Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“ ABORSI MENURUT 5 PANDANGAN AGAMA DI INDONESIA “

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 7 (KELAS IIC)

1. REVY MARCELINA
2. RISKI AMELIA
3. SALSABILA BADRIYYATUL Q
4. SHERINA FEBLIAN SHELLA

DOSEN PENGAJAR :

Drs. HM. NASRON, HK, M.Pd.I

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BENGKULU
JURUSAN KEBIDANAN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyeselsaikan dengan kerja sama yang baik dan kompak dan
makalah ini berjudul “ Aborsi Menurut 5 Pandangan Agama di Indonesia ” dengan baik.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. HM. Nasron, HK, M.Pd,I
selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan tugas ini kepada kami, dengan ini kami bisa
mengetahui dan memahami baigamana menurut pandangan 5 agama di Indonesia, baik dan
buruknya itu seperti apa. Tak lupa kepada semua pihak yang bersangkutan, kami ucapkan terima
kasih karena telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pihak pembaca sangat diperlukan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca untuk menambah pengetahuan.

Bengkulu, September 2019

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN……................................................................................................
A. LATAR BELAKANG
B. PERUMUSAN MASALAH

C. TUJUAN

BAB II : PEMBAHASAN………............................................................................................

A. PENGERTIAN ABORSI
B. ABORSI DI PANDANG DARI SEGI AGAMA HINDU
C. ABORSI DI PANDANG DARI SEGI AGAMA ISLAM
D. ABORSI DI PANDANG DARI SEGI AGAMA KRISTEN PROTESTAN
E. ABORSI DI PANDANG DARI SEGI AGAMA BUDDHA
F. ABORSI DI PANDANG DARI SEGI AGAMA KRISTEN KATOLIK

BAB III : PENUTUP..................................................................................................................

A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di zaman sekarang ini banyak tindakan-tindakan yang tidak manusiawi.Salah satunya adalah
aborsi.Kasus aborsi sekarang ini bukan lagi hal yang awam didengar, justru malah menjadi hal
yang biasa didengar.Padahal tindakan ini sangat tidak manusiawi dipandang dari segi moral,
agama, dan budaya.

Kita tidak jarang lagi melihat tindak aborsi dilakukan.Sering kali kita melihat berita-berita di
televisi yang memberitakan tindak aborsi.Janin-janin yang umurnya baru beberapa bulan, bahkan
beberapa minggu ditemukan di tong sampah, di got, bahkan didalam kantong plastik.Kemana
hati nurani ibu dan ayah mereka?Dengan mudahnya mereka membunuh anak-anak mereka
sendiri, darah daging mereka sendiri, yang seharusnya mereka jaga, mereka rawat dengan baik
tatapi yang mereka lakukan adalah memaksa melahirkan sebelum waktunya dan membuangnya.

Marak terjadi tindak aborsi bukan hanya pada orang-orang yang telah dewasa.Tetapi justru
mereka yang masih remaja juga melakukannya.Hal itu sangat memprihatinkan.Apa itu karena
kurangnya pengetahuan tentang Agama dan Moral? Atau memang moral anak bengsa yang telah
rusak?Ataukah keduanya, tetapi pada dasarnya tindakan itu sangat bertentangan dengan moral
dan agama.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:

a. Apakah pengertian aborsi secara umum?

b. Bagaimana pandangan agama Hindu, Islam, Kristen Protestan, Buddha, Kristen Katolik
tentang tindak aborsi?

c. Apakah bahaya dari tindak aborsi?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah pembaca dapat mengetahui pengertian
aborsi secara umum, dan dapat mengetahui pandangan-pandangan berbagai agama (Islam,
Hindu, dan Kristen) tentang tindak aborsi serta dapat mengetahui dampak buruk atau bahaya dari
tindak aborsi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aborsi

Aborsi (Abortus) adalah berakhirnya suatu kehamilan (akibat factor tertentu) pada atau
sebelum kehamilan itu berusia 20 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di
luar kendungan (Lily Yulaikah, 2008: 72).

Di Indonesia, belum ada batasan resmi mengenai aborsi. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Prof. Dr. JS.Badudu dan Prof. Sutan Mohammad Zain, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996) abortus didefinisikan sebagai terjadi keguguran janin; melakukan abortus sebagai
melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung
itu).Secara umum istilah aborsi diartikan sebagai pengguguran kandungan, yaitu dikeluarkannya
janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak.Biasanya dilakukan saat janin
masih berusia muda (sebelum bulan ke empat masa kehamilan).

