Anda di halaman 1dari 59

REFLEKSI KASUS

TONSILITIS KRONIS

Oleh:
Ayu Indah Rachmawati 1718012087
Nabila Fatimah Azzahra 1718012090
Ocsi Zara Zettira 1718012119
Sitti Hazrina 1718012070

Perceptor :
dr. Wirawan Anggoro Tomo, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK
2019
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. FR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 19 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Pemasyarakatan, Kotabumi Selatan
No RM : 602529
Diagnosis : Tonsilitis Kronis Tenang
Tanggal Operasi : 27 Juli 2019,
Dokter Bedah : dr. Hanggoro S., Sp.THT-KL
Dokter Anestesi : dr. Imam, Sp.An

II. ANAMNESIS
Anamnesis didapatkan melalui autoanamnesis pada tanggal 27 Juli 2019

Keluhan Utama
Nyeri menelan yang hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri menelan dan peraasaan mengganjal pada
tenggorokan yang hilang timbul sejak ± 2 tahun yang lalu. Keluhan dirasakan
semakin sering dalam 2 bulan terakhir. Dalam satu bulan, keluhan pasien dapat
muncul 2-3 kali dan cukup mengganggu bagi pasien. Menurut pasien, nyeri
menelan dan rasa mengganjal muncul ketika pasien minum es atau jajan
sembarangan. Bila nyeri timbul, pasien merasakan badannya sedikit demam.
Tenggorokan terasa kering (-), sulit membuka mulut (-), batuk berdahak (-), pilek
(-). Keluhan tidur mendengkur tidak diketahui oleh pasien.
Pasien kemudian datang ke poli THT RSUD Abdul Moeloek tanggal 24 Juli 2019
dan disarankan untuk operasi.

Riwayat Alergi
Pasien memiliki alergi terhadap obat kotrimoksazol. Riwayat alergi makanan dan
debu disangkal.

Riwayat Operasi dan Anestesi


Pasien mengatakan pernah menjalani operasi pengambilan benjolan di sela-sela
paha ± 1 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan yang sama dirasakan sejak ± 2 tahun yang lalu namun pasien tidak
menjalani pengobatan apapun atas keluhannya.
Riwayat hipertensi, riwayat diabetes, penyakit jantung, hepatitis, riwayat asma dan
penyakit berat lainnya disangkal.

Riwayat Keluarga
Riwayan keluarga dengan kelainan perdarahan, hipertensi, diabetes melitus,
serangan jantung, dan penyakit berat lainnya disangkal. Riwayat keluarga yang
pernah mengalami komplikasi selama operasi disangkal.

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan


Pasien sedang menjalani pelatihan sebagai TNI. Pasien mengaku tidak merokok
dan minum alkohol.
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan tertentu secara rutin. Riwayat pengobatan
herbal dan obat pengencer darah disangkal.

Riwayat Hal-Hal yang Digunakan Pasien


Adanya gigi palsu atau gigi goyang disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis

Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80mmHg
Suhu tubuh : 36 oC
Frekuensi denyut nadi : 80x/menit
Frekuensi nafas : 20x/menit

Antropometri
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 168 cm
IMT : 21.9 (normal)

Status Generalis
Kepala : Normochepal
Mata : Diameter pupil (3 mm/3 mm), refleks pupil (+/+) isokor,
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Hidung : Deformitas (-), sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, Mallapati Derajat I
Tonsil : Pembesaran (+/+), T3-T3, detritus (-/-), abses (-/-)
Leher : Pembesaran KGB Leher (-) Pembesaran Tiroid (-)
Thorax
Inspeksi : Simetris. Tidak ada retraksi otot pernapasan
Palpasi : Vokal fremitus sama kanan dan kiri. Ictus cordis teraba.
Perkusi : Perkusi sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-), BJ I
dan II Regular. Murmur (-), Gallop (-).
Abdomen
- Inspeksi : Abdomen nampak datar, distensi (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Nyeri tekan (-). Hepatomegali (-). Splenomegali (-)

Ekstremitas
- Atas : Akral Hangat. CRT < 2 detik. Edema (-/-)
- Bawah : Akral Hangat. CRT < 2 detik. Edema (-/-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium (23/07/2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 15,5 g/dL 12.8—16.8
Jumlah Leukosit 7,5 103/µL 4.50—13.00
Hematokrit 43 % 40—52
Jumlah Trombosit 227 103/µL 156—408
Eritrosit 5,1 106/µL 4.40—5.90
Kimia Klinik – Faal Ginjal
Ureum Darah 21 mg/dL 10 – 50
Kreatinin Darah 0,73 mg/dL < 1.4
Kimia Klinik – Glukosa
GDS 100 mg/dL 70 – 200
Kimia Klinik – Fungsi Hati
SGOT 14 U/L <37
SGPT 10 U/L <41
Kimia Klinik - Elektrolit
Natrium 138 mmol/L 135 – 145
Kalium 4,4 mmol/L 3,5 – 5,0
Kalsium 7,6 (L) mg/dL 8,6 – 10,0
Chlorida 106 mmol/L 96 – 106

B. Radiologi
Foto Thoraks (23/07/2019)
Kesan :
- Gambaran pulmo saat ini tidak tampak jelas bayangan opak
noduler/infiltrate
- Tidak tampak kardiomegali

