Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Ulum al-Hadits
Dosen Pengampu: Drs. H. Soeparyo, M.Ag
Oleh:
Akhmad Syafi’i Ma’arif 1403076033
Lisa Nur Janah 1608076025
Rezky Ferry Nanditaputri 1608076026
ٍ ِ ِ ِ ِ َّ
ْ ُين اآمنُوا إِن اجاءا ُك ْم فااس ٌق بِنا باٍإ فاتا با يَّنُوا أان تُصيبُوا قا ْوًما ِبا اهالاة فات
صبِ ُحوا اعلا ٰى اما فا اع ْلتُ ْم اَي أايُّ اها الذ ا
ي ِِ
اَندم ا
Artinya: Hai orang–orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.
Secara tegas ayat tersebut menunjukkan tentang wajibnya tabayyun (memeriksa dan
meneliti) berita dari orang fasik, dan tidak menerima begitu saja. Sehingga dalam
makalah ini akan dibahas lebih dalam mengenai al jarh wa at ta’dil terutama dalam hal
pengertian, objek-objek, dan lafaz-lafaz al jarh wa at ta’dil itu sendiri.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, perumusan masalah dalam
makalah ini meliputi:
1. Apa pengertian dari al jarh wa at ta’dil ?
2. Apa saja macam-macam kaidah al jarh wa at ta’dil ?
3. Bagaimana martabat-martabat al jarh wa at ta’dil ?
4. Bagaimana kehati-hatian ulama al jarh wa at ta’dil ?
1
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian al jarh wa at ta’dil
Kata al jarh ( )الجرحmerupakan bentuk masdar dari kata جرح – يجرحyang berarti
melukai. Sedangkan at ta’dil ) (التعديلberarti menegakkan ()التقويم, membersihkan
)(التزكية, dan membuat seimbang )(التسوية.1
Menurut bahasa, jarh ialah melukai tubuh ataupun yang lain dengan
menggunakan benda tajam, pisau, pedang, dan sebagainya. Luka yang disebabkan
oleh karena pisau dan sebagainya dinamakan jurh. Dan dinamakan pula jarh dengan
memaki dan menistai, baik di muka ataupun di belakang. Sedangkan ta’dil ialah
menyama ratakan, mengimbangi sesuatu dengan yang lain dan menegakkan keadilan
atau berlaku adil.2
Menurut istilah, jarh ialah menyebut sesuatu yang dengan karenanya tercacatlah si
perawi (menampakkan keaiban yang dengan keaiban itu tertolaklah riwayat).
Sedangkan ta’dil ialah mensifati si perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya
orang memandangnya adil, yang menjadi sumbu penerimaan riwayatnya. 3
Ilmu al jarh wa at ta’dil adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui sifat
negatif dan positif perawi Hadits yang berpengaruh pada kualitas Hadits yang
diriwayatkannya. Dengan al jarh, segi-segi kelemahan atau kecacatan perawi
diungkapkan. Sedangkan dengan at ta’dil, segi-segi penilaian positif pada perawi
diungkapkan. Dengan begitu dapat diketahui apakah sebuah Hadits yang
diriwayatkan perawi tersebut dapat dipercaya atau tidak.4
1
Mohammad Gufron, dan Rahmawati, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 63.
2
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hlm. 358.
3
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan ..., hlm. 358.
4
Mohammad Gufron, dan Rahmawati, Ulumul Hadits ..., hlm. 63.
2
Tiadalah diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang
benar-benar mencacatkan. Ibnu Hadjar dalam muqaddimah Fathul Bari berkata
“Tiadalah diterima pencacatan terhadap seseorang terkecuali dengan ada sesuatu
yang terang mencacatkan, karena mencacatkan seseorang berbeda-beda, dan
semuanya berkisar sekitar perkara yang lima ini, yaitu: bid’ah5, menyalahi orang
lain, kekhilafan, tidak diketahui keadaan si perawi, ada tuduhan bahwa sanadnya
munqathi’6, seperti dikatakan bahwa perawi itu mentadlis7 atau mengirsal8.
Bid’ah yang disifatkan perawi, adakalanya bid’ah yang mengkafirkan, adakalanya
memfasikkan. Dan haruslah bid’ah yang mengkafirkan itu adalah bid’ah yang
disepakati oleh semua imam, seperti orang-orang Rafidli9. Sedangkan bid’ah yang
memfasikkan misalnya orang-orang Khawarij10.
Mengenai perlainan riwayat dengan perawi-perawi lainnya karena riwayat
dipandang syadz dan mungkar. Maka apabila seseorang yang kuat ingatannya dan
bersifat benar meriwayatkan sesuatu, sedang riwayat orang yang lebih hafal dari
padanya atau lebih banyak bilangan berlawanan dengan riwayatnya dan tak dapat
dikumpulkan, maka riwayatnya disebut syadz. Dan terkadang-kadang perlainan itu
sangat berat atau yang meriwayatkan itu seorang yang lemah hafalannya, maka
riwayatnya dinamakan munkar.
