CASE REPORT DOK HERLIEN - ANGGI Baru Ya PDF
CASE REPORT DOK HERLIEN - ANGGI Baru Ya PDF
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Gatal di selangkangan tak tertahankan
Keluhan Tambahan :
Perih
1
• Riwayat penyakit serupa disangkal
• Alergi makanan dan obat tidak ada
• Asma dan rhinitis disangkal
• Dermatitis Atopi disangkal
2
IV. RESUME
Pasien Ny.T usia 55 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Polri
dengan keluhan gatal tak tertahankan sejak satu tahun yang lalu. Pasien merasa
selangkangannya sebelumnya sering lembab, kemudian pasien berobat kedokter
dan diberi obat cream, namun setelah diobati gatal pada selangkangan hilang
kemudian timbul kembali. Pasien rutin mengonsumsi obat untuk mengatasi gatal
saat gatal kembali kambuh. Kemudian pasien kembali membeli obat yang pernah
pasien pakai saat obat tersebut habis. Riwayat penggunaan sabun lifebuoy, Riwayat
keputihan terakhir satu bulan lalu.
Pada pemeriksaan fisik status Generalis dalam batas normal. Pada status
dermatologi Pada genitokrural terdapat hiperpigmentasi batas tegas yang tersebar
secara lokalisata.
3
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Tinea cruris
2. Kandidiosis
3. Eritrasma
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG / ANJURAN
1. Lampu Wood
2. KOH
IX. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
1. Edukasi pasien jika gatal sebaiknya tidak menggaruk terlalu keras karena
dapat menyebabkan luka dan resiko infeksi.
2. Menggunakan obat sampai 2-3 cm di luar lesi dan penggunaan obat sesuai
aturan dan keluhan.
3. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris,
pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
Medikamentosa
Topikal :
Cream Desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
Sistemik :
4
Penulisan Resep :
Nama : Ny.T
Usia : 55th
X. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam
5
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. DEFINISI
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).
6
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi
null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel
(Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi
Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang masing
– masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai contoh, saat
keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus higinienya baik dan
didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi
dari potensi yang seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih
cepat melakukan perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan
gizi individu yang rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang
menyebabkan kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas
kulit terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).
1.3. PATOFISIOLOGI
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang
oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif
dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia
7
tersebut bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam
menembus stratum corneum dan membentuk kompleks sebagai hapten dengan
protein kulit. Konjugat yang terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel
kelenjar getah bening yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat
mengenali konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.
Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang sudah
disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas
langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi
yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan
mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ, dan sebagainya,
sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-
mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir
sama seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh
alergen selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa
tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan
penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang relatif
rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika
mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema
memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis
yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki rambut
terutama kelopak mata (Price, 2005).
8
Skema Patogenesis DKA
Kontak Dengan
Alergen secara
Berulang
Alergen kecil
dan larut dalam
lemak disebut
hapten
Sel langerhans IL-1, ICAM-1,
Menembus keluarkan LFA-3,B-7,
lapisan corneum sitokin MHC I dan II
Sitokin akan
Difagosit oleh memproliferasi
sel Langerhans sel T dan
dengan menjadi lebih
pinositosis banyak dan
memiliki sel T
memori
Hapten + HLA-
DR Sitokin akan
keluar dari
getah bening
Membentuk
antigen
Beredar ke
seluruh tubuh
Dikenalkan ke
limfosit T
melalui CD4 Individu
tersensitisasi
Fase Sensitisasi
(I)
2-3 minggu
Fase Elitisasi (II)
24-48 jam
9
Pajanan ulang
Sel T memori
Aktivasi sitokin
inflamasi lebih
kompleks
Proliferasi dan
ekspansi sel T di
kulit Faktor kemotaktik,
PGE2 dan OGD2,
dan leukotrien B4
IFN – γ → (LTB4) dan
keratinosit → eiksanoid menarik →
LFA -1, IL-1, neutrofil, monosit ke
TNF-α dermis
10
Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis (Djuanda,
2010).
11
pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari
pekerjaan, paparan berulang dari alergen
yang didapat saat kerja, tempat bekerja,
pekerjaan sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam Faktor genetik, predisposisi
keluarga
Riwayat penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang diderita,
sebelumnya obat-obat yang digunakan, tindakan bedah
Riwayat dermatitis yang Onset, lokasi, pengobatan
spesifik
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai
lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh
deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh
sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang,
pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-
sebab endogen (Sularsito, 2010).
12
Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada
di pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai
kacamata, obat topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat
warna pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet (elastis,
busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian.
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di tangan,
parfum, kontrasepsi.
Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal.
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati
beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula.
Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :
a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi
terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak
langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi
eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi
kontak langsung.
13
b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien
hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir
c.
