Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ETIKA

Kasus Etika Moral

Dosen Pengampu :

Dra. Pudiastuti Rahayu SP, M.M., Apt

Disusun oleh:
Clara A Mallessy 1920384223
Claudia Cindy Narang 1920384224
Desi Erna Wati 1920384225
Destine Daity Lumepaa 1920384226
Dewi Andini 1920384227

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI APOTEKER
UNIIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2019/2020
A. Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam.
Klasifikasi kejang demam ada 2 yaitu, kejang demam yang berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang
dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh
kejang demam.
Kejang demam kompleks dengan salah satu ciri berikut ini:
1. Kejang lama > 15 menit
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam.
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial .
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial.
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang
mengalami kejang demam.
B. Pertolongan Pertama
Menurut Ikatan Pedriatic Society (IDAI), pertolongan pertama yang dilakukan
saat anak mengalami kejang demam adalah:
1. Letakkan anak di tempat yang aman, jauhkan dari benda-benda berbahaya
seperti listrik dan pecah-belah.
2. Baringkan anak dalam posisi miring agar makanan, minuman, muntahan, atau
benda lain yang ada dalam mulut akan keluar sehingga anak terhindar dari
bahaya tersedak.
3. Jangan memasukkan benda apapun ke dalam mulut. Memasukkan sendok,
kayu, jari orangtua, atau benda lainnya ke dalam mulut, atau memberi minum
anak yang sedang kejang, berisiko menyebabkan sumbatan jalan napas apabila
luka
4. Jangan berusaha menahan gerakan anak atau menghentikan kejang dengan
paksa, karena dapat menyebabkan patah tulang.
5. Amati apa yang terjadi saat anak kejang, karena ini dapat menjadi informasi
berharga bagi dokter. Tunggu sampai kejang berhenti, kemudian bawa anak ke
unit gawat darurat terdekat.
6. Apabila anak sudah pernah kejang demam sebelumnya, dokter mungkin akan
membekali orangtua dengan obat kejang yang dapat diberikan melalui dubur.
Setelah melakukan langkah-langkah pertolongan pertama di atas, obat tersebut
dapat diberikan sesuai instruksi dokter.

C. Ruang Lingkup Pelayanan Kefarmasian Untuk Pasien Pedriatik


Pelayanan kefarmasian seharusnya disusun dalam suatu pengorganisasian yang
sistematik dan sesuai dengan prinsip manajemen yang baik. Struktur ini harus di
bawah tanggung jawab apoteker dan didukung oleh fasilitas fisik yang memadai,
personalia yang kompeten dan perlengkapan yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan kefarmasian untuk pediatri.
Pasien pediatri sesuai dengan kondisi penyakitnya dapat diberikan pelayanan
sebagai berikut :
a. Pelayanan Rawat Jalan untuk pencegahan penyakit, pencegahan keracunan dan
imunisasi serta penanganan penyakit ringan atau penyakit yang berat yang sudah
dalam fase pemeliharaan atau penyakit kronis.
b. Pelayanan Rawat Darurat untuk penanganan pasien dengan kondisi emergensi
yang memerlukan penanganan cepat dan mengancam jiwa.
c. Pelayanan Rawat Inap untuk penanganan pasien dengan kondisi penyakit atau
gangguan yang memerlukan perawatan, pengobatan dan pemantauan yang khusus.
Pada kondisi pasien yang memerlukan perlakuan dengan pemantauan terus menerus
dan menggunakan peralatan khusus diberikan pelayanan rawat intensif. Untuk
pelayanan rawat intensif pada neonatus dilaksanakan di Neonatic Intensive Care
Unit (NICU) sedangkan untuk pediatri, dilaksanakan di Pediatric Intensive Care
Unit (PICU). Apabila pasien sudah mulai stabil, dapat dipindahkan ke pelayanan
rawat inap biasa dan bila memungkinkan melalui pelayanan rawat inap antara
(intermediate/ high care) untuk penyesuaian.
Di setiap jenis pelayanan tersebut di atas, apoteker harus terlibat aktif. Semakin
kritis kondisi pasien, keterlibatan apoteker diperlukan lebih intensif dan diperlukan
apoteker dengan keahlian yang memadai.

