Dosen
Isnatin Ulfah, M.HI
Disusun Oleh
Muhammad Rosyid Ridho 210116003
Kelas SA.A
JURUSAN AKHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2017 / 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
2
BAB II
PEMBAHASAN
Abu Hanifah bisa disebut sebagai ulama’ pertama penulis ilmu fiqih.
Para ulama’ dan fuqoha yang datang setelahnya mengikuti cara dan metode
yang ia gariskan, sebab para sahabat dan tabi’in belum menulis kajian fiqih
dalam bentuk per bab, atau dalam dalam buku yang tersusun sistematis,
mereka hanya mengandalkan kekuatan pemahaman mereka. Abu Hanifah
mendasarkan madzabnya dengan dasar pada Al-Qur’an, Hadits, Ijma’,
Qiyas dan Istihsan. Karena itu sangat luas hukum menurut kehendak atau
keutuhan masyarakat pada masa itu, tetapi dengan dasar tidak menyimpang
hal-hal pokok dan peradaban, atau peraturan undang-undang islam. Imam
Abu Hanifah berkata, “ Aku memberikan hukum berdasarkan Al-Qur’an
apabila tidak saya jumpai dalam Al-Qur’an, maka aku gunakan hadits
Rasullah dan jika tidak ada dalam kedua-duanya aku dasarkan pada
pendapat para sahabat dan aku tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan
tetap berpegang teguh kepada satu pendapat saja. 2 Selanjutnya ia berkata :
“Jika ada hadits Rasul kamu (gunakan) tetapi pendapat sahabat kami
berbeda dengan pendapat tabi’in, kami bahas bersama atau bertukar pikiran
dengan mereka”
2 Ahmad Asy- Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzab, ( Jakarta: Amzah, 2004), 19
3
bahwa boleh setuju atau tidak baginya.3 Ia seorang lelaki dan mereka itu pun
lelaki juga sebab itu ia berhak berbicara dengan mereka di bidang ilmu
pengetahuan.
Imam malik adalah seorang imam dari kota Madinah dan imam bagi
penduduk Hijaz.6 Ia adalah salah seorang ahli fiqih yang lahir di Madinah
tahun717 M. Imam malik belajar Hadits di bawah bimbingan Al-Zuhri, yang
5Ibid, 126-127
4
merupakan Ulama’ Hadits besar dimasanya. Imam Malik juga disebut
sebagai Imam dalam ilmu Hadits. Sandaran-sandaran dan sanad yang
dibawa oleh termasuk salah satu dari sanad yang terbaik dan benar. Karena
beliau sangat berhati-hati dalam mengambil hadits-hadits Rasulullah. Selain
itu Imam malik adalah seorang yang sangat memuliakan Hadits walaupun
banyak manusia yang datang mempelajari ilmu pengetahuan berbagai
macam bidang. Apabila beliau ditanya yang berhubungan dengan ilmu fiqih,
beliau terus keluar kamar serta memberikan fatwa-fatwa atau jawaban
kepada mereka yang bertanya kepada mereka, akan tetapi, apabila mereka
bertanya mengenai masalah hadits, beliau tidak terus keluar kamar tetapi
terlebih dahulu mandi dan memakai pakaian yang bersih serta memakai
wangi-wangian dan sorban, yang semata-mata beliau lakukan adalah untuk
menghormati Hadits Rasulullah.7 Dalam mempelajari Hadits Imam Malik
berguru kepada ulama’ terkenal diantaranya adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim,
Ibnu Syihab az- Zuhri.
9 Ibid, 181
5
6
C. Pola Pemikiran dan Metode Istidlal Imam Hanafi dan Imam Maliki
Dalam Menetapkan Hukum Islam
10 Muhammad Ma’sum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab, (Jombang: Darul Hikmah, 2008),
132
11 Ibid, 134
7
jadi itu merupakan fatwa yang salah dan kesalahannya tidak
diragukan lagi”.
8
b. As-Sunnah, dalam hal ini, Imam Malik mengikuti pola
yang dilakukannya dalam berpegang teguh pada AlQur’an. Artinya
jika dalil Al-Qur’an itu menghendaki adanya penta’wilan, maka
yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil. Jika terjadi suatu
pertentangan diantara ma’na dhohir dalam Al-Qur’an dengan makna
dalam Hadits sekalipun itu jelas, maka yang didahulukan makna
dalam Al-Qur’an.
9
h. Sad Al-Zara’i yaitu menutup jalan atau sebab yang menuju
kepada hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini, Imam Malik
menggunakannya sebagai salah satu dasar sumber penetapan hukum.
