Pembangunan
manusia pun dikuatkan oleh fungsi agama.
Subandi menjadi salah satu pembicara pada diskusi yang digelar Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama itu.
Insan yang dibangun, diharapkan, kata dia, “Insan yang berharkat, bermartabat, bermoral, dan
memiliki jati diri.” Serta, imbuhnya, insan yang sehat dan berpendidikan.
Sementara sumber daya pembangunan yang dibangun, diharapkan yang kompetitif, tangguh,
dan berkepribadian, serta adanya penduduk yang tumbuh seimbang.
“Pembangunan manusia mencakup seluruh siklus hidup manusia dari sejak dalam kandungan
hingga akhir hayat,” terangnya sebagaimana dipaparkan dalam “Konsep Pembangunan
Manusia” yang ditayangkan di depan ratusan hadirin.
Harapan dalam konsep pembangunan manusia itu, jelas Subandi, juga merupakan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).*
Rep: SKR
Masalah Bangsa: Masalah tentang Manusia
Selasa, 1 Agustus 2017 - 15:08 WIB
Segala kerusakan politik, ekonomi, dan sosial merupakan cermin dan ranting dari akar
masalah yang besar, yaitu manusia
Terkait
(Halaman 1 dari 2)
SAAT ini, bangsa ini sedang menghadapi masalah-masalah besar. Penegakan hukum yang
tidak adil, kesenjangan kehidupan kaya-miskin, penistaan agama, money politics, kezaliman
penguasa, korupsi, dan lain sebagainya adalah sedikit contoh dari banyak fenomena bahwa
bangsa ini memang sedang dilanda masalah-masalah besar.
Masalah-masalah besar tersebut akhirnya menyebabkan kegaduhan yang besar serta
menghabiskan energi dan ongkos yang tidak sedikit. Sehari-hari bangsa ini pun disuguhi oleh
kegaduhan yang seolah-olah tiada henti.
Apalagi di zaman perkembangan arus informasi yang seperti tanpa batas. Setiap orang bisa
menulis, memberikan opini, menyebarkan berita, membentuk image, dan membuat kepalsuan
dengan bebas. Sebuah fenomena yang akan merusak dan meruntuhkan otoritas.
Mungkin banyak di antara kita yang bertanya: apa akar penyebab dari masalah-masalah besar
tersebut? Apakah ia disebabkan oleh iklim kehidupan politik yang tidak kondusif,
kesenjangan ekonomi, atau nilai-nilai Pancasila dan Kebhinekaan yang tidak diamalkan
dengan baik?Banyak orang yang berpendapat bahwa akar masalah dari bangsa ini adalah
politik. Artinya, jika kehidupan politik sudah baik, maka bangsa ini akan menjadi baik. Jika
masalah asasinya adalah politik, maka solusinya pun adalah politik.Pun begitu dengan orang-
orang yang berpandangan bahwa akar masalahnya adalah ekonomi, sosial, atau nilai-nilai
Pancasila dan Kebhinekaan yang tidak diamalkan dengan baik oleh masyarakat.
Jika kita renungkan lebih dalam, pada hakikatnya, akar masalah besar bangsa ini adalah
manusia.Masalah bangsa ini adalah masalah tentang manusia. Masalah-masalah politik,
ekonomi, sosial dan lain-lain hanyalah ranting yang mudah dilihat oleh semua orang dari
pohon besar yang bermuara pada akar yang sama, yaitu manusia.
Masalah-masalah tersebut adalah cermin dari fenomena manusia Indonesia.Hal ini berarti
juga, jika akar dari masalah-masalah besar bangsa ini tidak diperbaiki, masalah-masalah
tersebut akan terus-menerus terulang. Mungkin bentuk dari masalah tersebut bisa berbeda
dari satu generasi ke generasi lain, tapi hakikatnya selalu sama. Dengan kata lain, jika
manusia-manusia Indonesia tidak dididik untuk menjadi manusia yang baik (al-insān al-
ṣāliḥ), bisa dipastikan pemimpin-pemimpin zalim, para penista agama, dan koruptor-koruptor
baru akan terus-menerus lahir dari satu generasi ke generasi lain.Siapa yang menyangka
bahwa pergantian politik dari Orde Baru ke Reformasi justru tidak bisa membuat kehidupan
bangsa menjadi lebih baik. Ia menunjukkan bahwa pemimpin yang baru tidak dijamin bisa
menjadi lebih baik dari pemimpin sebelumnya.