Mengenai kekhilafan, maka kadang-kadang banyak terjadi kekhilafan dan
terkadang-kadang tidak banyak. Maka kalau dia banyak kekhilafan hendaklah
diperhatikan riwayat-riwayat orang yang lain, jika ada dapatlah kita menetapkan
bahwa yang kita pegangi, ialah asal hadits, karena ada diriwayatkan juga dari orang
lain. Jika tidak diperoleh jalan yang lain maka hendaklah kita tinggalkan riwayatnya.
Mengenai orang yang tidak diketahui keadaannya, maka hendaklah ditinggalkan
haditsnya hingga jelas keadaannya, apakah diterima atau ditolak.
Dan janganlah terkicuh dengan pencacatan-pencacatan yang dilakukan oleh
sebagian ulama terhadap sebagian yang lain lantaran perbedaan aqidah. Sebenarnya
5
Bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contohnya di masa terdahulu.
Sedangkan secara istilah, sesuatu dari urusan agama yang diada-adakan setelah wafatnya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa ada dasarnya.
6
Hadis Munqati’ adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, maupun disandarkan kepada yang lain. Munqathi’ berarti terputus sanadnya.
7
Tadlis memiliki arti melakukan penipuan.
8
Mursal memiliki arti melepaskan, hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in.
9
Rafidli (Syiah Rafidlah) merupakan orang-orang yang mengatakan bahwa ke-Tuhanan hinggap pada diri Ali,
atau mengimani Ali akan kembali ke dunia sebelum hari Kiamat.
10
Khawarij merupakan golongan-golongan yang nyata menyalahi dasar-dasar sunnah.
3
segolongan ulama telah mencela segolongan yang lain lantaran golongan yang kedua
ini mencampuri urusan keduniaan.11
11
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan ..., hlm 359-361.
12
Mubalaghah memiliki arti gaya bahasa, menguatkan atau menyangatkan artinya.
13
Hujjah merupakan bukti, alasan, tanda.
14
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan ..., hlm 371.
4
benar”.15 Perbedaan perkataan menunjukkan perbedaan kualitas masing-masing
periwayat. Jadi, kualitas ‘adil seorang periwayat dapat dilihat dari ungkapan-
ungkapan tersebut.
Tingkatan Ta’dil
Tingkatan –tingkatan ta’dil menurut As- Syahawi dalam Syarah Alfiah Ulumul
Hadis adalah sebagai berikut.
1) Setinggi-tingginya, ialah lafal yang menunjukkan kepada mubalaghah, seperi:
Illahil Muntaha, atau autsaqunnas, atau Adl-baththunnas khifdhan, Ilaihil
muntaha fits Tsabti.
2) Ta’dil yang mengulangi kata pujian, baik dari kata yang sama atau mirip. Seperti:
Tsiqah-tsiqah, Tsabat-Tsabat. Pujian pada derajat ini tidaklah sama dengan pujian
pada tingkat pertama.
3) Ta’dil dengan menggunakan pujian tanpa pengulangan. Seperti: hujjah, imam,
dhabit.
4) Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan kebaikan seseorang,
tetapi tidak melukiskan kecermatan atau kekuatan hafalan. Misalnya: Laa ba’sa
bihi. Perkataan ini, memberi pengertian bahwa orang itu kurang kuat hafalannya.
5) Ta’dil dengan menggunakan lafal-lafal (perkataan) yang lebih dekat kepada al-
jarh. Inilah tingkatan yang paling rendah dari tingkatan-tingkatan lafal ta’dil.
أثبت الناس حفظا وعدالة (orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya)
إليه املنتهي ىف الثبت (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)
2) Berbentuk pengulangan lafal yang sama atau dalam maknanya saja. Contoh:
15
Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadis, (Yogyakarta: Grha Guru, 2008), hlm. 132.
5
ثبة ثقة (orang yang teguh lagi tsiqah)
4) Menggunakan lafal yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil. Contoh:
6
yang lain. Itulah sebabnya pada tingkatan yang tinggi. Penilaian yang ditonjolkan
kecerdasan, ketelitian, kecermatan, dan kekuatan hafalan serta kejujuran seorang
periwayat.
Sedangkan pada tingkatan ta’dil yang paling ringan terlihat bahwa periwayat
diberikan predikat orang yang jujur, namun tidak menonjol kecerdasan dan kekuatan
hafalannya. Dengan demikian untuk menentukan kualitas seorang rawi, maka aspek
moralitas dan intelektualitas sangat diprioritaskan
Penyebab hilangnya keadilan seorang rawi dikarenakan ada lima sifat, yaitu:
a) Berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
b) Dituduh berdosa
c) Fasiq, tetapi tidak sampai derajat kufur
d) Kebodohan.
e) Bid’ah
Tingkatan-tingkatan al jarh
Seperti halnya dalam ungkapan ta’dil, maka dalam celaan (al jarh) pun ungkapan
yang digunakan juga bertingkat-tingkat. Tingkatan-tingkatan jarh adalah sebagai
berikut.
