Anda di halaman 1dari 11

AL JARH WA AT TA’DIL

Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Ulum al-Hadits
Dosen Pengampu: Drs. H. Soeparyo, M.Ag

Oleh:
Akhmad Syafi’i Ma’arif 1403076033
Lisa Nur Janah 1608076025
Rezky Ferry Nanditaputri 1608076026

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
A. PENDAHULUAN
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang sifat-sifat seorang
rawi yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
Faedah mempelajari ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang
rawi di–jarh oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, maka periwayatannya harus
ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya
diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
Diantara landasan syara’ yang dijadikan dasar atas penerapan al jarh wa ta’dil ialah
firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al-Hujuraat (49) ayat 6:

ٍ ِ ِ ِ ِ َّ
ْ ُ‫ين اآمنُوا إِن اجاءا ُك ْم فااس ٌق بِنا باٍإ فاتا با يَّنُوا أان تُصيبُوا قا ْوًما ِبا اهالاة فات‬
‫صبِ ُحوا اعلا ٰى اما فا اع ْلتُ ْم‬ ‫اَي أايُّ اها الذ ا‬
‫ي‬ ِِ
‫اَندم ا‬
Artinya: Hai orang–orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.

Secara tegas ayat tersebut menunjukkan tentang wajibnya tabayyun (memeriksa dan
meneliti) berita dari orang fasik, dan tidak menerima begitu saja. Sehingga dalam
makalah ini akan dibahas lebih dalam mengenai al jarh wa at ta’dil terutama dalam hal
pengertian, objek-objek, dan lafaz-lafaz al jarh wa at ta’dil itu sendiri.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, perumusan masalah dalam
makalah ini meliputi:
1. Apa pengertian dari al jarh wa at ta’dil ?
2. Apa saja macam-macam kaidah al jarh wa at ta’dil ?
3. Bagaimana martabat-martabat al jarh wa at ta’dil ?
4. Bagaimana kehati-hatian ulama al jarh wa at ta’dil ?

1
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian al jarh wa at ta’dil
Kata al jarh (‫ )الجرح‬merupakan bentuk masdar dari kata ‫ جرح – يجرح‬yang berarti
melukai. Sedangkan at ta’dil )‫ (التعديل‬berarti menegakkan (‫)التقويم‬, membersihkan
)‫(التزكية‬, dan membuat seimbang )‫(التسوية‬.1
Menurut bahasa, jarh ialah melukai tubuh ataupun yang lain dengan
menggunakan benda tajam, pisau, pedang, dan sebagainya. Luka yang disebabkan
oleh karena pisau dan sebagainya dinamakan jurh. Dan dinamakan pula jarh dengan
memaki dan menistai, baik di muka ataupun di belakang. Sedangkan ta’dil ialah
menyama ratakan, mengimbangi sesuatu dengan yang lain dan menegakkan keadilan
atau berlaku adil.2
Menurut istilah, jarh ialah menyebut sesuatu yang dengan karenanya tercacatlah si
perawi (menampakkan keaiban yang dengan keaiban itu tertolaklah riwayat).
Sedangkan ta’dil ialah mensifati si perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya
orang memandangnya adil, yang menjadi sumbu penerimaan riwayatnya. 3
Ilmu al jarh wa at ta’dil adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui sifat
negatif dan positif perawi Hadits yang berpengaruh pada kualitas Hadits yang
diriwayatkannya. Dengan al jarh, segi-segi kelemahan atau kecacatan perawi
diungkapkan. Sedangkan dengan at ta’dil, segi-segi penilaian positif pada perawi
diungkapkan. Dengan begitu dapat diketahui apakah sebuah Hadits yang
diriwayatkan perawi tersebut dapat dipercaya atau tidak.4

2. Macam-Macam Kaidah al jarh wa at ta’dil


Kaidah-kaidah jarh dan ta’dil ada 2 macam:
1) Naqdun Kharijiyun, merupakan kritik yang datang dari luar hadits (kritik yang
tidak mengenai diri hadits). Kritik ini bersandar kepada cara-cara dalam
periwayatan hadits, shahnya periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan
kepada mereka.
2) Naqdun Dakhiliyun, merupakan kritik dari dalam hadits, yaitu berpautan dengan
hadits itu sendiri apakah maknanya sahih atau tidak dan apa jalan-jalan
keshahihannya dan ketiadaan keshahihannya.