Padahal, dalam iklim demokrasi seperti zaman sekarang, untuk mengganti seorang pemimpin
saja pasti memerlukan ongkos yang sungguh sangat besar. Karena pemimpin baru ternyata
tidak lebih baik dari pemimpin sebelumnya, lagu-lagu indah tentang pembangunan,
perubahan, dan kebebasan ketika Orde Baru diturunkan mulai terasa seperti fatamorgana di
tengah sahara. Akhirnya banyak individu yang ingin kembali ke zaman Orde Baru.
Hakikat Manusia
Di dalam Islam, hakikat tentang manusia (yang meliputi ajaran-ajaran tentang siapa dirinya,
tujuan hidup di dunia, akhlak, dan kebahagiaan) termasuk ke dalam salah satu ajaran asasi
agama.Bahkan,al-Attas memasukkan hakikat manusia ke dalam salah satu unsur penting
metafisikaIslam, yang dalam banyak hal berkaitan sangat erat dengan psikologi jiwa manusia
(Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam [Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001], 143-176).Al-Attas adalah salah seorang ilmuwan Muslim besar yang
memberikan perhatian besar terhadap manusia.
Dalam tradisi Islam,para ilmuwan yang memiliki perhatian besar terhadap hakikat manusia
adalah ilmuwan-ilmuwan yang memiliki pandangan-pandangan besar dalam metafisika Islam
(Filsafat, Kalam, dan Tasawuf).
Manusia diciptakan oleh Allah memiliki dua karakteristik: jiwa dan tubuh. Yang pertama
merujuk kepada hakikat sebenar manusia ketika dia mengatakan “aku”dimana jiwa,
kemuliaan, akhlak, dan kebahagiaan hakiki berasal, sedangkan yang kedua merujuk kepada
potensi hewani. Para ulama menyebut hakikat jiwa pertama dengan jiwa rasional (al-nafs al-
nāṭiqah) sedangkan yang kedua disebut jiwa hewani (al-nafs al-ḥayawāniyyah).Ini yang
kemudian disebut oleh para ulama bahwa manusia adalah ḥayawān al-nāṭiq.Jiwa rasional
adalah jiwa yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya dimana
kemuliaan, akhlak mulia, dan kebahagiaan berasal, sedangkan jiwa hewani adalah jiwa yang
betul-betul identik dengan hewan. Karena memiliki sifat hewani, jiwa hewani harus diatur
oleh jiwa rasional dengan baik. Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzī, jiwa hewani yang harus
diwaspadai oleh manusia wujud dalam tiga kekuatan: nafsu syahwat, nafsu amarah, dan nafsu
kekayaan atau kekuasaan (Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, 32 vols. [Beirut, Dār al-
Fikr, 1981]: 1: 258).
Agar berhasil dalam hidup, manusia harus mengatur kedua hakikat jiwa tersebut dengan baik.
Jiwa rasional harus senantiasa ada di atas dan mengatur jiwa hewani. Namun sebaliknya, jika
jiwa hewani justru yang lebih dominan untuk kemudian menjadi raja dalam kerajaan
manusia, manusia akan berubah menjadi seperti hewan, bahkan bisa lebih buruk daripada
hewan (QS al-Aʿrāf [7]: 179). Dalam kondisi seperti itu, maka akan lahir kesengsaraan (al-
shaqāwah) dan akhlak yang hina dari manusia.
Karena memiliki kedua potensi jiwa tersebut, manusia layaknya seperti kerajaan, yaitu
kerajaan kecil (microcosmos). Fakhr al-Dīn al-Rāzī misalnya menyebut bahwa manusia pada
hakikatnyaseperti kerajaan; jiwa rasional seperti seorang raja; indera eksternal dan internal
seperti tentara; anggota-anggota badan seperti warga negara; syahwat dan amarah seperti
musuh yang selalu berusaha untuk menghancurkan kerajaan dan membunuh warga negara.
Jika raja mampu mengendalikan musuh, negara akan stabil dan jauh dari konflik (Fakhr al-
Dīn al-Rāzī, Kitāb an-Nafs wa ar-Rūḥ wa Syarḥ Quwāhumā, ed. Muḥammad Ṣaghīr Ḥasan
al-Maʿṣūmī [Islamabad, Islamic Research Institute: t.t.], 79-84).
