Anda di halaman 1dari 10

NASKH DAN MANSUKH

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: ‘Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Muhammad Miftah, M.Pd.I

Disusun Oleh :

1. Siti Muthmainnah (1510310013)


2. Devi Indra L.S (1510310023)
3. Moh. Alaikal Faz (1510310029)
4. Aminatus Sholihah (1510310030)

Kelas : PGMI-A

PROGAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAYIYAH


(PGMI)
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada
Rasulullah melalui perantara malaikat Jibril. Dalam proses turunnya Al-
Qur‟an pun secara bertahap sesuai kebutuhan atau masalah yang terjadi di
kalangan ummat untuk menjawab segala permasalahannya.
Al-Qur‟an merupakan sumber hukum yang dalam proses
penetapan hukumnya ditetapkan secara bertahap, oleh karena itu banyak
ayat yang berisi hukum mengalami perubahan dalam proses penetapan
hukum. Itu bukan karena Al-Qur‟an itu berubah esensinya melainkan
terjadi proses naskh di dalamnya.
Dari sini kita akan membahas apa itu naskh dan bagaimana naskh
itu terjadi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Nash-Mansukh?
2. Bagaiman syarat dan ketentuan Naskh-Mansukh?
3. Bagaimana tanggapan para „Ulama mengenai Nash-Mansukh dan Apa
hikmah yang terkandung dengan adanya naskh?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Nash-Mansukh.
2. Untuk mengetahui syarat dan ketentuan dari Naskh-Mansukh
3. Untuk mengetahui tanggapan para „ulama mengenai Naskh-Mansukh
dan Apa hikmah yang terkandung dengan adanya naskh.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Naskh dan Mansukh


Pembahasan tentang Nasakh-Mansukh berangkat dari ayat Al-Qur‟an
yang berbunyi:

“ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”(QS.Al-Baqarah[2]: 106)
Dari segi bahasanya, ada kesepakatan ulama mengenai makna kata
nasakh, khususnya yang terdapat pada ayat tersebut. Para penulis „Ulum
Al-Qur‟an biasanya menurunkan nasakh dalam beberapa makna.1 Ia bisa
berarti:
1. Izalah (menghilangkan).
2. Tabdil penggantian/penukaran).
3. Nasakh yang dapat bermakna tahwil (memalingkan), seperti
Tanasukh Al-Mawarits, artinya memalingkan pusaka dari
seseorang kepada orang lain.
4. Naql (memindahkan dari satu tempat lain), seperti nasakhtu Al-
Kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut
berikut lafadz dan tulisannya. Sebagian ulama menolak makna
keempat ini, dengan alasan bahwa si nasikh dapat mendatangkan
lafadz yang di-mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafadz
lain.2
Orang Arab sering juga mengucapkan kalimat

dalam ungkapan tersebut, nasakh bisa diartikan menghilangkan, bisa pula


melenyapkan dan bisa pula menghapus. Sehingga bila ungkapan itu

1
Acep Hermawan, ‟Ulumul Qran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013),
hlm.161
2
Rosihon Anwar, Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm.164-165

3
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi: “Matahari
melenyapkan (menghilangkan, menghapus) bayangan”. Bila seorang
pelajar menyalin tulisan dari suatu kitab kedalam buku catatannya, maka
pelajar itu dikatakan me-naskh. Nasakh juga bisa diartikan Al-
Ibthal( ‫ )ا‬yakni membatalkan.3
Adapun dari segi terminologi, para ulama mendefinisikan nasakh,
dengan redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dengan pengertian yang sama,
dengan: “raf‟u Al-Hukm Al-Syar‟i bi Al-kithab Al-Syar‟i” (menghapuskan
hukum syara‟ dengan khitab syara‟ pula) atau “raf‟u Al-hukm bil Al-dalil
Al-syar‟i” (menghapuskan hukum syara‟ dengan dalil syara‟ yang lain).
Terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah terputusnya
substansi hukum itu sendiri.4
Pengertian yang demikian luas, dipersempit oleh para ulama yang
datang kemudian(muta‟akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada
ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau
mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan
terakhir.5
Sumber perbedaan pendapat dalam mendefinisikan lafal nasakh
kembali kepada membatasi makna kata secara lughah dan membatasi
makna kata secara istilah, supaya penggunaan lafadz nasakh yang telah
dilakukan oleh Al-Qur‟an dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 106,
berlaku menurut ushlub bahasa Arab dalam menerangkan sesuatu
peristiwa yang mempunyai kedudukan yang besar.6