Sementara dalam pasal 15 (1) UU Kesehatan Nomor 23/1992 disebutkan bahwa dalam
keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat
dilakukan tindakan medis tertentu.Sedangkan pada ayat 2 tidak disebutkan bentuk dari tindakan
medis tertentu itu, hanya disebutkan syarat untuk melakukan tindakan medis tertentu.

Dengan demikian pengertian aborsi yang didefinisikan sebagai tindakan tertentu untuk
menyelamatkan ibu dan atau bayinya (pasal 15 UU Kesehatan) adalah pengertian yang sangat
rancu dan membingungkan masyarakat dan kalangan medis.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melarang keras dilakukannya aborsi dengan
alasan apapun sebagaimana diatur dalam pasal 283, 299 serta pasal 346 - 349.Bahkan pasal 299
intinya mengancam hukuman pidana penjara maksimal empat tahun kepada seseorang yang
memberi harapan kepada seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan.

Namun, aturan KUHP yang keras tersebut telah dilunakkan dengan memberikan peluang
dilakukannya aborsi.Sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat 1 UU Kesehatan tersebut di
atas. Namun pasal 15 UU Kesehatan juga tidak menjelaskan apa yang dimaksud tindakan medis
tertentu dan kondisi bagaimana yang dikategorikan sebagai keadaan darurat.

Dalam penjelasannya bahkan dikatakan bahwa tindakan medis dalam bentuk pengguguran
kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma
agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya
menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis
tertentu.Lalu apakah tindakan medis tertentu bisa selalu diartikan sebagai aborsi yang artinya
menggugurkan janin, sementara dalam pasal tersebut aborsi digunakan sebagai upaya
menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin.Jelas disini bahwa UU Kesehatan telah memberikan
pengertian yang membingungkan tentang aborsi

B. Aborsi di Pandang dari Segi Agama Hindu

Aborsi dalam Theology Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut “Himsa karma”
yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan menyiksa.
Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai “menghilangkan nyawa” mendasari
falsafah “atma” atau roh yang sudah berada dan melekat pada jabang bayi sekalipun masih
berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti tubuh manusia. Segera setelah terjadi
pembuahan di sel telur maka atma sudah ada atas kuasa Hyang Widhi. Dalam “Lontar Tutur
Panus Karma”, penciptaan manusia yang utuh kemudian dilanjutkan oleh Hyang Widhi dalam
manifestasi-Nya sebagai “Kanda-Pat” dan “Nyama Bajang”. Selanjutnya Lontar itu menuturkan
bahwa Kanda-Pat yang artinya “empat-teman” adalah: I Karen, sebagai calon ari-ari; I Bra,
sebagai calon lamas; I Angdian, sebagai calon getih; dan I Lembana, sebagai calon Yeh-nyom.
Ketika cabang bayi sudah berusia 20 hari maka Kanda-Pat berubah nama menjadi masing-
masing: I Anta, I Preta, I Kala dan I Dengen. Selanjutnya setelah berusia 40 minggu barulah
dinamakan sebagai : Ari-ari, Lamas, Getih dan Yeh-nyom. Nyama Bajang yang artinya “saudara
yang selalu membujang” adalah kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang tidak berwujud. Jika
Kanda-Pat bertugas memelihara dan membesarkan jabang bayi secara phisik, maka Nyama
Bajang yang jumlahnya 108 bertugas mendudukkan serta menguatkan atma atau roh dalam tubuh
bayi.

Oleh karena itulah perbuatan aborsi disetarakan dengan menghilangkan nyawa. Kitab-kitab
suci Hindu antara lain Rgveda 1.114.7 menyatakan: “Ma no mahantam uta ma no arbhakam”
artinya: Janganlah mengganggu dan mencelakakan bayi. Atharvaveda X.1.29: “Anagohatya vai
bhima” artinya: Jangan membunuh bayi yang tiada berdosa. Dan Atharvaveda X.1.29: “Ma no
gam asvam purusam vadhih” artinya: Jangan membunuh manusia dan binatang. Dalam ephos
Bharatayuda Sri Krisna telah mengutuk Asvatama hidup 3000 tahun dalam penderitaan, karena
Asvatama telah membunuh semua bayi yang ada dalam kandungan istri-istri keturunan Pandawa,
serta membuat istri-istri itu mandul selamanya.

