TONSILITIS KRONIS
Oleh:
Ayu Indah Rachmawati 1718012087
Nabila Fatimah Azzahra 1718012090
Ocsi Zara Zettira 1718012119
Sitti Hazrina 1718012070
Perceptor :
dr. Wirawan Anggoro Tomo, Sp. An
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. FR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 19 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Pemasyarakatan, Kotabumi Selatan
No RM : 602529
Diagnosis : Tonsilitis Kronis Tenang
Tanggal Operasi : 27 Juli 2019,
Dokter Bedah : dr. Hanggoro S., Sp.THT-KL
Dokter Anestesi : dr. Imam, Sp.An
II. ANAMNESIS
Anamnesis didapatkan melalui autoanamnesis pada tanggal 27 Juli 2019
Keluhan Utama
Nyeri menelan yang hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu
Riwayat Alergi
Pasien memiliki alergi terhadap obat kotrimoksazol. Riwayat alergi makanan dan
debu disangkal.
Riwayat Keluarga
Riwayan keluarga dengan kelainan perdarahan, hipertensi, diabetes melitus,
serangan jantung, dan penyakit berat lainnya disangkal. Riwayat keluarga yang
pernah mengalami komplikasi selama operasi disangkal.
Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80mmHg
Suhu tubuh : 36 oC
Frekuensi denyut nadi : 80x/menit
Frekuensi nafas : 20x/menit
Antropometri
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 168 cm
IMT : 21.9 (normal)
Status Generalis
Kepala : Normochepal
Mata : Diameter pupil (3 mm/3 mm), refleks pupil (+/+) isokor,
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Hidung : Deformitas (-), sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, Mallapati Derajat I
Tonsil : Pembesaran (+/+), T3-T3, detritus (-/-), abses (-/-)
Leher : Pembesaran KGB Leher (-) Pembesaran Tiroid (-)
Thorax
Inspeksi : Simetris. Tidak ada retraksi otot pernapasan
Palpasi : Vokal fremitus sama kanan dan kiri. Ictus cordis teraba.
Perkusi : Perkusi sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-), BJ I
dan II Regular. Murmur (-), Gallop (-).
Abdomen
- Inspeksi : Abdomen nampak datar, distensi (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Nyeri tekan (-). Hepatomegali (-). Splenomegali (-)
Ekstremitas
- Atas : Akral Hangat. CRT < 2 detik. Edema (-/-)
- Bawah : Akral Hangat. CRT < 2 detik. Edema (-/-)
B. Radiologi
Foto Thoraks (23/07/2019)
Kesan :
- Gambaran pulmo saat ini tidak tampak jelas bayangan opak
noduler/infiltrate
- Tidak tampak kardiomegali
Persiapan Alat
Mempersiapkan mesin anestesi, monitor, selang penghubung (connector), face
mask, tensimeter, oksimeter, memastikan selang gas O2 dan N2O terhubung
dengan sumber sentral, mengisi vaporizer sevoflurane.
Mempersiapkan STATICS yaitu :
Stetoskop
Tube/ETT jenis kingking nomor 6,5; 7; 7,5 dan Spuit 20 cc
Airway (Guedel nomer 4 dan 5)
Tape/hipafix (plester)
Introducer/stilet
Connector
Suction dengan kanul nomor 10
Mempersiapkan spuit obat ukuran 3, 5 dan 10 cc.
Mempersiapkan obat yang dibutuhkan dalam procedural anestesi umum
- Fentanyl 100 mcg
- Propofol 100 mg
- Atracurium Besylate 30 mg
- Oksigen dan N2O 2 L/menit
- Sevoflurane 2 Vol. %
- Ondansetron 4 mg
- Ketorolac 60 mg
- Tramadol 100 mg
- Dexamethasone 5 mg
- Asam traneksamat 500 mg
- Neostigmin 0,5 mg
- Sulfas atropin 0,25 mg
Tahapan anestesi
1. Premedikasi
Fentanyl (IV): (2-50 mcg) x 62 kg = 124-3.100 mcg Fentanyl 150 mcg/3cc.