3
Ibid., hlm.166
4
Acep Hermawan, Ibid., hlm.162
5
Suhadi, Ulumul Qur‟an, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011) hlm.108
6
Teungku M.Hasbi ash-shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur‟an(„Ulum Al-Qur‟an),
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010) hlm.139

4
B. Syarat dan Jenis Naskh dalam Al-Qur’an
Nasikh atau an-Naskhu dalam kajian Ilmu Ushul adalah :

Artinya :“menghilangkan hokum syara‟ dengan dalil hukum yang


lebih baru atau yang akhir, yakni yang dating kemudian”.7
Dalam bahasanya dalam Al-Quran, Naskh sendiri merupakan cabang
dari kajian ilmu ushul dalam bahasanya adalah pengambilan sumber
hukum. Naskh sendiri ada ketika Al-Quran yang di wahyukan Allah SWT
kepada Rasulullah SAW turun secara berangsur-angsur. Fungsinya sendiri
adalah menjawab permasalahan umat yang terjadi kala itu. Esensi Al-
Qur‟an sendiri yang turun adalah secara global, didalamnya mengandung
wahyu berisi perintah, larangan dan khabar dari Allah SWT.
Oleh karenanya, Naskh-Mansukh memiliki syarat dan ketentuan
berlakunya. Diantaranya :
1. Dalil Naskh harus terpisah dari dalil mansukh, dan jatuhnya terakhir
sesudah dalil mansukh. Jadi sangat tidak mungkin jika nasikh atau
yang menghapus datang terlebih dahulu daripada yang dihapus.
2. Nasikh itu harus dengan dalil syara‟, sedangkan yang di mansukh itu
tidak dibatasi dengan waktu.
3. Dalil nasikh sama kuatnya atau lebih kuat daripada dalil mansukh.
Dalil yang di mansukh adalah hukum syara‟, adapun tauhid

) seperti iman, soal kiamat, surga dan neraka, kedatangan nabi dan

rasul dan sesamanya tidak berlaku nasikh didalamnya. Begitu juga dalil
yang menerangkan sifat-sifat Allah SWT dan sebagainya.8
Perlu di tekankan dan di beratkan pemahamanya mengenai nasikh
mansukh ialah tidak adanya Nasikh dan Mansukh (menghapus hukum atau

7
Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, (Al-Azhar: Da‟watu al-Islamiyah, 1956),
hlm.222
8
Wahbat az-Zuhaiyli, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Damaskus:Darr Al-Fikr,1986),
hlm.933-935

5
syari‟at dengan hukum yang lebih baru) lagi setelah wafatnya Rasulullah
SAW.
Sedangkan untuk jenis Naskh dalam Al-Quran terbagi dalam 3 macam:
1. Menghapus lafalnya saja (tulisannya) saja, tetapi tidak untuk
hukumnya. Seperti contoh orang tua yang zina baik laki-laki
maupun perempuan maka rajamlah dengan dilempari batu. Ini
masih berlaku hingga sekarang. Namun, untuk teks ayatnya sudah
tidak ada.
2. Menghapus hukumnya saja, tetapi lafalnya masih tetap. Seperti
contoh ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 240 yang di
hukumnya sudah di hapus oleh ayat lain dalam surat Al-Baqarah
ayat 234.
3. Menghapus baik lafal dan hukumnya. Berdasarkan hadist yang
diriwayatkan oleh „Aisyah r.a yang berbunyi:

“telah diturunkan sebuah ayat Al-Quran yang artinya, sepuluh kali


susuan yang diketahui dengan tertentu dari seorang ibu yang
menyusui menyebabkan haramnya menikah (yang pernah disusui
menikah dengan orang yang menyusui)”.9

C. Tanggapan Para Ulama mengenai Naskh-Mansukh


Persoalan Naskh-nya dikembalikan atau didasarkan pada penukilan
yang jelas dari Rasulullah atau dari seorang sahabat yang mengatakan
sebuah ayat ini di naskh oleh yang ini. Bisa jadi, ditetapkan dengan cara
ini, manakala terjadi kontradiksi yang pasti, dengan bantuan pengetahuan
sejarah untuk diketahui mana yang lebih dulu turun dan yang kemudian.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang naskh dan dalil
penetapanya.
Menurut abu muslim al-Ashfahani al-Mu‟taziliy yang terkenal dengan
Muhammad bin bahar dikutip dari kitabnya yang berjudul Kabairi al-