C. Assesment Pra Anestesi (24/07/2019)


Diagnosa Pre Operasi
Tonsilitis Kronis
Status ASA
Kelas II
Tindakan Pembedahan
Tonsilektomi
Jenis Anestesi
General Anastesi
V. ASESMEN PRA INDUKSI DAN PENALAKSANAAN ANESTESI
Pra Operatif
- Dilakukan assesment pre anestesi kepada pasien
- Dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien, persetujuan operasi, lembaran
konsultasi anestesi, obat-obatan dan alat-alat uang diperlukan
- Pasien dan keluarganya dijelaskan mengenai prosedur anestesi yang akan
dilakukan
- Pasien telah dipuasakan selama 6-8 jam sebelum operasi.
- Pasien di instruksikan untuk oral hygne, mengosongkan kandung kemih dan
berdoa.
- Pasien dipastikan tidak menggunakan gigi palsu dan melepaskan perhiasan,
lensa kontak maupun aksesoris lainnya
- Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi.
- Akses intravena satu jalur loading cairan kristaloid (Ringer Laktat) dengan
menggunakan tranfusi set no. 18 telah terpasang di tangan kiri dan menetes
lancer.
- Pasien dibaringkan di meja operasi dengan posisi telentang.
- Di kamar operasi, pasien dipasang tensimeter dan saturasi oksigen.
- Dilakukan evalusi nadi, tekanan darah, dan saturasi oksigen. Pada pasien ini
didapatkan nadi pre anastesi 90 kali/menit, tekanan darah 130/80 mmHg, dan
saturasi oksigen 100%.

Persiapan Alat
 Mempersiapkan mesin anestesi, monitor, selang penghubung (connector), face
mask, tensimeter, oksimeter, memastikan selang gas O2 dan N2O terhubung
dengan sumber sentral, mengisi vaporizer sevoflurane.
 Mempersiapkan STATICS yaitu :
 Stetoskop
 Tube/ETT jenis kingking nomor 6,5; 7; 7,5 dan Spuit 20 cc
 Airway (Guedel nomer 4 dan 5)
 Tape/hipafix (plester)
 Introducer/stilet
 Connector
 Suction dengan kanul nomor 10
 Mempersiapkan spuit obat ukuran 3, 5 dan 10 cc.
 Mempersiapkan obat yang dibutuhkan dalam procedural anestesi umum
- Fentanyl 100 mcg
- Propofol 100 mg
- Atracurium Besylate 30 mg
- Oksigen dan N2O 2 L/menit
- Sevoflurane 2 Vol. %
- Ondansetron 4 mg
- Ketorolac 60 mg
- Tramadol 100 mg
- Dexamethasone 5 mg
- Asam traneksamat 500 mg
- Neostigmin 0,5 mg
- Sulfas atropin 0,25 mg

Tahapan anestesi
1. Premedikasi
Fentanyl (IV): (2-50 mcg) x 62 kg = 124-3.100 mcg  Fentanyl 150 mcg/3cc.
2. Induksi
Propofol (IV): (2-2,5 mg) x 62 kg = 124-155 mg  130 mg/13cc, lalu cek respon
reflek bulu mata pasien hingga dapat hasil respon (-).
3. Oksigenasi
Alirkan O2 5 L/menit melalui face mask, dan alirkan kearah depan wajah pasien.
4. Muscle Relaxant
Atracurium Besylate (IV): (0,4-0,5 mg) x 62 kg = 24,8-31 mg  30 mg/3cc.
5. Ventilasi
 Kuasai patensi jalan nafas pasien, dengan memposisikan ekstensi kepala.
 Pasang face mask, dan berikan aliran O2 2 L/menit ditambah dengan aliran
N2O 2 L/menit dan aliran Sevoflurane 2 Vol. %. Pasien diberikan ventilasi
secara manual dengan frekuensi nafas 18x/menit selama 3-5 menit. Setelah
memastikan saturasi pasien baik, lanjutkan dengan laringoskopi.
6. Laringoskopi
 Sambungkan bilah dan blade laringoskop dan pastikan lampunya menyala
dengan baik, pegang laringoskop dengan tangan kiri.
 Lepaskan face mask
7. Intubasi
 Masukan laringoskop dari sisi mulut bagian kanan, geser lidah ke sebelah kiri,
posisikan kepala pasien ekstensi, telusuri lidah pasien dan secara visual
identifikasi epiglottis dan plica vocalis.
 Masukan ETT no. 6,5 dengan tangan kanan dan hati-hati ke dalam trakea tanpa
menyentuh gigi dan jaringan lunak di dalam mulut.
 Kembangkan balon dengan udara secukupnya.
 Sambungkan ujung ETT dengan selang mesin anestesi.
 Periksa penempatan ETT dengan cara ventilasi dengan bag valve tube. Secara
visual amati pengembangan dada dengan ventilasi tersebut dan auskultasi dada
dan abdomen untuk memastikan letak pipa di 5 titik.
 Fiksasi eksterna ETT dengan plester yang telah disediakan. Tutup mata pasien
dengan plester, pasang guedel dan pindahkan dari pernafasan spontan ke
pengaturan IPPV pada ventilator dengan VT 450 ml/menit dengan frekuensi
18x/menit.
8. Maintenance
 Inhalasi O2 2 L/menit, N2O 2 L/menit, dan sevoflurane 2 vol %.
 Ondansentron 4 mg (IV)
 Tramadol 100 mg/2cc (IV)
9. Terapi Cairan
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 62 kg )
 Defisit cairan karena puasa 6 jam
(2 cc/jam x 62 kg x 6 jam) = 744 cc
Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa namun tetap
mendapat cairan infus.
 Kebutuhan cairan basal (maintenance):
4 ml/kg/jam x 10 kg = 40 ml/jam
2 ml/kg/jam x 10 kg = 20 ml/jam
1 ml/kg/jam x 42 kg = 42 ml/jam
Maintenance = 102 ml/jam
 Kebutuhan cairan operasi
6 ml/kgBB/jam x 62 kg = 372 ml/jam
 Perdarahan yang terjadi  25 cc
EBV = 70 cc x 62 kg = 4340 cc.
Jadi perkiraan kehilangan darah = 25/4340 x 100 % = 0,57 %
 Pemberian Cairan:
Kebutuhan cairan selama operasi 60 menit
= Perdarahan + maintenance + stress operasi
= 25 + 102+ 372 = 499 cc
 Cairan yang sudah diberikan saat masuk ruang pre-operatif : 250 cc
 Cairan yang masuk saat operasi : 350 cc
 Total cairan yang masuk : 600 cc
 Balance cairan : 600 cc – 499 cc = 101 cc
10. Ekstubasi
 Pastikan pasien bernafas spontan dan teratur.
 Melakukan suction slem pada airway pasien
 Menutup aliran sevoflurane dan N2O, dan meninggikan O2 sampai 8 L/menit
 Mengempiskan balon, cabut selang ETT. Segara pasang face mask dan
pastikan airway lancar dengan triple maneuver.
 Pasien dipindahkan ke ruang RR.