2. Induksi
Propofol (IV): (2-2,5 mg) x 62 kg = 124-155 mg 130 mg/13cc, lalu cek respon
reflek bulu mata pasien hingga dapat hasil respon (-).
3. Oksigenasi
Alirkan O2 5 L/menit melalui face mask, dan alirkan kearah depan wajah pasien.
4. Muscle Relaxant
Atracurium Besylate (IV): (0,4-0,5 mg) x 62 kg = 24,8-31 mg 30 mg/3cc.
5. Ventilasi
Kuasai patensi jalan nafas pasien, dengan memposisikan ekstensi kepala.
Pasang face mask, dan berikan aliran O2 2 L/menit ditambah dengan aliran
N2O 2 L/menit dan aliran Sevoflurane 2 Vol. %. Pasien diberikan ventilasi
secara manual dengan frekuensi nafas 18x/menit selama 3-5 menit. Setelah
memastikan saturasi pasien baik, lanjutkan dengan laringoskopi.
6. Laringoskopi
Sambungkan bilah dan blade laringoskop dan pastikan lampunya menyala
dengan baik, pegang laringoskop dengan tangan kiri.
Lepaskan face mask
7. Intubasi
Masukan laringoskop dari sisi mulut bagian kanan, geser lidah ke sebelah kiri,
posisikan kepala pasien ekstensi, telusuri lidah pasien dan secara visual
identifikasi epiglottis dan plica vocalis.
Masukan ETT no. 6,5 dengan tangan kanan dan hati-hati ke dalam trakea tanpa
menyentuh gigi dan jaringan lunak di dalam mulut.
Kembangkan balon dengan udara secukupnya.
Sambungkan ujung ETT dengan selang mesin anestesi.
Periksa penempatan ETT dengan cara ventilasi dengan bag valve tube. Secara
visual amati pengembangan dada dengan ventilasi tersebut dan auskultasi dada
dan abdomen untuk memastikan letak pipa di 5 titik.
Fiksasi eksterna ETT dengan plester yang telah disediakan. Tutup mata pasien
dengan plester, pasang guedel dan pindahkan dari pernafasan spontan ke
pengaturan IPPV pada ventilator dengan VT 450 ml/menit dengan frekuensi
18x/menit.
8. Maintenance
Inhalasi O2 2 L/menit, N2O 2 L/menit, dan sevoflurane 2 vol %.
Ondansentron 4 mg (IV)
Tramadol 100 mg/2cc (IV)
9. Terapi Cairan
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 62 kg )
Defisit cairan karena puasa 6 jam
(2 cc/jam x 62 kg x 6 jam) = 744 cc
Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa namun tetap
mendapat cairan infus.
Kebutuhan cairan basal (maintenance):
4 ml/kg/jam x 10 kg = 40 ml/jam
2 ml/kg/jam x 10 kg = 20 ml/jam
1 ml/kg/jam x 42 kg = 42 ml/jam
Maintenance = 102 ml/jam
Kebutuhan cairan operasi
6 ml/kgBB/jam x 62 kg = 372 ml/jam
Perdarahan yang terjadi 25 cc
EBV = 70 cc x 62 kg = 4340 cc.
Jadi perkiraan kehilangan darah = 25/4340 x 100 % = 0,57 %
Pemberian Cairan:
Kebutuhan cairan selama operasi 60 menit
= Perdarahan + maintenance + stress operasi
= 25 + 102+ 372 = 499 cc
Cairan yang sudah diberikan saat masuk ruang pre-operatif : 250 cc
Cairan yang masuk saat operasi : 350 cc
Total cairan yang masuk : 600 cc
Balance cairan : 600 cc – 499 cc = 101 cc
10. Ekstubasi
Pastikan pasien bernafas spontan dan teratur.
Melakukan suction slem pada airway pasien
Menutup aliran sevoflurane dan N2O, dan meninggikan O2 sampai 8 L/menit
Mengempiskan balon, cabut selang ETT. Segara pasang face mask dan
pastikan airway lancar dengan triple maneuver.
Pasien dipindahkan ke ruang RR.
Post Operatif
1. Intruksi di Recovery Room
Oksigenasi dengan O2 4 L/menit
Monitoring Vital Sign setiap 15 menit sampai pasien sadar dan pasang saturasi
oksigen.
