Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KAIDAH FIQIH

KAIDAH FIQIH PADA MASA IMAM HANAFI DAN MALIKI


Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Kaidah Fiqih

Dosen
Isnatin Ulfah, M.HI

Disusun Oleh
Muhammad Rosyid Ridho 210116003

Kelas SA.A
JURUSAN AKHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2017 / 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam agama Islam, apabila dalam menetapkan hukum tidak


ditemukan dalam Al-Qur’an, Hadits, dan ijma’maka para ulama’ mengambil
sumber-sumber hukum lain seperti qiyas, istihsan, istishab, maslahah
mursalah, dan syar’u man qoblana. Dalam menetapkan sumber hukum
islam ini, para ulama’ berbeda pendapat. Mereka juga berbeda pendapat
dalam menetapkan kaidah-kaidahnya. Perbedaan dalam kaidah ini juga
menimbulkan madzab-madzab yang beragam sesuai keyakinan dan
pendapat masing-masing ulama’.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa ulama’ pelopor dari madzab-
madzab adalah Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam
Hambali dan imam-imam lain yang masih banyak lagi, akan tetapi
madzabnya tidak berkembang lagi pada masa sekarang ini. Para imam
tersebut mempunyai kaidah-kaidah tersendiri dalam mengistimbatkan
ataupun menetapkan hukum atas suatu persoalan yang ada.
Dimulai dari Imam Hanafi yang dilahirkan di Kuffah pada tahun 80 H
(699 M) yang dikenal dengan kecilnya ialah Abu Nu’man bin Zauth bin
Mah. Beliau diberi gelar Abu Hanifah karena begitu taatnya beribadah
kepada Allah. Kemudian ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa diberi
gelar Abu Hanifah karena begitu eratnya dengan tinta. Menurut bahasa Irak,
Hanifah berarti tinta.1 Kemudian dilanjutkan oleh Imam Maliki yang
dilahirkan di Madinah tahun 93 H (712 M). Nama beliau adalah Maliki bin
Abi Amir. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba membahas kaidah
fiqih pada masa Imam Hanafi dan Maliki.

1 M. Ali Hasan, Perbandingan Madzab, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), 184

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Madzab Abu Hanifah

Abu Hanifah bisa disebut sebagai ulama’ pertama penulis ilmu fiqih.
Para ulama’ dan fuqoha yang datang setelahnya mengikuti cara dan metode
yang ia gariskan, sebab para sahabat dan tabi’in belum menulis kajian fiqih
dalam bentuk per bab, atau dalam dalam buku yang tersusun sistematis,
mereka hanya mengandalkan kekuatan pemahaman mereka. Abu Hanifah
mendasarkan madzabnya dengan dasar pada Al-Qur’an, Hadits, Ijma’,
Qiyas dan Istihsan. Karena itu sangat luas hukum menurut kehendak atau
keutuhan masyarakat pada masa itu, tetapi dengan dasar tidak menyimpang
hal-hal pokok dan peradaban, atau peraturan undang-undang islam. Imam
Abu Hanifah berkata, “ Aku memberikan hukum berdasarkan Al-Qur’an
apabila tidak saya jumpai dalam Al-Qur’an, maka aku gunakan hadits
Rasullah dan jika tidak ada dalam kedua-duanya aku dasarkan pada
pendapat para sahabat dan aku tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan
tetap berpegang teguh kepada satu pendapat saja. 2 Selanjutnya ia berkata :
“Jika ada hadits Rasul kamu (gunakan) tetapi pendapat sahabat kami
berbeda dengan pendapat tabi’in, kami bahas bersama atau bertukar pikiran
dengan mereka”

Kata-kata Abu Hanifah tersebut sebagai keterangan tentang tata cara


beliau berijtihad atau menggunakan pikiran dengan cara yang luas karena
beliau berpendapat bahwa pendapat atau kata-kata dari pengikut-pengikut
(tabi’in) tidak pasti menurutnya. Kata-kata Abu Hanifah di atas juga berarti
beliau tunduk kepada Qur’an dan Hadits, dan ia membuat perbandingan
diantara pendapat sahabat-sahabat Rasulullah dan memilih mana-mana
yang sesuai dengannya. Adapun pendapat dari para tabi’in, Ia berpendapat

2 Ahmad Asy- Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzab, ( Jakarta: Amzah, 2004), 19

3
bahwa boleh setuju atau tidak baginya.3 Ia seorang lelaki dan mereka itu pun
lelaki juga sebab itu ia berhak berbicara dengan mereka di bidang ilmu
pengetahuan.