Pembuahan sel telur dari hasil hubungan sex lebih jauh ditinjau dalam falsafah Hindu
sebagai sesuatu yang harusnya disakralkan dan direncanakan. Baik dalam Manava Dharmasastra
maupun dalam Kamasutra selalu dinyatakan bahwa perkawinan menurut Hindu adalah
“Dharmasampati” artinya perkawinan adalah sakral dan suci karena bertujuan memperoleh putra
yang tiada lain adalah re-inkarnasi dari roh-roh para leluhur yang harus lahir kembali menjalani
kehidupan sebagai manusia karena belum cukup suci untuk bersatu dengan Tuhan atau dalam
istilah Theology Hindu disebut sebagai “Amoring Acintya”. Oleh karena itu maka suatu
rangkaian logika dalam keyakinan Veda dapat digambarkan sebagai berikut : Perkawinan
(pawiwahan) adalah untuk syahnya suatu hubungan sex yang bertujuan memperoleh anak.
Gambaran ini dapat ditelusuri lebih jauh sebagai tidak adanya keinginan melakukan hubungan
sex hanya untuk kesenangan belaka.Prilaku manusia menurut Veda adalah yang penuh dengan
pengendalian diri, termasuk pula pengendalian diri dalam bentuk pengekangan hawa
nafsu.Pasangan suami-istri yang mempunyai banyak anak dapat dinilai sebagai kurang
berhasilnya melakukan pengendalian nafsu sex, apalagi bila kemudian ternyata bahwa kelahiran
anak-anak tidak dalam batas perencanaan yang baik.Sakralnya hubungan sex dalam Hindu
banyak dijumpai dalam Kamasutra. Antara lain disebutkan bahwa hubungan sex hendaknya
direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, misalnya terlebih dahulu bersembahyang memuja
dua Deva yang berpasangan yaitu Deva Smara dan Devi Ratih, setelah mensucikan diri dengan
mandi dan memercikkan tirta pensucian. Hubungan sex juga harus dilakukan dalam suasana
yang tentram, damai dan penuh kasih sayang. Hubungan sex yang dilakukan dalam keadaan
sedang marah, sedih, mabuk atau tidak sadar, akan mempengaruhi prilaku anak yang lahir
kemudian. Oleh karena hubungan sex terjadi melalui upacara pawiwahan dan dilakukan semata-
mata untuk memperoleh anak, jelaslah sudah bahwa aborsi dalam Agama Hindu tidak dikenal
dan tidak dibenarkan.

C. Aborsi di Pandang dari Segi Agama Islam

1. Pengertian Aborsi Menurut Syariat

Dalam istilah syari’at, aborsi adalah kematian janin atau keguguran sebelum sempurna,
walaupun janin belum mencapai usia enam bulan. Dapat disimpulkan bahwa aborsi secara
syari’at tidak melihat kepada usia kandungan, namun melihat kepada kesempurnaan bentuk janin
tersebut.

2. Pandangan Agama Islam Tentang Aborsi

Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunyaEmansipasi Adakah Dalam Islam


halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa)
ditiupkan. Jika dilakukan setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa
kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para
ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh.Sebagian
memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Pendapat yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad
Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang
bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang
mengalami pertumbuhan.Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya
melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa
peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan.Maka dari itu, aborsi setelah
kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah
bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain
didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT:

‫لقَا نلمحييهن نلمرهزقههكييمم لوإإ يِيياَّههمم لولل‬ ‫قهمل تللعاَّللموُا ألمتهل لماَّ لحيِرلم لربَبهكمم لعللميهكمم ألليِ تهمشإرهكوُا إبهِ إ لشميئْاَّ لوبإاَّمللوُالإلدميإن إإمحلساَّناَّ لولل تلمقتههلوُا ألمولللدهكمم إممن إإمم ل‬
‫صاَّهكمم إبهِ إ لللعليِهكمم تلمعقإهلوُلن‬
ِ‫ق لذلإهكمم لو ي‬‫اه إإليِ بإاَّمللح ق‬
ِ‫س اليِإتيِ لحيِرلم ي‬
‫طلن لولل تلمقتههلوُا النيِمف ل‬ ‫ظهللر إممنهلاَّ لولماَّ بل ل‬
‫ش لماَّ ل‬ ‫تلمقلرهبوُا املفللوُاإح ل‬

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan
memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-
perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar [518]". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami
(nya).

Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa
atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak
kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.

Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam
adalah hadits Nabi Saw berikut: “Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua
malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia
membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya.Lalu
malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi
laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…” [HR. Muslim dari Ibnu
Mas’ud r.a.].

Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan


anggota-anggota tubuhnya, adalah setelah melewati 40 atau 42 malam.Dengan demikian,
penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai
tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam).Tindakan
penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya. Jadi, siapa saja yang melakukan
aborsi baik dari pihak ibu, bapak maupun tenaga kesehatan.Berarti mereka telah berbuat dosa
dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur,
yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10
ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut.
Rasulullah Saw bersabda:

“Rasulullah Saw memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan
yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau
perempuan…” [HR. Bukhari danMuslim, dari Abu Hurairah r.a.](Abdul Qadim Zallum, 1998).

Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya
boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi
janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai
pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.

Pendapat yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w.
1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan
Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak
bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada
kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi
makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi
eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin
bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai
dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam,
halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang
Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai
Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).

Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan
sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalahpendapat yang
tidak kuat.Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel
sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel
telur, meski kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam
kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah(1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada
organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah
adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan
sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih
baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel
telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma.
Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya
pembuahan, bukan hanyaada setelah pembuahan.

‫اه إإليِ بإاَّللح ق‬


‫ق‬ ‫لولل تلمقتههلوُما النيِمف ل‬
‫س اليِإتيِ لحيِرلم ا‬
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar. “ (Q.S. Al Israa’: 33). Namun demikian, dibolehkan
melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika
dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan
mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan
melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan
kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:

“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 32).

Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan.Sedangkan
Rasulullah Saw telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya.Maka berobatlah kalian!” [HR. Ahmad].

Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:

“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan
madharatnya.”(Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id
Al Fiqhiyah, halaman 35). Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan
kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti
membunuh janinnya. Hal ini harus dapat dipastikan secara medis. Karena syariat memandang
sang ibu sebagai akar pohon dan sang janin sebagai cabangnya. Dalam Islam dikenal prinsip al
ahamm wa al muhimmn (yang lebih penting dan yang penting), dalam kasus ini dapat diartikan
“mengambilan yang lebih kecil buruknya dari dua keburukan”. Di Indonesia yang dimaksud
dengan indikasi medis adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Syarat-syaratnya:

a. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai
dengan tanggung jawab profesi.

b. Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain,agama, hukum, psikologi).

c. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.

d. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang


ditunjuk oleh pemerintah.

e. Prosedur tidak dirahasiakan.

f. Dokumen medik harus lengkap.


Sedangkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia yaitu menurut Undang-Undang
abortus 1967 mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh dijatuhi hukuman bila ia mengakhiri
kehamilan dengan bantuan tenaga medis yang sudah mempunyai izin bila tenaga medi tersebut
memang melakukan abortus atas dasar yang baik dengan syarat sebagai berikut:

a. Bahwa melanjutkan kehamilan dapat membahayakan kehidupan wanita hamil tersebut,


atau dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

b. Ada resiko yang cukup hebat bahwa bila bayi diahirkan , bayi mungkin mengalami cacat
fisik atau mental yang cukup parah.

Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa
sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun menggugurkan
kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau
membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Dr. Abdurrahman Al
Baghdadi, 1998).

D. Aborsi di Pandang dari Segi Agama Kristen Protestan

Dalam Alkitab dikatakan dengan jelas betapa Tuhan sangat tidak berkenan atas pembunuhan
seperti yang dilakukan dalam tindakan aborsi.