Pasien di pantau hingga skor Aldrete >8.
ANALISA KASUS
Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas
masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.
Permasalahannya adalah :
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS;
menyebabkan air keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi
lebih tinggi. Tonisitas > 295 mOsm/kg. Misal: NaCl 3 %, Mannitol,
Sodium- bikarbonat, Natrium laktat hipertonik
2. Durante Operatif
1) Premedikasi
Sebagai antiemetic pada pasien diberikan ondansentron 4 mg iv
Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah maka diberikan
fentanyl 150 mcg I.V.
2) Induksi
Digunakan Propofol 130 mg I.V.(dosis induksi 2-2,5mg/kgBB)
karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan
eliminasi yang cepat.. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya
yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik. Propofol
dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu. Efeknya
adalah hipnotik. Tidak mempunyai efek analgetik maupun relaksasi
otot. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1 mg/kg BB
secara intravena. Kelebihan propofol adalah bekerja lebih cepat
daripada thiopental, konfusi pasca bedah minimal, mual muntah
pasca bedah minimal. Efek samping hipotensi, apnea sementara
selama induksi.
Pemberian Atracurium 30 mg I.V. sebagai pelumpuh otot non
depolarisasi. Atracurium merupakan pelemas otot dengan lama
kerja menengah (durasi kerja 20-45 menit). Atracurium mengalami
metabolisme non enzimatik yang tidak bergantung pada fungsi hati
dan ginjal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan gangguan
hati atau ginjal. Atracurium dapat meningkatkan pelepasan
histamin. Atracurium sebaiknya dihindari pada pasien asma karena
dapat menyebabkan bronkospasme berat. Pemulihan fungsi saraf
otot dapat terjadi secara spontan sesudah masa kerjanya berakhir ,
atau apabila diperlukan bisa diberikan obat anti kolinesterase. Dosis
awal : 0,5-0,6 mg/kgBB.
3) Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2L/2L, serta sevofluran 2 vol
%. Sevofluran terutama digunakan sebagai komponen hipnotik dalam
pemeliharaan anestesi umum. Juga memiliki efek analgesia ringan dan
relaksasi otot ringan.
Tramadol
BB = 65 kg
• Maintenance
4 x 10 kg = 40 cc
2 x 10 kg = 20 cc
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2. Perdarahan
tonsil
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensais dari serabut saraf ke V (trigeminus) melalui
ganglion spenophalatina dan pada bagian bawah mendapat sensasi dari cabang
serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeus).3
Imunologi
3.2.2 Etiologi
2. Pemeriksaan Fisik
Pada faringoskopi, tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi
dan jaringan parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat
(purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa
kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju/dempul amat
banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering
adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan dan seringkali
dianggap sebagai “kuburan” dimana tepinya hiperemis dan sejumlah
kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.7
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis
Kronis:
a)Mikrobiologi
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita
Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan
bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk
menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis
Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus
aureus.9
b)Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey
terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis
Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan
tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi
limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya
dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.9
3.2.5.Penatalaksanaan
Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat
isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi
gigi atau oral.4 Pemberian antibiotika pada penderita Tonsilitis Kronis
eksaserbasi akut Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin
(terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan
asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).
Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan
pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana
penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk
meringankan gejala-gejala.
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan
jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil
faringeal.
Indikasi Absolut
Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
d. Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy),
tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.
e. Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus
dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau
hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas
merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit
tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,
kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis
kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris
kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada keadaan yang lebih
berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak
enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat
berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut
dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk
tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup
walaupun tidak mengancam nyawa.10,11
Kontraindikasi relatif
a. Palatoschizis,
b. Radang akut, termasuk tonsilitis,
c. Poliomielitis epidemika,
d. Umur kurang dari 3 tahun. Tetapi umur disini masih menjadi
perdebatan mengenai kontraindikasi.
Kontraindikasi absolut
a. Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemofilia,
b. Penyakit sistemis yang tidak terkontrol seperti diabetes melitus,
penyakit jantung, dan sebagainya.10
3.2.6 Komplikasi
Komplikasi dibagi menjadi lokal dan sistemik. Radang kronik tonsil dapat
menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik ,
sinusitis atau otitis media secara perkontiinutatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis , artitris ,
miositis, nefritis, uveitis, iridoksilitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan
furunkulosis.