Kedua hakikat jiwa yang ada di dalam diri manusia senantiasa tarik ulur dan berperang
seumur hidup. Yang satu sering berusaha untuk mengalahkan yang lain.
Di sini kita bisa melihat bahwa pada hakikatnya seluruh manusia aktif dalam “politik”, yaitu
politik untuk mengatur kerajaan diri sendiriyang berlaku seumur hidup dan disamakan
dengan jihad paling besar (al-jihād al-akbar). Namun, karena semua orang memahami politik
hanya sebatas hubungan manusia dengan negara, manusia banyak yang tidak menyadari dan
gagal melaksanakan tugas-tugas politik untuk mengatur kerajaan diri sendiri. Ini yang
kemudian menyebabkan kerusakan besar dimana-mana, termasuk bangsa Indonesia.>>>
(BERSAMBUNG)
Hakikat dan sifat dualistikjiwa yang ada di dalam diri manusia menyebabkan manusia
menjadi makhluk istimewa dan satu-satunya yang bisa mengemban amanat sebagai khilafah,
yaitu tugas untuk mengatur dan memerintah.
Al-Attas menegaskan bahwamengatur dan memerintah yang merupakan implikasi dari tugas
khilafah bukan hanya berarti mengatur dan memerintah dalam pengertian sosial-politik, tetapi
lebih penting dari itu, yaitu mengatur dan memerintah kerajaan diri sendiri (Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Islam and Secularism [Kuala Lumpur: ABIM, 1978; repr., Kuala Lumpur:
ISTAC, 1993], 66).
Di sini kita bisa melihat bahwa cobaan dalam hidup sebenarnya datang dari diri kita sendiri.
Di akhirat pun Allah akan meminta pertanggungjawaban amalan manusia sendiri-sendiri,
tidak melibatkan orang lain dan negara.
Setan yang kelak akan disalahkan oleh manusia karena telah menyebabkan manusia durhaka
pun akan berlepas diri dari perbuatan manusia. Sebab, pelaku sebenarnya segala perbuatan
adalah manusia. Tugas setan hanya menggoda dan berbisik (QS Ibrāhīm [14]: 22).
Lalu, bagaimana agar manusia bisa mengenal dan mengendalikan diri sendiri? Jawabannya
adalah pendidikan. Jiwa hewani harus senantiasa dididik oleh jiwa rasional, sedangkan jiwa
rasional harus senantiasa menerima ilmu yang bermanfaat, sebuah proses yang harus
dilakukan oleh manusia seumur hidup di sini sebenarnya arti dan tujuan pendidikan memiliki
peran yang sangat penting.
Setidaknya, fakta-fakta tentang keberhasilan pendidikan menjadi cara paling efektif untuk
melahirkan manusia-manusia baik telah dilakukan oleh al-Ghazālī, sebagaimana telah dicatat
dengan sangat detil oleh Mājid ʿIrsān al-Kīlānī dalam bukunya yang berjudul Hākadhā
Zhahara Jīl Ṣalāḥ al-Dīn wa Hākadhā ʿĀdat Al-Quds (Dar Al-Qalam, Uni Emirat Arab:
2002).
Dalam bukunya tersebut, al-Kīlānī menjelaskan dengan sangat rinci tentang usaha Al-Ghāzālī
dalam memperbaiki manusia-manusia yang ada pada zamannya melalui jalur pendidikan.
Sehingga, dari usahanya tersebut, lahir generasi Ṣalāḥ al-Dīn al-Ayyūbī yang sangat tangguh.
Zaman yang dihadapi oleh al-Ghāzālī adalah zaman yang tidak menentu. Kondisi yang ada
ketika itu sepertinya layak menyeret umat Islam ke dalam jurang kekalahan. Puncaknya, umat
Islam kemudian dicabik-cabik dalam Perang Salib. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
Islam pun lenyap ditelan gelombang kehidupan yang konsumtif dan destruktif. Para pejabat
publik sibuk dengan kepentingan pribadi dan kelompok, kaum ilmuwan mengabdikan
ilmunya untuk kepentingan-kepentingan sekular, umat Islam tercabik oleh perpecahan dan
fanatisme buta, akhlak manusia hancur, kemiskinan ada di mana-mana, dan ilmu menjadi
rusak.
