Anda di halaman 1dari 20

1.

PENDAHULUAN
1.1 Gambaran Umum
Konservasi merupakan suatu upaya yang dapat menghidupkan kembali vitalitas
lama yang telah pudar. Termasuk upaya konservasi bangunan kuno dan bersejarah.
Peningkatan nilai-nilai estetis dan historis dari sebuah bangunan bersejarah sangat
penting untuk menarik kembali minat masyarakat untuk mengunjungi kawasan atau
bangunan tersebut sebagai bukti sejarah dan peradaban dari masa ke masa. Upaya
konservasi bangunan bersejarah dikatakan sangat penting. Selain untuk menjaga nilai
sejarah dari bangunan, dapat pula menjaga bangunan tersebut untuk bisa
dipersembahkan kepada generasi mendatang.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sejarah dan budaya. Tentu tidak
sedikit bangunan bersejarah yang menyimpan cerita-cerita penting dan tersebar di
seluruh penjuru Indonesia. Bahkan hampir di setiap daerah mempunyai bangunan
bersejarah yang dijadikan sebagai identitas dari daerah tersebut.
Bertolak belakang dengan diketahuinya indonesia yang kaya akan sejarah dan
budaya, ternyata masih banyak bangsa Indonesia yang tidak menyadari akan hal itu.
Banyak sekali fenomena-fenomena yang terjadi dan meninbulkan keprihatinan
terutama dalam bidang arsitektur bangunan di Indonesia. Seperti yang dikemukakan
oleh Budihardjo (1985), bahwa arsitektur dan kota di Indonesia saat ini banyak yang
menderita sesak nafas. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan
ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. padahal menghancurkan bangunan
kuno bersejarah sama halnya dengan menghapuskan salah satu cermin untuk
mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno
bersejarah, lenyaplah pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah
menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya
(Sidharta dan Budhihardjo, 1989). Oleh karena itu, konservasi bangunan bersejarah
sangat dibutuhkan agar tetap bisa menjaga cagar budaya yang sudah diwariskan oleh
para pendahulu kita.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam penulisan makalah ini penulis memaparkan beberapa permasalahan, yaitu:
a. Apa pengertian konservasi bangunan kuno bersejarah?
b. Apa saja jenis konservasi bangunan kuno bersejarah?
c. Apa saja tolok ukur konservasi bangunan kuno bersejarah?
d. Bagaimana pelaksanaan konservasi bangunan kuno bersejarah?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
a. Mengetahui apa pengertian dari konservasi bangunan kuno bersejarah.
b. Mengetahui apa saja jenis dari konsevasi bangunan kuno bersejarah.
c. Mengetahui apa saja tolok ukur konservasi bangunan kuno bersejarah
d. Mengetahui bagaimana pelaksanaan konservasi bangunan kuno bersejarah

2. KONSEP
Secara umum konservasi mempunyai arti pelestarian yaitu
melestarikan/mengawetkan daya dukung, mutu fungsi, dan kemampuan lingkungan
secara seimbang (MPL, 2010; Anugrah, 2008). Konservasi lahir akibat adanya semacam
kebutuhan untuk melestarikan sumber daya alam yang diketahui mengalami degradasi
mutu secara tajam. Dampak degradasi tersebut menimbulkan kekhawatiran dan kalau
tidak diantisipasi akan membahayakan umat manusia, terutama berimbas pada kehidupan
generasi mendatang. Konservasi merupakan upaya perubahan atau pembangunan yang
tidak dilakukan secara drastis dan serta merta, merupakan perubahan secara alami yang
terseleksi. Ada beberapa nilai yang terkandung dalam konsep konservasi, yaitu menanam,
melestarikan, memanfaatkan, dan mempelajari.
Sebagaimana diketahui, kesinambungan masa-lampau masa-kini masa-depan,
yang mengejawantahkan dalam karya-karya arsitektur setempat, merupakan faktor kunci
dalam penimbuhan rasa harga diri, percaya diri, dan jati diri, atau identitas. Keberadaan
bangunan kuno yang mencerminkan kisah sejarah, tata cara hidup, budaya, dan
peradaban masyarakat, memberikan peluang bagi generasi penerus untuk menyentuh dan
menghayati perjuangan nenek moyangnya.
Bangunan yang menjadi obyek konservasi dipertahankan persis seperti keadaan
aslinya. Sasarannyapun lebih terbatas pada benda peninggalan arkeologis. Konsep yang
statis tersebut kemudian berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis,
dengan cakupan yang lebih luas pula. Sasarannya tidak terbatas pada obyek arkeologis
saja, melainkan meliputi karya arsitektur lingkungan atau kawasan dan bahkan kota
bersejarah. Konservasi lantas merupakan istilah yang menjadi payung dari segenap
kegiatan pelestarian lingkungan binaan, yang meliputi preservasi, restorasi, rehabilitasi,
rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi.