Contohnya adalah mengelak perbuatan zina dengan melarang
perbuatan berkhalwat antara laki-laki dan perempuan di tempat
sepi.15
15 Aboe Bakar Atjeh, Ilmu Fiqih Islam Dalam Lima Madzab, (Jakarta: Islamic Researce Instituite,
1997), 30
10
masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid fiqhiyah
mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah
pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.
Menurut Imam Hanafi dan Maliki sepakat bahwa kaidah fiqih dapat
dijadikan sebagai hujjah (dalil) sumber hukum Islam dan dapat
diaplikasikan terhadap masalah-masalah kontemporer. Permasalahan yang
muncul di antara empat madzhab, adalah menjadikan al-qawaid al-fiqhiyyah
sebagai dalil atau sumber hukum Islam yang mandiri tanpa didukung oleh
ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah. Namun ketika al-qawaaid al-fiqhiyyah
tanpa didukung dengan kedua sumber utama tersebut, maka para ulama
tidak sepakat menjadikannya sebagai sumber hukum Islam. Dalam konteks
pertama, maka sejauh mana peranannya dalam fatwa dan penetapan hukum
dalam peradilan (qadha).
Dalam madzhab Hanafi tidak terdapat konsensus di antara mereka
mengenai kebolehannya berfatwa atau berhujjah dengan menggunakan
qaidah fighiyyah (universal). Ibn Nuj'aim al-Hanafi sebagaimana dikutip al-
Hamawi al-Hanafi mengatakan: "Tidak boleh berfatwa dengan mengunakan
kaidah fiqh dan karena sifatnya aghlabiyah (universal)." Tetapi bila
diperhatikan, ternyata tidak semua qaidah itu aghlabiyyah, ada kaidah yang
sifatnya kulliyyah sebagaimana diindikasikan oleh Muhazzib al-Furuq al-
Qarafi menukil dari Al-Amin. Oleh karena itu, Ibnu Nuj'aim secara implisit
menyatakan bahwa kaidah yang sifatnya fatnya kulliyyah boleh dijadikan
hujjah (sumber) hukum Islam. Begitu pula penyusun kitab Majalah al-
Ahkam al-'adliyyah yang mayoritas bermafzhab Hanafi sependapat dengan
Ibn Nuj'aim tersebut berkata: "Para hakim muslim sebagaian menemukan
dalil yang kongkret tidak boleh menetapkan hukum dengan hnaya
berpegang kepada salah satu kondisi kaidah itu." Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
Mazhab Hanafi diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H)
memuat 37 kaidah fikih.
11
b. Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat
86 kaidah fikih.
c. Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat
25 kaidah fikih.
d. al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
e. Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat
99 fikih.
Sementara itu, Mazhab Maliki menempatkan kadiah-kaidah fiqh
sejajar dengan Ushul Fiqh, kaidah itu termasuk bagaimana Syari'at yang
dapat memperjelas metodologi berfatwa. Dengan demikian kaidah fiqh
dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Setiap putusan hukum yang
bertentangan dengan dalil serta kaidah yang disepakati oleh para ulama,
maka putusannya batal. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Maliki
diantaranya adalah:
a. Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik,
Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
b. Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
c. Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah
fikih.
d. Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi
(w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam Hanafi merupakan seorang yang dilahirkan di Kuffah pada
tahun 80 H (699 M) yang dikenal dengan kecilnya ialah Abu Nu’man bin
Zauth bin Mah. Beliau diberi gelar Abu Hanifah karena begitutaatnya
beribadah kepada Allah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa gelar Abu
Hanifah diberikan karena begitu eratnya beliau dengan tinta. Dalam bahasa
Irak, Hanifah sendiri berarti tinta. Sementara Imam Maliki ialah seorang
Imam yang dilahirkan di Madinah tahun 93 H (712 M). Nama beliau adalah
Maliki bin Abi Amir.
Dalam Hanafi tidak ada konsensus mengenai kebolehanya berfatwa
dan berhujjah dengan qaidah fiqhiyah (universal). Sementara itu, Mazhab
Maliki menempatkan kadiah-kaidah fiqh sejajar dengan Ushul Fiqh, kaidah
itu termasuk bagaimana Syari'at yang dapat memperjelas metodologi
berfatwa. Meskipun masih terjadi di kalangan ulama’ tentang bleh atau
tidakbya berdalil kepada qawaid fiqhih, akan tetapi tidak dapat dihindari
bahwa qawaid fiqhih berperan sangat besar dalam membantu para fuqaha
dalam menyelesaikan persoalan hukum di masyarakat.
13
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Bakar, Aboe. Ilmu Fiqih Islam Dalam Lima Madzab. Jakarta:
Islamic Researce Instituite. 1997.
14