Al-Ghāzālī kemudian memeriksa dan memberikan obat bagi penyakit-penyakit umat ketika
itu. Berbagai buku yang ditulis oleh al-Ghāzālī sepanjang hidupnya menjadi bukti bagaimana
tajamnya analisa yang dilakukan olehnya. Menjelang akhir hayatnya, analisa tersebut
kemudian diterjemahkan oleh al-Ghāzālī melalui lembaga pendidikan dengan kurikulum
yang dia rancang sendiri. Kelak, dari lembaga pendidikan tersebut muncul generasi-generasi
tangguh seperti ʿAbd al-Qādir al-Jīlānī dan Ṣalāḥ al-Dīn al-Ayyūbī. Jadi, Ṣalāḥ al-Dīn al-
Ayyūbī bukan sosok yang dilahirkan dari produk politik yang sementara,tapi lahir melalui
proses kreatif panjang para ilmuwan, guru, ilmu, dan pendidikan.
Sebagai satu-satunya agama wahyu, Islam telah memberikan ajaran yang sempurna tentang
asal, hakikat, tugas, dan masa depan manusia di dalam kehidupan ini. Bahkan, Islam menjadi
satu-satunya agama yang memiliki sosok cerminan hidup yang seluruh kata dan perbuatannya
menjadi contoh (uswah ḥasanah) bagi seluruh manusia, seluruh umur, dan melintasi berbagai
generasi.
Penulis adalah kandidat doktor di Centre for Advanced Studies on Islam Science and
Civilisation, Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM) Kuala Lumpur
Hidayatullah.com– Senator DKI Jakarta, Fahira Idris, menyatakan bahwa semua elemen
bangsa mesti bersama-sama membangun ketahanan keluarga.
“Keluarga itu, kan, adalah miniatur sebuah bangsa dan negara. Karena pada hakikatnya
sebuah bangsa terbentuk dari keluarga-keluarga,” ujarnya dalam acara Seminar Kebangsaan
dengan tema “Ketahanan Keluarga dalam Menjawab Tantangan LGBT” di Ciracas, Jakarta
Timur, Sabtu (27/02/2016).
Menurut Anggota Gerakan Indonesia Beradab (GIB) ini, bagi sebuah bangsa, keluarga adalah
kekuatan tak terelakkan yang mesti terus dikuatkan.
Banyak ancaman dan serangan kuat bagi pelemahan keluarga Indonesia. Sehingga, kata dia,
dirasa sangat urgen bagi orangtua memahami masalah ini dengan baik.
“Serangan terhadap keluarga berupa pornografi, seks bebas, narkoba dan LGBT disampaikan
dalam beragam media. Dulu pernah saya temukan buku yang disebar di kalangan anak-anak
yang mengkampanyekan LGBT,” tuturnya.
“Jadi, para orangtua memang harus mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang bahaya
yang jelas mengancam ketahanan keluarga ini,” sambungnya dalam rangkaian cara Rakerwil
Hidayatullah Jabodebek itu. [Baca: Ormas Islam Dinilai Sudah Tepat di Jalur Dakwah,
bukan Politik]
Oleh karena itu, ia berharap agar para keluarga Indonesia betul-betul selektif dalam
memberikan tontonan serta bacaan terhadap anak-anak di dalam rumah.
“Anak-anak kita didekati lewat bacaan, tontonan, media sosial. Jadi orang tua mesti benar-
benar selektif dalam hal ini,” imbau Pendiri Gerakan Nasional Anti Miras itu.
Sebelum menutup sesi paparannya, Fahira mengatakan bahwa penting negara ini memiliki
UU Ketahanan Keluarga dan UU Anti LGBT.*
Dimana perilaku itu menurut GIB dilakukan oleh putra-putra bangsa yang seharusnya
menjadi teladan, seperti perilaku korupsi dan sebagainya.
Ketua Dewan Presidium GIB, Bagus Riyono mengatakan, perilaku-perilaku tersebut berakar
pada buruknya pendidikan dan pembangunan karakter, serta dilupakannya nilai-nilai
Pancasila dalam program pembangunan nasional.