1. Jangan pernah berpikir bahwa janin dalam kandungan itu belum memiliki nyawa.

Yer 1:5 ~ “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal
engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah
menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”

Kej 16:11; Kej 25:21-26; Hos 12:2-3; Rom 9:10-13; Kel 21-22; Yes 7:14; Yes 44:2,24; Yes 46:3;
Yes 49:1-2; Yes 53:6; Ayb 3:11-16; Ayb 10:8-12; Ef 1:4; Mat 25:34; Why 13:8; Why 17:8

2. Hukuman bagi para pelaku aborsi sangat keras.

Kel 21:22-25 ~ Apabila ada orang berkelahi dan seorang dari mereka tertumbuk kepada
seorang perempuan yang sedang mengandung, sehingga keguguran kandungan, tetapi tidak
mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka pastilah ia didenda sebanyak yang dikenakan
oleh suami perempuan itu kepadanya, dan ia harus membayarnya menurut putusan hakim.
Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus
memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti
kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.

3. Aborsi karena alasan janin yang cacat tidak dibenarkan Tuhan.


Yoh 9:1-3 ~ Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-
muridNya bertanya kepadaNya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang
tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya,
tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia…” Kis 17:25-29; Mzm
94:9; Rom 8:28; Im 19:14; Yes 45:9-12

4. Aborsi karena ingin menyembunyikan aib tidak dibenarkan Tuhan.

Kej 19:36-38 ~ Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka. Yang lebih tua
melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab; dialah bapa orang Moab yang
sekarang. Yang lebih mudapun melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami;
dialah bapa bani Amon yang sekarang. Kej 50:20; Rom 8:28

5. Tuhan tidak pernah memperkenankan anak manusia dikorbankan. Apapun alasannya.

Kel 1:15-17 ~ Raja Mesir juga memerintahkan kepada bidan-bidan yang menolong
perempuan Ibrani, seorang bernama Sifra dan yang lain bernama Pua, katanya: “Apabila kamu
menolong perempuan Ibrani pada waktu bersalin, kamu harus memperhatikan waktu anak itu
lahir: jika anak laki-laki, kamu harus membunuhnya, tetapi jika anak perempuan, bolehlah ia
hidup.” Tetapi bidan-bidan itu takut akan Allah dan tidak melakukan seperti yang dikatakan raja
Mesir kepada mereka, dan membiarkan bayi-bayi itu hidup. Yeh 16:20-21; Yer 32:35; Mzm
106:37-42 ; II Raj 16:3; 17:17 ; 21:6 ; Ul 12:31; 18:10-13;Im 18:21, 24 dan 30

6. Anak-anak adalah pemberian Tuhan. Jagalah sebaik-baiknya.

Kej 30:1-2 ~ Ketika dilihat Rahel, bahwa ia tidak melahirkan anak bagi Yakub, cemburulah
ia kepada kakaknya itu, lalu berkata kepada Yakub: “Berikanlah kepadaku anak; kalau tidak, aku
akan mati.” Maka bangkitlah amarah Yakub terhadap Rahel dan ia berkata:” Akukah pengganti
Allah, yang telah menghalangi engkau mengandung?”

Mzm 127:3-5 ~ Sesungguhnya, anak laki-laki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan buah
kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-
anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya
dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh
di pintu gerbang.

E. Aborsi di Pandang dari Segi Agama Buddha

Dalam pandangan agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan pengguguran kandungan atau
membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu.Dari sudut pandang
Buddhis aborsi bisa di toleransi dan dipertimbangkan untuk dilakukan.Agama Buddha, umat
Buddha terdiru dari dua golongan yaitu pabbajita dan umat awam.Seorang pabbajita mutlak tidak
boleh melakukan aborsi karena melanggar vinaya yaitu parajjika.Tetapi sebagai umat awam
aborsi boleh dilakukan dengan alasan yang kuat.Misal janin dalam kandungan dalam kondisi
abnormal yang dapat membahayakan kesehatan ibu bahkan dapat mengancam keselamatan
ibu.Aborsi dalam agama Buddha merupakan suatu pembunuhan yang tidak diperbolehkan yang
dapat menimbulkan karma buruk.Tetapi agama Buddha tidak melarang secara multak orang yang
melakukan aborsi.Dengan alasan yang sangat kuat aborsi dapat dilakukan dengan berbagai
pertimbangan.Hal terbaik untuk tidak melakukan aborsi adalah menghindari terjadinya aborsi
misal tidak melakukan hubungan seks bebas yang bisa memungkinkan terjadinya aborsi. Dalam
kasus lain yang tidak dapat dihindari untuk terjadinya aborsi boleh dilakukan dengan alasan tidak
ada cara lain yang terbaik dan dengan alasan yang sangant kuat. Aborsi boleh dilakukan dengan
kondisi yang sangat sulit akan tetapi seminimal mungkin untuk menghindari terjadinya aborsi
karena dalam agama buddha aborsi merupakan suatu pembunuhan yang tidak diperbolehkan
karena menghilangkan nyawa suatu mahluk yang mengakibatkan karma buruk.