3.2.7 Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk
mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan
demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap
ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran
nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan
sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari
infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia11
3.3 Anestesi Umum
Definisi
Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat
yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan
kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Berdasarkan
pada dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia
yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai
hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek
analgesia12
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan anestesi umum
dibanding dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi lokal hilangnya rasa
sakit setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal
yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada anestesi umum yang terpengaruh
syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran13
2. Penilaian Pra-Bedah
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang
identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis
bagian tubuh yang akan dioperasi13.
a) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anesthesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat
merancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien13.
c) Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto toraks13.
Pembukaan mulut: 3 cm
Upper lip bite test: Pasien di instruksikan untuk menggigit bibir atas
dengan gigi bawah untuk menilai sendi temporomandibular
Lingkar leher > 27 inci menandakan adanya kesulitan dalam melihat
pembukaan glotis
Mallampati score
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah
terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat
kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi
dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari dasar uvula,
arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole. Semakin tinggi
skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan
intubasi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dan dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anesthesia13.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anesthesia
diantaranya13:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anesthesia.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7.Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi reflex yang membahayakan.
1) Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus
disuntikan dalam kecepatan 30-60 detik. Selama induksi anesthesia,
pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu
diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
2) Induksi intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar)
yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur.
3) Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran.
Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur
vena atau dewasa yang takut disuntik.Induksi halotan memerlukan gas
pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran
O2 > 4 liter/menit atau campuran N20 : O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter/menit,
dimulai dengan halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau
sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
II Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi
yaitu:
- Hipnosis
- Analgesia
- Relaksasi otot
Prosedur :
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi
singkat)
3. Pemeliharaan
c. Teknik Intubasi
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit,
menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau
angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas ( alat
resusitasi )
Stadium Anestesi
Stadium anestesi menurut Guedel, yaitu13,14 :
a. Stadium I
Disebut sebagai stadium analgesia. Periode sejak masuknya obat
induksi sampai hilang nya kesadaran yang ditandai dengan hilang nya
refleks bulu mata
b. Stadium II
Disebut sebagai stadium eksitasi atau delirium. Setelah kesadaran
hilang, timbul eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi ireguler, dapat
terjadi pasien menahan napas. Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan
involunter. Pasien juga dapat muntah dan ini dapat membahayakan jalan
nafas. Pada stadium ini aritmia jantung pun dapat terjadi. Pupil dilatasi
sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium ini merupakan
stadium yang beresiko tinggi
c. Stadium III
Disebut sebagai stadium pembedahan. Dimulai dari nafas otomatis
sampai henti nafas. Stadium III terbagi atas :
- Plana 1 : mulai nafas otomatis sampai gerak bola mata berhenti
- Plana 2 : mulai gerak bola mata berhenti sampai nafas torakal lemah
- Plana 3 : nafas torakal lemah sampai nafas torakal berhenti
- Plana 4 : mulai nafas torakal berhenti sampai nafas diafragma berhenti
d. Stadium IV
Intoksikasi atau overdosis obat intravena. Dimulai dari paralisis
diafragma sampai henti jantung atau meninggal
Respirasi Pupil Depresi
Stadium
Ritme Volume Ukuran Letak Refleks
I Analgesia
Tidak
sampai tidak Kecil Kecil Divergen Tidak ada
Teratur
sadar
II Sampai
pernafasan Tidak Bulu mata
Besar Lebar Divergen
teratur / Teratur Kelopak mata
otomatis
P1 : sampai
Kulit
gerakan bola Teratur Besar Kecil Divergen
konjungtiva
mata hilang
P2 : sampai
Menetap
awal parese Teratur Sedang ½ Lebar Kornea
di tengah
otot lurik
P3 : sampai
otot Teratur Menetap Faring
III Sedang ¾ Lebar
pernafasan pause di tengah peritoneum
lumpuh
P4 : sampai Tidak
diafragma teratur,
lumpuh nafas Lebar Menetap Sphincter ani
Kecil
cepat Maksimal di tengah dan carina
dan
panjang
IV Henti nafas-
Henti Jantung
Obat Anestesi Intravena
Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang
terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat,
eugenol, dan steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi
untuk mendapat keadaan seperti pada neuroleptanalgesia (contohnya:
droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin), sedative (contohnya:
diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya beberapa
saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam.