3. PEMBAHASAN
3.1 Pengertian
Menurut Danisworo (1995): ”Konservasi adalah upaya untuk melestarikan,
melindungi serta memanfaatkan sumber daya suatu tempat, seperti gedung-gedung
tua yang memiliki arti sejarah atau budaya, kawasan dengan kepadatan pendudukan
yang ideal, cagar budaya, hutan lindung dan sebagainya”. Berarti, konservasi juga
merupakan upaya preservasi dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu seperti
kegiataan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekali baru sehingga dapat
membiayai sendiri kelangsungan eksistensinya.
Sementara itu, Piagam Burra menyatakan bahwa pengertian konservasi dapat
meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat. Oleh karena itu, kegiatan konservasi dapat pula mencakupi ruang lingkup
preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi (Marquis-Kyle & Walker,
1996; Al-vares,2006).
Tujuan dari konservasi adalah mewujudkan kelestarian seumber daya alam hayati
serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia. Dengan demikian,
konservasi merupakan upaya mengelola perubahan menuju pelestarian nilai dan
warisan budaya yang lebih baik dan bekesinambungan. Dengan kata lain bahwa
dalam konsep konservasi terdapat alur memperbaharui kembali (renew) ,
memanfaatkan kembali (reuse), mengurangi (reduce), mendaur ulang kembali
(recycle), dan menguangkan kembali (refund).
3.2 Jenis-jenis Konservasi
Menurut (Marquis-Kyle dan Walker, 1996; Al vares, 2006), konservasi dibagi
menjadi beberapa jenis, yaitu:
 Preservasi
Preservasi adalah mempertahankan (melestarikan) yang telah dibangun
disuatu tempat dalam keadaan aslinya tanpa ada perubahan dan mencegah
penghancuran.
 Restorasi
Restorasi adalah pengembalian yang telah dibangun disuatu tempat ke kondisi
semula yang diketahui, dengan menghilangkan tambahan atau membangun
kembali komponen-komponen semula tanpa menggunakan bahan baru.
 Rekontruksi
Rekontruksi adalah membangun kembali suatu tempat sesuai mungkin dengan
kondisi semula yang diketahui dan diperbedakan dengan menggunakan bahan
baru atau lama.
 Adaptasi
Adaptasi adalah merubah suatu tempat sesuai dengan penggunaan yang dapat
digabungkan.
 Revitalisasi
Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk
menumbuhkan kembali nilai-nilai penting cagar budaya dengan penyesuaian
fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai
budaya masyarakat.
3.3 Tolok Ukur atau Kriteria Konservasi Bangunan Bersejarah
Ada beberapa tolok ukur dalam pelaksanaan konservasi bangunan bersejarah.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Lubis (1990), setiap negara memiliki kriteria
yang berbeda dalam menentukan obyek yang perlu dilestarikan, tergantung dari
definisi yang digunakan dan sifat obyek yang dipertimbangkan. Dari beberapa
literatur yaitu Catanese (1986), Pontoh (1992), Rypkema (dalam Tiesdel: 1992),
kriteria yang menggambarkan dasar-dasar pertimbangan atau tolok ukur mengapa
suatu obyek perlu dilestarikan adalah sebagai berikut:
Tolok ukur fisik-visual
 Estetika/arsitektonis, berkaitan dengan nilai estetis dan arsitektural,
meliputi bentuk, gaya, struktur, tata ruang, dan ornamen.
 Keselamatan, berkaitan dengan pemeliharaan struktur bangunan tua
agar tidak terjadi suatu yang membahayakan keselamatan penghuni
maupun masyarakat di lingkungan sekitar bangunan tua tersebut.
 Kejamakan/tipikal, berkaitan dengan obyek yang mewakili kelas dan
janis khusus, tipikal yang cukup berperan.
 Kelangkaan, berkaitan dengan obyek yang mewakili sisa dari
peninggalan terakhir gaya yang mewakili jamannya, yang tidak
dimiliki daerah lain.
 Keluarbiasaan/keistimewaan, suatu obyek observasi yang memiliki
bentuk paling menonjol, tinggi, dan besar. Keistimewaan memberi
tanda atau ciri suatu kawasan tertentu.
 Peranan sejarah, merupakan lingkungan kota atau bangunan yang
memiliki nilai historis suatu peristiwa yang mencatat peran ikatan
simbolis suatu rangkaian sejarah masa lalu dan perkembangan suatu
kota untuk dilestarikan dan dikembangkan.
 Penguat karakter kawasan, berkaitan dengan obyek yang
mempengaruhi kawasan-kawasan sekitar dan bermakna untuk
meningkatkan kualitas dan citra lingkungan.
Tolok ukur non fisik
 Ekonomi, dimana kondisi bangunan tua yang baik akan menjadi daya