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis
kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata,
cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat
mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting
yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel
dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase
sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis
kontak kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian
leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik
14
d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian. Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada
karet dari celananya. Terlihat adanya eritema yang berbatas tegas sesuai
dengan daerah yang terkena alergen.
15
f. Paha dantungkaibawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh
tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen,
sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontakalergi yang terjadi karena
Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.Kaki mengalami skuama,
krusta
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis
seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis
Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak
alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara
rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai
untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan
yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta
gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air
diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang
diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras
penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai
16
penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut
yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air,
dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-
kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar
perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena
iritasi (Sularsito, 2010).
17
Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga
agar punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan
terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang
mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria type), karena
dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada
penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji
telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)
T.R.U.E. Test®
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark) patch-test.
18
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi,
biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk
membantu membedakan antara respons alergik atau iritasi, dan juga
mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat
bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien
untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi (Sularsito,
2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan
setelah pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih jelas antara
pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi
tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi tipe
decrescendo) (Sularsito, 2010).
b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan cara
biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak
perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer
yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik
biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya
formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-Eosin(HE). Ada pula
yang menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan
19
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal
jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum
dimasukkan ke dalam cairan fiksasi
20
sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila
epidermis(Sularsito, 2010).
4. Gold Standard Diagnosis
Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji
tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk
melakukan uji tempel diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn
Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen
bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran
yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun jarang
dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila menggunakan
bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan
melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010).
1.6. DIAGNOSIS BANDING
1. Tinea Cruris
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah
genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut
bagian bawah atau bagian tubuh yang lain.Tinea kruris adalah jenis kedua dari
dermatofitosis yang paling umum diseluruh dunia, namun lebih sering terjadi pada
lingkungan tropis seperti Indonesia.
b. Etiologi
Tiga penyebab utama tinea kruris yaitu Epidermophyton floccosum,
Trichophyton rubrum and Trichophyton mentagrophytes
21
Dermatofita Gambaran Klinis
Epidermophyton floccosum
Trichophyton mentagrophytes
• Infeksi lebih parah dan akut akan menyebabkan
peradangan dan pustul
• Jamur cepat menyebar ke tubuh dan ekstremitas
inferior, menyebabkan inflamasi berat
• Biasanya didapatkan pada bulu binatang
22
C. Gejala Klinis
Secara umum, penyakit kausa jamur dermatofit akan memberikan gejala klinis
berupa gatal dan kelainan kulit yang berbatas tegas. Effloresensi yang dapat
ditemukan berupa makula eritematosa hingga hiperpigmentasi, berbentuk ireguler,
dengan tepi lebih aktif dan batas tegas yang terletak pada lipat paha, daerah
perineum, dan sekitar anus. Gambaran ini cukup khas untuk infeksi jamur, dalam
hal ini tinea kruris. Lesi umumnya menunjukkan gambaran tepi lebih aktif dan batas
tegas karena mengikuti pergerakan dermatofita dalam mencerna keratin.
Skuama yang dapat ditemukan pada tinea kruris terkait dengan sisa keratin yang
dicerna oleh jamur sedangkan eskoriasi menandakan lesi akibat garukan sebagai
respons pasien terhadap gatal. Bila penyakit ini menahun, dapat terlihat bercak
kehitaman disertai adanya sedikit sisik. Pada Tinea kruris causa Epidermophyton
floccosum, pada umumnya lesinya akan terletak pada genitokrurial sedangkan pada
causa Trypcophyton rubrum pada regio pubis, perianal, gluteus, dan perut bagian
bawah.
Gambar 1. Tinea Cruris dengan Gambar 2. Tinea Cruris dengan lesi berbatas efloresensi berupa plak eritema tegas,
polisiklis, polimorfis dengan tepi aktif. berbentuk anular pada area inguinal dan
regio pubis
Gambar 1. Tinea
23
2. Eritrasma
Eritrasma adalah infeksi bakterial superfisial pada kulit yang dicirikan oleh
bercak merah-kecoklatan ireguler dan tegas, terjadi di daerah intertriginosa, atau
fissura dan maserasi putih di sela jari kaki. Ini biasanya salah diagnosa sebagai tinea
cruris untuk beberapa bulan sebelum diagnosis tepat dilakukan.
a. Etiologi dan Epidemiologi
Corynebacterium minutissimum, agen etiologik eritrasma, adalah bakteri basil
kecil, gram positif dengan granula subterminal. Infeksi umum terjadi di iklim tropis
dibandingkan iklim sedang. Dalam penelitian di suatu tempat iklim sedang, 20%
dari subjek yang dipilih secara acak ditemukan memiliki eritrasma melalui
pemeriksaan lampu Wood. Penyakit generalisata umum terjadi di daerah tropis.
Eritrasma umum terjadi pada laki-laki dan dapat muncul sebagai bentuk
asimptomatik pada daerah genitocrural.
b. Gejala Klinis
Gejala bervariasi dari asimptomatik sepenuhnya, lalu bentuk di genitocrural
dengan pruritus, hingga bentuk generalisata dengan plak berskuama pada trunkus,
daerah inguinal, dan sela jari kaki. Ketika gatal, iritasi dan lesi dapat menyebabkan
perubahan sekunder menjadi ekskoriasi dan likenifikasi.
c. Effloresensi
Predileksi tersering adalah daerah sela jari kaki, tempat eritrasma muncul
sebagai plak maserasi putih berhiperkeratotik, terutama antara jari kaki keempat
dan kelima. Pada area genitocrural, axillar, dan inframammary, lesi muncul sebagai
bercak berbatas tegas, warna merah kecoklatan, superfisial, berskuama halus dan
bergambar halus. Pada daerah ini, bercak mempunyai penampilan relatif seragam
jika dibandingkan dengan tinea corporis atau cruris, yang sering mempunyai central
healing. Pemeriksaan lampu Wood pada eritrasma menunjukkan pencahayaan
warna menajdi merah-koral disebabkan oleh corproporphyrin III. Pencahayaan
warna bertahan setelah eradikasi Corynebacterium karena pigmennya berada di
dalam stratum korneum yang tebal.
d. Pemeriksaan Penunjang
Kultur spesifik Corynebacterium dari lesi memperkuat diagnosis. Jejak
pewarnaan gram dari lapisan tanduk kulit menunjukkan organisme basil, gram
24
positif dalam jumlah besar. Diagnosis sangat disarankan dengan lokasi dan karakter
superfisial proses, tetapi harus dikonfirmasi dengan demonstrasi karakteristik
pencahayaan warna merah-koral dengan pencahayaan lampu Wood.
3. Kandidiasis Intertriginosa
Kandidiasis atau Kandidosis mengacu pada berbagai kelompok infeksi yang
disebabkan oleh Candida albicans atau kelompok lain dari genus Candida.
Organisme ini biasanya menginfeksi kulit, kuku, selaput lendir, dan saluran
pencernaan, tetapi mereka juga dapat menyebabkan penyakit sistemik.
25
a. Etiologi dan Epidemiologi
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-
laki maupun perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat sebagai
saprofit. Gambaran klinisnya bermacam-macam sehingga tidak diketahui data-data
penyebarannya dengan tepat. Jamur Yang tersering sebagai penyebab ialah Candida
albicans yang dapat diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina, dan feses
orang normal. Sebagai penyebab endokarditis kandidosis ialah C. parapsilosis dan
penyebab kandidosis septikemia ialah C. tropicalis.
b. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari kandidiasis intertriginosa adalah adanya pruritus, eritema,
maserasi pada daerah intertriginosa berbatas tegas dengan lesi satelit vesikopustula.
Pustul ini pecah meninggalkan dasar eritema dengan koloret dari epidermis yang
mengalami nekrosis yang mudah dilepaskan. Jamur kandida mempunyai predileksi
pada tempat-tempat yang lembab serta lipatan kulit yang mengalami maserasi,
misalnya paha, ketiak, sela jari, inframammary, atau sekitar kuku. Lipatan kulit
merupakan tempat yang paling sering mengalami kandidiasis. c. Effloresensi
Lesi berupa bercak berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi
tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau
bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif, dengan pinggir yang kasar
dan berkembang seperti lesi primer.
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu kandidiasis adalah dengan melakukan pemeriksaan sediaan langsung yang
ditetesi KOH untuk menemukan adanya pseudohifa dan blatospora. Jamur kandida
akan menunjukkan penampakan sel bertunas berbentuk oval, sel-sel dengan filamen
yang memanjang berhubungan seperti bentuk sosis atau seperti hifa bersepta
(pseudohifa).
26
Gambar 6. Kandidosis Intertriginosa Gambar 7. Kandidosis
Intertriginosa pada pada lipat paha
inframammae
1.7. PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta tidak
menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis
kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang
bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris,
pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-
4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk
anak – anak untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin
atau eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
27
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
1.8. PENCEGAHAN
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk,
2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis
kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak
ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang
berisiko terhadap paparan alergen
1.9. PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya
dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan
dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik,
dermatitis numularisatau psoriasia) (Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain
yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin
dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di
lingkungan penderita(Djuanda, 2005).
1.10. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri
terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks.
Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong
kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi
bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet)
dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut
neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).
28
DAFTAR PUSTAKA
Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an update.
Tersedia dalam :
http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/contact%20
dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf. Diakses pada tanggal 22
November 2012
Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.
Jakarta: FK UI
Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik Edisi
2. Jakarta : EGC
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Jakarta : EGC.
Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC
Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
ke 5. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta : FKUI.
Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak. Yogyakarta :
Fakultas Farmasi UGM
Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact
Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy Research
Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital, University of
Copenhagen .
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 11
November 2012.
29