PROPOFOL
Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak digunakan
sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi
pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).
Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil
dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya
fungsi psikomotor dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas
dari anestesi yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan
muntah saat propofol digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah
penggunaan anestesi IV lainnya, mungkin karena sifat antiemetik propofol.
Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam
lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih
dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena.
Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri
lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa
antecubiti. . Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan
propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat antimuskarinik,
misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus
serta konvulsi kadang dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat
terjadi pada masa pemulihan. Resiko konvulsi dan onset yang melambat
ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsy.
KETAMIN
Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general anesthetic”.
Pertama kali diperkenalkan oleh Domino and Carsen pada tahun 1965.
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan
saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak
penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah
permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi
buruk, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh,
gelisah, tidak terkendali. .
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun diastolik.
Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai
maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15
menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya
aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat
dicegah dengan pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang
terjadi. .
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-
4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan
melalui infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-
anak terdapat banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi
adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB.
Dengan dosis tambahan setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan.(5) Untuk
sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena
dan untuk mencegah nyeri dosis yang dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB
intravena.(5) Ketamin dapat diberikan bersama dengan diazepam atau
midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvias
dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi
pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit,
misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur
diagnostic pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi,
misalnya reposisi; 4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang
tidak mendepresi fungsi vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat
dimana alat-alat anestesi tidak ada; 7.) pasien asma.
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien
hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg;
2.) Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis.
Penggunaan ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan
jiwa & operasi-operasi pada daerah faring karena reflex masih baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk
sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian.
Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau
benzodiazepine sebagai premedikasi.
Barbiturat
Blokade sistem stimulasi di formasi retikularis
Hambat pernapasan di medula oblongata
Hambat kontraksi otot jantung, tidak menimbulkan sensitisasi jantung
terhadap ketekolamin
Dosis anestesi : rangsang SSP; dosis > = depresi SSP
Dosis : induksi = 2 mg/kgBB (i.v) dlm 60 dtk; maintenance = ½ dosis
induksi
Na tiopental
Induksi : dosis tgt BB, keadaan fisik dan peny
Dws : 2-4ml lar 2,5% scr intermitten tiap 30-60 dtk ad capaian
Diazepam
Suatu benzodiazepine dengan kemampuan menghilangkan kegelisahan,
efek relaksasi otot yang bekerja secara sentral, dan bila diberikan secara
intravena bekerja sebagai anti kejang. Respon obat bertahan selama 12-24
jam menjadi nyata dalam 30-90 mnt stlah pemberian scra oral dan 15 mnt
slah injeksi intravena.
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap benzodiazepine, pemberian
parenteral dikontraindikasikan pada pasien syok atau koma
Penurunan kesadaran disertai nistagmus, bicara lambat
Analgesik (-)
Sedasi basal pada anestesia regional, endoskopi, dental prosedure, induksi
anestesia pd pasien kardiovaskuler
Efek anestesia < ok mula kerja lambat, masa pemulihan lama • Utk
premedikasi (neurolepanalgesia) & atasi konvulsi ok anestesi lokal •
Dimetab mjd metabolit aktif • T½ > seiring bertambahnya usia
ESO : henti napas,flebitis dan trombosis (+) (rute IV)
Dosis : induksi = 0,1-0,5 mg/kgBB
Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis
tinggi.
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan
untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.
Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg,
dilanjutkan dengan dosis rumatan 0.3-1 mg/kg/menit.
1. Anestesi Inhalasi
Halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desflurane, dan methoxyflurane merupakan
cairan yang mudah menguap.
Halothane
Bau dan rasa tidak menyengat ,
Khasiat anestetisnya sangat kuat tetapi khasiat analgetisnya dan daya
relaksasi ototnya ringan, yang baru adekuat pada anestesi dalam
Halotan digunakan dalam dosis rendah dan dikombinasi dengan suatu
relaksans otot, seperti galamin atau suksametonium.