tarik bagi para wisatawan dan investor untuk mengkembangkannya
sehingga dapat digali potensi ekonominya.
 Sosial dan budaya, dimana bangunan tua tersebut memiliki nilai
agama dan spiritual, memiliki nilai budaya dan tradisi yang penting
bagi masyarakat.
3.4 Pelaksanaan Konservasi Bangunan Bersejarah
Pelaksanaan konservasi akan disesuaikan dengan kondisi bangunan tua tersebut.
Sebelum melakukan konservasi, sebaiknya mengidentifikasi aspek pertimbangan
pada bangunan tua tersebut. Aspek-aspek tersebut kemudian diuraikan berdasarkan
komponen yang akan diatur dalam konservasi. Setelah itu dari komponen itu akan
dirumuskan dasar pengaturannya dan menetapkan sasaran yang akan dicapai dalam
konservasi. Kegiatan pengaturan komponen juga dilakukan sesuai kondisi bangunan
tua tersebut. Pelaksanaan konservasi tersebut dibagi dalam beberapa tingkat
berdasarkan kondisi masing-masing komponen pada bangunan, yaitu:
 Mempertahankan dan memelihara, yaitu mempertahankan dan memelihara
komponen yang diatur pada bangunan tua yang sangat berpengaruh pada
karakter bangunan dan kondisinya masih baik.
 Memperbaiki, yaitu memperbaiki komponen pada bangunan tua yang
kondisinya sudah rusak sesuai bentuk asli.
 Mengganti, yaitu mengganti variabel yang diatur pada bangunan tua yang
rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi dengan bentuk sesuai dengan kondisi asli.
Jika bentuk asli tidak teridentifikasi, dapat dilakukan penyesuaian dengan
bentuk-bentuk lain yang terdapat pada bangunan lain yang setipe.
 Menambah dengan penyesuaian terhadap bentuk asli, yaitu melakukan
penambahan komponen yang boleh dilakukan jika dilakukan pengembangan,
terutama yang merupakan penyesuaian terhadap fungsi, dengan batasan
bentuk baru tidak merusak karakter asli bangunan dan dibuat sesuai dengan
bentuk yang telah ada.
Contoh studi kasus:
Gedung Lawang Sewu bagi masyakarat dan petunjuk pengelolaan gedung Lawang
Sewu bagi pengelola bangunan. Menyadari bahwa warisan ini pada dasarnya tak
terbarukan (non renewable) dan perlahan tapi pasti akan punah, upaya pelestarian
menjadikan para pemerhati yang peduli akan nilai dan manfaat warisan budaya
berupaya dan berpikir positif bahwa masyarakat membutuhkan pembelajaran dan
pembuktian. PT Kereta Api (persero) dalam konteks sisem kebudayaan juga semakin
dituntut untuk menjadi pelopor di bidang heritage management, salah satunya adalah
melestarikan warisan budaya dilingkungannya sendiri sebagai bentuk upaya
memperkokoh jati diri perusahaan sekaligus sebagai bentuk Corporate Social
Responsibility kepada masyarakat.
Hal-hal yang perlu dikerjakan:
1. Melakukan inventarisasi benda cagar budaya (bangunan kuno-bersejarah)
2. Tahapan yang dilakukan :
 Pendataan Kerusakan, bekerjasama dengan Pusat Studi Urban Unit
Heritage Universitas Katolik Soegijapranata
 Awal Juni 2009 dilakukan uji praktek pekerjaan pemugaran pada beberapa
ruangan dipandu oleh Paul Hunter dari New York University
 Awal Juni 2009 mengajukan ijin perbaikan / perawatan ke Dinas Tata
Kota Pemkot Semarang, dengan menyelesaikan beberapa kewajiban ; a.
PembayaranPBB b. Rekomendasi dari BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala) Jawa Tengah
 Juli 2009 melakukan kerjasama dengan BP3 untuk melakukan studi teknis
perbaikan Gedung Lawang Sewu sekaligus untuk memenuhi syarat
perijinan.
 Telah dilakukan tahap awal perbaikan hall dan lobby Gedung A (bagian
atap dan dinding) sebagai uji bahan & uji teknis pengerjaan
 September 2009, ijin dari BPPT (Badan Pelayanan Perijinan Terpadu )
Pemerintah Kota Semarang untuk perbaikan dan perawatan Gedung
Lawang Sewu. Sehingga setelah ijin keluar, maka dimulailah perbaikan
dan perawatan Gedung Lawang Sewu tahap selanjutnya, melalui Proses
Lelang.
 Pemanfaatan Gedung Lawang Sewu Zona A akan bekerjasama dengan
Departemen Perdagangan Republik Indonesia
 Pemanfaatan Gedung Lawang Sewu Zona B akan dikomersialkan
 Sistem management Gedung Lawang Sewu akan dikelola secara
profesional terkait perawatan gedung, keamanan, promosi dan pemasaran
oleh Unit Pelaksana Teknis dan seluruh pendapatan komersial merupakan
pendapatan Daerah Operasi 4 Semarang
Dokumentasi:
Bangunan Lawang Sewu Setelah dilakukan proses Konservasi

