wanita yang terinfeksi HIV tidak boleh
menyusui bayi mereka karena HIV dapat ditularkan melalui ASI.

Selain itu, HIV juga dapat ditularkan pada bayi melalui makanan
yang terlebih dulu dikunyahkan oleh ibu atau perawat yang terinfeksi
oleh HIV, meskipun risikonya sangatlah rendah. Untuk amannya,
bayi tidak boleh disuapi makanan. HIV tidak dapat ditularkan melalui
kontak biasa, seperti pelukan atau ciuman dengan mulut terkatup,
atau melalui barang-barang seperti dudukan toilet, pegangan pintu,
atau alat makan yang digunakan oleh orang yang terinfeksi HIV.

1) Tes HIV Selama Kehamilan


Saat Anda sedang hamil dan berada pada risiko tinggi untuk
tertular HIV, dokter akan menganjurkan Anda untuk menjalani

13
tes HIV pada pemeriksaan pertama kehamilan Anda, selama
trimester ketiga Anda, atau setelah kelahiran bayi Anda (dalam
beberapa kasus). Pasangan Anda juga harus menjalani tes HIV.
Tes HIV yang paling umum adalah test antibodi HIV. Tes
antibodi HIV bertujuan mencari antibodi HIV dalam darah.
Umumnya, hanya diperlukan beberapa hari untuk mendapatkan
hasil tes darah antibodi HIV. Antibodi HIV merupakan sejenis
protein dalam darah, urin, atau cairan dari mulut seseorang yang
tubuh produksi dalam menanggapi infeksi HIV. Saat kehamilan
mendapat hasil positif dari tes antibodi HIV, tes kedua berupa tes
antibodi jenis lain yang disebut tes konfirmasi HIV dilakukan
untuk mengonfirmasi bahwa orang tersebut memang benar
terinfeksi oleh HIV. Diperlukan beberapa minggu untuk
mendapatkan hasil tes konfirmasi. Jika tes kedua juga positif,
berarti Anda didiagnosis dengan HIV.
Seorang ibu yang mengetahui di awal masa kehamilannya
bahwa ia terinfeksi HIV memiliki waktu lebih untuk membuat
keputusan penting mengenai pemilihan cara efektif untuk
melindungi kesehatannya dan kesehatan pasangannya, dan
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.

2) Obat Anti-HIV Bisa Digunakan Untuk Mencegah Penularan


HIV Dari Ibu Ke Anak
Mengonsumsi obat anti-HIV selama kehamilan dapat
mengurangi jumlah HIV di dalam tubuh ibu yang terinfeksi HIV.
Berkurangnya jumlah HIV dalam tubuh mengurangi risiko
penularan HIV dari ibu ke anak.
Beberapa obat anti-HIV juga tersalurkan dari ibu hamil ke
bayi dalam kandungan melalui plasenta (juga disebut ari-ari).
Obat anti-HIV dalam tubuh bayi membantu melindunginya dari
infeksi HIV. Hal ini sangatlah penting untuk proses kelahiran

14
ketika bayi dapat terkena HIV dari cairan kelamin atau darah
ibunya.
Setelah kelahiran, bayi yang lahir dari wanita yang terinfeksi
HIV diberikan obat anti-HIV. Obat tersebut mengurangi risiko
infeksi dari HIV yang mungkin telah masuk ke dalam tubuh bayi
selama proses kelahiran.
Obat anti-HIV digunakan pada waktu-waktu berikut untuk
mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak:
a) Selama kehamilan, wanita hamil yang terinfeksi HIV
mendapatkan regimen (kombinasi) dari setidaknya tiga obat
anti-HIV yang berbeda dari setidaknya dua kelas yang
berbeda.

b) Selama persalinan dan kelahiran, wanita hamil yang


terinfeksi HIV mendapatkan intravena (IV) AZT dan tetap
meminum regimen mereka.

c) Setelah kelahiran, bayi yang lahir dari wanita yang terinfeksi


HIV mendapatkan cairan AZT selama 6 minggu. (Bayi dari
ibu yang tidak mendapatkan obat anti-HIV selama masa
kehamilan dapat diberikan obat anti-HIV lain sebagai
tambahan untuk AZT).

d) Selain mengonsumsi obat anti-HIV untuk mengurangi risiko


penularan HIV dari ibu ke anak, wanita hamil yang terinfeksi
HIV juga mungkin memerlukan obat anti-HIV untuk
kesehatannya sendiri. Beberapa wanita mungkin sudah
menerima regimen sebelum kemudian hamil

AIDS disebabkan oleh HIV, human immunodeficiency virus,


yang merusak sistem pertahanan tubuh. Anda harus berhati-hati
saat sedang hamil dan terinfeksi oleh HIV. Beri tahu dokter
mengenai kondisi kesehatan Anda dan apakah Anda sedang atau
pernah mengonsumsi obat anti-HIV sebelumnya.

15
c. Pada Pasien Di Rumah Sakit

Pencegahan penularan melalui non-seksual Pencegahan ini


ditujukan pada penularan HIV melalui darah, seperti ketika uji saring
darah donor, pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non
medis yang melukai tubuh dengan menggunakan peralatan steril dan
mematuhi standard prosedur dan memperhatikan kewaspadaan umum
dan pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik
Layanan KT HIV sering kali menjadi pintu masuk ke LKB.
Layanan KT HIV dapat berupa Konseling dan Tes HIV Sukarela
(KTS) atau Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan
(KTIP). KTS harus dilakukan atas persetujuan pasien. KTIP
dilakukan dalam hal penugasan tertentu dalam kedinasan
tentara/polisi, keadaan gawat darurat medis untuk tujuan pengobatan
pada pasien secara klinis telah menunjukkan gejala kearah AIDS, dan
permintaan pihak yang berwenang sesuai ketentuan peraturan dan
undang-undang. Pemeriksaan ini dilakukan prinsip konfidensialitas,
persetujuan, konseling, pencatatan, pelaporan dan rujukan. Demikian
pula dengan diagnosis dan tes terkait dengan TB dan pasien rawat
inap.
Pengalaman yang baik dari pasien pada layanan tersebut akan
mempengaruhi kesinambungan dalam memanfaatkan LKB. KTS
dilakukan dengan pemberian konseling pra‐tes dan pasca‐tes
Konseling ini merupakan kesempatan baik baik klien untuk
mendapatkan pengetahuan tentang layanan yang tersedia dalam LKB
dan siap untuk memanfaatkannya. Konseling pra tes dilakukan
dengan tatap muka atau tidak tatap muka dan dapat bersama pasangan
atau dalam kelompok.Konseling pasca tes harus dilakukan tatap muka
dengan tenaga kesehatan atau konselor terlatih. KTIP dilakukan
dengan langkah pemberian informasi tentang HIV dan AIDS sebelem
tes, pengambilan darah untuk tes, penyampaian hasil tes dan
konseling. Tes ini tidak dilakukan sekiranya pasien menolak secara
tertulis, KTIP dianjurkan sebagai bagian dari standard pelayanan bagi

16
setiap orang dewasa, remaja dan anak yang datang ke puskesmas
dengan gejala dan kondisi kearah kearah HIV-AIDS terutama pasien
dengan riwayat TB dan IMS. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan
ibu bersalin, bayi yang baru lahir pada ibu terinfeksi HIV,wilayah
yang malnutrisi di daerah epidemik luas HIV dan laki dewasa yang
minta tindakan sirkumsisi sebagai pencegahan. Layanan KT HIV
dapat diintegrasikan ke dalam layanan perawatan, pengobatan dan
pencegahan yang ada atau dapat diselenggarakan secara mandiri di
tempat lain seperti misalnya diselenggarakan oleh LSM yang
terhubung dengan layanan. Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh
tenaga medis atau teknisi laboratorium yang terlatih,selain itu bidan
dan perawat terlatih juga dapat melakukan tes. Tes ini dilakukan
dengan metode rapid diagnosis test (RDT) atau EIA (enzyme immuno
Assay). Konseling terdiri dari konseling pribadi, konseling pasangan,
konseling kepatuhan, konseling perubahan perilaku, pencegahan
penularan infeksi berulang atau infeksi silang, konseling perbaikan
kondisi kesehatan.