Telah sedikit kita uraikan tentang pemikiran-pemikiran dan tujuan


madzab Abu Hanifah. Beberapa dasar kaidah yang dirumuskan oleh Abu
Hanifah diantaranya adalah:

a. Kemudahan dalam menjalani ibadah dan pekerjaan disetiap


harinya. Sebagai contohhnya adalah kemudahan beribadah yaitu
hukum tentang najis. Abu Hanifah menetapkan bahwa segala najis
yang ukurannya lebih kecil daripada mata uang satu dirham
dimaafkan.4

b. Menjaga hak-hak fakir miskin contohnya: Wajib zakat


emas, perak dan tidak diwajibkan zakat pada orang yang berutang.5

c. Memelihara atau menjaga kehormatan dan


perikemanusiaan, sebagai contohnya ketika seorang anak perempuan
telah dewasa dan sudah cukup umur untuk mencari pasangan hidup
tidak boleh ada paksaan dari wali, dan apabila ada paksaan nikah
dari wali, maka tidak sah jika anak perempuan tersebut menolak.

B. Madzab Imam Malik

Imam malik adalah seorang imam dari kota Madinah dan imam bagi
penduduk Hijaz.6 Ia adalah salah seorang ahli fiqih yang lahir di Madinah
tahun717 M. Imam malik belajar Hadits di bawah bimbingan Al-Zuhri, yang

3 Ahmad Asy- Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzab, 20

4 Syaikh al-Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzab,


(Bandung: Hasyimi, 2004), 20

5Ibid, 126-127

6 Ahmad Asy Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzab, 71

4
merupakan Ulama’ Hadits besar dimasanya. Imam Malik juga disebut
sebagai Imam dalam ilmu Hadits. Sandaran-sandaran dan sanad yang
dibawa oleh termasuk salah satu dari sanad yang terbaik dan benar. Karena
beliau sangat berhati-hati dalam mengambil hadits-hadits Rasulullah. Selain
itu Imam malik adalah seorang yang sangat memuliakan Hadits walaupun
banyak manusia yang datang mempelajari ilmu pengetahuan berbagai
macam bidang. Apabila beliau ditanya yang berhubungan dengan ilmu fiqih,
beliau terus keluar kamar serta memberikan fatwa-fatwa atau jawaban
kepada mereka yang bertanya kepada mereka, akan tetapi, apabila mereka
bertanya mengenai masalah hadits, beliau tidak terus keluar kamar tetapi
terlebih dahulu mandi dan memakai pakaian yang bersih serta memakai
wangi-wangian dan sorban, yang semata-mata beliau lakukan adalah untuk
menghormati Hadits Rasulullah.7 Dalam mempelajari Hadits Imam Malik
berguru kepada ulama’ terkenal diantaranya adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim,
Ibnu Syihab az- Zuhri.

Ciri pengajaran yang dianut oleh Imam Malik adalah disiplin,


ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung
tinggi oleh muridnya sehingga tak segan beliaumenegur muridnya yang
melanggar prinsip tersebut. Kemudian, dalam memberikan fatwa, Imam
Malik hanya akan menjawab masalah yang sudah terjadi dan tidak melayani
masalah yang belum terjadi. Beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang
masalah yang belum terjadi, kemudian Imam Malik menjawab, “ Tanyakan
yang sudah terjadi dan jangan bertanya yang belum terjadi”.8 Selain itu,
Imam Malik sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, Ia tidak mau
menjawab pertanyaan yang tidak Ia ketahui. Karena agar terhindar dari
salah fatwa, tidak tergesa-gesa menjawab saat ditanya, dan berkatakepada si
penanya ”Pergilah nanti saya lihat dulu”.9

7 Ahmad Asy- Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzab, 77

8 Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, (Jakarta: Amzah, 2009), 181

9 Ibid, 181

5
6
C. Pola Pemikiran dan Metode Istidlal Imam Hanafi dan Imam Maliki
Dalam Menetapkan Hukum Islam