Post Operatif
1. Intruksi di Recovery Room
 Oksigenasi dengan O2 4 L/menit
 Monitoring Vital Sign setiap 15 menit sampai pasien sadar dan pasang saturasi
oksigen.
 Pasien di pantau hingga skor Aldrete >8.

2. Penialaian Pemulihan Kesadaran


Aldrete Score
NO. Objek Kriteria Skor
Penilaian
1. Aktivitas  Seluruh ektremitas dapat digerakkan 2
 Dua ektremitas dapat digerakkan 1
 Tidak dapat digerakkan 0
2. Respirasi  Napas spontan, batuk 2
 Dengan bantuan 1
 Apnoe 0
3. Sirkulasi  Tekanan darah turun <20% dari 2
normal 1
 Tekanan darah 20-50 % dari normal 0
 Tekanan darah turun >50 % dari
normal
4. Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak berespon 0
5. Warna kulit  Merah 2
 Merah muda 1
 Sianosis 0

Jika jumlah score ≥8, pasien dapat dipindahkan keruangan bangsal.


Monitoring tanda-tanda vital Aldrette Score
- Kesadaran : Compos Mentis - Aktivitas : Dapat menggerakan 4 Ekstremitas (2)
- BP : 110/70 mmHg - Pernapasan : Dapat Bernapas Dalam dan Batuk (2)
- HR : 88 x/menit - Sirkulasi : Tekanan Darah ± 20% dari Nilai Pra
- RR : 16x/menit Anetesi (2)
- T : 35,7o C - Kesadaran : Sadar Penuh (2)
- SpO2: 100 % - Saturasi O2 : ≥ 92 % dengan suhu kamar (2)

Kesan : Baik Skor : 10/10

3. Intruksi di ruang rawat


 Puasa sampai bising usus (+)
 Program analgetik injeksi tramadol 3x100 mg
 Program mual muntah injeksi ondansetron 3x4 mg
 Infus RL 20 tetes/menit
 Lain-lain sesuai operator bedah
BAB II

ANALISA KASUS

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas
masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.

2.1 PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIK


1. Keluhan: mengorok, nyeri menelan, lemas, susah tidur
2. Pemeriksaan fisik:
Pada pemeriksaan tonsil ditemukan tonsil membesar T3-T3, terdapat detritus,
kripta melebar.
3. Pemeriksaan penunjang:
Leukosit : 7.500/µL

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien


didiagnosis tonsillitis kronik dengan ASA II, yakni pasien penyakit bedah disertai
dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang. Tidak ditemukan adanya faktor –
faktor yang dapat mengganggu proses anestesia selama pembedahan dilakukan.

Meningkatnya laju metabolisme tubuh karena peradangan, dimana kebutuhan cairan


dapat meningkat, sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi. Tanda-tanda radang
dapat dilihat dari suhu maupun angka leukosit. Pada pasien ini suhu tubuh tidak
mengalami peningkatan dan angka leukosit masih dalam batas normal. Hal ini
mungkin disebabkan karena pasien sebelumnya sudah menerima terapi antibiotik.
2.2 PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH

1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.


2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik
anestesi yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah
untuk mengatasi perdarahan. Pada pasien ini teknik tonsilektomi yang
digunakan adalah diseksi thermal menggunakan electocauter dimana
perdahan durante operasi dan post operasi lebih sedikit karena pemotongan
jaringan maupun hemostasis dilakukan dalam satu prosedur.

2.3 PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI


1. Pemeriksaan pra anestesi
Secara keseluruhan, tidak didapatkan aspek-aspek yang dapat memperberat
proses anestesi selama pembedahan. Namun, ada beberapa aspek yang
perlu diperhatikan selama masa pembiusan. Refleks laring mengalami
penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang
terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia. Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup,
antara lain :

a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)


b. Pemeriksaan laboratorium darah

Permasalahannya adalah :

 Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan


anestesi dan operasi.
 Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.

Dalam mempersiapkan operasi pada penderita perlu dilakukan :


Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada
pasien ini diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung
sejak pasien mulai puasa hingga masuk ke ruang operasi. Puasa paling
tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah
dan aspirasi dapat dihindarkan.Terdapat tiga jenis cairan berdasarkan
tujuan terapi, yaitu:
1. Cairan rumatan (maintenance)
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi cairan
intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel.
Tonisitas <270 mOsm/kg. Misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa 5 %
dalam Salin 0,25 %

2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)


Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = CIS; no net water
movement melalui membran sel semi permeabel. Tonisitas 275 –
295 mOsm/kg. Misal : NaCl 0,9 %, LactateRinger’s, koloid

3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS;
menyebabkan air keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi
lebih tinggi. Tonisitas > 295 mOsm/kg. Misal: NaCl 3 %, Mannitol,
Sodium- bikarbonat, Natrium laktat hipertonik

Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa dehidrasi isotonik


merupakan jenis dehidrasi yang paling sering terjadi (80%). Pada
pasien ini diberikan resusitasi cairan berupa Ringer Laktat dengan
tujuan untuk memperbaiki volume sirkulasi dan pemilihan cairan
ini berdasarkan pertimbangan kompartemen yang mengalami
defisit.