Bangunan Lawang Sewu Setelah dilakukan proses Kpemugaran


DAFTAR PUSTAKA

Alvares. 2006. Kegiatan Budaya. http://en.Wikipedia. Diunduh 17 April 2014

Antariksa, 2009. Makna Budaya dalam Konservasi Bangunan dan Kawasan.


http://antariksaarticle.blodspot.com. Diunduh 17 April 2014

Budiharjo, Eko. 1997. Arsitektur sebagai Warisan Budaya. Jakarta: Djambatan.

Budihardjo, Eko. 1997. Arsitektur sebagai Warisan Budaya. Jakarta: Djambatan.


http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/view/2359. Diunduh 17 April 2014

Nurmala. 2003. panduan pelestarian bangunan tua di kawasan pecinan pasar baru bandung.
http://www.sappk.itb.ac.id/jpwk/wp-content/uploads/2014/01/VOL-14-NO-3-4.pdf.
Diunduh 17 April 2014

Ranchman, Maman. Konservasi Nilai dan Warisan


Budaya.http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ijc/article/view/2062. Diunduh 17 April
2014

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya

.http://indonesianheritagerailway.com/index.php?option=com_content&view=article&id=144%3
Arevitalisasi-lawang-sewu&catid=53&Itemid=143&lang=id
BAGIKAN: Komentar Makam Sultan Hasanuddin di Kompleks Makam Raja-Raja Gowa, Katangka,
Somba Opu, Gowa, Sulawesi Selatan, Jum'at (13/02/2015). (Wahyu Adityo Prodjo) loading.. Penulis
Wahyu Adityo Prodjo | EditorNi Luh Made Pertiwi F KOMPAS.com - Mendengar julukan "Ayam
Jantan dari Timur", ingatan langsung terlempar ke abad 15. Masa ketika seorang Raja Gowa ke-16
diberikan julukan oleh Belanda karena kegigihan dan keberaniannya dalam melawan penjajahan
Belanda. Saat itu, Kerajaan Gowa terkenal dengan kerajaan di wilayah timur Indonesia yang
menguasai jalur perdagangan rempah-rempah. Lahir di Makassar, 12 Januari 1629, Sultan
Hasanuddin mulai memimpin Kerajaan Gowa pada umur 24 tahun ketika penjajah sedang berusaha
menguasai perdagangan rempah-rempah. Terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape, sang raja terus berjuang melawan penjajah hingga
akhir hidupnya. Jejak sang raja-raja Gowa dapat ditelusuri melalui peninggalan. Salah satunya
melalui makam yang ada di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Gowa di Katangka, Somba Opu,
Gowa, Sulawesi Selatan. Tembok putih berlumut memagari kompleks pemakaman. Di depan
terdapat lapangan yang digunakan untuk parkir kendaraan. Abd Halik Daeng Mabe, pemandu kami
mempersilahkan masuk dengan ramah dan antusias. Tampak dari luar, sedikit pohon yang
melindungi makam-makam dari panas matahari. Kami mulai berjalan memasuki pintu yang telah
terkuak. Kompleks makam sang raja-raja tampak menghijau. Rumput-rumput tumbuh subur. Di
dalam halaman depan pemakaman berdiri satu buah rumah berkubah seperti piramida dengan pintu
setinggi satu meter. Satu bangunan bercat putih berada di tengah kompleks. Di sisi dalam terdapat
papan informasi tentang kompleks pemakaman. Di tengah bangunan, terdapat patung Sultan
Hasanuddin memegang badik, senjata khas Bugis. Warna merah membaluri patung sang raja. Sang
"Ayam Jantan dari Timur" memakai pakaian kebesaran Patung Sultan Hasanuddin di Kompleks
Makam Raja Gowa, Katangka, Somba Opu, Gowa, Sulawesi Selatan. Gambar ini diambil pada hari
Jum'at, (13/02/2015)(Wahyu Adityo Prodjo) Sebelas makam yang berlumut berada di halaman
belakang kompleks. Mulai dari makam raja-raja Gowa dan para panglima perang kerajaan. Rata-
rata makam mempunyai cungkup setinggi dua meter. Di dalam cungkup terdapat nisan yang
merupakan tanda para raja beristirahat dengan tenang. Nama asli sang raja, tanggal lahir dan wafat,
dan lama masa jabatan tertulis di setiap cungkup makam yang berukuran besar. Sementara untuk
makam-makam para panglima tidak tertulis jelas. Kompleks pemakaman yang termasuk ke
bangunan cagar budaya ini memiliki total makam sebanyak 25 makam. Perawatan kompleks
makam raja-raja Gowa ini berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Saya