Kasus

Apoteker A sedang melakukan praktek kefarmasian di sebuah apotek di


daerah yang cukup terpencil. Suatu hari ada pasien anak kecil mengalami kejang
demam yang diantar oleh orang tuanya menuju puskesmas yang jaraknya jauh dari
rumah mereka. Belum sampai di puskesmas tersebut, pasien mengalami kejang
yang semakin parah sehingga orang tuanya memutuskan untuk berhenti di apotek
dan meminta tolong untuk melakukan pengobatan darurat di apotek tersebut.
Apoteker A harus mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya.
Dengan pertimbangan keilmuannya, apoteker A memberikan valisanbe rectal ke
dubur anak kecil itu sehingga kejangnya mereda. Pasien dapat diselamatkan dan
segera dikirim ke rumah sakit.

Dilema moral :

Pasien perlu diberikan terapi agar kejang tersebut dapat berhenti secepatnya
sehingga menghindari dampak komplikasi atau tingkat keparahan yang lebih tinggi.
Apoteker memberikan obat valisanbe (diazepam) termasuk dalam kategori
psikotropika di apotek kepada pasien tanpa resep dokter. Apoteker melanggar UU
No.5 tahun 1997 pasal 14 dan 33 bahwa penyerahan psikotropika oleh apotek, RS,
Puskesmas dan balai pengobatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter dan
wajib membuat serta menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing
yang berhubungan dengan psikotropika.
UU No. 5 tahun 1997
Pasal 33
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan
mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
Pasal 34
1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) kepada Menteri secara berkala.
Pasal 14
1. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, dan dokter
2. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek
lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada
pengguna/pasien.
4. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai
pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan resep dokter.
6. Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
7. Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
hanya dapat diperoleh dari apotek.
Kode Etik Apoteker Indonesia
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi
Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Implementasi PASAL 3:
1. Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap
tindakan dan keputusan seorang apoteker indonesia
2. Bimlamana suatu saat seorang apoteker dihadapkan kepada konflik tanggung
jawab profesional, maka dari berbagai opsi yang ada seorang apoteker harus
memilih resiko yang paling kecil dan paling tepat untuk kepentingan pasien serta
masyarakat.
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi mahluk
hidup insani.
Implementasi PASAL 9:
1. Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak pada
kepentingan pasien dan masyarakat.
2. Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesehatan
pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang dalam kondisi lemah.
Peraturan Pemerintah No.20 tahun 1962 “Lafal Sumpah Apoteker”
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan
terutama dalam bidang Kesehatan;
2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya dan keilmuan saya sebagai Apoteker;
3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian
saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian;
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan
sungguhsungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbagnan keagamaan,
kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial;
6. Saya ikrarkan Sumpah/Janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh
keinsyafan
Analisis Kasus:
Lafal Sumpah Apoteker no. 1 : “Saya akan membaktikan hidup saya guna
kepentingan perikemanusiaan, terutam dalam bidang kesehatan”.
UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 5 :
Ayat 1 : Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumber daya di bidang kesehatan.
Ayat 2 : Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Ayat 3 : Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 9 :
Pasal 1 : Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pasal 2 : Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi
upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan
berwawasan kesehatan.
Pasal 12 :
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang
lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 32 :
Ayat 1 : Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa
pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
Ayat 2 : Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Pasal 53 :
Ayat 1 : Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan
penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
Ayat 3 : Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien
dibanding kepentingan lainnya.
Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus
ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan
kepentingan terbaik bagi pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan
nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau
meminta uang muka terlebih dahulu.
Pasal 102
Ayat 1 : Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika
hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang
untuk disalahgunakan.

PP 51 tahun 2009 pasal 24 ayat c:


Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian,
Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada
masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Kesimpulan :
Berdasarkan UU 36 tahun 2009 pasal 102 ayat 2 dan PP 51 tahun 2009 pasal
24 ayat c, tindakan Apoteker A merupakan sebuah pelanggaran dalam menjalankan
pekerjaan kefarmasian karena memberikan obat Valisanbe rectal yang isinya adalah
Diazepam yang termasuk dalam golongan psikotropika.
Namun tidak sepenuhnya tindakan apoteker salah, dalam kondisi ini dapat
dibenarkan mengingat pemberian obat golongan psikotropika tersebut bertujuan
sebagai pertolongan kepada pasien sehingga nyawa pasien dapat terselamatkan
berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonseia pasal 3 bahwa :
 Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak asasi pasien dan melindungi
hidup pasien.
 Bilamana suatu saat seorang apoteker dihadapkan kepada konflik tenggung
jawab professional maka dari berbagai opsi yang ada seorang apoteker harus
memilih resiko yang paling kecil dan palin tepat untuk kepentingan pasien
serta masyarakat.
Keputusan Apoteker A memberikan Valisanbe rectal didasari oleh alasan
kemanusiaan serta dasar kompetensi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi yang
dimilikinya.

Anda mungkin juga menyukai