Ia menilai, kepemimpinan sejati adalah yang mempengaruhi manusia untuk berubah menjadi
lebih baik. Agar, secara bersama-sama bergerak menuju sebuah bangsa yang beradab dan
berperadaban tinggi dan mulia.
“Karenanya, pembangunan karakter anak bangsa adalah lebih utama demi membentuk
masyarakat yang bermoral dan beradab, sehingga akan berdampak jangka panjang. Bukan
pembangunan infrastruktur yang melahirkan decak kagum sesaat,” ujarnya dalam keterangan
tertulis kepada hidayatullah.com di Jakarta, Senin (13/03/2017).
Untuk itu, GIB, mengimbau seluruh elemen bangsa, khususnya pemangku amanah
kepemimpinan dan pembangunan nasional, untuk lebih mengarahkan pembangunan kualitas
manusia jangka panjang.
Yaitu, jelas Bagus, pembangunan yang bermoral dan beradab berdasarkan Pancasila.
Para pemangku amanah nasional juga diimbau agar menjadikan nilai-nilai Pancasila,
terutama Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, untuk
membina, menyaring, memutuskan, dan menyepakati setiap ikhtiar pembangunan.
Pembangunan yang dalam perspektif kenegarawanan yang jauh ke depan, serta jauh dari
kepentingan politik sesaat, imbuhnya.*
Indikasi itu minimal dapat dilihat dari tiga yang sedang dan akang berlangsung yakni proyek
Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Majalengka, proyek kereta cepat Bandung
Jakarta serta sentra ekonomi terpadu (Metropolitan City) meliputi Depok,Bekasi dan
Kawarang.
“Dampak ekonominya jelas ada namun yang tidak kalah pentingnya adalah dampak sosial
dan spiritualitasnya. Jangan sampai ekonominya maju namun gersang disisi spiritual
keislamannya,” ungkap Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Isndonesia (ICMI) Jabar
Prof.H.M.Najib dalam acara mudzakarah di gedung aula ICMI Jabar Jl.Cikutra Kota
Bandung, Kamis (21/1/2016).
“Sungguh ironis jika ada daerah mengalami pembangunan yang maju dan berkembang
namun masyarakat sekitar hanya sebagai pekerja atau paling banter punya kios atau
warung,sementara orang asing yang punya mall dan tinggal di perumahan elit,”ujarnya.
Ia juga mengingatkan dampak sosial dari pembangunan yang secara tidak langsung juga
mengalami pergeseran dari sisi budaya dan perilaku masyarakatnya. Najib mencontohkan
masyarakat agraris yang religius dengan masih menjunjung norma agama mungkin akan
berpengaruh jika berubah menjadi masyarakat industrial. Perubahan rutinitas masyarakat
agraris dengan aktivitas keagamaan yang kental lambat laun akan berganti dengan aktivitas
hedonitas sebagai tuntutan gaya hidup modern.
“Tentu saja dampak ini yang tidak kita inginkan,dengan adanya pembangunan harusnya
kehidupan masyarakat Jabar yang religius harus maju dan berkembang bukan sebaliknya
kehidupan keagamaan menjadi gersang,”imbuhnya.
Untuk itu ICMI sebagai wadah kaum intelektual harus mengambil peran dalam menghadapi
dan menjawab tantang sekaligus peluang zaman dengan adanya pembangunan.
Pihaknya,menurutnya Najib, akan melakukan dialog dan sumbang saran pemikiran kepada
pihak-pihak terkait baik pemerintah maupun swasta dalam merencanakan maupun pelaksana
lapangan. Dengan demikian pembangunan selain berdampak pada peningkatan taraf hidup
(ekonomi) juga berkembangnya kehidupan spiritualnya.
Hal yang sama juga disampaikan Ketua Umum Kadin Jabar,Agung Suryamal yang
mengungkapkan bahwa umat Islam di Jawa Barat harus bisa mengambil peran dalam setiap
momen pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah. Menurutnya, modernisasi dalam
berbagai aspek kehidupan adalah sebuah keniscayaan untuk sebuah kemajuan perabadan
manusia. Demikian juga dampaknya baik positif maupun negatifnya setiap pada setiap
perubahan.
Menurutnya saya ummat Islam jangan takut dengan perubahan sebagai dampak dari sebuah
proses pembangunan. Ummat Islam juga harus maju dan berkembang seiring dengan
kemajuan zaman,yang dibutuhkan adalah kesiapan baik skill maupun mental,”ingatnya.