2. Pengobatan HIV

Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan terapi terbaik


bagi pasien terinfeksi Human immunodeficiency Virus (HIV) hingga saat
ini. Tujuan utama pemberian ARV adalah untuk menekan jumlah virus
(viral load), sehingga akan mengatakan status imun pasien HIV dan
mengurangi kematian akibat infeksi oportunistik. Pada tahun 2015,
menurut World Health Organization (WHO) antirettroviral sudah
digunakan pada 46% pasien HIV diberbagai negara. Penggunaan ARV
tersebut telah berhasil menurunkan angka kematian terkait HIV/AIDS
dari 1,5 juta pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta pada tahun 2015.
Antiretroviral selain sebagai antivirus juga berguna untuk mencegah
penularan HIV kepada pasangan seksual, maupun penularan HIV dari ibu
ke anaknya. Hingga pada akhirnya diharapkan mengurangi jumlah kasus
orang terinfeksi HIV baru di berbagai negara.

17
Obat ARV sudah disediakan secara gratis melalui program
pemerintahan indonesia sejak tahun 2014 dan kini sudah tersedia di lebih
dari 400 layanan kesehatan seluruh indonesia. Saat ini ARV itu sendiri
terbagi dalam dua lini. Lini ke-1 atau lini pertama terdiri dari panduan
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) yang meliputi
Zidovudin (AZT) atau Tenofovir (TDF) dengan Lamivudin (3TC) atau
Emtricitabin (FTC), serta non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors
(NNRTI) meliputi Nevirapin (NVP) atau Efavirenz (EFV). Sementara itu,
panduan lini 2 terdiri dari NRTI, serta ritonavir-boosted protease inhibitor
(PI) yaitu Lopinavir/Ritonavir. Lini 1 itu sendiri terdiri dari kombinasi 2
NRTI dan 1 NRTI, sedangkan lini 2 terdiri dari kombinasi 2 NRTI dan 1
PI.

Untuk mencapai berbagai tujuan pengobatan ARV, dibutuhkan


pengobatan ARV yang berhasil. Keberhasilan pengobatan pada pasien
HIV dinilai dari tiga hal, yaitu keberhasilan klinis, keberhasilan
imunologis, dan keberhasilan virologis. Keberhasilan klinis adalah
terjadinya perubahan klinis pada pasien HIV seperti peningkatan berat
badan atau perbaikan infeksi oportunistik setelah pemberian ARV.
Keberhasilan imunologis adalah terjadinya perubahan jumlah limfosit
CD4 menuju perbaikan, yaitu naikk lebih tinggi dibandingkan awal
pengobatan setelah pemberian ARV. Sementara itu, keberhasilan
virologis adalah menurunya jumlah virus dalam darah setelah pemberian
ARV. Target yang ingin dicapai dalam keberhasilan virologis adalah
tercapainya jumlah virus serendah mungkin atau di bawah batas deteksi
yang dikenal sebagai jumlah virus tak terdeteksi (undetectable viral load).

Ketidakberhasilan mencapai target disebut sebagai kegagalan.


Kegagalan virologis merupakan pertanda awal dari kegagalan pengobatan
satu kombinasi obat ARV. Setelah terjadi kegagalan imunologis dan
akhirnya akan timbul kegagalan klinis. Pada keadaan gagal klinis
biasanya ditandai oleh timbulnya kembali oportunistik. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya jumlah limfosit CD4 akibat terjadinya
resistensi virus terhadap ARV yang sedang digunakan. Kegagalan

18
virologis muncul lebih dini dari pada kegagalan imunologis dan klinis,
karena itu pemeriksaan viral load akan mendeteksi lebih dini dan akurat
kegagalan pengobatan dibandingkan dengan pemantauan menggunakan
kriteria imunologis maupun klinis, sehingga mencegah meningkatnya
mordibitas dan mortalitas pasien HIV. Pemeriksaan viral load juga
digunakan untuk menduga risiko transmisi kepada orang lain, terutama
pada ibu hamil dengan HIV dan pada tingkat populasi.

Pasien HIV yang dinyatakan gagal pada pengobatan lini pertama,


harus menggunakan pengobatan ARV lini kedua supaya dapat mencapai
tujuan pengobatan ARV seperti disebut di atas. Hal ini akan
mengakibakan terjadinya perubahan biaya pengobatan karena harga obat
ARV lini kedua lebih mahal dari obat ARV lini pertama.

Kepatuhan (adherence) merupakan faktor utama dalam mecapai


keberhasilan pengobatan infeksi virus HIV. Kepatuhan (adherence)
adalah minum obat sesuai dosis, tidak pernah lupa, tepat waktu, dan tidak
pernah putus. Kepatuhan dalam meminum ARV merupakan faktor
terpenting dalam menekan jumlah virus HIV dalam tubuh manusia.
Penekanan jumlah virus yang lama dan stabil bertujuan agar sistem imun
tubuh tetap terjaga tinggi. Dengan demikian, orang yang terinfeksi virus
HIV akan mendapatkan kualitas hidup yang bai dan juga mencegah
terjadinya kesakitan dan kematian.

Pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa kepatuhan minum obat


ARV <80% merupakan suatu prediktor bagi kegagalan pengobatan HIV.
Seperti kita ketahui, kepatuhan minum obat ARV dapat dipengaruhi oleh
banyak faktor. Faktor tersebut meliputi jenis kelamin, stigma, sosial
ekonomi, tingkat pendidikan, efek samping obat, interaksi obat, dan pill
burden. Faktor lainnya yaitu pasien merasa penyakitnya tidak akan
sembuh, adanya kecemasan atau depresi, komunikasi alkohol,
penyalahgunaan obat-obatan, dan sebagainya. Suatu studi melaporkan
bahwa sebanyak 70% pasien yang mendapatkan ARV lini pertama denga

19
viral load yang tinggi akan mengalami penurunan viral load setelah
mendapatkan intervensi kepatuhan.

Oleh karenanya, penggantian ARV lini pertama ke ARV lini kedua


masyarakat harus dilakukannya evaluasi kepatuhan. Apabila terdapat
ketidakpatuhan, wajib dilakukan konseling ulang mengenai kepatuhan.
Setelah dilakukan konseling kepatuhan, selanjutnya akan dilakukan
evaluasi selama tiga bulan dengan memakai ARV lini pertama. Apabila
terjadi penurunan viral load mencapai target, ARV lini pertama tidak
diganti. Sebaliknya, bila terdapat kenaikan viral load atau target tidak
tercapai, terapi akan diganti ke ARV lini kedua.

3. Promosi Kesehatan HIV

Beberapa pendekatan inovatif dalam upaya pencegahan HIV & AIDS


perlu dikembangkan. Sebagai mana dinyatakan salah satu dokumen Best
Practice dari badan PBB untuk AIDS UNAITDS (2000), Hanya
memberikan informasi kepada masyarakat umum mengenai bagaimana
cara untuk melindungi dan melawan infeksi HIV telah terbukti tidak
cukup. Masyarakat memerlukan lingkungan yang mendukung untuk
mengurangi kerentanan nya sekaligus memungkinkan mereka untuk
melakukan perubahan perilaku berdasarkan pengetahuan yang telah
mereka peroleh. Dengan begitu, masyarakat akan mampu menciptakan
kondisi lingkungan yang menjadikan isu HIV & AIDS sebagai kepedulian
bersama.