 Persiapan kantung darah sebagai persiapan bila terjadi perdarahan


durante atau post operasi
 Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada kasus
ini diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah
resiko aspirasi dengan menggunakan premedikasi sulfas atropin dan
fentanyl. Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan
endotrakheal tube.

2. Durante Operatif
1) Premedikasi
 Sebagai antiemetic pada pasien diberikan ondansentron 4 mg iv
 Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah maka diberikan
fentanyl 150 mcg I.V.

2) Induksi
 Digunakan Propofol 130 mg I.V.(dosis induksi 2-2,5mg/kgBB)
karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan
eliminasi yang cepat.. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya
yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik. Propofol
dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu. Efeknya
adalah hipnotik. Tidak mempunyai efek analgetik maupun relaksasi
otot. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1 mg/kg BB
secara intravena. Kelebihan propofol adalah bekerja lebih cepat
daripada thiopental, konfusi pasca bedah minimal, mual muntah
pasca bedah minimal. Efek samping hipotensi, apnea sementara
selama induksi.
 Pemberian Atracurium 30 mg I.V. sebagai pelumpuh otot non
depolarisasi. Atracurium merupakan pelemas otot dengan lama
kerja menengah (durasi kerja 20-45 menit). Atracurium mengalami
metabolisme non enzimatik yang tidak bergantung pada fungsi hati
dan ginjal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan gangguan
hati atau ginjal. Atracurium dapat meningkatkan pelepasan
histamin. Atracurium sebaiknya dihindari pada pasien asma karena
dapat menyebabkan bronkospasme berat. Pemulihan fungsi saraf
otot dapat terjadi secara spontan sesudah masa kerjanya berakhir ,
atau apabila diperlukan bisa diberikan obat anti kolinesterase. Dosis
awal : 0,5-0,6 mg/kgBB.

3) Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2L/2L, serta sevofluran 2 vol
%. Sevofluran terutama digunakan sebagai komponen hipnotik dalam
pemeliharaan anestesi umum. Juga memiliki efek analgesia ringan dan
relaksasi otot ringan.

Tramadol

Merupakan obat analgetik yang bekerja secara sentral, bersifat agonis


opiod (memiliki sifat seperti opium / morfin). Penggunaannya lebih
aman bila dibandingkan dengan obat analgesic jenis morfin yang lain.
Tramadol mempunyai 2 mekanisme yang berbeda pada manajemen
nyeri yang keduanya bekerja secara sinergis yaitu : agonis opioid yang
lemah dan penghambat pengambilan kembali monoamine
neurotransmitter. Dosis tramadol yang diberikan pada pasien ini adalah
100 mg/ 2 cc (IV).
4) Terapi Cairan
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 62
kg )

 Defisit cairan karena puasa 6 jam


(2 cc/jam x 65 kg x 6 jam) = 780 cc

Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa namun


tetap mendapat cairan infus.

 BB = 65 kg
• Maintenance
4 x 10 kg = 40 cc
2 x 10 kg = 20 cc

1 x 42 kg = 42 cc  total 102 cc/jam


 Stress operasi = 6 cc/kgBB/jam = 6 x 62 = 372 cc/jam
 Perdarahan yang terjadi  25 cc
EBV = 70 cc x 62 kg = 4340 cc.
Jadi perkiraan kehilangan darah = 25/4340 x 100 % = 0,57 %
 Pemberian Cairan:
Kebutuhan cairan selama operasi 60 menit
= Perdarahan + maintenance + stress operasi
= 25 + 102+ 372
= 499 cc
 Cairan yang sudah diberikan saat masuk ruang pre-operatif :
250 cc
 Cairan yang masuk saat operasi :
350 cc
 Total cairan yang masuk :
600 cc
 Balance cairan : 600 cc – 499 cc = 101 cc
3. Post Operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post operasi
dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah,
nadi, suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 4 liter/menit serta dihitung
Adrette score untuk kembali ke bangsal. Pada pasien didapatkan Aldrette score
10. pasien boleh keluar ruang pemulihan.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil


Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di
bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Berdasarkan lokasinya,
tonsil dibagi menjadi:

1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae


2. Tonsilla palatina, terletak pada isthmus faucium antara arcus glossopalatinus dan
arcus glossopharingeus
3. Tonsilla pharingea (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring
4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba
auditiva
5. Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak pada ileum
Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla
pharingea, tonsilla tubaria dan ditambah lateral pharyngeal band membentuk
cincin yang dikenal dengan cincin waldeyer.1

Gambar 1.1 Anatomi


tonsil
Tonsilla palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (musculus
palatoglosus) dan pilar posterior (musculus palatofaringeus). Tonsilla palatina
berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30
kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil.2

Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu :


1. A. Maksilaris eksterna (A. Fasialis) dengan cabangnya A. Tonsilaris dan A.
Palatina asenden
2. A. Maksilaris interna dengan cabangnya A. Palatina desenden
3. A. Lingualis dengan cabangnya A. Lingualis dorsal
4. A. Faringeal asenden

Gambar 2. Perdarahan
tonsil

Aliran getah bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.3

Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensais dari serabut saraf ke V (trigeminus) melalui
ganglion spenophalatina dan pada bagian bawah mendapat sensasi dari cabang
serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeus).3

Imunologi

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B


membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada
tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B
berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD),
komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan
tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan
pusat germinal pada folikel ilmfoid.

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi


dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi
utama yaitu pertama menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
dan kedua sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik.4,5

3.2 Tonsilitis Kronik


3.2.1 Definisi
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan,
setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis.
Terjadinya perubahan histologi pada tonsil. Dan terdapatnya jaringan
fibrotik yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh zona sel-sel
radang.

Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan


tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang tonsil diluar serangan
terlihat membesar disertai dengan hiperemi rigan yang mengenai pilar
anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus5,6

3.2.2 Etiologi

Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penelitian dari


Commission on Acute Respiration Disease yang bekerja sama dengan
Surgeon General of the Army, dimana dari 169 kasus didapatkan 25 %
disebabkan oleh Streptokokus  hemolitikus yang pada masa penyembuhan
tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.
Kemudian 25 % disebabkan oleh Streptokokus lain yang tidak menunjukkan
kenaikan titer Sreptokokus antibodi dalam serum penderita dan sisanya
adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influensa.6

Ada pula yang menyebutkan etiologi terjadinya tonsilitis antara lain


Streptokokus  hemolitikus Grup A, Hemofilus influenza, Streptokokus
pneumonia, Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika), dan Tuberkulosis
(pada immunocompromise).

Adapun faktor predisposisi dari tonsillitis kronis antara lain rangsangan


kronis seperti rokok dan makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah), alergi (iritasi kronis
dari alergen), keadaan umum (gizi jelek, kelelahan fisik), dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.7
3.2.3 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna
dan saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti
demam, namun tidak mencolok.

Pada pemeriksaan faringoskopi tampak tonsil membesar dengan


permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh
detritus. Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa
kering dan napas yang berbau. Pada tonsillitis kronik juga sering disertai
halitosis dan pembesaran nodul servikal. Pada umumnya terdapat dua
gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori
tonsillitis kronik berupa.7

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil yang mungkin


tampak :
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsillar bed dengan tepi yang hiperemis,
kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
Gambar 3. Tonsilitis Kronis

Pada umumnya pembesaran tonsil dapat dibagi dalam ukuran T1 – T4 : 2,8


 T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior
– uvula
 T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½
jarak anterior – uvula
 T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾
jarak pilar anterior – uvula
 T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau
lebih

Gambar 1.4 Pembesaran tonsil


3.2.4 Diagnosis
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan
secara menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi
yang berkaitan yang dapat membingungkan diagnosis.
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting, karena hampir 50 %
diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang
dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit
waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-
kadang ada demam dan nyeri pada leher.(7)

2. Pemeriksaan Fisik
Pada faringoskopi, tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi
dan jaringan parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat
(purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa
kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju/dempul amat
banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering
adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan dan seringkali
dianggap sebagai “kuburan” dimana tepinya hiperemis dan sejumlah
kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.7

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis
Kronis:
a)Mikrobiologi
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita
Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan
bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk
menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis
Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus
aureus.9

b)Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey
terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis
Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan
tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi
limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya
dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.9

3.2.5.Penatalaksanaan
Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat
isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi
gigi atau oral.4 Pemberian antibiotika pada penderita Tonsilitis Kronis
eksaserbasi akut Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin
(terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan
asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).

Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan
pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana
penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk
meringankan gejala-gejala.
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan
jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil
faringeal.

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat


perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada
saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan
berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas
dan hipertrofi tonsil.

Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi


tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun,
indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya
batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya
dilakukan tonsilektomi.

Indikasi Absolut

a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,


disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi

Indikasi Relatif

a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
d. Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy),
tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.
e. Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus
dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau
hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas
merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit
tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,
kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis
kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris
kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada keadaan yang lebih
berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak
enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat
berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut
dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk
tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup
walaupun tidak mengancam nyawa.10,11

Kontraindikasi relatif
a. Palatoschizis,
b. Radang akut, termasuk tonsilitis,
c. Poliomielitis epidemika,
d. Umur kurang dari 3 tahun. Tetapi umur disini masih menjadi
perdebatan mengenai kontraindikasi.
Kontraindikasi absolut
a. Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemofilia,
b. Penyakit sistemis yang tidak terkontrol seperti diabetes melitus,
penyakit jantung, dan sebagainya.10

3.2.6 Komplikasi
Komplikasi dibagi menjadi lokal dan sistemik. Radang kronik tonsil dapat
menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik ,
sinusitis atau otitis media secara perkontiinutatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis , artitris ,
miositis, nefritis, uveitis, iridoksilitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan
furunkulosis.

3.2.7 Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk
mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan
demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap
ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran
nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan
sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari
infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia11
3.3 Anestesi Umum

Definisi

Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat
yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan
kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Berdasarkan
pada dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia
yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai
hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek
analgesia12

Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan anestesi umum
dibanding dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi lokal hilangnya rasa
sakit setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal
yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada anestesi umum yang terpengaruh
syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran13

Persiapan dan Penilaian Pra-Anestesi

1. Persiapan Tindakan Anestesi


 Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan
dirinya.
 Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi
operasi (misalnya, lutut kanan).
 Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali.
 Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).
 Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur
tekanan darah yang tidak invasive, jalan masuk melalui vena, bila
perlu: pengukur tekanan darah arteri.13

2. Penilaian Pra-Bedah
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang
identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis
bagian tubuh yang akan dioperasi13.
a) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anesthesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat
merancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik.

Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk


eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan
beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2
minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol
juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar13.

b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien13.

c) Pemeriksaan Laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto toraks13.

d) Kebugaran untuk anestesi


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang
tidak perlu harus dihindari13.

e) Klasifikasi Status Fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko anestesi, karena dampak
samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan13.
ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain.
Contohnya: pasien batu ureter dengan hipertensi sedang
terkontrol, atau pasien appendicitis akut dengan
leukositosis dan febris.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
yang diakibatkan karena berbagai penyebab.
Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan
septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia
miokardium.
ASA IV :Pasien dengan kelainan sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.. Contohnya : Pasien
dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii
dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan


tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE. Pengosongan
lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi lambung karena
regurgitasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung
dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam. Pada
pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang
pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan
memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2
(ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh
perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa
ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara
tertulis (informed concent)13.

f) Penilaian Jalan Nafas

 Pembukaan mulut:  3 cm
 Upper lip bite test: Pasien di instruksikan untuk menggigit bibir atas
dengan gigi bawah untuk menilai sendi temporomandibular
 Lingkar leher > 27 inci menandakan adanya kesulitan dalam melihat
pembukaan glotis
 Mallampati score
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah
terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat
kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi
dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari dasar uvula,
arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole. Semakin tinggi
skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan
intubasi.