Dirinya mencontohkan, beberapa proyek yang tengah berlangsung di Jawa Barat sebagian
besar menggunakan tenaga kerja asing karena secara kualitas dan kompetensi mereka
memenuhi syarat yang ditetapkan perusahaan (investor). Namun disisi lain hal demikian jika
tidak dipahami masyarakat maka bisa menimbulkan dampak sosial seolah investor lebih
berpihak pada tenaga asing daripada pribumi atau lokal.
Untuk itu pihaknya mengajak kepada masyarakat Jawa Barat, khususnya kaum muslim agar
mempersiapkan diri untuk menghadapi kamajuan zaman tersebut. Ia mengingat umat Islam
sebagai ummat terbaik harus mampu menunjukan predikat tersebut dalam semua bidang
kehidupan.
“Sebagai muslim dan pernah tinggal di pesantren tentu saya juga tidak mau jika ummat Islam
khususnya yang berada di Jawa Barat ini hanya sebagai “penonton” atas kemajuan
pembangunan yang ada. Mari saling bersinergi dan menguatkan serta menjalin kerjasama
antar elemen umat Islam dengan pelaku usaha untuk maju dan berkembang
bersama,”ajaknya.
cara Mudzakaroh ICMI Jabar,yang mengambil tema “Islam dan Peta Pembangunan Jabar”
diikuti seratusan peserta.Turut hadir dalam kesempatan tersebut Linda Al Amin selaku
Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Prov.Jabar. Dalam
kesempatan tersebut Linda lebih banyak menyampaikan rencana dan capaian pembangunan
di wilayah Jabar serta mendengan dan menampung aspirasi dari peserta yang memberi
masukan.*
Menurut Awang Faroek, dengan penataan moral yang baik, akan melahirkan kesejahteraan
dalam berbagai dimensi. Secara fisik, akan terjadi pemerataan pembangunan.
“Apatah lagi memang berangkat dari penataan paradigma, pemikiran, dan itu harus berbasis
moral yang baik,” ujarnya di kantornya, Jl Gajah Mada No 2, Samarinda, Kaltim.
“Moralitas yang baik, insya Allah melahirkan suatu aktifitas yang baik di seluruh dimensi
itu,” ujarnya seperti ditirukan ketua panitia munas Hamzah Akbar kepada hidayatullah.com
di Jakarta, Rabu (07/10/2015).
Pernyataan itu disampaikan gubernur sebagai apresiasinya terhadap tema munas tersebut.
“Sangat tepat tema yang saat ini diangkat, yaitu ‘Membangun Moralitas Bangsa Menuju
Kesejahteraan Umat’,” lanjut Awang Faroek.
Gubernur berharap, munas tersebut melahirkan gagasan-gagasan yang sinergis dengan
berbagai program pemerintah.
Editor:
Ada dua hal terkait tujuan kegiatan yang disampaikan Menag Lukman. Pertama,
menginformasikan kepada pengurus ormas Islam termasuk media-media Islam terkait
sejumlah program yang akan diselenggarakan Kementerian Agama, khususnya Ditjen Bimas
Islam.
"Diharapkan semua peserta khususnya para pemuka agama Islam memahami apa saja yang
dilakukan pemerintah terkait pengembangan keagamaan di lingkungan umat Islam," kata
Menag, Jumat (11/08).
Kedua, mendapatkan masukan sekaligus menyerap aspirasi dari umat Islam melalui para
pimpinan ormas-ormasnya dan Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, mengenai program yang
perlu dilakukan di masa mendatang.
"Diharapkan dengan dua hal ini, tidak hanya eksistensi Bimas Islam semakin dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat, tetapi sekaligus mampu memenuhi harapan umat terkait dengan
kehidupan keagamaan," ujar Menag Lukman.
Sebelumnya, Dirjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin melaporkan bahwa kegiatan yang
bertema "Serap Aspirasi Bimbingan Masyarakat Islam" ino diselenggarakan dari 10 - 11
Agustus 2018. Kegiatan ini diikuti 220 peserta, terdiri dari Kakanwil Kemenag Provinsi,
Kabid Zakat-Wakaf, Kabid Urais dari seluruh Provinsi, tokoh ulama, pimpinan ormas Islam
serta para pegiat media Islam.