Dokumen UNAIDS (2000) memaparkan pengalaman global yang


menunjukkan bahwa elemen-elemen penting dalam pencegahan HIV
yang efektif antara lain; (1) Peningkatan kesadaran untuk memberikan
informasi dan melawan reaksi negatif di dalam populasi umum; (2) Aksi-
aksi persuasif yang berfokus untuk memenuhi kebutuhan khusus bagi
kelompok rentan dan masyarakat umum; (3) Kemitraan multisektor dan
multilevel untuk memberikan program dan layanan lintas isu; (4)
Pelibatan masyarakat dalam pengembangan program dan intervensi, juga
membangun kemauan dari kelompok atau individu untuk berkontribusi

20
dalam upaya pencegahan di level nasioanal; (5) Integrasi antara
pencegahan dan perawatan untuk mengurangi biaya dan menurunkan
tingkat stigma dan diskriminasi; (6) Aksi untuk membangun resistensi
masyarakat terkait penularan HIV dan mengurangi kerentanan sistematik
pada sebagian individu, kelompok, dan masyarakat.

Pusat promosi kesehatan kemenkes RI bekerja sama dengan


subdirektorat pengendalian AIDS dan Penyakit Menular Seksual telah
mengembangkan sebuah buku pedoman Rencana Operasional Promosi
Kesehatan dalam Pengendalian HIV & AIDS (2011). Pedoman ini berisi
proyeksi rencana lima tahun (2010-2014) untuk diselenggarakan secara
berjenjang di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam upaya
pengendalian HIV & AIDS. Setidaknya terdapat empat strategi yang
dikembangkan dalam upaya pengendalian HIV & AIDS yakni advokasi,
bina suasana. Pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan. Penentuan
keempat strategis tersebut didasarkan pada isu strategis sesuai dengan
situasi epidemi pada kelompok usia muda dan populasi berisiko tinggi.
Keempat strategi kemudian diturunkan menjadi kegiatan-kegiatan yang
bervariasi pada tingkat provinsi hingga ketingkat kabupaten/kota.
Meskipun demikian, apa yang dijabarkan dalam buku pedoman tersebut
dirasakan masih terlalu umum. Kondisi epidemi HIV&AIDS yang
berbeda-beda di tiap daerah tentu memerlukan pendekatan strategi yang
berbeda-beda pula sesuai dengan konteks dan pengalaman yang ada.

Hasil penelitian Tim PKMK FK UGM (2015) bekerja sama dengan


sembilan universitas di delapan provinsi menyatakan bahwa terjadi
kecenderungan respons pencegahan HIV&AIDS di beberapa daerah
memiliki pola yang hampir sama, terkait dengan model intervensi dan
targetnya. Padahal, situasi epideminya berbeda-beda di masing-masing
daerah. Misalnya, di papua dan papua barat, fokus pencegahan masih
tetap menyasar pada populasi kunci dengan target yang sama besarnya
dan model penjangkauan yang sama dengan di daerah di luar papua.
Padahal, situasi epidemi di papua sudah pada kondisi generalized
epidemic.

21
Sampai kini belum ditemukan sebuah model pendidikan masyarakat
yang secara khusus mengantisipasi pola penularan pada populasi umum.
Selama ini jenis-jenis respons pencegahan yang ada di daerah meliputi tes
dan konseling HIV; Program Pencegahan dari Ibu ke Anak (PPIA);
Program Pencegahan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) dengan
pendistribusian kondom; program layanan jarum dam alat suntik steril
(LASS) dan terapi metadon untuk kelompok penasun; serta berbagai
program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang menyasar kepada
populasi umum khususnya remaja, ibu rumah tangga, dan laki-laki
berisiko rendah.

Pengalaman negara Cina dalam upaya pencegahan HIV barangkali


dapat menjadi salah satu referensi untuk pengembangan strategi promosi
kesehatan dalam pencegahan HIV secara memadai. Dengan
menggunakan model logis (logic model), strategi yang diterapkan di cina
dapat meninjau evolusi yan g terjadi di dalam pengelolaan dan
pencegahaan HIV. Logic model merupakan salah satu model perencanaan
untuk menjelaskan maksud dan tujuan sebuah program dan apa yang
diharapkan dapat diselesaikan sekaligus mempunyai dampak. Logic
model dapat meringkas elemen-elemen kunci dari sebuah program,
menjelaskan rasionalisasi di balik kegiatan-kegiatan program yang
dilakukan, menjelaskan hasil-hasil yang diharapkan, serta memberikan
perangkat komunikasi (communication tool). Dari hasil penerapan logic
model di cina, diketahui bahwa intervensi HIV di cina secara khusus
dibagi menjadi dua tahapan, yaitu sebelum dan sesudah 2003,
berdasarkan respons awal secara resmi dari pemerintah cina terhadap
epidemi HIV. Dengan menggunakan strategi-strategi promosi kesehatan
dari piagam Ottawa, logic model yang diterapkan untuk mencegahan dan
manajemen HIV di cina memberikan sebuah ilustrasi secara konseptual
keterkaitan logis antara aksi-aksi yang direncanakan dan hasil-hasil yang
diperkirakan akan tercapai. Tujuan yang ditetapkan dalam logic model
tersebut ialah mengurangi epidemi infeksi HIV dan menyediakan
pengobatan yang layak serta terjangkau bagi siapa saja yang terinfeksi

22
HIV. Untuk mencapai dua tujuan utama itu, aksi-aksi promosi kesehatan
yang perlu dilakukan ialah pendidikan dan komunikasi publik mobilisasi
komunikasi , serta kepemimpinan politik. Harapannya, langkah-langkah
itu bisa menghasilkan pengetahuan yang akurat dan kemampuan personal
praktis yang memadai, terciptakannya lingkungan sosial dan ekonomi
yang mendukung, serta adanya kebijakan publik yang berwawasan
kesehatan. Dengan logika seperti itu, kedua tujuan utama dari pencegahan
dan pengelolaan HIV dapat terwujud kelebihan dari model tersebut ialah
cakupannya yang menyeluruh sehingga dapat memberikan sebuah
gambaran secara luas dari aksi-aksi yang dilakukan dengan hasil yang
diharapkan dalam kerangka yang logis (Nutbeam et al. 2013).

Sebenarnya, pedoman yang telah dikembangkan kemenkes RI


melalui Pusat Promosi Kesehatan telah mengacu pada Piagam Ottawa
untuk Promosi Kesehatan (1986) yang merupakan acuan dasar
pengembangan strategi promosi kesehatan untuk mencapai Health for All.
Strategi utama dalam piagam tersebut ialah mewujudkan kebijakan
kesehatan yang berwawasan kesehatan, menciptakan lingkungan yang
mendukung, penguatan aksi-aksi komunitas, pengembangan kemampuan
personal, dan reorientasi layanan kesehatan (WHO 2009). Tetapi,
penjelasan didalam buku pedoman Rencana Operasional Promosi
Kesehatan untuk Pencegahan HIV&AIDS tampaknya masih memerlukan
perincian secara lebih mendetail, disesuaikan dengan konteks lokal dan
situasi epidemi yang ada di masing-masing daerah sekaligus didasarkan
pada kelompok sasaran tertentu.