bersama para penjaga dan pemandu wisata situs sejarah makam ini berusaha menjaga dan
merawat kompleks ini dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab,” kata Daeng Mabe kepada
Kompas Travel, beberapa waktu yang lalu. Untuk berkunjung ke sini, Anda cukup menuju Jalan
Palantika, Kelurahan Katangka, Somba Opu, Gowa, Sulawesi Selatan. Berjarak sekitar 30 kilometer
dari Kota Makassar. Kompleks makam raja Gowa juga terletak dekat Masjid Kuno Katangka dan
Makam Syekh Yusuf. Untuk masuk ke kawasan komplek pemakaman raja ini, Anda tidak perlu
mengeluarkan biaya. "Gratis, sudah ketentuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," kata
Daeng Mabe.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rumah Terakhir Sang "Ayam Jantan dari
Timur"", https://travel.kompas.com/read/2015/02/23/151800627/Rumah.Terakhir.Sang.Ayam.Jantan.
dari.Timur..
Penulis : Wahyu Adityo Prodjo
SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 KASUS STUDI Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota
Lhokseumawe Cut Azmah Fithri (1), Sisca Olivia (1), Nurhaiza (1) (1) Dosen Tetap Program
Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh Abstrak Kota
Lhokseumawe merupakan salah satu kota di Aceh yang memiliki bangunan bersejarah. Pada
masa penjajahan Belanda ada beberapa bangunan yang berdiri di masanya seperti rumah sakit,
kantor, benteng, stasiun kereta api, bioskop dan perumahan. Bangunan bersejarah tersebut tidak
terekspos karena saat itu kota Lhokseumawe merupakan ibukota dari Kabupaten Aceh Utara.
Bangunan bersejarah yang terekspos adalah makam-makam peninggalan kerajaan Pasai yang
terkenal. Perlu dilakukan pelestarian bangunan bersejarah untuk melindungi, merawat dan
memanfaatkan kembali bangunan tersebut. Dalam kajian ini ada empat bangunan bersejarah
yang akan dikaji yaitu Rumah Sakit, Stasuin kereta Api, Rumah Dinas Manteri Hewan dan
Bioskop Puspa. Beberapa bangunan sudah berubah fungsi, ada bangunan yang masih terawat,
dan ada yang sudah tidak terawat lagi. Kata-kunci : bangunan bersejarah, Lhokseumawe,
pelestarian. Pendahuluan Bangunan bersejarah merupakan peninggalan dan hasil karya dari
orang-orang yang pernah tinggal/menetap di suatu tempat. Mereka membangun dengan
menggunakan metode struktur sederhana. Bukan saja bangunan yang direncanakan pada masa
itu, tetapi ada peninggalan lain seperti jembatan, makam, patung, dan kawasan. Bangunan berdiri
tegak dengan menggunakan material yang sederhana berasal dari daerah sendiri. Kota
Lhokseumawe merupakan kawasan pesisir yang pada zaman dahulu merupakan tempat
persinggahan pedagang dari Cina, Arab, Eropah dan Hindia. Sekitar tahun 670-an Kota
Lhokseumawe mempunyai pelabuhan tempat bersandarnya kapal-kapal pendatang. Pelabuhan
Lhokseumawe telah menjadi pelabuhan hubungan utama di kawasan ini selama lebih dari 150
tahun sebelum fungsi ini diambil alih oleh Pelabuhan Pulau Pinang pada tahun 1790-an dan
kemudian oleh Pelabuhan Singapura pada tahun 1820-an. Pada akhir masa penjajahan Belanda
pada tahun 1904 ada beberapa bangunan masih berdiri sampai saat ini, seperti rumah sakit,
kantor, benteng, goa, stasiun kereta api, bioskop dan perumahan. Bangunan bersejarah tersebut
tidak terekspos karena saat itu kota Lhokseumawe merupakan ibukota dari Kabupaten Aceh
Utara. Saat itu yang terekspos bangunan bersejarah adalah makammakam peninggalan kerajaan
Pasai yang terkenal. Kawasan makam-makam ini direnovasi dan dijadikan tempat wisata sejarah,
dapat dikunjungi oleh masyarakat Aceh maupun masyarakat luar. Pada tahun 2001 Kabupaten
Aceh Utara melakukan pemekaran, Kabupaten Aceh Utara beribukota Lhoksukon sedangkan
Kota Lhokseumawe beribukota Lhokseumawe. Pada saat itu masih belum terekam peninggalan
bersejarah di Kota Lhokseumawe. Sementara peninggalan bersejarah seperti makam-makam raja
Kerajaan Pasai masih terpelihara baik pada masyarakat aceh dan luar Aceh. Prosiding Seminar
Heritage IPLBI