1
Mohammad Gufron, dan Rahmawati, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 63.
2
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hlm. 358.
3
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan ..., hlm. 358.
4
Mohammad Gufron, dan Rahmawati, Ulumul Hadits ..., hlm. 63.

2
Tiadalah diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang
benar-benar mencacatkan. Ibnu Hadjar dalam muqaddimah Fathul Bari berkata
“Tiadalah diterima pencacatan terhadap seseorang terkecuali dengan ada sesuatu
yang terang mencacatkan, karena mencacatkan seseorang berbeda-beda, dan
semuanya berkisar sekitar perkara yang lima ini, yaitu: bid’ah5, menyalahi orang
lain, kekhilafan, tidak diketahui keadaan si perawi, ada tuduhan bahwa sanadnya
munqathi’6, seperti dikatakan bahwa perawi itu mentadlis7 atau mengirsal8.
Bid’ah yang disifatkan perawi, adakalanya bid’ah yang mengkafirkan, adakalanya
memfasikkan. Dan haruslah bid’ah yang mengkafirkan itu adalah bid’ah yang
disepakati oleh semua imam, seperti orang-orang Rafidli9. Sedangkan bid’ah yang
memfasikkan misalnya orang-orang Khawarij10.
Mengenai perlainan riwayat dengan perawi-perawi lainnya karena riwayat
dipandang syadz dan mungkar. Maka apabila seseorang yang kuat ingatannya dan
bersifat benar meriwayatkan sesuatu, sedang riwayat orang yang lebih hafal dari
padanya atau lebih banyak bilangan berlawanan dengan riwayatnya dan tak dapat
dikumpulkan, maka riwayatnya disebut syadz. Dan terkadang-kadang perlainan itu
sangat berat atau yang meriwayatkan itu seorang yang lemah hafalannya, maka
riwayatnya dinamakan munkar.
Mengenai kekhilafan, maka kadang-kadang banyak terjadi kekhilafan dan
terkadang-kadang tidak banyak. Maka kalau dia banyak kekhilafan hendaklah
diperhatikan riwayat-riwayat orang yang lain, jika ada dapatlah kita menetapkan
bahwa yang kita pegangi, ialah asal hadits, karena ada diriwayatkan juga dari orang
lain. Jika tidak diperoleh jalan yang lain maka hendaklah kita tinggalkan riwayatnya.
Mengenai orang yang tidak diketahui keadaannya, maka hendaklah ditinggalkan
haditsnya hingga jelas keadaannya, apakah diterima atau ditolak.
Dan janganlah terkicuh dengan pencacatan-pencacatan yang dilakukan oleh
sebagian ulama terhadap sebagian yang lain lantaran perbedaan aqidah. Sebenarnya

5
Bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contohnya di masa terdahulu.
Sedangkan secara istilah, sesuatu dari urusan agama yang diada-adakan setelah wafatnya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa ada dasarnya.
6
Hadis Munqati’ adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, maupun disandarkan kepada yang lain. Munqathi’ berarti terputus sanadnya.
7
Tadlis memiliki arti melakukan penipuan.
8
Mursal memiliki arti melepaskan, hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in.
9
Rafidli (Syiah Rafidlah) merupakan orang-orang yang mengatakan bahwa ke-Tuhanan hinggap pada diri Ali,
atau mengimani Ali akan kembali ke dunia sebelum hari Kiamat.
10
Khawarij merupakan golongan-golongan yang nyata menyalahi dasar-dasar sunnah.

3
segolongan ulama telah mencela segolongan yang lain lantaran golongan yang kedua
ini mencampuri urusan keduniaan.11