Dalam memegangi prinsip pemikirannya Imam Abu Hanifah termasuk


salah satu ulama’ yang tangguh. Hal ini dapat dibuktikan dengan dari
adanya tawaran beberapa jabatan resmi di pemerintahan, tetapi beliau tidak
mau menerimanya. Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama’ ‘Ahl Ra’yu
yaitu dimana dalam menetapkan hukum, baik yang diistimbatkan dari Al-
Qur’an maupun Hadits beliau selalu menggunakan nalar dan lebih
mendahulukan Ra’yu daripada Khabar Ahad.10 Dan apabila beliau
menemukan Hadits yang bertentangan, maka ia lebih memilih jalan qiyas
dan istihsan

Untuk mengetahui metode istidlal yang dilakukan oleh Imam Abu


Hanifah, kita bisa melihat dari beberapa pengakuannya yaitu sebagai
berikut:11

a. “Sesungguhnya dalam menetapkan hukum, saya


mengambil dari Al-Qur’an, dan apabila tidak ditemukan, maka aku
mengambil dari Hadits yang shahih dan mashur di kalangan orang-
orang. Dan jika masih tidak ditemukan, maka aku mengambil
pendapat orang-orang terpercaya yang aku kehendaki.

b. Dalam menghadapi masalah, Abu Hanifah selalu berkata: “


Ini adalah pendapatku, dan jika ada orang lain yang pendapatnya
lebih kuat dari aku, maka pendapat itulah yang mungkin paling
benar”.

c. Beliau pernah suatu saat ditanya oleh seseorang “Apakah


yang kamu fatwakan itu sudah benar ? lalu beliau menjawab : Boleh

10 Muhammad Ma’sum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab, (Jombang: Darul Hikmah, 2008),
132

11 Ibid, 134

7
jadi itu merupakan fatwa yang salah dan kesalahannya tidak
diragukan lagi”.

Berdasar beberapa pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa Imam


Abu Hanifah ketika menetapkan suatu hukum tidak selalu dari dalalah yang
qath’i Al-Qur’an dan Hadits yang keshahihanya kadang masih diragukan.
Akan tetapi beliau juga menggunakan ra’yu. Sehingga dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa dalam menetapkan hukum Imam Abu Hanifah
menggunakan qiyas sebagai dasar pegangannya, dan apabila dengan qiyas
tidak bisa ditemukan, maka berpegang pada istihsan selama dapat
dilakukan. Dan apabila masih tidak bisa, maka berpegang pada adat atau
‘urf.

Sementara itu, Imam Malik merupakan seorang mujtahid dan ahli


ibadah seperti Imam Abu Hanifah. Beliau juga serang yang ahli dalam
bidang fiqih dan Hadits. Dalam bidang ilmu Hadits, Imam Malik termasuk
salah satu Ulama’ yang ahli dalam bidang ini . Hal ini terlihat dari adanya
pernyataan para Ulama’ diantarannya yang pernah diucapkan oleh Imam
Syafi’i yang menyatakan bahwa “ Apabila datang kepadamu Hadits dari
Imam Malik, maka pegang teguhlah oleh, karena dia menjadi hujjah
bagimu.

Sedang dalam masalah hukum dan fatwa, beliau sangat berhati-hati


dalam membuat keputusan yang akan diambilnya. Hal ini dibuktikan
dengan pernyataan Imam Malik sendiri: “Aku tidak pernah memberikan
fatwa dan meriwayatkan hadits selama 70 orang ulama’ belum mau
membenarkan dan mengakui kebenarannya”.12 Sedang dalam metode
istidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam, selalu berpegang
teguh pada hal-hal sebagai berikut:

a. Al-Qur’an yang merupakan dasar utama dalam menetapkan


hukum.