Tingkatan jarh Menurut al- Razi sebagai berikut:
1) Apabila para ulama mengatakan tentang seorang rawi bahwa ia layyin al-Hadist,
maka ia adalah orang yang hadistnya dapat ditulis dan diperhatikan untuk i’tibar.
2) Apabila mereka menyatakan laisa bi Qawiyyin, maka yang bersangkutan sama
dengan tingkatan pertama dalam hal dapat ditulis hadistnya tetapi berada
dibawahnya.
3) Apabila mereka menyatakan Dha’if al-Hadist, maka yang bersangkutan berada
dibawah tingkatan kedua, tetapi hadisnya tidak boleh ditolak, melainkan untuk
i’tibar.
4) Apabila mereka menyatakan Matruk al- Hadist, atau Dzahih al-Hadist atau
Kadzdzaab, maka yang bersangkutan hadisnya gugur dan tidak boleh ditulis. Ia
menempati tingkatan keempat.16
Sedangkan menurut Ibnu Abi Hatim, beliau membagi tingkatan tajrih menjadi 4
tingkatan sebagai berikut:
16
Nurruddin,’Ulumul Hadist, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 85.
7
1) Hadistnya ditulis dan diperhatikan sebagai bahan i’tibar jika berada pada tingkat
layyin al-hadts.
2) Penulisannya berada pada tingkat pertama (dengan tidak di i’tibari) jika lafalnya
laysa bi al-qawwi.
3) Hadistnya tidak dibuang melainkan hanya sebagai bahan I’tibar jika lafalnya
dha’if al-hadist.
4) Jika lafalnya matruk al-hadist, atau dzahib al-hadist, atau kadzhab, maka
hadistnya gugur dan tidak boleh ditulis.17
Dalam menilai kecacatan rawi, yang ditonjolkan juga adalah aspek intelektualitas
dan moralitas. Jarh dengan kadar yang terberat menonjolkan kedustaan. Rawi yang
tidak menonjol kedustaannya, dijatuhi dengan jarh yang agak ringan. Rawi yang
tidak kelihatan pendusta, tetapi lemah hafalan dan kurang teliti, dinilai dengan jarh
yang lebih ringan lagi. Jadi penilaian kecacatan seorang rawi tergantung pada
tingkatan lafal-lafal al-Jarh.
Para ulama berbeda satu sama lain dalam cara menyusun buku tentang jarh
dan ta’dil. Ada yang menyusun kitabnya hanya terdiri satu jilid dan ada yang
berjilid-jilid. Dan begitulah dalam sistematika pembahasaannya juga berbeda.18
17
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.
153-154.
18
Alfatih, Suryadilaga, Ulumul Hadist, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 326.
19
Thabaqat merupakan hal-hal, martabat-martabat, tingkatan-tingkatan, derajat-derajat.
8
3) Thabaqat ketiga : Yahya ibn Ma’in dan Ahmad ibn Hambal.
Yahya ibn Ma’in lebih dari Ahmad ibn Hambal.
4) Thabaqat keempat : Abu Hatim Ar Razi dan Al Bukhari.
Abu Hatim Ar Razi lebih kuat dari Al Bukhari.20
D. KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan dengan adanya al-jarh wa ta’dil
sangat bermanfaat sekali bagi ummat muslim, agar hadits tetap terjaga dengan
mengetahui sifat dalam diri rawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan
dan lemah riwayatnya atau bahkan bertolak riwayatnya. Apabila seorang rawi dinilai oleh
para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila
seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits terpenuhi.
Dalam tingkatan-tingkatan ta’dil. Sifat perawi yang ditonjolkan adalah kekuatan
hafalan (dhabit), ketelitian, kecermatan di satu sisi, serta kejujuran pada sisi yang lain.
Itulah sebabnya pada tingkatan yang tinggi. penilaian yang ditonjolkan kecerdasan,
ketelitian, kecermatan, dan kekuatan hafalan serta kejujuran seorang periwayat.
Sedangkan Dalam menilai kecacatan rawi, yang ditonjolkan adalah aspek intelektualitas
dan moralitas. Jarh dengan kadar yang terberat menonjolkan kedustaan. Oleh karena itu,
penilaian tingkat kecacatan dan keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan
mengetahui tingkat-tingkat lafal al Jarh wa Ta’dil itu sendiri.
Untuk menjadi orang yang men-ta’dil-kan atau mu’adil dan orang yang menjarahkan
atau jarih harus memiliki syarat sebagai berikut yaitu: Berilmu pengetahuan, taqwa,
wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat), jujur. menjauhi fanatik golongan,
dan mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan
E. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, semoga dapat menambah
pengetahuan, wawasan serta bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari akan
ketidaksempurnaan makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari teman-
teman sangat bermanfaat untuk memperbaiki makalah selanjutnya.
20
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan ..., hlm 374.
9
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M., dan Elan Sumarna, 2011, Metode Kritik Hadits, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, 1954, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang.
Gufron, M., dan Rahmawati, 2013, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, Yogyakarta: Teras.
10