3. Martabat-Martabat al jarh wa at ta’dil


Tingkatan lafal pen-tajrih-an
Tingkatan lafal pen-tajrih-an bagi rawi, sebagai berikut:
1) Pertama, menunjuk kepada mubalaghah12. Contoh:
– Akdzabun nas (orang yang paling dusta)
– Ilaihil muntaha fil kadzib (orang yang paling mantap kebohongannya)
2) Kedua, sifat sifat yang di bawah dari itu. Contoh:
– Dajjal (orang yang penipu)
– Kadzdzab (orang yang pembohong)
3) Ketiga, menunjuk pada tuduhan dusta dan lain sebagainya. Contoh:
– Fulan muttham bil kadzib (si anu tertuduh dusta)
– Fulan yasriqul hadits (si anu mencuri hadis)
4) Keempat, menunjuk di bawah itu. Contoh:
– Dla’ifiddan (orang yang lemah)
– Fulan mardudul hadits (orang yang ditolak hadisnya)
5) Kelima, menunjuk sifat sifat yang di bawahnya. Contoh:
– Fulan laa yuhtajju bihi (orang yang hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah13)
6) Keenam, inilah yang enteng dari segala martabat. Contoh:
– Fihi maqal
– Adna maqal
– Dlu’ifa yunkiru marrah wa ya’rifu ukhra (terkadang-kadang dia meriwayatkan
hadis munkar, dan terkadang kadang dia meriwayatkan hadits masyhur)14

Dalam menggambarkan kecacatan dan keadilan seorang perawi, ulama


menggunakan lafal atau ucapan yang bervariasi. Ada yang menggunakan perkataan
yang berlebihan untuk menerangkan ta’dil seseorang, seperti, “Orang yang benar-
benar menjadi hujjah”. Selain itu, ada juga yang biasa saja, misalnya, “orang yang

11
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan ..., hlm 359-361.
12
Mubalaghah memiliki arti gaya bahasa, menguatkan atau menyangatkan artinya.
13
Hujjah merupakan bukti, alasan, tanda.
14
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan ..., hlm 371.

4
benar”.15 Perbedaan perkataan menunjukkan perbedaan kualitas masing-masing
periwayat. Jadi, kualitas ‘adil seorang periwayat dapat dilihat dari ungkapan-
ungkapan tersebut.

Tingkatan Ta’dil
Tingkatan –tingkatan ta’dil menurut As- Syahawi dalam Syarah Alfiah Ulumul
Hadis adalah sebagai berikut.
1) Setinggi-tingginya, ialah lafal yang menunjukkan kepada mubalaghah, seperi:
Illahil Muntaha, atau autsaqunnas, atau Adl-baththunnas khifdhan, Ilaihil
muntaha fits Tsabti.
2) Ta’dil yang mengulangi kata pujian, baik dari kata yang sama atau mirip. Seperti:
Tsiqah-tsiqah, Tsabat-Tsabat. Pujian pada derajat ini tidaklah sama dengan pujian
pada tingkat pertama.
3) Ta’dil dengan menggunakan pujian tanpa pengulangan. Seperti: hujjah, imam,
dhabit.
4) Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan kebaikan seseorang,
tetapi tidak melukiskan kecermatan atau kekuatan hafalan. Misalnya: Laa ba’sa
bihi. Perkataan ini, memberi pengertian bahwa orang itu kurang kuat hafalannya.
5) Ta’dil dengan menggunakan lafal-lafal (perkataan) yang lebih dekat kepada al-
jarh. Inilah tingkatan yang paling rendah dari tingkatan-tingkatan lafal ta’dil.

Sedangkan Ibnu Hajar menyusun tingkatan ta’dil ke dalam 6 tingkat


1) Berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut
tafdhil. Contoh:

‫أوثق الناس‬ (orang yang paling tsiqah)

‫أثبت الناس حفظا وعدالة‬ (orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya)

‫إليه املنتهي ىف الثبت‬ (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)

2) Berbentuk pengulangan lafal yang sama atau dalam maknanya saja. Contoh:

‫ثبت ثبت‬ (orang yang teguh dalam pendiriannya)

‫ثقة ثقة‬ (orang yang tsiqah lagi tsiqah)

15
Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadis, (Yogyakarta: Grha Guru, 2008), hlm. 132.

5
‫ثبة ثقة‬ (orang yang teguh lagi tsiqah)

‫ضابط متقن‬ (orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya)

3) Menggunakan lafal yang mengandung arti kuat ingatan. Contoh:

‫ثبت‬ (orang yang teguh hati dan lidahnya)

‫متقن‬ (orang yang meyakinkan ilmunya)

‫ثقة‬ (orang yang tsiqah)

‫احافظ‬ (orang yang kuat hafalannya)

4) Menggunakan lafal yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil. Contoh:

‫صدوق‬ (orang yang sangat jujur)

‫مأمون‬ (orang yang dapat memegang amanat)

‫الأبس به‬ (orang yang tidak cacat)

5) Menggunakan lafal yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada ke-dhabit-an.