Kelarutannya dalam darah relative rendah induksi lambat, mudah
digunakan, tidak merangsang mukosa saluran napas
Bersifat menekan refleks dari faring dan laring, melebarkan bronkioli dan
mengurangi sekresi ludah dan sekresi bronchi
Famakokinetik: sebagian dimetabolisasikan dalam hati bromide, klorida
anorganik, dan trifluoacetik acid.
Efek samping: menekan pernapasan dan kegiatan jantung, hipotensi, jika
penggunaan berulang, maka dapat menimbulkan kerusakan hati.
Dosis: tracheal 0,5-3 v%.
Enfluran
Anestesi inhalasi kuat yang digunakan pada berbagai jenis pembedahan,
juga sebagai analgetikum pada persalinan.
Memiliki daya relaksasi otot dan analgetis yang baik, melemaskan otot
uterus
Tidak begitu menekan SSP
Resorpsinya setelah inhalasi , cepat dengan waktu induksi 2-3 menit
Sebagian besar diekskresikan melalui paru-paru dalam keadaan utuh, dan
sisanya diubah menjadi ion fluoride bebas
Efek samping: hipotensi, menekan pernapasan, aritmia, dan merangsang
SSP. Pasca bedah dapat timbul hipotermi (menggigil), serta mual dan
muntah, dapat meningkatkan perdarahan pada saat persalinan, SC, dan
abortus.
Isofluran (Forane)
Bau tidak enak
Termasuk anestesi inhalasi kuat dengan sifat analgetis dan relaksasi otot
baik
Daya kerja dan penekanannya terhadap SSP = enfluran
Efek samping: hipotensi, aritmi, menggigil, konstriksi bronkhi,
meningkatnya jumlah leukosit. Pasca bedah dapat timbul mual, muntah,
dan keadaan tegang
Sediaan : isofluran 3-3,5% dlm O2; + NO2-O2 = induksi; maintenance :
0,5%-3%
Desfluran
Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek
klinisnya mirip isofluran.
Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestesi volatil lain,
sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6).
Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5C).
Potensinya rendah
Bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi
Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran
Merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakan untuk induksi
anestesi
Sevofluran
Merupakan halogenasi eter
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia
Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar
Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan
Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada penderita yang mendapatkan
anestesi intravena, kesadaran akan kembali berangsur-angsur dengan turunnya
kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah obat dihentikan.
Selanjutnya bagi penderita yang dianestesi dengan pernafasan spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakeal maka hanya tinggal menunggu sadarnya
penderita. Sedangkan untuk pasien yang menggunakan pipa endotrakheal,
maka perlu dilakukan pelepasan atau ekstubasi. Ekstubasi dapat dilakukan
ketika penderita masih teranestesi maupun setelah penderita sadar. Ekstubasi
dalam keadaan setengah sadar dapat membahayakan penderita karena dapat
menyebabkan spasme jalan nafas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler,
naiknya tekanan intraokuli dan intrakranial
1. Wirawan, S. & Putra, I.G.A.G. Arti fungsi dari elemen histologi tonsil, dalam :
Masna, P.W. (ed) Tonsilla palatina dan permasalahannya, FK UNUD,
Denpasar. 2006
2. Brody L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adenoidectomy. In: Bailey BJ.
Johnson JT. Head and Neck surgery. Otolaryngology. 4rd Edition.
Philadelphia: Lippinscott Williams Wilkins Publishers. 2008. p1183-1208
3. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 9,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta; 2011.
4. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007.
p212-25.
5. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In:
Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
6. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy.
In: The Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
7. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: ECG, 1997. p263-340
8. Bailey BJ et al. Head and Neck Surgery – Otolangology 2nd Edition Lippincott
Williams & Wilkins Publishers. 1998.
9. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5,
No. 2.
10. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and
Neck Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
11. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi ke 6.
Jakarta; Balai Penerbitan FKUI;2011.h.217-8.
12. Ganiswara, Silistia G., 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta,
13. Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010
14. Soenarto RF, Chandra S. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI.