Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

STRUKTUR VIRUS DAN PROSES INFEKSI OLEH VIRUS HIV

Disusun oleh
Kelompok 6 :
Gamariya Assegaf (18142010011)
Meri Intan Sari (18142010017)
Moh. Rachman Maulana (18142010021)
R. Muchlas Ahmad Abraham (18142010027)
Rifka Putri Fahrani (18142010028)
Halimatus Sa’diyah (18142010036)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES NGUDIA HUSADA MADURA
TAHUN AJARAN
2019
Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
karunia-Nya kami dapat meyelesaikan makalah ini yang berjudul “STRUKTUR VIRUS
DAN PROSES INFEKSI OLEH VIRUS HIV”, walau masih banyak kekurangan, kritik
dan saran sangat kami harapkan agar dapat lebih baik lagi dikemudian hari.

Pada kesempatan ini juga, kami mengucapkan terimakasih kepada :


1. Dr. Mustofa Haris, S.Kp., M. Kes. Selaku Ketua Yayasan Ngudia Husada
Madura.
2. Dr. M. Hasinuddin, S. Kep., Ns., M. Kep. Selaku Ketua STIKes Ngudia Husada
Madura.
3. Ainun Masfufah, S.Si., M.Ked.Trop. Selaku dosen pembimbing.
4. Orang tua, keluarga serta teman-teman yang telah ikut membantu dan
mendukung serta saran yang juga turut membantu kami dalam menyusun
makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan terimakasih, semoga hasil makalah kami ini
bermanfaat, kami mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.

Bangkalan, 9 Maret 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3 Tujuan ..................................................................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN


2.1 Struktur Virus ......................................................................................... 3
2.2 Patogenesis dan Patologi ........................................................................ 4
2.3 Gambaran Klinis ..................................................................................... 7
2.4 Diagnosis ................................................................................................ 7
2.5 Pengobatan dan Pencegahan .................................................................... 9

BAB III. PENUTUP


3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 15
3.2 Saran ....................................................................................................... 15
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah HIV/AIDS sudah tidak asing lagi di telinga kita, karena bukan hanya
sebagai permasalahan yang terjadi di tingkat lokal, namun sudah menjadi
permasalahan regional maupun global. Masalah ini telah menimbulkan banyak
korban, baik anak-anak maupun orang dewasa, bahkan telah mengguncang
kehidupan keluarga. Hingga saat ini pula, masalah HIV/AIDS ini belum ada
obatnya.
Indonesia sendiri merupakan negara ke-3 terbesar di dunia tentang kasus
HIV/AIDS, bahkan sebagai negara penularan HIV tercepat di Asia Tenggara.
Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia memperlihatkan peningkatan yang
semakin mengkhawatirkan, Indonesia menyumbang angka 620.000 dari total
penderita sebanyak 5,2 Juta jiwa di Asia Pasifik yang terjangkit HIV/AIDS.
Adapun perkiraan jumlah orang dengan HIV/AIDS di Jawa Timur mencapai
67.658 orang dan menduduki di Indonesia .
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tidak dapat bertahan terhadap
penyakit-penyakit yang menyerang tubuh kita. HIV adalah virus yang tidak
langsung memperlihatkan gejala infeksi ketika sudah masuk kedalam tubuh
seseorang. Sampai tiga atau enam bulan setelah masuknya virus HIV, belum
tentu virus itu ditemukan. Walaupun belum bisa terlihat, orang yang sudah
tertular HIV bisa menularkannya kepada orang lain. Orang yang dapat
merasakan HIV memerlukan waktu yang cukup lama kira-kira 5-10 tahun.
Biasanya penularan HIV yaitu melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV
tanpa perlindungan, melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, melalui
pemakaian jarum suntik, akupuntur, jarum tindik, dan peralatan lain yang telah
dipakai oleh orang yang terinfeksi HIV. HIV/AIDS tidak akan menular melalui
hal-hal berikut ini, makan dan minum, tinggal satu rumah dan bersalaman,
berpelukan, bahkan berciuman pun tidak menularkan HIV.
Cara mencegah HIV/AIDS ialah dengan kita melakukan penyuluhan kepada
masyarakat terutama pada anak usia remaja, karena anak usia remaja sangat
mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya. Dan anak usia remaja
merupakan bibit kita untuk merubah bangsa ini di kemudian hari. Dengan
penyuluhan kepada masyarakat sama saja kita sudah mengurangi angka
HIV/AIDS dan lebih utamanya kita sudah mengurangi angka kematian akibat
penyakit HIV/AIDS.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana struktur virus HIV (Human Immunodeficiency Virus)?
2. Bagaimana patogenesis infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus)?
3. Bagaimana gambaran klinis infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus)?
4. Bagaimana diagnosis infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus)?
5. Bagaimana pengobatan dan pencegahan infeksi virus (Human
Immunodeficiency Virus)?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui struktur virus HIV (Human Immunodeficiency Virus)
2. Mengetahui patogenesis infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus)
3. Mengetahui gambaran klinis infeksi virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus)
4. Mengetahui diagnosis infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus)
5. Mengetahui pengobatan dan pencegahan infeksi virus (Human
Immunodeficiency Virus)
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Struktur Virus


Virus adalah organisme subseluler yang hanya dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop elektron dikarenakan dengan ukurannya yang sangat
kecil. Virus tidak dapat disaring dengan penyaring bakteri karena ukurunnya
lebih kecil dari pada bakteri. Virus terkecil itu lebih kecil dari pada ribosom
dengan berdiameter hanya 20 nm, sedangkan virus terbesar sekalipun sukar
dilihat dengan mikroskop cahaya.
Model skematik virus HIV

Partikel HIV adalah virus RNA yang ber-envelop, berbentuk bulat sferis dengan
diameter 80-120 nm. Partikel yang infeksius terdiri dari dua untai single
stranded RNA positif yang berada di dalam inti protein virus (ribonukleoprotein)
dan dikelilingi oleh lapisan envelope fosfolipid yang ditancapi oleh 72 buah
tonjolan (spikes) glikoprotein (Gambar 1). Envelope polipeptida terdiri dari dua
subunit yaitu glikoprotein luar (gp120) yang merupakan tempat ikatan reseptor
(receptor binding) CD4+ dan glikoprotein transmembran (gp41) yang akan
bergabung dengan envelope lipid virus. Protein-protein pada membran luar ini
terutama berfungsi untuk mediasi terjadinya ikatan dengan sel CD4+ dan
reseptor kemokin.

Pada permukaan dalam envelope lipid virus dilapisi oleh protein matriks (p17),
yang kemungkinan berperan penting dalam menjaga integritas struktural virion.
Envelope lipid terbungkus dalam protein kapsid yang berbentuk ikosahedral
(p24) dan matriks p17. Protein kapsid mengelilingi inti dalam virion sehingga
membentuk ‘cangkang’ di sekeliling material genetik. Protein nukleokapsid
terdapat dalam ‘cangkang’ tersebut dan berikatan langsung dengan molekul-
molekul RNA.

2.2 Patogenesis dan Patologi


HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara
vertikel, horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistremik
secara langsung diperentarai benda tajam yang mampu menembus dinding
pembuluh atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak
seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam
sirkulasi sistemik, 4-11hari sejak paparan pertantuma HIV dapat dideteksi
didalam darah.
Selama dalam sirkulasi sistemik, sistemik terjadi virenial dengan disertai
gejaladan tanda inveksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala,
nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur,batuk pilek, dan lain lain.
Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut. Pada fase ini mulai terjadi
penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA viralload. Viralload akan meningkat
dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turunn sampai pada suatu titik
tertentu, dengan semakin berlanjutnya infeksi, viralload secara perlahan
cenderung terus meningjat.
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target sel yang
menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengeksprsikan reseptor CD4 .
untuk masuk ke sel target, GP120 HIV perlu berkaitan dengan reseptor CD4.
Untuk bisa masuk ke sel target gp120 HIV perlu berkaitan dengan reseptor CD4.
Reseptor CD4 Ini terdapat pada permukaan limfosit T, Monosit-Makrofag,
langherhan’s, sel dendrit, astrosit, mikrogilia, selain itu untuk masuk ke sel HIV
memerlukan Chemokine receptor yaitu CXCR4 dan CCR5, beberapa reseptor
lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Intensitas ikatan gp120 hiv
dengan reseptor CD 4 ditentukan melalui peran regio V terutama V3. Stabilitas
dan potensi ikatan diperkuat oleh ko-reseptor CCR-5 dan CXCR4. Semakin
kjuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan diikuti oleh proses
interaksi lebih lanjut yaitu terjadi fusi membranHIV dengan membran sel target
atas peran gp14 HIV . Dengan terjadinya fusi Kedua membran, seluruh isi
sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transcriptase dan inti masuk ke dalam
sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNA
(ssRNA). Enzim reverse transcription akan menggunakan RNA sebagai template
untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA Dipindahkan oleh ribononuklasae dan
enzim reverse transcriptaseuntuk mensintesis DNA lagi sehingga menjadi
double strand DNA yang disebutsebagai provirus, provirus masuk ke dalam
nukleus, menyatu dengan kromosomsel host dengan perantara enzim integrase.
Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif ini disebut sebagai
keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus dari keadaan laten tersebut
memelukan proses aktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin, atau faktor lain
maka sel akan memicu, nuclear factor kB(NF-Kb) sehingga menjadi aktif dan
berkaitan pada 5’ LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen –gen
tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen,
NFkB menginduksi replikasi DNA. Induktor nulear factor kB (NF-kB) sehingga
cepat memicu replikasi HIV adalah intervensi mikroorganisme lain.
Mikroorganisme lain yang memicu infeksi sekunder dan memengaruhi jalannya
replikasi adalah bakteri, virus, jamur, maupun protozoa. Dari keempat golongan
mikroorganisme tersebut yang paling besar pengaruhnya terhadap percepatan
replikasi HIV adalah virus non-HIV, terutama adalah virus DNA. Enzim
polimerase akan mentranskip DNA menjadi RNA genomik dan mRNA. RNA
keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida.
Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta
perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host,
kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi enzim protein dan
enzim yang fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid
dari permukaan sel host, sehingga membentuk virus baru yang lengkap dan
matang. Virus yang lengkap ini keluar dari sel, akan menginfeksi sel target
berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai
109 -1011 virus baru.
Secara perlaham tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan semakin
menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami
penurunan jumlah limfositT-CD4 melalui beberapa mekanisme sebagai berikut.
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat
adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak
berintegrasin dengan nukleus, dan terjadinya gangguan makro molekulel
2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV
dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.
3. Respons imun humoral dan seluler terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus
dan sel yang terinveksi vius respons ini bisa menyebabkan disfungsi imun akibat
eliminasi sel yang terinfeksi
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantbodi yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi.
5. Kematian sel yang terjadi akibat hiperakif, pengaturan irama dan waktu folding dan
denutarasi protein.
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas hsp70, sehingga fungsi
sitoprotektif,pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu, terjadi
nisfloding dan denustrasi protein, jejas dan kematian sel.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadinya penurunban jumlah
limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosi T-CD4 secara dramatis dari
3
normal berkisar 600-120/mm , semua mekanisme tersebut menyebabkan
penurunan sistem imun sehingga pertahanan individu pertahanan individu terhadap
mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkjatkan resiko terjadinya
infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS.
Fase inveksi HIV terdiri dari 3 fase:
1. Serokonvensi
Fase serokonvensi terjadi di masa awal infeksi HIV. Pada fase ini, terjadi
viremia dengan penyebaran yang luas dalam tubuh, selama 4-11 hari setelah
virus masuk mukosa tubuh. Kondisi ini dapat bertahan selama beberapa
minggu, dengan gen cukup ringan dan tidak spesifik, umumnya berupa
demam, flu-like syndrome limfadenopati dan ruam-ruam. Kemudian, keluhan
akan berkurang dan bertahan gejala mengganggu. Pada masa ini, umunya
akan mulai terjadi penurunan nilai dan peningkatan viral-load.
2. Fase Asimtomatik
Pada fase aimtomatik, HIV sudah dapat erdeteksi melalui pemeriksaan darah.
Infeksi HIV daoat hidup bebas gejala hingga 5-10 tahun walau tanpa
intervrensi pengobatan. Pada fase ini, replikasi virus terus berjalan, virulensi
tinggi, viral load tingi, serta terjadi penurunan CD secara konstan.
3. Acquired Immunodefiiency Syndrome (AIDS)
Pada fase AIDS, umumnya viral-load tetap berada dalam kadar yang
tinggi.CD menurun hingga lebih rendah dari 200. Infeksi oportunistik mulai
muncul secara signifkan. Infeksi oportunistikini bersama meliputi dan
mengganggu berbagsai fungsi organ dan sistem dalam tubuh. Infeksi
oportunistik berupa:
a) Demam > 2 minggu
b) Tuberkolosis paru
c) Tuberkolosis ekstra paru
d) Sakroma kapposi
e) Herpes rekuren
f) Limfadenopati
g) Candidiais orofaring
h) Wasting syndrome
Stadium infeksi HIV menurut WHO diabagi ke dalam 4 stadium:
a) Stadium 1
Stadium 1 infeksi HIV berupa sindrom serokrenvensi akut yang disertai dengan
limfadenopati peristen generalista ( muncul nodul-nodul tanpa rasa sakit pada lebih
lokasi yang tidak berdampingan dengan jarak lebih cm dan waktu lebih 2 bualn)
Pasien stadium ini dapat tetap asimtomatik hingga bertahun-tahun tergantung
pengobatan. Status perfoma 1 aktif penuh dan asimtomatik.
b) Pada stadium 2, pasien dapat kehilangan berat badan kuang 10% massa risiko
penyakit infeksi antara lain:
 Herpesn zoster
 Manifestasi minor mikokutan
 Infeksi saluran pernafasan atas rekruen
c) Stdium 3
Stdium 3 hiv akan menyebabkan pasien kehilangan berat badan lebih dari 10 tubuh.
Pasien jjuga akan mnegalami bebeapa infeksi atau gejala berikut:
 Diare kronik lebih dari 1 bulan
 Demam prolog lebih dari 1 bulan
 Kandidosis oral
 Oral hairiiy leukoplikia
 Infeksi bakteri parah

2.3 Gambaran klinis


Beberapa minggu setelah infeksi, sindrom yang mempunyai monokleousis
dapat terjadi disertai ruam, dema, dan limfadenopati. Priode laten terjadi
sesudahnya, dapat berlangsung selama 10-15 tahun. Saat fungsi selT terganggu
secara bermakna (<0,2 × 109 L), infeksi sekunder dan keganasan berkembang
akibat imujosepresi yang berat, suatu kondisi yang dikenal sebagai aquaired
immune deficiency syndrome (AIDS), walaupun kondisi ini dapat diatasi dengan
terapi antiretrovirus yang sangat aktifI high active anti retroviral therapy
HAART)
Bakteri: Mycobacterium tubercolosis. M.avium-intercellulare, salmonella,
streptococcus, pneumaniae.
Protozoa: Toxoplasma gondii, cryptsoporidium parvum, isospora belli,
mikroskoropdia
Fungi: candida spp, cryptosus neofarmans, pneumocytis carinii
Virus: varizela soster, human papivirus
Keganasan: sarkoma kaposi (HHV-8) Informa non hodkin, anak –anak dengan
infeksi HIV terutama rentan terjhadap infeksi virus masa kanak-kanak, misalnha
campak, dan infeksi bakteri pneumania.

2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasrkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium.diagnosis pasti di tegakkan dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium mulai dari uji penapisan dengan penentuan adanya antibody anti-
HIV kemudian dilanjutkan dengan uji pemastian dengan pemeriksaan yg lebih
spesifik yaitu Western blot lebih spesifik karena mampu mendeteksi komponen-
komponen yang terkandung pada HIV. Untuk negara berkembang seperti
indonesia mengingat uji tersebut belum merata dilakukan secara rutin, maka
dapat dilakukan mpemeriksaan laboratorium dengan tiga metode yang berbeda.
Dikatakan terinfeksi HIV apabila ketiga pemeriksaan laboratorium dari metode
yang berbeda-beda tersebut menunjukkan hasil reaktif.
Untuk membantu menetapkan diagnosis terinfeksi HIV pada individu perlu
memahami faktor resiko epidemiologis yang terdapat pada individu tersebut.
Informasi ini sangat memudahkan dokter sebelum melangkah ke arah diagnosis
definitif. Konseling dan pemeriksaan terhadap individu beresiko tinggi
merupakan langkah utama untuk pencegahan dan deteksi dini. Individu yang
terinveksi tetapi tidak mengetahui, tidak menyadari sangat potensial
mentransmisikan ke orang lain.
Berbagai faktor risiko terinveksi HIV
Faktor risiko epidimiologiss infeksi HIV adalah sebagai berikut:
1) Perilaku berisiko tinggi
a. Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa
menggunakan kondom.
b. Pengguna narkotika, intravena, terutama bila pemakaian jarumsecara
bersama tanpa sterilisasi yang memadai
c. Hubungan seksual yang tidak aman multipartner, pasangan seks
individu yang diketahui terinfeksi HIV, Kontak seks per anal

2) Mmepunyai riwayat infeksi menular seksual


3) Riwayat menurut transfusi darah berulang tanpa tes penapiasan
4) Riwayat pelukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumisi dengan alat yang tidak
disterilisasikan
Diagnosis infeksi HIV dan AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klafikasi klinis
WHO dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan
surveilansepidimiologi dibuat bilamenunjukan tes HIV positif dan sekurang
kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan satu gejala minor.
Pemeriksaan Laboratorium infeksi HIV.
Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya
infeksi HIV. Salah satu cara penentusan serologi HIV yang dianjurkan adalah
ELISA, Mempunyai sensitivitas 93-98%dengan spesifitas 98-99%, pemeriksaan
serologi HIV sebaiknmya dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih spesifik western blot.
Untuk mendeteksi seorang terinfeksi HIV dapat dilakukan tes langsung
pada virus HIV atau secacar tidak langsung dengan cara penentuan antibodi.
Bila individu didaptkan adanya antibodi terhadap HOV berarti pernah atau
sedang terpapar HIV.
Pemeriksaan serologi HIV Pemerikasaan penapisan terhadap antibodi HIV,
bila didapatkan hasil positif dilakukan pemeriksaan ulang dengan menggunakan
tes yang memiliki prinsip dsar yang berbeda dan atau menggunakan preparasi
antigen yang berbeda dari tes yang pertama Biasanya digunakan enzim lingket
imunosorben assay atau (ELISA) apabila tersedia sarana yang cukup dapat
dilakukan tes konfirmasi dengan western blot (XB) . hasil pemeriksaan bisa
reaktif atau non reaktif. Makna hasil pemeriksaan antibodi non reaktif atau
negatif antara lain memang tidak terinfeksi HIV, berada dalam masa jendela atau
individu yang baru saja terinfeksi anti kadar yang belum meningkat, stadium
AIDS sangat lanjut sehingga respon imun tubuh sangat lemah atau tidak mampu
memberikan respon terhadap pembentukan antibodi.

2.5 Pengobatan dan Pencegahan


Pencegahan Primer:
Sebelum vaksinasi terhadap infeksi HIV berhasil, maka pencegahan HIV
menduduki posisi dan menjadi strategi penting. Pencegahan melalui upaya
peningkatan kewaspadaan sangat tergantung pada berbagai faktor sesui tata cara
transmisi infeksi HIV. Sehubungan dengan hal itu pencegahan erat kaitanya
dengan para praktisi seks, pengguna narkoba IV, penggunaan profilaksin HIV
perinatal, penapisan darah dan produk darah, profilaksi bagi oraktisi pengendali
infeksi, dan setting pelayanan kesehatan. Pada setiap pelayanan primer, secara
rutin perlu menggali riwayat perilaku dan tata cara kontak seksual, serta
diperoleh informasi selengkap mungkin resiko tinggi, saat yang tepat, screnning
untuk infeksi HIV konseling pre test dan post test. Konseling pre test meliputi
faktor resiko tinggi infeksi HIV, diskusi tentang kontak seks aman, penggunaan
jarum suntik, dan makna hasil tes yang positif. Konseling post tes meliputi
mengulang penjelasan tentang tata cara kontak seks aman, penggunaan jarum
suntik bagi pengguna narkoba IV. Bagi yang hasil tes positif, diberikan
informasi jelas tentang ketersediaan obat berikut fasilitas pengobatan dan
pelayanan kesehatan mental termasuk pentunjuk penggunaan kontak seksual dan
penggunaan jarum suntik dipakai secara aman. Tugas para klinisi terhadap
penyampaian hasil tes negative, bagaimana cara menghindari paparan infeksi
HIV. Pasien harus diberikan konseling agar tidak berganti-ganti pasangan, tetap
monogamisehingga tetap hasil tes negatif, tidak sembarang kontak seks tidak
aman, pengunaan jarum suntik tidak aman, serta berbagai perilaku resiko tinggi
paling tidak dalam waktu enam bulan sebelumnya sejak dinyatakan hasil tes
negatif. Hanya kondom lateks yang biasa digunakan, disertai cairan pelicin.
Walaupun nonoxynol-9 merupakan spermatisid, mampu membunuh HIV< tetap
merupakan kontraindikasi karena pada beberapa pasien mengeluh nyeri akibat
ulserasi genital yang justru memicu transmisi HIV. Pasien perlu diberi
penjelasan bahwa pengunaan kondom tidak menjamin 100% aman dan tidak
sepenuhnya efektif. Meskipun demikian perlu familiar menggunakan kondom
bila kontak seks dengan pasangan resiko tinggi, serta dijelaskan agar tidak
membiasakan penggunaan ulang kondom yang telah dipakai sebelumnya.
Kontak seks per anak mempunyai resiko lebih tinggi transmisi HIV,
serokonversi sering ditemukan dari yang sebelumnya kontak seks per vaginal
maupun oral seks. Seperti juga pada pria, wanita harus memahami bagaimana
penggunaan kondom secara benar yang dilakukan pasangannya. Saat ini telah
diupayakan untuk melakukan screening darah maupun produk darah sehingga
resiko transmisi infeksi HIV melalui tranfusi darah menjadi serendah mungkin,
yaitu 1:1.000.000.
Dirumah sakit perhatian terhadap infeksi noso komial terhadap pasien yang
dirawat dilaksanakan dengan cara penggunaan kewaspadaan universal guna
menghindari paparan melalui cairan tubuh. Kewaspadaan universal ini termasuk
penggunaan sarung tangan apabila mengelola cairan tubuh pasien HIV, juga
pemakaian skort, masker, dan kacamata gogel.pengelolaan jarum suntik habis
pakai, pemakaian peralatan tajam semua penting diperhatikan dalam penerapan
kewaspadaan universal. Laporan transmisi terhadap tuberculosis resisten obat
pada persiapan pelayanan penting dalam pengendalian transmisi infeksi. Semua
pasien yang sedang mengalami keluhan batuk pada poli rawat jalan diharuskan
selalu memakai masker. Pasien terinfeksi HIV yang mengalami rawat i nap,
harus ditempatkan pada ruang isolasi infeksi saluran napas sampai diagnonis
tuberkulosis dinyatakan tidak terbukti melalui pemeriksaan foto toraks dan
pemeriksaan smear sputum.
Pada model primata telah dikembangkan vaksin protektif, tetapi uji klinis
pada manusia menggunakan gp120 atau gp160 menunjukkan perkembangan anti
body netralisasi masih menunjukkan hasil yang belum protektif terhadap infeksi
HIV.

Pencegahan Skunder:
Pada era sebelum pengembangn terapi melalui program HAART, penelitian
kohort data dari individu yang tercatat menunjukkan serokonvenrsi bahwa AIDS
telah berkembang dalam 10 tahun terakhir dan sdkitar 50% individu seropositif
belum mendapatkan terapi anti retro viral. Belakangan terjadi kemajuan dalam
pengobatan HAART sehingga dapat memperbaiki prognosis. Sebagian kecil
pasien yang telah mendaptkan pengobata n ARV berkembang ke AIDS. Data
terakhir menunjukan hasil baik dengan menggunakan rejimen baru sehingga
progresivitas penhyakit ditekan. Penurunan kejadian AIDS mencerminkan
kemajuan dalam bidang terapi, keberhasilan dalam upaya pencegahan seperti
yang dilaporkan di Amerika serikat dan Eropa barat.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah penularan HIV/AIDS:
1. Penyuluhan Kesehatan
Melakukan penyuluhan kesehatan di sekolah dan masyarakat mengenai perilaku
resiko tinggi yang dapat menularkan HIV.
2. Tidak melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, atau hanya
berhubungan seks dengan satu orang saja yang diketahui tidak terinfeksi HIV.
3. Menggunakan kondom saat melakukan hubungan sekssual.
Penggunaan kondom yang benar saat melakukan hubungan seks baik secara
vaginal, anal dan oral dapat melindungi terhadap penyebaran infeksi menular
seksual (IMS).
4. Menyediakan fasilitas konseling dan tes HIV sukarela
Konseling dan tes HIV sukarela ini sangat disarankan untuk semua orang yang
terkena salah satu faktor resiko sehingga mereka mengetahui status infeksi serta
dapat melakukan pencegahan dan pengobatan dini.
5. Melakukan sunat bagi laki-laki.
Sunat pada laki-laki yang dilakukan oleh profesional kesehatan terlatih dan sesuai
dengan aturan medis dan mengurangi resiko infeksi HIV melalui hubungan
heteroseksual sekitar 60%.
6. Menggunakan Antriretroviral (ART).
Sebuah pecobaan yang dilakukan di tahun 2011 telah mengkonfirmasi bahwa orang
HIV-positif yang telah mematuhi pengobatan Antriretroviral (ART), dapat
mengurangi resiko penularan HIV kepada pasangan seksual HIV-negatif sebesar
96%.
7. Pengurangan dampak buruk (Harm Reduction) bagi pengguna narkoba suntikan.
Penggunaan narkoba suntikan dapat melakukan pencegahan terhadap infeksi HIV
dengan menggunakan alat suntik steril untuk setiap infeksi atau tidak berbagi jarum
suntikkepada pengguna lain.
8. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Penularan HIV dari ibu ke anak selama kehamilan, persalinan, atau menyusui jika
tidak diberikan intervensi maka tingkat penularan HIV dari ibu ke anak dapat
mencapai 15-45%.
9. Melakukan Tindakan Kewaspadaan Universal Bagi Petugas Kesehatan.
Bagi petugas kesehatan, harus berhati hati dalam menangani pasien,memakai dan
membuang jarum suntik agar tidak tertusuk menggunakan APD untuk menghindari
kontak dengan darah atau cairan yang kemungkinan terinfeksi HIV. Setiap tetes
darah pasien yang mengenai tubuh harus segera dicuci dengan air dan
sabun.tindakan kehati hatian ini harus dilakukan pada semua pasien dan semua
prosedur laboratorium.

Pengobatan Infeksi HIV :


Infeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV) daoat diatasi dengan
kombinasi Antiretroviral (ART) yang terdiri dari 3 atu lebih obat ARV. Namun,
ART ini bukan merupakan obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV, tetapi
hanya mengontrol replikasi virus pada tubuh penderita serta memperkuat sistem
kekebalan tubuh sehingga infeksi HIV tidak menjadi lebih parah. Pada akhir 2013,
sekitar 11,7 juta orang HIV-positif di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah telah menerima pengobatan ART, 740.000 diantaranya adalah anak-
anak. Cakupan pemakaian ART pada anak-anak masih rendah yaitu hanya 1 dari 4
anak yang menerima pengobatan ART dibandingkan dengan 1 dari 3 orang dewasa.
Dari semua orang dewasa HIV-positf 37% yang menerima pengobatan ART,
namundari semua anak yang hidup dengan HIV hanya 23% yang menerima
pengobatan ART pada tahun 2013.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
1. Virus adalah organisme subseluler yang hanya dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop elektron dikarenakan dengan ukurannya yang sangat
kecil. Virus tidak dapat disaring dengan penyaring bakteri karena ukurunnya
lebih kecil dari pada bakteri. Virus terkecil itu lebih kecil dari pada ribosom
dengan berdiameter hanya 20 nm, sedangkan virus terbesar sekalipun sukar
dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertikel,
horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistremik secara
langsung diperentarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh
atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak seperti
yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi
sistemik, 4-11hari sejak paparan pertantuma HIV dapat dideteksi didalam darah.
3. sindrom yang mempunyai monokleousis dapat terjadi disertai ruam, dema, dan
limfadenopati. Priode laten terjadi sesudahnya, dapat berlangsung selama 10-15
tahun. Saat fungsi selT terganggu secara bermakna (<0,2 × 109 L), infeksi
sekunder dan keganasan berkembang akibat imujosepresi yang berat, suatu
kondisi yang dikenal sebagai aquaired immune deficiency syndrome (AIDS),
walaupun kondisi ini dapat diatasi dengan terapi antiretrovirus yang sangat aktifI
high active anti retroviral therapy HAART)
4. Diagnosis ditegakkan berdasrkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium.diagnosis pasti di tegakkan dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium mulai dari uji penapisan dengan penentuan adanya antibody anti-
HIV kemudian dilanjutkan dengan uji pemastian dengan pemeriksaan yg lebih
spesifik yaitu Western blot lebih spesifik karena mampu mendeteksi komponen-
komponen yang terkandung pada HIV
5. Pengobatan: Infeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV) daoat diatasi dengan
kombinasi Antiretroviral (ART) yang terdiri dari 3 atu lebih obat ARV. Namun,
ART ini bukan merupakan obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV, tetapi
hanya mengontrol replikasi virus pada tubuh penderita serta memperkuat sistem
kekebalan tubuh sehingga infeksi HIV tidak menjadi lebih parah
Daftar Pustaka
Nasronudin HIV & AIDS Pendekatanbiologimolekulerklinisdan social/ nasronudin: editor,
JusufBarakbah Surabaya: Airlangga University Press (AUP), 2013
1. NursalamAsuhankeperawatanpadapasienterinfeksiAriyanto, Edward
TanujayaDkk, Jakarta 2007
2. NajmahEpidemologiPenyakitMneular: Taufik Ismail, CV. Trans info media
jakrta 2015
3. Underwood, J.C.E Patologi umum dan sitematik. Vol.1/ J.C.E.
Underwood;editor edisi bahasa indonesia , Sarjadi-.2-Jakarta: EGC 1999.
4. Tambayong,jan Farmakologi untuk keperawatan/ jan tambayong.- Jakarta:
Widya Medika, 2001

Anda mungkin juga menyukai