Contoh:

‫حمله الصدق‬ (orang yang berstatus jujur)

‫جيد احلديث‬ (orang yang baik haditsnya)

‫حسن احلديث‬ (orang yang bagus haditsnya)

6) Menggunakan lafal yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat


diatas yang diikuti lafal “insya Allah”, atau di-tashghit-kan, atau lafal tersebut
dikaitkan dengan pengharapan. Contoh:

‫صدوق إن شاءهللا‬ (orang yang jujur, jika Allah menghendaki)

‫فالن أرجوا أبن الأبس به‬ (orang yang diharapkan tsiqah)

‫فالن صويلح‬ (orang yang shalih)

‫فِ االن مقبو حديثه‬ (orang yang diterima haditsnya)

Dalam tingkatan-tingkatan ta’dil diatas. Sifat perawi yang ditonjolkan adalah


kekuatan hafalan (dhabit), ketelitian kecermatan disatu sisi, serta kejujuran pada sisi

6
yang lain. Itulah sebabnya pada tingkatan yang tinggi. Penilaian yang ditonjolkan
kecerdasan, ketelitian, kecermatan, dan kekuatan hafalan serta kejujuran seorang
periwayat.
Sedangkan pada tingkatan ta’dil yang paling ringan terlihat bahwa periwayat
diberikan predikat orang yang jujur, namun tidak menonjol kecerdasan dan kekuatan
hafalannya. Dengan demikian untuk menentukan kualitas seorang rawi, maka aspek
moralitas dan intelektualitas sangat diprioritaskan
Penyebab hilangnya keadilan seorang rawi dikarenakan ada lima sifat, yaitu:
a) Berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
b) Dituduh berdosa
c) Fasiq, tetapi tidak sampai derajat kufur
d) Kebodohan.
e) Bid’ah

Tingkatan-tingkatan al jarh
Seperti halnya dalam ungkapan ta’dil, maka dalam celaan (al jarh) pun ungkapan
yang digunakan juga bertingkat-tingkat. Tingkatan-tingkatan jarh adalah sebagai
berikut.
Tingkatan jarh Menurut al- Razi sebagai berikut:
1) Apabila para ulama mengatakan tentang seorang rawi bahwa ia layyin al-Hadist,
maka ia adalah orang yang hadistnya dapat ditulis dan diperhatikan untuk i’tibar.
2) Apabila mereka menyatakan laisa bi Qawiyyin, maka yang bersangkutan sama
dengan tingkatan pertama dalam hal dapat ditulis hadistnya tetapi berada
dibawahnya.
3) Apabila mereka menyatakan Dha’if al-Hadist, maka yang bersangkutan berada
dibawah tingkatan kedua, tetapi hadisnya tidak boleh ditolak, melainkan untuk
i’tibar.
4) Apabila mereka menyatakan Matruk al- Hadist, atau Dzahih al-Hadist atau
Kadzdzaab, maka yang bersangkutan hadisnya gugur dan tidak boleh ditulis. Ia
menempati tingkatan keempat.16

Sedangkan menurut Ibnu Abi Hatim, beliau membagi tingkatan tajrih menjadi 4
tingkatan sebagai berikut:

16
Nurruddin,’Ulumul Hadist, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 85.

7
1) Hadistnya ditulis dan diperhatikan sebagai bahan i’tibar jika berada pada tingkat
layyin al-hadts.
2) Penulisannya berada pada tingkat pertama (dengan tidak di i’tibari) jika lafalnya
laysa bi al-qawwi.
3) Hadistnya tidak dibuang melainkan hanya sebagai bahan I’tibar jika lafalnya
dha’if al-hadist.
4) Jika lafalnya matruk al-hadist, atau dzahib al-hadist, atau kadzhab, maka
hadistnya gugur dan tidak boleh ditulis.17

Dalam menilai kecacatan rawi, yang ditonjolkan juga adalah aspek intelektualitas
dan moralitas. Jarh dengan kadar yang terberat menonjolkan kedustaan. Rawi yang
tidak menonjol kedustaannya, dijatuhi dengan jarh yang agak ringan. Rawi yang
tidak kelihatan pendusta, tetapi lemah hafalan dan kurang teliti, dinilai dengan jarh
yang lebih ringan lagi. Jadi penilaian kecacatan seorang rawi tergantung pada
tingkatan lafal-lafal al-Jarh.
Para ulama berbeda satu sama lain dalam cara menyusun buku tentang jarh
dan ta’dil. Ada yang menyusun kitabnya hanya terdiri satu jilid dan ada yang
berjilid-jilid. Dan begitulah dalam sistematika pembahasaannya juga berbeda.18