Tabel 1.Klasifikasi skor mallampati


Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya
palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan
Kelas 2
tonsil dan uvula hanya terlihat bagian atas
Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat,
Kelas 3 sedangkan dinding posterior faring dan uvula tertutup
seluruhnya oleh lidah
Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding
Kelas 4 posterior faring, uvula, dan palatum mole tertutup
seluruhnya oleh lidah
g) Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang mengalami anesthesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif dengan anesthesia harus dipantangkan diri masukan oral (puasa)
selama periode tertentu sebelum induksi anesthesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dan dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anesthesia13.

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anesthesia
diantaranya13:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anesthesia.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7.Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi reflex yang membahayakan.

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi


yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapan membangun
kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa
digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi
anesthesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid
misalnya petidin 50 mg intramuscular13.

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam.


Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidine (zantac) 150 mg
1-2 jam sebelum jadwal operasi.

Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi


suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-
4 mg (zofran,narfoz)13.

Induksi Dan Rumatan Anestesia


I. Induksi Anestesi Umum
Induksi adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari sadar ke
stadium pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara
intravena, inhalasi, intramuskuler atau rektal. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi
sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi
anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik.

Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita ingat kata STATICS:


S=Scope Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung,
Laringo-Scope. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.
T=Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A=Airway Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah tidak menyumbat jalan napas.
T=Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I=Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea
mudah dimasukkan.
C=Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia.
S=Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute :

1) Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus
disuntikan dalam kecepatan 30-60 detik. Selama induksi anesthesia,
pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu
diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
2) Induksi intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar)
yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur.
3) Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran.
Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur
vena atau dewasa yang takut disuntik.Induksi halotan memerlukan gas
pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran
O2 > 4 liter/menit atau campuran N20 : O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter/menit,
dimulai dengan halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau
sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.

Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk.


Walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %.
Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran
jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi
lama. Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang
memiliki sifat-sifat : tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak,
cepat membuat pasien tertidur
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau
midazolam.Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu
mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
5) Induksi Mencuri
Induksi mencuri ( steal induction ) dilakukan pada anak atau bayi yang
sedang tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena tidak ada masalah, tetapi
pada yang belum terpasang jalur vena, harus dikerjakan hati-hati supaya
pasien tidak terbangun. Induksi mencuri inhalasi seperti induksi inhalasi
biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi
kita berikan jarak berapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup
muka kita tempelkan.

II Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias anestesi
yaitu:
- Hipnosis
- Analgesia
- Relaksasi otot

Teknik Anestesi Umum

a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan


Indikasi :
- Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
- Keadaan umum baik (ASA I – II)
- Lambung harus kosong

Prosedur :

- Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik


- Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
- Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non
opioid, dll
- Induksi
- Pemeliharaan

Gambar: Face Mask


b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan

Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal


tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama, sulit
mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)

Prosedur :

1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi
singkat)

2. Intubasi setelah induksi dan suksinil

3. Pemeliharaan

Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS

c. Teknik Intubasi

1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap

2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)

3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt

4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
sedikit ekstensi → mulut membuka

5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit,
menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri

6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau
angkat epiglotis ( pada bilah lurus )

7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah

9. Masukan ET melalui rima glottis

10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas ( alat
resusitasi )

Gambar: Teknik Intubasi

c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)


Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi
selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek
anestesinya.
- Teknik sama dengan diatas
- Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
- Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya

Stadium Anestesi
Stadium anestesi menurut Guedel, yaitu13,14 :
a. Stadium I
Disebut sebagai stadium analgesia. Periode sejak masuknya obat
induksi sampai hilang nya kesadaran yang ditandai dengan hilang nya
refleks bulu mata
b. Stadium II
Disebut sebagai stadium eksitasi atau delirium. Setelah kesadaran
hilang, timbul eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi ireguler, dapat
terjadi pasien menahan napas. Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan
involunter. Pasien juga dapat muntah dan ini dapat membahayakan jalan
nafas. Pada stadium ini aritmia jantung pun dapat terjadi. Pupil dilatasi
sebagai tanda peningkatan tonus simpatis. Stadium ini merupakan
stadium yang beresiko tinggi

c. Stadium III
Disebut sebagai stadium pembedahan. Dimulai dari nafas otomatis
sampai henti nafas. Stadium III terbagi atas :
- Plana 1 : mulai nafas otomatis sampai gerak bola mata berhenti
- Plana 2 : mulai gerak bola mata berhenti sampai nafas torakal lemah
- Plana 3 : nafas torakal lemah sampai nafas torakal berhenti
- Plana 4 : mulai nafas torakal berhenti sampai nafas diafragma berhenti

d. Stadium IV
Intoksikasi atau overdosis obat intravena. Dimulai dari paralisis
diafragma sampai henti jantung atau meninggal
Respirasi Pupil Depresi
Stadium
Ritme Volume Ukuran Letak Refleks

I Analgesia
Tidak
sampai tidak Kecil Kecil Divergen Tidak ada
Teratur
sadar
II Sampai
pernafasan Tidak Bulu mata
Besar Lebar Divergen
teratur / Teratur Kelopak mata

otomatis
P1 : sampai
Kulit
gerakan bola Teratur Besar Kecil Divergen
konjungtiva
mata hilang
P2 : sampai
Menetap
awal parese Teratur Sedang ½ Lebar Kornea
di tengah
otot lurik
P3 : sampai
otot Teratur Menetap Faring
III Sedang ¾ Lebar
pernafasan pause di tengah peritoneum

lumpuh
P4 : sampai Tidak
diafragma teratur,
lumpuh nafas Lebar Menetap Sphincter ani
Kecil
cepat Maksimal di tengah dan carina

dan
panjang
IV Henti nafas-
Henti Jantung
Obat Anestesi Intravena
Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang
terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat,
eugenol, dan steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi
untuk mendapat keadaan seperti pada neuroleptanalgesia (contohnya:
droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin), sedative (contohnya:
diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya beberapa
saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam.