2 Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kota Lhokseumawe Pada tahun 2013 bangunan-bangunan


bersejarah di Kota Lhokseumawe mulai di kenal satu persatu keberadaannya. Kondisi bangunan
ada yang sudah rusak, sebagian ruang ada yang sudah musnah, tetapi ada beberapa bangunan
yang masih di pakai dan dirawat. Tujuannya untuk melestarikan bangunan bersejarah dengan
memelihara bangunan dan memanfaatkan seoptimal mungkin, mengingatkan kembali bangunan
lama ke tengah masyarakat, meningkatkan kualitas bangunan. Hal ini menjadi warisan bagi
masyarakat Kota Lhoksemawe dengan perwujudan bentuk fisik bangunan bersejarah tersebut.
Tinjauan Pustaka Pelestarian adalah upaya untuk melestarikan dan melindungi bangunan
bersejarah yang bertujuan untuk memahami masa lalu dan memperkaya masa kini sehingga
bermanfaat bagi perkembangan kota dan generasi masa datang melalui penerapan berbagai
metode pelestarian (Antariksa 2016:82). Sedangkan pelestarian menurut Undang-Undang Cagar
Budaya No. 11 Tahun 2010, pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan
keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan
memanfaatkan. Tujuan dan arah pelestarian menurut Budihardjo dalam Pontoh (1992: 37) yaitu
antara lain: 1. Mengembalikan wajah objek konservasi; 2. Menampilkan sejarah pertumbuhan
lingkungan kota dalam wujud tiga dimensi; 3. Menjaga keutuhan elemen pembentuk citra dan
estetika kota; 4. Memanfaatkan objek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini; 5.
Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dalam perencanaan masa lalu yang
tercermin dalam objek pelestarian. Dalam pelestarian bangunan lama,perlu dilakukan kajian
dengan cara menentukan kriteria penilaian menurut Fuady (1999: 22) kriteria penilaian
pelestarian ialah: a. Peran sejarah, berkaitan dengan peristiwa bersejarah sebagai ikatan simbolis
dulu dan sekarang,baik yang terkait dengan perjuangan 1945, sejarah perkembangan kawasan,
maupun sejarah perkembangan kota; b. Keluarbiasaan, terkait dengan kekhususan atau keunikan
yang dimiliki objek pelestarian dibandingkan dengan objek disekitarnya berdasarkan unsur-unsur
seperti terlangka, tertua, terbesar, terpanjang, pertama dan sejenisnya; c. Memperkuat citra,
berkaitan dengan peran kehadiran objek pelestarian yang dapat meningkatkan citra dan kualitas
kawasan, atau bangunan menjadi acuan bagi warga kota atau sebagai tetenger kawasan; d.
Estetika, berkaitan dengan nilai estetika dan arsitektural dalam hal bentuk, struktur, tata ruang,
dan ornamen; e. Keaslian, terakit dengan seberapa besar perubahan yang terjadi terhadap bentuk
asli bangunan, fasade, warna dan atap bangunan; f. Keterawatan terkait dengan kondisi bangunan
yang ditempati dalam keadaan terawat, kosong/tidak ditempati namun kondisinya baik, ataupun
rusak dan terabaikan. Menurut Nurmala (2003:78) dasar-dasar pertimbangan objek pelestarian
dalam bentuk non fisik yaitu: a. Ekonomi, keberadaan bangunan tua/bersejarah dengan kondisi
yng baik akan menjadi daya tarik bagi para wisatawan dan investor untuk mengembangkannya
sehingga dapat digali potensi ekonominya; b. Sosial dan budaya, bangunan tua/sejarah tersebut
memiliki nilai agama dan spiritual, memiliki nilai budaya dan tradisi yang penting bagi
masyarakat. 420 Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