9
Abi Yahya Zakariya al-Anshori dan Muhammad Jauhari, Ghoyatu al-Wushul
Syarh Ushul, (Jedah:al-Haromaiyn, 2001), hlm.83

6
Mufassirin menyatakan, kebolehannya naskh menurut aqal namun
berlakunya naskh tersebut tidak berlaku menurut syara‟, Dikatakan naskh
tidak berlaku didalam al-quran. Berdasarkan ayat :

Ia memaknai dari dalil naqli tersebut, bahwasanya hukum-hukum


yang terdapat dalam Al-Qu‟ran tidak batal (terganti) selamanya.
Sedangkan menurut jumhur ulama, menyatakan kebolehannya naskh
menurut aqal dan berlaku juga dalam syari‟at dengan dalil.
1. Af‟al Allah tidak terdapat cacat dalam tujuannya, sedangkan Allah
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan perintah tersebut.
Allah me-nasakh pada suatu waktu juga, Allah lebih mengatahui
apa yang terbaik untuk para hambanya.
2. Dikarenakan nash-nash yang terdapat dalam kitab dan sunah yang
menunjukkan atas bolehnya naskh dan berlakunya, berdasarkan
ayat :

“ayat mana sajayang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan


(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu
mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu?” (QS. Al-Baqarah :106)
Dan dalam suatu periwayatan yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas RA. Mengatakan: “Ayahku mendatangkan dan
membacakan sesuatu kepadaku dan aku secara bersungguh-
sungguh menganjurkan melalui perkataan ayahku. Ayahku berkata:
Aku tidak mengajak atau menganjurkan sesuatu yang aku dengar
tentang sesuatu tersebut melainkan itu bersumber dari Rasulullah
SAW dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menurunkan
ayat ( )”.

7
Adapun Hikmah dengan adanya Naskh yang terdapat dalam Al-Quran
sendiridiantaranya :
1. Menjaga kemashlahatan hamba
2. Berlangsungnya pensyari‟atan sesuai tingkat kesempurnaan
da‟wah dan keadaan manusia
3. Mengharapkan kebaikan untuk umat dan memudahkannya,
dikarenakan naskh meskipun diberatkan didalamnya terkandung
pahala yang lebih. Sedangkan jika diringankan, didalamnya untuk
meringankan dan memudahkan.10

10
Chadlori, Arif taufiqurrohman dkk, Fiqh wa Ushulihi, (Kudus: Perpusda
Jateng, 2009), hlm.47-48

8
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Nasakh secara bahasa berarti izalah (menghilangkan), tabdil
(mengganti atau menukar, tahwil (memalingkan), menukilkan dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Secara Istilah, naskh berarti menghapuskan
hukum syara‟ dengan khitab syara‟ pula, atau menghapuskan hukum
syara‟ dengan hukum syara‟ lainnya. Menghapuskan disini memiliki arti
terputusnya substansi hukum itu sendiri.
Syarat naskh dalam Al-Qur‟an ada 4, yaitu: Dalil nasakh harus
terpisah dari dalil mansukh, naskh harus dengan dalil syara‟ dan mansukh
itu tidak berwaktu, dalil naskh sama kuat atau lebih kuat dari mansukh,
dalil yang dimansukhkan adalah dalil syara‟. Sedangkan jenis nasakh ada
3, yaitu: menghapus lafadznya saja, menghapus hukumnya saja, dan
menhapus kedua-duanya.
Sedangkan pendapat ulama mengenai naskh-mansukh itu berbeda-
beda antar satu dengan yang lainnya, dan perbedaan itu dilandasi oleh
adanya dalil yang kuat.

9
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Ulumul Qur‟an. Bandung: Pustaka Setia. 2013.

Az-Zuhaiyli, Wahbat. Ilmu Ushul al-Fiqh. Damaskus: Darr Al-Fikr. 1986.

Chadlori, Taufiqurrohman, Arif dkk. Fiqh wa Ushulihi. Kudus: Perpusda Jateng.

2009

Hermawan, Acep. ‟Ulumul Qran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2013.

M.Hasbi Ash-shiddieqy, Teungku. Ilmu-ilmu Al-Qur‟an(„Ulum Al-Qur‟an).

Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 2010.

Suhadi. Ulumul Qur‟an. Kudus: Nora Media Enterprise. 2011.

Wahab Khalaf, Abdul. Ushul Fiqh. Al-Azhar: Da‟watu al-Islamiyah. 1956.

Zakariya al-Anshori, Abi Yahya dan Jauhari, Muhammad. Ghoyatu al-Wushul

Syarh Ushul. Jedah: Al-Haromaiyn. 2001.

10

Anda mungkin juga menyukai