Logic model merupakan salah satu alternatif strategi yang dapat


digunakan oleh Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes RI serta pihak-pihak
yang bekerja dibidang upaya penanggulangan HIV&AIDS untuk
membantu merumuskan strategi promosi kesehatan bagi pencegahan HIV
yang lebih efektif sekaligus dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan yang
ada, khususnya bagi populasi umum.

a. Pada PSK (Pekerja Seks Komersial)

23
Voluntary Counseling Testing (VCT) merupakan suatu upaya
pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara
konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah penularan HIV,
memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya
kepada ODHA, keluarga dan lingkungannya (Nursalam dan
Kurniawati, 2007). Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal
sebagai Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan salah
satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke
seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. VCT penting
untuk dilakukan karena mempunyai peran penting yaitu: manajemen
dini infeksi oportunistik dan IMS, serta introduksi ARV, terapi
pencegahan dan perawatan reproduksi, rujukan dukungan sosial dan
budaya, normalisasi HIV/AIDS, penerimaan sero-status, coping dan
perawatan diri, memfasilitasi perubahan perilaku, memfasilitasi
intervensi Mother To Child Transmission (Kepmenkes RI, 2005).

b. Pada Ibu dan Anak

Memberikan informasi kepada klien bagamaina cara menjalani


kehamilan dengan HIV positif mulai dari proses persalinan hingga
bayi dilahirkan agar bayi tidak tertular HIV
1) Bersalin disarankan dengan SC
2) Tidak boleh memberi asi kepada bayi karena HIV dapat tertular
melalui asi ibu.
c. Pada Pasien Di Rumah Sakit
Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan
yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV
dan menghilangkan stigma serta diskriminasi. Strategi promosi
kesehatan dapat dicapai dalam bentuk advokasi, bina suasana,
pemberdayaan masyarakat dan kemitraan seusuai dengan kondisi
social budaya serta didukung kebijakan publik.

Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada


individu, keluarga atau kelompok secara terus menerus dan

24
berkesinambungan mengikuti perkembangan klien, agar menjadi tahu
atau sedar, daripada tidak mau menjadi mampu melakukan perilaku
yang diperkenalkan. Terbagi atas tiga, pemberdayaan individu,
keluarga dan kelompok. Sebagainya contohnya, memberikan
informasi umum tentang penyakit menular HIV ini dan bahaya
melakukan seks bebas kepada remaja dan usia muda, dan
memberikan contoh cara hidup tokoh sebagai panutan. Daripada
ramai individu, atau keluarga yang sadar, seterusnya dihimpunkan
dalam proses pemberdayaan kelompok. Pemberdayaan lebih berhasil
jika dilaksanakan melalui kemitraan seperti lembaga swadaya
masyarakat (NGO) yang bergerak dan peduli terhadap kesehatan.
Kerjasama yang baik harus digalang agar pembedayaan masyarakat
dapat berdayaguna Bina suasana adalah upaya menciptakan
lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat
untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan.

Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila


lingkungan sosial di mana pun ia berada. Dalam bina suasana
individu, tokoh-tokoh masyarakat menjadi panutan dalam hal
perilaku yang sedang diperkenalkan. Sebagai contoh, ada seorang
tokoh agama yang melarang narkoba kerana membawa kepada HIV-
AIDS. Dalam bina suasana kelompok, perkumpulan seperti Rukun
Tetangga, organisasi Profesi, organisasi siswa, pemuda dakan
dilakukan bersama tokoh. Dalam bina suasana publik, melalui
pengembangan kemitraan dan pemanfaatan media komunikasi seperti
radio, televisi, internet sehingga dapat tercipat pendapat umum. Hal
ini dapat dibuat dengan iklan layanan masyarakat, kampanye
penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko penularan
penyakit, promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda. Advokasi
adalah upaya strategis daa terencana untuk mendapatkan komitmen
dan dukungan dari pihak yang terkait (stakeholder).

Pihak yang terkait adalah tokoh masyarakat yang berperan


sebagai narasumber (opinion leader) atau penentu kebijakan atau

25
penyandang dana. Juga berupa kelompok dalam masyarakat dan
media massa yang dapat berperan dalam menciptakan suasana
kondusif, opini publik dan dorongan. Kemitraan perlu digalang antar
individu, keluarga, pejabat atau instansi pemerintah yang terkait
dengan urusan kesehatan (lintas sektor),pemuka atau tokoh
masyarakat, media massa dan lain-lain. Kemitraan harus
berlandaskan pada tiga prinsip dasar yaitu, kesetaraan, keterbukaan
dan saling menguntungkan.

4. Peraturan Mentri Kesehatan Terkait Pengendalian HIV

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2017


Tentang Eliminasi Penularan Human Immunodeficiency Virus, Sifilis,
Dan Hepatitis B Dari Ibu Ke Anak.

a. BAB I Ketentuan Umum

1) Pasal 1

a) Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat


HIV adalah virus yang menyerang sistem imun dan jika tidak
diterapi dapat menurunkan daya tahan tubuh manusia hingga
terjadi kondisi Acquired Immuno Deficiency Syndrome
(AIDS).

b) Sifilis adalah salah satu jenis infeksi menular seksual yang


disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum.

c) Hepatitis Virus B yang selanjutnya disebut Hepatitis B


adalah penyakit menular dalam bentuk peradangan hati yang
disebabkan oleh virus Hepatitis B.

d) Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B yang


selanjutnya disebut Eliminasi Penularan adalah pengurangan
penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak.

e) Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang


memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik

26
Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

f) Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur


penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom.

g) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan


pemerintahan di bidang kesehatan.

2) Pasal 2

a) Memutus penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke


anak;

b) Menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian


akibat HIV, Sifilis, dan Hepatitis B pada ibu dan anak; dan

c) Memberikan acuan bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah


Daerah, tenaga kesehatan, dan pemangku kepentingan lain
dalam penyelenggaraan Eliminasi Penularan.

b. BAB II Target dan Strategi

1) Pasal 3

a) Pemerintah Pusat menetapkan target program Eliminasi


Penularan pada tahun 2022.

b) Target sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan indikator


berupa infeksi baru HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B pada
anak kurang dari atau sama dengan 50/100.000 (lima puluh
per seratus ribu) kelahiran hidup.

c) Untuk mewujudkan target program Eliminasi Penularan


sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan: (1) penetapan
dan pelaksanaan strategi Eliminasi Penularan; (2) penetapan

27
dan pelaksanaan peta jalan; dan (3) intensifikasi kegiatan
Eliminasi Penularan.

2) Pasal 4

Strategi program Eliminasi Penularan meliputi:

a) Peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan bagi ibu


dan anak sesuai dengan standar;

b) Peningkatan peran fasilitas pelayanan kesehatan dalam


penatalaksanaan yang diperlukan untuk Eliminasi Penularan;

c) Peningkatan penyediaan sumber daya di bidang kesehatan;

d) Peningkatan jejaring kerja dan kemitraan serta kerjasama


lintas program dan lintas sektor; dan

e) Peningkatan peran serta masyarakat.

3) Pasal 5

Peta jalan dalam pelaksanaan Eliminasi Penularan meliputi:

a) Akses terbuka pada tahun 2018-2019;

b) PraEliminasi Penularan pada tahun 2020-2021;

c) Eliminasi Penularan pada tahun 2022; dan

d) Pemeliharaan pada tahun 2023-2025.

4) Pasal 6

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan target, strategi, dan


peta jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan
Pasal 5 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

c. BAB III Kegiatan Eliminasi Penularan

1) Pasal 7

28
Penyelenggaraan Eliminasi Penularan dilakukan melalui kegiatan:

a) Promosi kesehatan;

b) Surveilans kesehatan;

c) Deteksi dini; dan/atau

d) Penanganan kasus.