3 Cut Azmah Fithri Pada Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010 bab III pasal 5
menjelaskan tentang kriteria cagar budya yang meliputi benda, bangunan, dan struktur yang
memnuhi kriteria sbb: a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; b. mewakili masa gaya paling
singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian
bangsa. Bangunan bersejarah yang masih bertahan di Kota Lhokseumawe peninggalan
penjajahan Belanda masih berdiri sampai sekarang sbb: a. Rumah Sakit (1935), sejak tahun 1959
s/d sekarang berfungsi sebagai sekolah SMP Negeri I milik DISDIKPORA; b. Stasiun Kereta
Api (1930), sejak 1951 s/d sekarang menjadi Kantor Pos Taktis Sispam milik POLRES Aceh
Utara; c. Rumah Dinas Dokter Hewan (1929), sejak tahun 1963 s/d sekarang merupakan rumah
tinggal, kepemilikan pribadi; d. Bioskop Puspa (1963), sejak 1993 bangunan ini tidak
difungsikan lagi, kepemilikan pribadi. Oleh karena itu pelestarian bangunan bersejarah di Kota
Lhokseumawe akan diuraikan melalui kriteria penilaian pelestarian untuk melihat keadaan
bangunan bersejarah yang sebenarnya. Metode Penelitian Penelitian ini memakai ragam
penelitian rasionalistik dengan pendekatan kualitatif, (Moehadjir 1989:) sebuah metode yang
dilakukan dengan cara peneliti bertindak sebagai instrumen utama. Analisis mengacu pada
landasan teori serta bertolak dari kerangka teoritik. Metode yang digunakan adalah observasi dan
metode survai. Cara yang digunakan dalam memperoleh data adalah: (1) telaah pustaka, (2)
penelitian lapangan melalui wawancara verbal. Variabel yang dipakai berupa variabel kendali
dimana aspek yang berkaitan dengan data dilandasi oleh teori yang dipakai. Variabel yang
digunakan pada pelestarian bangunan bersejarah di Kota Lhokseumawe terkait dengan kriteria
penilaian pelestarian sebagai berikut: Tabel 1. Variabel Kriteria Penilaian Pelestarian Sumber:
Fuady (1992: 22) No Kriteria Definisi Tolak Ukur 1 Peran Sejarah Berkaitan dengan sejarah,
perkembangan kawasan, maupun sejarah perkembangan kota Mengalami perubahan /tidak 2
Keluarbiasaan Terkait kekhususan atau keunikan Menggunakan langgam yang kawasan atau
bangunan terkait pada masanya Memperkuat Citra Peran kehadiran objek pelestarian yang
Memiliki nilai signifikan 3 dapat meningkatkan citra dan kualitas kawasan Estetika Berkaitan
dengan nilai estetika dan Memiliki nilai estetika 4 arsitektural dalam bentuk, struktur, tata ruang
dan ornamen 5 Keaslian Terkait dengan seberapa besar Terkait perubahnan bentuk perubahan
yang terjadi 6 Keterawatan Terkait dengan kondisi bangunan Terawat, tidak terawat Prosiding
Seminar Heritage IPLBI

4 Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kota Lhokseumawe Menurut pendapat Arikunto (2002: )


populasi adalah keseluruhan subjek kajian, dibagi dua yaitu: populasi bangunan, bangunan yang
sudah diperkiraan merupakan bangunan bersejarah di wilayah kajian dan populasi masyarakat
yaitu pemilik dan pengelola yang berada pada kawasan penelitian. Pembahasan Hasil dari
penelitian penelusuran bangunan bersejarah di Kota Lhokseumawe bahwasanya bangunan
bersejarah masih berdiri tegak dengan kondisi yang sudah rusak, kurang terawat, masih berfungsi
dan terawat dan akan dijelaskan dengan menggunakan kriteria penilaian pelestarian. Dalam
penelitian ini akan dibahas empat bangunan bersejarah dengan penilaian kondisi sebagai berikut:
a. Rumah Sakit kondisinya terawat; b. Stasiun Kereta Api kondisinya terawat; c. Rumah Dinas
Dokter Hewan kondisinya kurang terawat; d. Bioskop Puspa kondisinya tidak terawat. 1. Rumah
Sakit Gambar 1. Tampak Depan Bangunan Rumah Sakit, sekarang menjadi Gedung Sekolah
SMP Negeri I Lhokseumawe Gambar 2. Salah satu Sudut Koridor Bangunan masih terawat
dengan baik, bukaan (pintu dan jendela) pada bangunan masih bentuk yang lama hanya warna
dinding sudah diganti. 422 Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

5 Cut Azmah Fithri Bangunan SMP Negeri 1 Lhokseumawe ini merupakan bangunan
peninggalan Zaman Belanda, saat itu berfungsi sebagai rumah sakit dan dibangun sekitar tahun
Mempunyai tujuh ruang dan sekarang berfungsi sebagai ruang kelas. Sudah mengalami
perehaban pada atap dan pengecatan pada dinding. Tabel 2. Kriteria Penilaian Rumah Sakit No
Kriteria Analisa Tolak Ukur 1 Peran Sejarah Merupakan bangunan peninggalan zaman
Perubahan fungsi dari Belanda bangunan Bangunan rumah sakit pertama di Kota Menjadi
Landmark Kawasan 2 Keluarbiasaan Lhokseumawe yang menggunakan struktur dan langgam
arsitektur kolonial 3 Memperkuat Citra Kondisi bangunan yang tidak berubah dan bentuk
berbeda dari bangunanbangunan baru dikawasan tersebut. Menjadi landmark kawasan
pendidikan 4 Estetika 5 Keaslian 6 Keterawatan Bentuk denah simetris, beranda sepanjang
bangunan, dan langit-langit yang tinggi. Bentuk denah, struktur dan langgam bangunan tidak
mengalami perubahan. Bangunan ini mengalami perubahan pada atap (pergantian material
penutup atap) dan perubahan warna cat (dari coklat ke biru) Bangunan ini terawat sehingga
tingkat kerusakannya kecil Bentuk dan strukturnya memiliki ciri khas tersendiri. Mengalami
perubahan pada atap dan warna bangunan Terawat 2. Stasiun Kereta Api Gambar 3. Gedung
Lama dan Gedung setelah Renovasi Prosiding Seminar Heritage IPLBI

6 Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kota Lhokseumawe Sekitar tahun 1912 dibangun jalur
kereta api Kutaraja, Lhokseumawe sampai ke Medan. Pada tahun 1930 mulai beroperasi kereta
api dari Kutaraja sampai Medan. Stasiun kereta api yang ada di Lhokseumawe merupakan
tempat persinggahan kereta api pada sore hari. Pada tahun 1951 Kereta Api Aceh resmi tidak
beroperasi lagi, tidak mampu bersaing dengan sarana transportasi darat yang sudah semakin baik
dan suku cadang kereta api yang semakin sulit dicari. Mulai tahun 1951 s/d sekarang stasiun
kereta api berubah fungsi menjadi kantor Pos Taktis Sispam milik Polres Aceh Utara. Tabel 3.
Kriteria Penilaian Stasiun Kereta Api No Kriteria Analisa Tolak Ukur 1 Peran Sejarah
Merupakan bangunan peninggalan zaman Belanda. Mengalami perubahan fungsi bangunan
Keluarbiasaan Memperkuat Citra Estetika Keaslian Keterawatan Bangunan stasiun kereta api
pertama yang menggunakan struktur dan langgam arsitektur kolonial Kehadirannya menjadikan
tempat pengingat peristiwa masa lalu karena berada di persimpangan jalan di tengah kota Bentuk
denah simetris, langgam arsitektur kolonial. Bangunan ini mengalami perubahan pada bagian
belakang (ruang bagian belakang dijadikan teras) Bangunan ini terawat sehingga tingkat
kerusakannya kecil Menjadi Landmark di tengah kota Menjadi landmark kawasan kota Bentuk
dan strukturnya memiliki ciri khas tersendiri. Mengalami perubahan pada bagian belakang
gedung Terawat

3. Rumah Dinas Manteri Hewan Luas bangunan rumah dinas ini adalah 80 m 2.
Fungsi bangunan rumah ini berubah seiring dengan pergantian kepemilikan
rumah. Fungsi bangunan rumah dari masa ke masatahun sebelum 60-an - Pada
awal kepemilikan rumah merupakan Rumah Dinas Manteri hewan Belanda, dan
berfungsi sebagai rumah tinggal dari Manteri hewan tersebut. Tahun Prosiding
Seminar Heritage IPLBI 2017 Gambar 4 Bentuk bangunan, struktur dan interior

Cut Azmah Fithri - Bangunan ini dialihkan fungsi menjadi rumah dinas kepala polisi. Tahun 1963-
sekarang Bangunan ini diganti rugi menjadi rumah huni warga sebagai rumah tinggal. Beberapa tahun
belakangan ini, pemilik rumah menggunakan bangunan tersebut menjadi tempat kos putri. Tabel 4.
Kriteria Penilaian Rumah Dinas Manteri Hewan No Kriteria Analisa Tolak Ukur Peran Sejarah Bangunan
ini Merupakan bangunan Mengalami perubahan 1 peninggalan zaman Belanda kepemilikan
Keluarbiasaan Memperkuat Citra Estetika Keaslian Keterawatan Salah satu bangunan rumah tinggal yang
menggunakan struktur dan langgam arsitektur kolonial. Bangunan ini berada di samping bangunan eks
rumah sakit. Penggunaan struktur dan langgam arsitektur kolonial. Bentuk denah bangunan ini mengalami
perubahan pada bagian belakang (ruang bagian belakang) dinding kamar mandi sudah tidak ada. Hanya
bagian depan yang terawat, pada bagian belakang sudah ada yang rusak Keunikan langgam arsitektur
kolonial yang membedakan dengan rumah-rumah di kawasan tersebut. Hanya bagian dari bangunan eks
rumah sakit Bentuk, struktur, langgam arsitektur kolonial menjadi ciri khas dari bangunan. Mengalami
perubahan pada bagian belakang gedung Terawat sebagian, sebagiannya lagi rusak

Anda mungkin juga menyukai