4. Kehati-hatian Ulama al jarh wa at ta’dil


Dalam mencacat perawi bukan hal yang mudah karena para ulama harus
menemukan kecacatan perawi tersebut. Terkadang para pencacat adalah orang yang
tercacat maka mereka sangat kuat dan teliti ketika mencatat perawi. Namun dalam
mencacat perawi harus mendapat persetujuan oleh tokoh-tokoh hadist yang lain.
Tokoh-tokoh yang sangat kuat dan teliti diantaranya adalah: Abu Hakim, An-Nasa’i,
Yahya ibn Ma’in, Yahya ibn Said Al Qhaththan dan Ibnu Hibban.
Tingkat-tingkat kekuatan para pencacat yaitu:
1) Thabaqat19 pertama : Syu’bah, Sufyan Ats-tsauri.
Syu’bah lebih kuat dari Sufyan Ats-tsauri.
2) Thabaqat kedua : Yahya ibn Said Al Qhaththan dan Ibnu Mahdi.
Yahya ibn Said Al Qhaththan lebih kuat dari Ibnu Mahdi.

17
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.
153-154.
18
Alfatih, Suryadilaga, Ulumul Hadist, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 326.
19
Thabaqat merupakan hal-hal, martabat-martabat, tingkatan-tingkatan, derajat-derajat.

8
3) Thabaqat ketiga : Yahya ibn Ma’in dan Ahmad ibn Hambal.
Yahya ibn Ma’in lebih dari Ahmad ibn Hambal.
4) Thabaqat keempat : Abu Hatim Ar Razi dan Al Bukhari.
Abu Hatim Ar Razi lebih kuat dari Al Bukhari.20

D. KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan dengan adanya al-jarh wa ta’dil
sangat bermanfaat sekali bagi ummat muslim, agar hadits tetap terjaga dengan
mengetahui sifat dalam diri rawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan
dan lemah riwayatnya atau bahkan bertolak riwayatnya. Apabila seorang rawi dinilai oleh
para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila
seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits terpenuhi.
Dalam tingkatan-tingkatan ta’dil. Sifat perawi yang ditonjolkan adalah kekuatan
hafalan (dhabit), ketelitian, kecermatan di satu sisi, serta kejujuran pada sisi yang lain.
Itulah sebabnya pada tingkatan yang tinggi. penilaian yang ditonjolkan kecerdasan,
ketelitian, kecermatan, dan kekuatan hafalan serta kejujuran seorang periwayat.
Sedangkan Dalam menilai kecacatan rawi, yang ditonjolkan adalah aspek intelektualitas
dan moralitas. Jarh dengan kadar yang terberat menonjolkan kedustaan. Oleh karena itu,
penilaian tingkat kecacatan dan keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan
mengetahui tingkat-tingkat lafal al Jarh wa Ta’dil itu sendiri.
Untuk menjadi orang yang men-ta’dil-kan atau mu’adil dan orang yang menjarahkan
atau jarih harus memiliki syarat sebagai berikut yaitu: Berilmu pengetahuan, taqwa,
wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat), jujur. menjauhi fanatik golongan,
dan mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan

E. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, semoga dapat menambah
pengetahuan, wawasan serta bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari akan
ketidaksempurnaan makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari teman-
teman sangat bermanfaat untuk memperbaiki makalah selanjutnya.

20
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan ..., hlm 374.

9
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammadiyah, 2008, Ilmu Hadist, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Abdurrahman, M., dan Elan Sumarna, 2011, Metode Kritik Hadits, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

Ash Shiddieqy, M. Hasbi, 1954, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang.

Gufron, M., dan Rahmawati, 2013, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, Yogyakarta: Teras.

Nurruddin, 2012, Ulumul Hadist. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Soebahar, M. Erfan, 2003, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Bogor: Kencana.

Suryadilaga, Alfatih, 2010, Ulumul Hadist. Yogyakarta: Teras.

10

Anda mungkin juga menyukai