2) Pasal 8

a) Kegiatan promosi kesehatan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 7 huruf a dilaksanakan dengan strategi advokasi,
pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan,
yang ditujukan untuk: (1) meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang manfaat deteksi dini penularan HIV,
Sifilis, dan Hepatitis B; (2) meningkatkan pengetahuan dan
tanggung jawab ibu hamil sampai menyusui, pasangan
seksual, keluarga, dan masyarakat, untuk kesehatan bayinya
termasuk perilaku hidup bersih dan sehat, serta pemberian
makanan pada bayi; dan (3) meningkatkan peran serta
masyarakat untuk turut serta menjaga keluarga sehat sejak
dari kehamilan.

b) Kegiatan promosi kesehatan dilaksanakan sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Pasal 9

a) Surveilans kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7


huruf b dilaksanakan dengan melakukan pencatatan,
pelaporan, dan analisis data ibu hamil dan anak yang
terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B, sebagai dasar
pelaksanaan Eliminasi Penularan.

29
b) Pencatatan, pelaporan, dan analisis data sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan sistem informasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

4) Pasal 10

a) Deteksi dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c


dilakukan oleh tenaga kesehatan di setiap fasilitas pelayanan
kesehatan.

b) Deteksi dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan


melalui pemeriksaan darah pada ibu hamil paling sedikit 1
(satu) kali pada masa kehamilan.

5) Pasal 11

a) Penanganan kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7


huruf d ditujukan bagi: (1) setiap ibu hamil sampai menyusui
yang terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B; dan (2)
bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau
Hepatitis B.

b) Penanganan bagi ibu hamil sampai menyusui yang terinfeksi


HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 huruf a dilaksanakan berdasarkan tata laksana
kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. (1) Penanganan bagi bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf b dilakukan melalui pemberian
kekebalan (imunisasi), profilaksis, diagnosis dini, dan/atau
pengobatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

6) Pasal 12

Dalam penanganan kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,


setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus menerapkan

30
pencegahan dan pengendalian infeksi yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

7) Pasal 13

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan


kegiatanmEliminasi Penularan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

d. BAB IV Tanggung Jawab Pemerintah Pusat Dan Pemerintah


Daerah

1) Pasal 14

a) Dalam rangka Eliminasi Penularan, Pemerintah Pusat


bertanggung jawab: (1) membuat kebijakan dalam pelayanan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif; (2) melakukan
bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan
Eliminasi Penularan; (3) menyediakan obat dan alat
kesehatan yang diperlukan dalam pelaksanaan Eliminasi
Penularan; (4) meningkatkan kapasitas tenaga pelaksana
Eliminasi Penularan; (5) melakukan kerja sama regional dan
global dalam pelaksanaan Eliminasi Penularan; dan (6)
melakukan evaluasi status Eliminasi Penularan di provinsi
dan kabupaten/kota.

b) Dalam rangka Eliminasi Penularan, Pemerintah Daerah


provinsi bertanggung jawab: (1) membuat dan melaksanakan
kebijakan dalam pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif di tingkat provinsi dengan berpedoman pada
kebijakan nasional; (2) melakukan bimbingan teknis,
pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan Eliminasi Penularan;
(3) mendistribusikan obat dan alat kesehatan yang diperlukan
dalam pelaksanaan Eliminasi Penularan; (4) meningkatkan
kapasitas tenaga pelaksana Eliminasi Penularan; (5)

31
menjamin ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam
pelaksanaan Eliminasi Penularan sesuai dengan
kewenangannya; (6) melakukan evaluasi status Eliminasi
Penularan di kabupaten/kota; dan (7) melakukan penetapan
dan evaluasi status Eliminasi Penularan di provinsi.

c) Dalam rangka Eliminasi Penularan, Pemerintah Daerah


kabupaten/kota bertanggung jawab: (1) membuat dan
melaksanakan kebijakan dalam pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif di tingkat kabupaten/kota
dengan berpedoman pada kebijakan nasional; (2) melakukan
bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan
Eliminasi Penularan; (3) mendistribusikan obat dan alat
kesehatan yang diperlukan dalam pelaksanaan Eliminasi
Penularan; (4) meningkatkan kapasitas tenaga pelaksana
Eliminasi Penularan; (5) menjamin ketersediaan sumber daya
yang diperlukan dalam pelaksanaan Eliminasi Penularan
sesuai dengan kewenangannya; dan (6) melakukan evaluasi
dan penetapan status Eliminasi Penularan di kabupaten/kota.

e. BAB V Sumber Daya

1) Pasal 15

Dalam rangka Eliminasi Penularan diperlukan dukungan:

a) sumber daya manusia;

b) sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan

c) pendanaan.

2) Pasal 16

a) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15


huruf a merupakan tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

32
b) Selain tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dalam pelaksanaan Eliminasi Penularan dapat melibatkan
masyarakat.

3) Pasal 17

Sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 15 huruf b paling sedikit meliputi obat dan bahan medis
habis pakai sesuai dengan tata laksana kasus dari
masing-masing penyakit.

4) Pasal 18

Pendanaan Eliminasi Penularan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 15 huruf c bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau
sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

5) Pasal 19

Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

f. BAB VI Pencatatan Dan Pelaporan

1) Pasal 20

a) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan


kegiatan Eliminasi Penularan wajib melakukan pencatatan
dan pelaporan.

b) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) paling sedikit meliputi: (1) jumlah ibu hamil yang
diperiksa; (2) jumlah ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis,
dan/atau Hepatitis B; (3) jumlah ibu hamil terinfeksi HIV,

33
Sifilis, dan/atau Hepatitis B yang mendapatkan tata laksana;
(4) jumlah bayi lahir dari ibu terinfeksi; (5) jumlah bayi lahir
dari ibu terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B yang
diperiksa; (6) jumlah bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV,
Sifilis, dan/atau Hepatitis B yang mendapatkan tata laksana;
(7) jumlah bayi terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B;
dan h. jumlah bayi terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis
B yang mendapatkan tata laksana.

c) Untuk menjamin tata laksana komprehensif memadai,


pencatatan dan pelaporan ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis,
dan/atau Hepatitis B dilaporkan secara individual dalam
sistem informasi.

d) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1


disampaikan kepada dinas kesehatan daerah kabupaten/kota,
dinas kesehatan daerah provinsi, dan
Kementerian Kesehatan secara berjenjang.

e) Hasil pencatatan dan pelaporan digunakan sebagai bahan


dalam menyiapkan tindak lanjut dan validasi Eliminasi
Penularan.

2) Pasal 21

Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan dan pelaporan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

34
g. BAB VII Pemantauan Dan Evaluasi

1) Pasal 22

a) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan


pemantauan dan evaluasi kegiatan Eliminasi Penularan
secara berkala paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali.

b) Pemantauan dan evaluasi Eliminasi Penularan sebagaimana


dimaksud pada ayat 1 ditujukan untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan Eliminasi Penularan.

c) Dalam penilaian keberhasilan pelaksanaan Eliminasi


Penularan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan sertifikat
Eliminasi Penularan sebagai penghargaan atas keberhasilan
Eliminasi Penularan.

2) Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

h. BAB VIIII Pembinaan Dan Pengawasan


1) Pasal 24

a) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Eliminasi


Penularan dilakukan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan
daerah provinsi, dan kepala dinas kesehatan daerah
kabupaten/kota, sesuai kewenangan masingmasing.

b) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada


ayat 1 dapat melibatkan organisasi profesi dan instansi
terkait.

35
c) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 diarahkan untuk: (1) mencapai target Eliminasi
Penularan; (2) meningkatkan kualitas penyelenggaraan
Eliminasi Penularan termasuk pelaksanaan deteksi dini; (3)
meningkatkan komunikasi dan koordinasi untuk
kesinambungan program; dan (4) menjamin akuntabilitas
kinerja.

d) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada


ayat 1 dilakukan melalui: (1) sosialisasi dan bimbingan
teknis; (2) pemantauan dan evaluasi; dan (3) pelatihan teknis
dan manajemen.

i. BAB IX Ketentuan Penutup

1) Pasal 25

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.