Abdullah Nasih Ulwan berpendapat, keteladanan merupakan kunci dari pendidikan akhlak
seorang anak
Muhammad Abdus Syakur/hidayatullah.com
[Ilustrasi] Santri belajar pendidikan agama.
Terkait
Keberhasilan yang dimaksud di sini bukan hanya dalam bidang intelektual, melainkan anak
didik yang berhasil adalah yang memiliki akhlakul karimah (akhlak yang mulia).
Pendidikan yang sukses selalu melihat pada anak didik, sebagai objek pendidikan. Anak didik
yang sukses merupakan produk dari pendidik yang sukses. Ketika ingin mengindentifikasi
pendidik yang cerdas, maka lihatlah anak didiknya.
Ibn Sina mengatakan, guru yang baik adalah guru yang cerdas, mengetahui cara mendidik
anak, dan cakap dalam mendidik anak.
Senada, Abdullah Nasih Ulwan berpendapat, keteladanan merupakan kunci dari pendidikan
akhlak seorang anak.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu;
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari
Kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah yang
Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48).
Disayangkan, negeri yang telah memiliki enam Undang-Undang Pendidikan Nasional ini
sedang mengalami krisis keteladanan.
Sebelumnya pernah dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan, kualitas
guru di Indonesia sangat memprihatinkan.
Terbukti dengan banyaknya guru yang tidak mengembangkan potensi diri. Sebagiannya
hanya memahami bahwa tugas sebagai pendidik tak lebih dari rutinitas mengajar dan
menuntaskan kriteria pembelajaran atau kurikulum yang dibebaninya.
Guru demikian, biasanya cenderung abai apakah muridnya paham atau tidak paham atas
penyampaiannya. Mereka hanya peduli bahwa RPP dan materi pelajaran telah dipenuhi dan
tuntas dilaksanakan.
Dalam pendidikan Barat sekular, guru hanya mengajarkan ilmu pengetahuan yang cukup
diketahui dan tidak perlu diterapkan.
Guru tidak wajib memiliki kepribadian yang baik, sehingga pendidikan keteladanan tidak
dapat berlangsung atau kurang maksimal.
Mirisnya kondisi di atas mulai merambat ke sebagian di negeri ini. Guru datang ke sekolah
hanya mengajar dengan metode yang menjenuhkan.
Ketiadaan keteladanan berpengaruh pada kepedulian guru terhadap muridnya. Guru lebih
gelisah ketika sang murid tak dapat menjawab soal ujian daripada muridnya yang sengaja
meninggalkan shalat.
Tak banyak guru yang mengetahui bagaimana latar belakang dan perkembangan muridnya di
kelas.
Sikap acuh seperti inilah yang dikhawatirkan oleh sebagian orang tua yang telah
mengamanahkan anaknya untuk dididik di sekolah.
Terkadang, kepedulian guru hanya sebatas pada lingkungan sekolah. Jadi ketika seorang anak
melakukan kenakalan di luar sekolah, guru pun tidak menunjukkan kepeduliannya.
Lebih jauh, kondisi di atas mengantar murid tidak bisa memahami urgensi dan tujuan dalam
menuntut ilmu. Sehingga mereka cenderung meremahkan ilmu.
Padahal ilmu memiliki kedudukan tinggi dalam ajaran Islam. Kewajiban seorang murid
bukan hanya untuk memahami ilmu, tapi juga mengamalkan ilmu yang dipahami.
Sorang murid harus memiliki adab terhadap guru dan aktivitas keilmuan. Karena dengan
adab, murid itu bisa khusyuk kepada Allah.
Oehnya, jika seorang murid yang cerdas secara intelektual tapi berperilaku buruk. Maka tak
bukan, itu difaktori dengan ilmu yang tak berkah.
Burhanuddin Az-Zarnuji pernah berkata, banyak dari para pencari ilmu yang sebenarnya
mereka sudah bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak merasakan
nikmatnya ilmu.
Hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang memperhatikan adab dalam menuntut
ilmu.
Fenomena loss of adab (hilangnya adab) dalam pendidikan patut menjadi alasan kecemasan
segenap orangtua dan para guru.
Berbagai kasus amoral kian merebak dan bertambah. Nyaris kejahatan tak beradab itu tak
henti setiap hari.