PROPOFOL
Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak digunakan
sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi
pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).

Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat


dan sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan
oleh ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin,
dan hanya 2% diekskresikan dalam tinja.

Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan


sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis
dan redistribusi dari sistem saraf pusat.(4) Sebagian besar propofol terikat
dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi
dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh
1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh
20-30 menit). Kedua fase ini menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan
oleh jaringan yang cepat.
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh
glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang
kemudian diekskresi melalui urin(6). Eliminasi propofol sensitif terhadap
perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh ikatan protein
ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat metabolisme obat
oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens dan
durasi yang memanjang pada pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil
dan propanolol.

Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan pasien


kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat
oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa
disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan
kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi
tidak sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah
ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.

Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi


pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini
disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular
sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak
disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan spontan (dibanding nafas kendali)
serta pemberian drip melalui infus (dibandingkan dengan pemberian melalui
bolus) mengurangi depresi jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan
efek depresi jantung.

Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol


dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30 detik,
namun dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi atau
sebelum induksi dengan propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan
volume tidal. Efek ini biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang
pada penggunaan dosis yang melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan
bersamaan dengan respiratory depressants.

Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia


umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun.
Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang
dari 55 tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun,
pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan
dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun
adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien
lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1 mg/menit/kgBB. Dosis yang
dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah 0.1-0.15 mg/kgBB sebagai
dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada pasien lebih dari
3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075 mg/menit/kgBB dan untuk
pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.02-0.06
mg/menit/kgBB.

Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil
dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya
fungsi psikomotor dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas
dari anestesi yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan
muntah saat propofol digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah
penggunaan anestesi IV lainnya, mungkin karena sifat antiemetik propofol.
Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam
lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih
dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena.
Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri
lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa
antecubiti. . Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan
propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat antimuskarinik,
misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus
serta konvulsi kadang dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat
terjadi pada masa pemulihan. Resiko konvulsi dan onset yang melambat
ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsy.

KETAMIN
Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general anesthetic”.
Pertama kali diperkenalkan oleh Domino and Carsen pada tahun 1965.

Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering menimbulkan


takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat
menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Blok terhadap
reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek
analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat
menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik. .

Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat


dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena
adalah 30 detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan
waktu 3-4 menit, tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada
pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-
25 menit). .

Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum


endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis
namun 30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian mengalami
konjugasi oleh glukoronida menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya
diekskresikan melalui urin.(5)

Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik yang


kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia
disosiasi. Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan
mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata
berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu
kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance),
seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Pada pasien yang
diberikan ketamin juga mengalami amnesia anterograde. Itu merupakan efek
anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin.
Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan
sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan
peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan
intrakranial. .

Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan
saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak
penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah
permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi
buruk, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh,
gelisah, tidak terkendali. .

Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun diastolik.
Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai
maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15
menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya
aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat
dicegah dengan pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang
terjadi. .

Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara,


kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi.
Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek
konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan
untuk mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan. .

Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-
4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan
melalui infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-
anak terdapat banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi
adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB.
Dengan dosis tambahan setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan.(5) Untuk
sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena
dan untuk mencegah nyeri dosis yang dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB
intravena.(5) Ketamin dapat diberikan bersama dengan diazepam atau
midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvias
dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.

Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi
pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit,
misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur
diagnostic pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi,
misalnya reposisi; 4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang
tidak mendepresi fungsi vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat
dimana alat-alat anestesi tidak ada; 7.) pasien asma.
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien
hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg;
2.) Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis.
Penggunaan ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan
jiwa & operasi-operasi pada daerah faring karena reflex masih baik.

Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk
sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian.
Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau
benzodiazepine sebagai premedikasi.

Barbiturat
 Blokade sistem stimulasi di formasi retikularis
 Hambat pernapasan di medula oblongata
 Hambat kontraksi otot jantung, tidak menimbulkan sensitisasi jantung
terhadap ketekolamin
 Dosis anestesi : rangsang SSP; dosis > = depresi SSP
 Dosis : induksi = 2 mg/kgBB (i.v) dlm 60 dtk; maintenance = ½ dosis
induksi

Na tiopental
 Induksi : dosis tgt BB, keadaan fisik dan peny
 Dws : 2-4ml lar 2,5% scr intermitten tiap 30-60 dtk ad capaian

Fentanil dan droperidol


 Analgesik & anestesi neuroleptik
 Kombinasi tetap
 Aman diberikan pada yang mengalami hiperpireksia dan anestesi umum
lain
 Fentanil : masa kerja pendek, mula keja cepat
 Droperidol : masa kerja lama & mula kerja lambat

Diazepam
 Suatu benzodiazepine dengan kemampuan menghilangkan kegelisahan,
efek relaksasi otot yang bekerja secara sentral, dan bila diberikan secara
intravena bekerja sebagai anti kejang. Respon obat bertahan selama 12-24
jam menjadi nyata dalam 30-90 mnt stlah pemberian scra oral dan 15 mnt
slah injeksi intravena.
 Kontraindikasi: hipersensitif terhadap benzodiazepine, pemberian
parenteral dikontraindikasikan pada pasien syok atau koma
 Penurunan kesadaran disertai nistagmus, bicara lambat
 Analgesik (-)
 Sedasi basal pada anestesia regional, endoskopi, dental prosedure, induksi
anestesia pd pasien kardiovaskuler
 Efek anestesia < ok mula kerja lambat, masa pemulihan lama • Utk
premedikasi (neurolepanalgesia) & atasi konvulsi ok anestesi lokal •
Dimetab mjd metabolit aktif • T½ > seiring bertambahnya usia
 ESO : henti napas,flebitis dan trombosis (+) (rute IV)
 Dosis : induksi = 0,1-0,5 mg/kgBB

Opioid
 Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis
tinggi.
 Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan
untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.
 Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg,
dilanjutkan dengan dosis rumatan 0.3-1 mg/kg/menit.
1. Anestesi Inhalasi
Halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desflurane, dan methoxyflurane merupakan
cairan yang mudah menguap.
Halothane
 Bau dan rasa tidak menyengat ,
 Khasiat anestetisnya sangat kuat tetapi khasiat analgetisnya dan daya
relaksasi ototnya ringan, yang baru adekuat pada anestesi dalam
 Halotan digunakan dalam dosis rendah dan dikombinasi dengan suatu
relaksans otot, seperti galamin atau suksametonium.
 Kelarutannya dalam darah relative rendah induksi lambat, mudah
digunakan, tidak merangsang mukosa saluran napas
 Bersifat menekan refleks dari faring dan laring, melebarkan bronkioli dan
mengurangi sekresi ludah dan sekresi bronchi
 Famakokinetik: sebagian dimetabolisasikan dalam hati bromide, klorida
anorganik, dan trifluoacetik acid.
 Efek samping: menekan pernapasan dan kegiatan jantung, hipotensi, jika
penggunaan berulang, maka dapat menimbulkan kerusakan hati.
 Dosis: tracheal 0,5-3 v%.
Enfluran
 Anestesi inhalasi kuat yang digunakan pada berbagai jenis pembedahan,
juga sebagai analgetikum pada persalinan.
 Memiliki daya relaksasi otot dan analgetis yang baik, melemaskan otot
uterus
 Tidak begitu menekan SSP
 Resorpsinya setelah inhalasi , cepat dengan waktu induksi 2-3 menit
 Sebagian besar diekskresikan melalui paru-paru dalam keadaan utuh, dan
sisanya diubah menjadi ion fluoride bebas
 Efek samping: hipotensi, menekan pernapasan, aritmia, dan merangsang
SSP. Pasca bedah dapat timbul hipotermi (menggigil), serta mual dan
muntah, dapat meningkatkan perdarahan pada saat persalinan, SC, dan
abortus.
Isofluran (Forane)
 Bau tidak enak
 Termasuk anestesi inhalasi kuat dengan sifat analgetis dan relaksasi otot
baik
 Daya kerja dan penekanannya terhadap SSP = enfluran
 Efek samping: hipotensi, aritmi, menggigil, konstriksi bronkhi,
meningkatnya jumlah leukosit. Pasca bedah dapat timbul mual, muntah,
dan keadaan tegang
 Sediaan : isofluran 3-3,5% dlm O2; + NO2-O2 = induksi; maintenance :
0,5%-3%
Desfluran
 Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek
klinisnya mirip isofluran.
 Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestesi volatil lain,
sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6).
 Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5C).
 Potensinya rendah
 Bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi
 Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran
 Merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakan untuk induksi
anestesi
Sevofluran
 Merupakan halogenasi eter
 Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran
 Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas
 Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia
 Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar
 Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan

Pemeliharaan Anestesi (Maintainance)


Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi
atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias
anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi
otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan
anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan
paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi
biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau
sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau
dikendalikan.

Pemulihan Anestesi
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada penderita yang mendapatkan
anestesi intravena, kesadaran akan kembali berangsur-angsur dengan turunnya
kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah obat dihentikan.
Selanjutnya bagi penderita yang dianestesi dengan pernafasan spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakeal maka hanya tinggal menunggu sadarnya
penderita. Sedangkan untuk pasien yang menggunakan pipa endotrakheal,
maka perlu dilakukan pelepasan atau ekstubasi. Ekstubasi dapat dilakukan
ketika penderita masih teranestesi maupun setelah penderita sadar. Ekstubasi
dalam keadaan setengah sadar dapat membahayakan penderita karena dapat
menyebabkan spasme jalan nafas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler,
naiknya tekanan intraokuli dan intrakranial

Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang
menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih
perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
Aldrete Score (Dewasa)
Nilai Warna Kulit
Merah Muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan
Bernapas dalam, batuk 2
Bernapas dangkal, dipneu 1
Apneu / obstruksi 0
Sirkulasi
Perbedaan TD < 20% TD awal 2
Perbedaan TD 20 – 50% dari awal 1
Perbedaan TD > 50% dari TD awal 0
Kesadaran
Sadar penuh 2
Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak ada respon 0
Aktivitas
Seluruh ekstrimitas dapat digerakkan 2
2 ekstrimitas dapat digerakkan 1
Tidak dapat digerakkan 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

Steward score (anak-anak)


Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tidak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernapasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan napas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak ada reaksi 0

Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Wirawan, S. & Putra, I.G.A.G. Arti fungsi dari elemen histologi tonsil, dalam :
Masna, P.W. (ed) Tonsilla palatina dan permasalahannya, FK UNUD,
Denpasar. 2006
2. Brody L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adenoidectomy. In: Bailey BJ.
Johnson JT. Head and Neck surgery. Otolaryngology. 4rd Edition.
Philadelphia: Lippinscott Williams Wilkins Publishers. 2008. p1183-1208
3. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 9,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta; 2011.
4. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007.
p212-25.
5. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In:
Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
6. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy.
In: The Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
7. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: ECG, 1997. p263-340
8. Bailey BJ et al. Head and Neck Surgery – Otolangology 2nd Edition Lippincott
Williams & Wilkins Publishers. 1998.
9. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5,
No. 2.
10. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and
Neck Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
11. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi ke 6.
Jakarta; Balai Penerbitan FKUI;2011.h.217-8.
12. Ganiswara, Silistia G., 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta,
13. Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010
14. Soenarto RF, Chandra S. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI.

Anda mungkin juga menyukai