C. Lembaga Pemerintahan Terkait HIV Di Indonesia

Adapun peranan yang dilakukan oleh KPA Kota Samarinda yaitu:


Mengadvokasikan khusus pada lembaga pemerintahan (contohnya DPRD dan
berbagai lembaga yang berhubungan dengan kegiatan KPA) , mengadakan
pelatihan kepada remaja dalam memberikan penyuluhan, mengadakan
kegiatan pengembangan media dalam rangka memperkenalkan dan lebih
memahami lebih jauh tentang HIV/AIDS dan program-program KPA yaitu
melalui komunikasi atau dialog secara langsung, menjangkau atau melakukan
pendekatan terhadap individu atau kelompok yang sulit diberikan penyuluhan
(contohnya pengguna narkoba dan narapidana), khotbah dan talkshow.

Struktural fungsionalisme berjalan melalui individu-individu sebagai


aktor dengan menjalankan fungsi dan peranya masing-masing melalui bentuk
adaptasi terhadap subsistem struktural fungsionalisme, yang menghasilkan

36
sebuah tindakan (unit aksi). Dari unit aksi inilah kemudian terjadi sistem aksi
dimana masyarakat telah menemukan tujuan dari aksi tersebut. Sehingga
terbentuklah sebuah tatanan masyarakat dengan keunikannya tersendiri.
Nantinya, akan mengalam perubahan yang lebih kompleks.

Penanggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan,


meliputi kegiatan pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi. Infeksi
HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang dan
hingga saat ini belum ditemukan obat yang efektif, maka pencegahan dan
penularan menjadi sangat penting terutama melalui pendidikan kesehatan dan
peningkatan pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV dan cara
penularannya. Seperti diketahui, penyebaran virus HIV melalui hubungan
seks, jarum suntik yang tercemar, transfuse darah, penularan dari ibu ke anak
maupun donor darah atau donor organ tubuh, maka upaya pencegahannya
sebagai berikut:

1. Melakukan tindakan seks yang aman dengan pendekatan “ABC”


(Abstinent, Be Fithful, Condom), yaitu tidak melakukan aktivitas
(Abstinent) merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan
HIV melalui hubungan seksual, tidak berganti-ganti pasangan (be
faithful), dan penggunaan kondom (use condom).
2. Mencegah perluasan epidemic HIV dari kelompok IDU ke masyarakat
luas bayi-bayi yang di kandungnya. Untuk mencegah dampak buruk dari
narkotika (harm reduction) maka strategi yang ditambahkan adalah
membantu penyalahgunaan NAPZA untuk berhenti menggunakan
NAPZA (abstinent), mengusahakan agar selalu memakai jarum suntik
yang steril dan tidak independent.
3. Pemahaman dan penerapan kewaspadaan universitas (universal
precaution) di sarana pelayanan kesehatan untuk mengulangi resiko
infeksi yang di tularkan melalui darah. Kewaspadaan universal, meliputi:
a. cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah
melakukan tindakan/perawatan.
b. penggunaan alat pelindung yang sesui untuk setiap tindakan.
c. pengelolaan dan pembuangan alat-alat tajam dengan hati-hati.

37
d. pengelolaan limbah yang tercemar darah/cairan tubuh dengan aman.
e. pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan
dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi yang benar.
4. Melakukan skrining adanya antibody HIV untuk mencegah penyebaran
melalui darah, produk darah, dan donor darah.
5. Mencegah penyebaran HIV secara vertical dari ibu yang terinfeksi HIV
ke anak yang dapat terjadi selama kehamilan, saat persalinan, dan saat
persalinan, dan saat menyusui. WHO mencenangkan empat strategi
pencegahan penularan HIV terhadap bayi, yaitu : 1) Mencegah seluruh
wanita jangan sampai terinfeksi HIV, 2) bila sudah terinfeksi HIV, cegah
jangan sampai ada kehamilan yang tidak diinginkan, 3) bila sudah hamil,
cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya, 4) bila ibu dan anak sudah
terinfeksi perlu diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan
keluarganya.
6. Layanan Voluntary Counseling & testing (VCT), yakni merupakan
program pencegahan sekaligus jembatan untuk mengakses layanan
manajemen kasus (MK) dan CST (Care, Support, Trade) atau perawatan,
dukungan, dan pengobatan bagi ODHA. Layanan VCT meliputi pre test
konseling, testing HIV, dan post-test konseling. Kegiatan tes dan hasil test
dijalankan atas dasar prinsip kerahasiaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penanggulangan


penyakitnya yaitu melakukan tindakan seks yang aman dengan pendekatan
“ABC”, mencegah perluasan epidemic HIV kelompok idu ke masyarakat
luas, pemahaman dan penerapan kewaspadaan universal (universal
precaution) di sarana pelayanan kesehatan, melakukan skrining adanya anti-
bodi HIV, mencegah penyebaran HIV secara vertical dari ibu yang terinfeksi
HIV ke anak yang dapat terjadi selama kehamilan, dan layanan voluntary
counseling & testing (VCT).

38
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Kebijakan Indonesia

1. Pencegahan

Di Indonesia sendiri mengeluarkan kebijakan pencegahan sebagai


kebijakan pertama yang programnya berupa melakukan komunikasi
informasi dan edukasi pada populasi kunci terutama dalam mengetahui
bahayanya HIV AIDS. Pemerintah memperhatikan kelompok masyarakat
rentan termasuk kelompok marginal, serta perhatian terhadap nilai-nilai
agama dan budaya, norma masyarakat Indonesia dalam upaya
pencegahan. Peningkatan pengetahuan untuk pendidikan formal dan non
formal maupun pendidikan umum dan agama dilakukan dengan
mengintegrasikan materi HIV AIDS secara sistematis. Untuk
melaksanakan hal tersebut perlu dilakukan peningkatan kemampuan bagi
tenaga pendidik, tutor, pelatih, tenaga pembimbing, birokrat dan

39
pimpinan unit kerja yang dapat menerusaknnya kepada bawahan dan anak
didiknya. Untuk dapat melaksanakan kegiatan KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi) dengan baik, perlu meningkatkan kemampuan
tenaga yang berada di barisan terdepan seperti tenaga kesehatan, pekerja
social, penyuluh lapangan, guru, pelatih utama dan lain lain. Upaya
pencegahan pada populasi beresiko tinggi seperti Penjaja Seks (PS) dan
pelanggannya, ODHA dan pasangannya, penyalahguna Napza, dan
petugas yang karena pekerjaannya beresiko terhadap penularan
HIV/AIDS melalui pencegahan yang efektif seperti penggunaan kondom,
penerapan pengurangan dampak buruk (harm reduction), penerapan
kewaspadaan umum (universal precautions) dan sebagainya. Kegitan-
kegiatan dalam program pencegahan:

a. Meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi.

b. Menurunkan kerentanan.

c. Meningkatkan penggunaan kondom (namun menuai kontroversi).

d. Meningkatkan penyediaan darah yang aman untuk transfuse.

e. Meningkatkan upaya penurunan prevalensi infeksi menular seksual.

f. Meningkatkan upaya pencegahan penularan dari ibu dengan HIV


kepada bayinya.

g. Meningkatkan penerapan kewaspadaan universal.

h. Meningkatkan upaya pengurangan penularan HIV pada


penyalahgunaan napza suntik.

i. Perawatan, pengobatan dan dukungan terhadap ODHA.

Salah satu keputusan penting dalam sidang PBB yang khusus


membahas HIV/AIDS (UNGASS) pada tahun 2001 adalah perlunya
memperluas pelayanan, perawatan dan dukungan terhadap ODHA serta
melindungi hak-hak azasi mereka (mencegah, mengurangi dan
menghilangkan stigma dan diskriminasi). Upaya pelayanan perawatan,

40
pengobatan dan dukungan terhadap ODHA dilakukan baik melalui
pendekatan klinis maupun pendekatan berbasis masyarakat dan keluarga
(community and home–based care) serta dukungan pembentukan
persahabatan ODHA.(Komisi Penanggulangan AIDS, 2016) Kegiatan-
kegiatan nya berupa meningkatkan pelaksanaan Advokasi kepada
pengambil keputusan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan
penyediaan obat, dukungan terhadap ODHA tanpa adanya diskriminasi
terhadap ODHA dalam masa perawatan dan pengobatan. c. Lingkungan
Kondusif Upaya komunikasi, informasi dan edukasi dalam
penanggulangan HIV AIDS telah dilakukan dalam kegiatan pencegahan
namun masih sering terjadi diskirminasi terhadap penderita HIV AIDS,
perlunya pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan
yang kondusif untuk proses penyembuhan agar tidak menjadi hambatan
bagi penanggulangan dalam kasus ini. Kegiatan dalam program ini di
antaranya melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat agar tidak terjadi
stigma dan diskriminasi serta pelanggaran hak azasi terhadap ODHA dan
keleuarganya. Kesinambungan Penanggulangan Agar tujuan dari
penanggulangan HIV AIDS ini dapat dicapai, harus adanya kerjasama
antara Pemeirntah pusat dan daerah, serta lembaga swadaya masyarakat
serta masyarakat itu sendiri dalam mencapai tujuan bersama demi
mengurangi masalah sosial yang terjadi. Perlunya komitmen yang tinggi
dan kepemimpinan yang kuat pada semua tingkat untuk mendorong pihak
yang terlibat dalan pemanggulangan ini, kegitan nya antara lain
melakukan advokasi, pelatihan pendidikan, peningkatan mutu dan sarana,
serta pendanaan dalam menjalankan program.

B. Kebijakan Thailand

Thailand merupakan bagian dari perserikatan negara-negara di asia


tenggara, dengan kondisi negara yang lebih maju jika dibandingkan dari negar
alainnya, kemajuan Thailand ini terutama dari bidang pariwisatanya yang
menjadi pesona dari negara gajah putih ini, namun negara ini juga dikenal
dengan wisata dunia malamnya yang gemerlap, termasuk prostitusi, sehingga
menyebabkan negara ini menghadapi masalah HIV AIDS yang cukup serius,

41
pada tahun 2016 menurut data UNAIDS dimana Of Thailand‟s population of
more than 60 million, in 2016 it was estimated that 450,000 people were
living with HIV and that 6,400 people died of AIDS-related illnesses.1 After
sub-Saharan Africa, Asia and the Pacific is the region with the largest number
of people living with HIV, with Thailand accounting for approximately
9%.(UNAIDS, 2017) dalam kasus ini.

Thailand mengeluarkan kebijakan dalam menanggulangi HIV AIDS


sebagai berikut:

1. Pencegahan

Di Thailand sendiri, penularan HIV AIDS banyak melalui seks bebas


baik melalui prostitusi, hubungan sesama jenis terutama (men who have
sex with men) serta penggunaan jarum suntik atau narkoba, transgender,
dalam kebijakan ini pemerintah Thailand mengeluarkan kebijakan dimana
mensosialisasikan sex aman dengan menggunakan kondom, serta
melakukan pencegahan dengan mensosialisasikan pentingnya melakukan
pemeriksaan setiap bulannya pada pekerja sex komersial. Dalam
kebijakan pencegahan, Thailand melakukan program tes HIV AIDS
terutama bagi populasi kunci ( anak muda dibawa usia 25 tahun) dimana
jika hasil dari tes tersebut mereka terinfeksi HIV, agar segera melakukan
perawatan dan pengobatan. Serta pendekatan yang lebih sistematis
terhadap pendidikan

2. Perawatan dan Pengobatan

Dukungan terhadap ODHA Dalam kebijakan perawatan dan


pengobatan, dimana program dari kebijakan ini Thailand memberikan
pengobatan antiretroviral (ART) secara gratis sebagai bagian dari skema
asuransi kesehatan dari Negara. Setelah itu program lainnya dimana orang
yang telah di diagnosis terkena virus HIV AIDS untuk segera menerima
perawatan dan pengobatan. Dalam program dukungan terhadap ODHA,
dimana Thailand sendiri memiliki rumah Hospice sebagai tempat ODHA
(orang dengan HIV/AIDS), dimana ini merupakan bentuk kepedulian

42
pemerintah yang memberikan praktik langsung kepada masyarakat,
sehingga kesadaran pun timbul di tengah masyarakat akan pencegahan
virus HIV ini perlu nya dukungan terhadap penderita nya dalam
menjalani proses penyembuhan. Sehingga mereka bisa merasa bahwa
mereka sama dengan masyarakat normal lainnya, dan dengan adanya
dukungan tersebut membuat proses pengobatan lebih kondusif.

3. Kerjasama Dalam Penanggulangan Dan Menciptakan Lingkungan


Yang Kondusif Bagi ODHA

Dalam peroses penanggulangan perlunya kerjasama antara


pemerintah masyarakat dan keluarga, dan dalam proses penyembuhan
perlunya ditanamkan pemahaman agama bagi ODHA, dimana
menanamkan nilai dan norma-norma yang perlu ditanamkan kembali
pada penderita untuk merubah hidup sehat, dan selama ODHA melakukan
perawatan dan pengobatan di rumah Hospice dimana diharapkan keluarga
tidak hanya menitipkan mereka untuk sembuh disana, namun mereka
(penderita hiv aids) juga membutuhkan dukungan moral dari keluarga
seperti melakukan kunjungan pada mereka sebagai bentuk perhatian dan
dukungan terhadap mereka. Kehadiran keluarga untuk selalu siap sedia
sangat dibutuhkan oleh seorang yang dinyatakan positif HIV AIDS.
Dukungan keluarga yang minim pada hospice untuk ODHA menjadi
kelemahan bagi ODHA untuk peningkatan kualitas hidup penderita.
Meredanya virus HIV/AIDS di Thailand terbentuk karena kesinergisan
dari masyarakat, pemerintah, dan biksu sebagai pihak yang menjangkau
perwujudan Thailand bebas HIV/AIDS. Masyarakat sebagai komponen
utama yang harus disamakan persepsinya dalam mengatasi masalah
HIV/AIDS ini memang memiliki kesadaran akan bahaya yang
ditimbulkan akibat pola perilaku individu yang melanggar norma dan
lingkungan sehingga mengakibatkan seseorang terinfeksi virus.(Avert,
2017).

PERBANDINGAN KASUS HIV/ AIDS


THAILAND INDONESIA
Populasi 450.000 orang 10.376 orang

43
Cara Prostitusi, lgbt, jarum Penjaja seks (PS) dan pelanggangnya,
penularan suntik,narkoba, transgender ODHA dan pasangannya, penyalahgunaan
narkoba, jarum suntik.
Cara Pemerintah thailand Melakukan komunikasi informasi dan
pencegahan mensosialisasikan pentingnya edukasi pada populasi kunci terutama dalam
melakukan pemeriksaan setiap mengetahui bahayanya HIV/AIDS dan
bulannya pada pekerja sex pencegahan yang efektif seperti penggunaan
komersial kondom,penetapan pengurangan dampak
buruk, penerapan kewaspadaan umum.
Pengobatan Pemerintah thailand memberikan Pengobatan terhadap ODHA dilakukan
pengobatan antiretroviral (ARV) melalui pendekatan klinis maupun
secara gratis. Thailand sendiri pendekatan berbasis masyarakat dan
juga memiliki Hospice sebagai keluarga (comunity and home-based care)
tempat ODHA, dimana ini serta dukungan pembentukan persahabatan
merupakan bentuk kepedulian ODHA
pemerintah yang memberikan
praktik langsung kepada
masyarakat, sehingga
kesadaranpun timbul ditengah
masyarakat akan pencegahan
virus HIV ini perlunya dukungan
terhadap penderitanya dalam
menjalani proses penyembuhan.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

44
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sel
darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya
kekebalan tubuh manusia. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan
tubuh. Akibat menurunya kekebalan tubuh pada seseorang yang
mengakibatkan orang tersebut sangat mudah terkena penyakit TBC,
kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan
kanker.Isu yang terkait dengan HIV/AIDS danmendapatkan hasil Sesuai data
yang dilaporkan ke Dinkes Papua, hingga akhir Juni 2018 tercatat sudah
37.991 warga di Papua terinfeksi HIV-AIDS. Kasus terbanyak ditemukan di
wilayah Nabire dan beberapa kabupaten di Papua seperti Jayawijaya, Mimika
dan Jayapura.
Preventif Ending AIDS 2030 merupakan target dunia yang dipancangkan
sebagai salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
sudah banyak upaya penangulangan HIV & AIDS yang telah dilakukan oleh
banyak pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah dengan berbagai
kebijakan dan program, masyarakat sipil, sektor swasta, dan mitra
pembangunan internasional, untuk mencapai target tersebut.
Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan terapi terbaik
bagi pasien terinfeksi Human immunodeficiency Virus (HIV) hingga saat ini.
Tujuan utama pemberian ARV adalah untuk menekan jumlah virus (viral
load), sehingga akan mengatakan status imun pasien HIV dan mengurangi
kematian akibat infeksi oportunistik.
Penanggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan,
meliputi kegiatan pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi. Infeksi
HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang dan
hingga saat ini belum ditemukan obat yang efektif, maka pencegahan dan
penularan menjadi sangat penting terutama melalui pendidikan kesehatan dan
peningkatan pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV dan cara
penularannya.
Pusat promosi kesehatan kemenkes RI bekerja sama dengan subdirektorat
pengendalian AIDS dan Penyakit Menular Seksual telah mengembangkan

45
sebuah buku pedoman Rencana Operasional Promosi Kesehatan dalam
Pengendalian HIV & AIDS (2011). Pedoman ini berisi proyeksi rencana lima
tahun (2010-2014) untuk diselenggarakan secara berjenjang di pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota dalam upaya pengendalian HIV & AIDS. Kegitan-
kegiatan dalam program pencegahan:
a. Meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi.

b. Menurunkan kerentanan.

c. Meningkatkan penggunaan kondom (namun menuai kontroversi).

d. Meningkatkan penyediaan darah yang aman untuk transfuse.

e. Meningkatkan upaya penurunan prevalensi infeksi menular seksual.

f. Meningkatkan upaya pencegahan penularan dari ibu dengan HIV kepada


bayinya.

g. Meningkatkan penerapan kewaspadaan universal.

h. Meningkatkan upaya pengurangan penularan HIV pada penyalahgunaan


napza suntik.

i. Perawatan, pengobatan dan dukungan terhadap ODHA.

Thailand merupakan bagian dari perserikatan negara-negara di asia


tenggara, dengan kondisi negara yang lebih maju jika dibandingkan dari negar
alainnya, kemajuan Thailand ini terutama dari bidang pariwisatanya yang
menjadi pesona dari negara gajah putih ini, namun negara ini juga dikenal
dengan wisata dunia malamnya yang gemerlap, termasuk prostitusi, sehingga
menyebabkan negara ini menghadapi masalah HIV AIDS yang cukup serius,
pada tahun 2016 menurut data UNAIDS dimana Of Thailand‟s population of
more than 60 million, in 2016 it was estimated that 450,000 people were
living with HIV and that 6,400 people died of AIDS-related illnesses.
Dukungan terhadap ODHA Dalam kebijakan perawatan dan pengobatan,
dimana program dari kebijakan ini Thailand memberikan pengobatan
antiretroviral (ART) secara gratis sebagai bagian dari skema asuransi
kesehatan dari Negara. Thailand sendiri memiliki rumah Hospice sebagai

46
tempat ODHA (orang dengan HIV/AIDS), dimana ini merupakan bentuk
kepedulian pemerintah yang memberikan praktik langsung kepada
masyarakat, sehingga kesadaran pun timbul di tengah masyarakat akan
pencegahan virus HIV ini perlu nya dukungan terhadap penderita nya dalam
menjalani proses penyembuhan.
Dalam proses penyembuhan perlunya ditanamkan pemahaman agama
bagi ODHA, dimana menanamkan nilai dan norma-norma yang perlu
ditanamkan kembali pada penderita untuk merubah hidup sehat, dan selama
ODHA melakukan perawatan dan pengobatan di rumah Hospice dimana
diharapkan keluarga tidak hanya menitipkan mereka untuk sembuh disana,
namun mereka (penderita hiv aids) juga membutuhkan dukungan moral dari
keluarga seperti melakukan kunjungan pada mereka sebagai bentuk perhatian
dan dukungan terhadap mereka.
B. Saran

Penulis menyadari bahwa dalam makalah diatas banyak sekali kesalahan


dan jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap bahwa pembaca dapat mengerti
dan dapat menggunakan makalah dengan baik .Dan kami berharap
masyarakat dapat mengetahui perbedaan dan daat belajar dari negara lain.
Kami sangat berharap keritikan dan saran dari masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

47
Antono Suryoputro. (2012) Perilaku Ibu Hamil Untuk Tes HIV Di Kelurahan
Bandar Harjo. Jurnal Promosi Kesehatan 7 (01) 74-85.

Chintia, Riski, Aili, Aidilia. (2013) Promosi Kesehatan Untuk Mengurangi


Transmisi Dari Ibu Ke Anak Jurnal kesehatan. Hal 1-29

Marlina Suryanto. (2010) Perilaku Pekerja Seks Komersial Dalam Penggunaan


Kondom Untuk Pencegahan Transmisi HIV/AIDS Di Lokalisasi
Teleju Kota Pekanbaru. Jurnal Kesehatan Komunitas Vol 01 (01). 21-
31.

Ria Puspita Sari. (2016). Hubungan Pengetahuan, Sikap HIV/AIDS Dan VCT
serta Peran Petugas. Jurnal Kesehatan Hal 1-13.

Revlinur Rahmawati (2018). Perbandingan Kebijakan Pemerintah Indonesia-


Thailand Dalam Menanggulangi HIV/AIDS . APPPTMA. 138-147.

Sujamoko Agung Stephanus. 2015. Sehat Dan Sukses Dengan HIV/AIDS.


Jakarta : PT. Gramedia.

Teguh H.Kariyadi (2017). Keberhasilan Pengobatan Antiretroviral (ARV). Jurnal


penyakit Dalam Indonesia.04 (01). 1-3.

Tim PKMK FK UGM. 2016. Catatan Atas Kebijakan dan Program HIV&AIDS
Di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Kebijakan dan Manajemen
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Wirda Agistin (2013). Peranan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Dalam


Penanggulangan HIV/AIDS Di Kota Samarinda, Jurnal ilmu
Pemerintah. 1(04), 1.434-1.443.

48

Anda mungkin juga menyukai