Sebagai sosok pelajar atau mahasiswa, bisa dikata mustahil jika mereka tak mengetahui
bahwa perbuatan biadab tersebut sangat dilarang dan haram hukumnya dalam Islam.
Pastinya, bukan untuk menyalahkan sepihak kepada guru atau orangtua di sekolah dan di
rumah. Tapi perlu diingat, keduanya memegang peran yang sangat vital dalam proses
pendidikan.
Oehnya, pendidikan yang sukses adalah bukan pendidikan yang sekadar ditopang dengan
gedung megah dan fasilitas mewah serta kurikulum yang wah saja.
Pendidikan yang berhasil adalah ketika sng gukewajibannya sebagai pendidik. Yaitu
mengajarkan ilmu dan menanamkan adab kepada murid-muridnya.
Bukan cuma memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowldge) tapi juha memindahkan
nilai dan kepribadian (transfer of value). Dengan prinsip demikian, niscaya guru menjadi
sosok teladan dan murid menjadi pribadi beradab.*
Mahasiswa Magister Pendidikan Islam UIKA Bogor
Acara diikuti peserta dari Kantor Wilayah Kemenag Provinsi, ormas, yayasan, dan lembaga
kemitraan Kemenag.
Teten Romli Qomaruddin, peserta rapat dari Dewan Dakwah, merespon positif kegiatan serap
aspirasi tersebut. ‘’Agar policy pemerintah yang bersifat keummatan seperti pemanfaatan
dana haji terlebih dahulu melalui kajian yang melibatkan berbagai unsur ummat. Sehingga,
kebijakan pemerintah tidak meresahkan ummat,’’ Teten memberi contoh.
Nah, setelah mengikuti rapat koordinasi tadi, Ketua Bidang Kajian Ghazwul Fikri dan
Harakah Haddamah, Pusat Kajian Dewan Dakwah, ini memberikan sejumlah catatan kritis.
Teten menyoroti adanya kecenderungan untuk mengaburkan substansi dalam Buku Panduan
Depag, seperti istilah ‘’aliran menyimpang’’ yang diganti dengan ‘’aliran bermasalah’’.
‘’Pengubahan istilah ini bukan perkara sepele, karena maknanya jadi bias. Ajaran yang
tadinya menyimpang atau keluar dari Islam seperti Ahmadiyah, hanya dianggap
bermasalah,’’ papar anggota bidang penelitian dan pengembangan Majelis Ormas Islam ini.
Teten yang kandidat doktor Universitas Ibnu Khaldun Bogor, juga mengkritik penggunaan
istilah semacam ‘’wahabisme’’ dalam riset dan terbitan Depag.
‘’Istilah ‘wahabi’ harus diklarifikasi agar clear, dan riset-riset serta buku-buku yang memuat
stigma semacam ini perlu ditinjau ulang,’’ ujar anggota majelis Fatwa MIUMI (Majelis
Intelektual Ulama Muda Indonesia) Pusat tersebut.
Teten yang wakil sekretaris komisi dakwah khusus MUI Pusat, juga menyayangkan upaya
peninjauan ulang terhadap “sepuluh kriteria pedoman identifikasi aliran sesat” yang
dirumuskan MUI Pusat.
Rumusan tersebut merupakan hasil Rakernas MUI di Jakarta pada 6 November 2007.
Kesepuluh kriteria itu adalah: Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6; Meyakini dan
atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah; Meyakini turunnya
wahyu setelah al-Quran; Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran;
Selanjutnya, mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; Mengubah,
menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah,
seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; Mengkafirkan sesama muslim tanpa
dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.
‘’Rumusan itu sudah tepat menjadi pedoman ummat. Jangan dilemahkan, tapi justru harus
lebih dikuatkan,’’ tandas Teten.
Dewan Dakwah sangat menghargai dan mengapresiasi Kemenag yang membagikan buku,
jurnal, dan berbagai referensi untuk menghidupkan gerakan literasi perpustakaan masjid di
Indonesia.
Untuk program penyuluhan agama melalui Kantor Urusan Agama khususnya di daerah-
daerah terpencil dan pedalaman, Dewan Dakwah berharap agar pemerintah bersinergi dengan
para da’i yang dikirimkan ormas-ormas Islam. (des)