12 Muhammad Ma’sum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab, 145

8
b. As-Sunnah, dalam hal ini, Imam Malik mengikuti pola
yang dilakukannya dalam berpegang teguh pada AlQur’an. Artinya
jika dalil Al-Qur’an itu menghendaki adanya penta’wilan, maka
yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil. Jika terjadi suatu
pertentangan diantara ma’na dhohir dalam Al-Qur’an dengan makna
dalam Hadits sekalipun itu jelas, maka yang didahulukan makna
dalam Al-Qur’an.

c. Ijma’ Ahl Madinah merupakan kesepakatan bersama


penduduk madinah dari hasil mereka mencontoh perilaku
Rasulullah. Dan bukan hasil ijtihad mereka.

d. Fatwa sahabat, adalah hukum yang telah diambil


keputusannya oleh para sahabat besar berdasar ada Naql.

e. Khabar Ahad dan Qiyas, masalah Khabar Ahad Imam


Malik tidak mengakui keberadaanya sebagai suatu yang datang dari
rasulullah, kecuali jika keberadaaanya benar-benar sudah populer
dikalangan masyarakat Madinah. Jika tidak, maka hanya
menganggap sebagai petunjuk bahwa Khabar Ahad ini tidak benar
dari Rasulullah, sehingga tidak dapat dijadikan pengambilan hukum.

f.Al-Istihsan menurut Imam Malik adalah menentukan hukum


dengan mengambil mashlahah sebagai bagian dalil yang bersifat
menyeluruh (mengambil dalil yang terkuat dari dua dalil).13

g. Al-Maslahah Mursalah yaitu masalah yang keentuan


hukumya dalam nash tidak ada. Ulama’ bersepakat Maslahah
Mursalah dapat digunakan sebagai sumber hukum apabila memenuhi
persyaratan diantaranya adalah maslahah harus bersifat umum
untukmasyarakat dan bukan bersifat pribadi, Maslahah itu harus
benar-benar tidak bertentengan dengan ketentuan syar’i.14

13 Suwarjin, Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Teras, 2012), 131

14 Suwarjin, Ushul Fiqih, 139

9
h. Sad Al-Zara’i yaitu menutup jalan atau sebab yang menuju
kepada hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini, Imam Malik
menggunakannya sebagai salah satu dasar sumber penetapan hukum.
Contohnya adalah mengelak perbuatan zina dengan melarang
perbuatan berkhalwat antara laki-laki dan perempuan di tempat
sepi.15

i. Istishab adalah menjadikan hukum yang sudah ada sebelumnya,


dan tetap menjadi hukum hingga sekarang sampai ada dalil yang
menunjukkan adanya perubahan.

j. Syar’u Man Qoblana yaitu hukum yang beerlaku untuk umat


sebelum kita melalui para Rasul dan hukum tersebut dijelaskan
dalam Al-Qur’an atau Assunnah, maka hukum tersebut berlaku pula
untuk kita. Contoh tentang syariat kewajiban puasa sesuai Al-
Baqoroh 185:

C. Kaidah Fiqih Menurut Hanafi dan Maliki

Fuqaha Hanafiah menjadi orang pertama yang mengkaji qawa’id


fiqhiyyah dalam sejarah. Hal ini karena luasnya furu’ yang mereka
kembangkan. Di samping itu, dalam membentuk ushul madzhab, fuqaha
Hanafiah mendasarkan pemikirannya kepada hukum furu’ para imam
mazhabnya. Contohnya adalah Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.
189 H) dalam kitabnya al-Ushul menyebutkan satu permasalahan, lalu
darinya ia membuat banyak hukum furu’ yang sulit dihapal dan
diidentifikasi. Kondisi seperti inilah yang mendorong fuqaha Hanafiah
untuk membuat kaidah.
Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-
bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid al-Madzhab” dan

15 Aboe Bakar Atjeh, Ilmu Fiqih Islam Dalam Lima Madzab, (Jakarta: Islamic Researce Instituite,
1997), 30

10
masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid fiqhiyah
mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah
pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.
Menurut Imam Hanafi dan Maliki sepakat bahwa kaidah fiqih dapat
dijadikan sebagai hujjah (dalil) sumber hukum Islam dan dapat
diaplikasikan terhadap masalah-masalah kontemporer. Permasalahan yang
muncul di antara empat madzhab, adalah menjadikan al-qawaid al-fiqhiyyah
sebagai dalil atau sumber hukum Islam yang mandiri tanpa didukung oleh
ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah. Namun ketika al-qawaaid al-fiqhiyyah
tanpa didukung dengan kedua sumber utama tersebut, maka para ulama
tidak sepakat menjadikannya sebagai sumber hukum Islam. Dalam konteks
pertama, maka sejauh mana peranannya dalam fatwa dan penetapan hukum
dalam peradilan (qadha).
Dalam madzhab Hanafi tidak terdapat konsensus di antara mereka
mengenai kebolehannya berfatwa atau berhujjah dengan menggunakan
qaidah fighiyyah (universal). Ibn Nuj'aim al-Hanafi sebagaimana dikutip al-
Hamawi al-Hanafi mengatakan: "Tidak boleh berfatwa dengan mengunakan
kaidah fiqh dan karena sifatnya aghlabiyah (universal)." Tetapi bila
diperhatikan, ternyata tidak semua qaidah itu aghlabiyyah, ada kaidah yang
sifatnya kulliyyah sebagaimana diindikasikan oleh Muhazzib al-Furuq al-
Qarafi menukil dari Al-Amin. Oleh karena itu, Ibnu Nuj'aim secara implisit
menyatakan bahwa kaidah yang sifatnya fatnya kulliyyah boleh dijadikan
hujjah (sumber) hukum Islam. Begitu pula penyusun kitab Majalah al-
Ahkam al-'adliyyah yang mayoritas bermafzhab Hanafi sependapat dengan
Ibn Nuj'aim tersebut berkata: "Para hakim muslim sebagaian menemukan
dalil yang kongkret tidak boleh menetapkan hukum dengan hnaya
berpegang kepada salah satu kondisi kaidah itu." Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
Mazhab Hanafi diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H)
memuat 37 kaidah fikih.

11
b. Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat
86 kaidah fikih.
c. Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat
25 kaidah fikih.
d. al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
e. Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat
99 fikih.
Sementara itu, Mazhab Maliki menempatkan kadiah-kaidah fiqh
sejajar dengan Ushul Fiqh, kaidah itu termasuk bagaimana Syari'at yang
dapat memperjelas metodologi berfatwa. Dengan demikian kaidah fiqh
dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Setiap putusan hukum yang
bertentangan dengan dalil serta kaidah yang disepakati oleh para ulama,
maka putusannya batal. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Maliki
diantaranya adalah:
a. Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik,
Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
b. Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
c. Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah
fikih.
d. Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi
(w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Imam Hanafi merupakan seorang yang dilahirkan di Kuffah pada
tahun 80 H (699 M) yang dikenal dengan kecilnya ialah Abu Nu’man bin
Zauth bin Mah. Beliau diberi gelar Abu Hanifah karena begitutaatnya
beribadah kepada Allah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa gelar Abu
Hanifah diberikan karena begitu eratnya beliau dengan tinta. Dalam bahasa
Irak, Hanifah sendiri berarti tinta. Sementara Imam Maliki ialah seorang
Imam yang dilahirkan di Madinah tahun 93 H (712 M). Nama beliau adalah
Maliki bin Abi Amir.
Dalam Hanafi tidak ada konsensus mengenai kebolehanya berfatwa
dan berhujjah dengan qaidah fiqhiyah (universal). Sementara itu, Mazhab
Maliki menempatkan kadiah-kaidah fiqh sejajar dengan Ushul Fiqh, kaidah
itu termasuk bagaimana Syari'at yang dapat memperjelas metodologi
berfatwa. Meskipun masih terjadi di kalangan ulama’ tentang bleh atau
tidakbya berdalil kepada qawaid fiqhih, akan tetapi tidak dapat dihindari
bahwa qawaid fiqhih berperan sangat besar dalam membantu para fuqaha
dalam menyelesaikan persoalan hukum di masyarakat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Asy- Syurbasi, Ahmad. Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzab.


Jakarta: Amzah. 2004.

Atjeh, Bakar, Aboe. Ilmu Fiqih Islam Dalam Lima Madzab. Jakarta:
Islamic Researce Instituite. 1997.

Hasan, Ali, M. Perbandingan Madzab. Jakarta: RajaGrafindo Persada.


1996.
Khalil, Rasyad, Hasan. Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah. 2009
Suwarjin. Ushul Fiqih. Jogjakarta: Teras: 2012.

Syaikh al-Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman Ad-Dimasyqi. Fiqih


Empat Madzab. Bandung: Hasyimi 2004.
Zein, Ma’sum, Muhammad. Arus Pemikiran Empat Madzab. Jombang:
Darul Hikmah. 2008.

14

Anda mungkin juga menyukai