Dalam agama budha perlakuan aborsi tidak dibenarkan karena suatu karma harus
diselesaikan dengan cara yang baik, jika tidak maka akan timbul karma yang lebih buruk lagi.

Syarat yang harus dipenuhi terjadinya makhluk hidup :

a. Mata utuni hoti: masa subur seorang wanita

b. Mata pitaro hoti: terjadinya pertemuan sel telur dan sperma

c. Gandhabo paccuppatthito: adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus


kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta), yang
memiliki energi karma

Dari penjelasan di atas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan
aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila pertama yaitu panatipata.
Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut:

a. Ada makhluk hidup (pano)

b. Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)

c. Ada kehendak (cetana) untuk membunuh (vadhabacittam)

d. Melakukan pembunuhan (upakkamo)

e. Makhluk itu mati karena tindakan pembunuhan ( tena maranam)

Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi
pelanggaran sila pertama. Oleh karena itu sila berhubungan erat dengan karma maka
pembunuhan ini akan berakibat buruk yang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang
mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu. Bukan hanya pelaku saja yang melakukan tindak
pembunuhan, ibu sang bayi juga melakukan hal yang sama. Bagaimanapun mereka telah
melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan akibat di kemudian hari.

Dalam Majjhima Nikaya 135 Buddha bersabda "Seorang pria dan wanita yang membunuh
makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada
makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan kembali sebagai
manusia di mana saja ia akan bertumimbal lahir, umurnya tidaklah akan panjang".

F. Aborsi di Pandang dari Segi Agama Kristen Katolik

Bagaimana memelihara hidup sebelum lahir dan menjelang ajalnya?Di sini kita juga harus
terus menerus mencari jalan agar dapat menyelesaikan konflik secara manusiawi. Pada saat-saat
akhir hidup, rasa hormat akan hidup mungkin bertentangan dengan rasa iba karena menyaksikan
penderitaan yang membuat hidup itu kelihatan tak-bernilai lagi, sampai orang – dengan eutanasia
– mempercepat kematian guna membebaskan sesama dari penderitaannya. Masa awal hidup,
yaitu masa hidup dalam kandungan, mempunyai arti yang khas, baik bagi bayi maupun bagi
ibunya.Hidup manusia baru itu berelasi dengan ibunya dan relasi itu meliputi dimensi-dimensi
biologis, medis, psikologis, dan juga pribadi. Anak di dalam kandungan “menerima hidup”
seluruhnya dari ibunya yang “memberikan” hidup, dan justru relasi erat itu dapat menimbulkan
bermacam-macam konflik, yang sering berakhir dengan pengguguran (aborsi).

Mengenai pengguguran, tradisi Gereja amat jelas, Mulai dari abad-abad pertama sejarahnya,
Gereja membela hidup anak di dalam kandungan, juga kalau (seperti dalam masyarakat Romawi
abad pertama dan kedua) pengguguran diterima umum dalam masyarakat.Orang Kristen selalu
menentang dan melarang pengguguran. Konsili Vatikan II masih menyebut pengguguran suatu
“tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan pembunuhan anak. “Sebab Allah, Tuhan
kehidupan; telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk
dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus
dilindungi dengan sangat cermat.” (GS 51) Menurut ensiklik Paus Paulus VI, Humanae Vitae
(1968) pengguguran, juga dengan alasan terapeutik, bertentangan dengan tugas memelihara dan
meneruskan hidup (14).Dalam ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor (1993),
pengguguran digolongkan di antara “perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya – dengan
sendirinya dan dalam dirinya dan oleh karena isinya dilarang keras”. Gaudium et Spes
menyatakan, “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, bentuk pembunuhan yang
mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia, dan bunuh diri yang sengaja; apa pun
yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti … penganiayaan, apa pun yang melukai
martabat manusia … : semuanya itu sudah merupakan perbuatan keji, mencoreng peradaban
manusia : .. sekaligus sangat bertentangan dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (GS 27; VS 80).

Kitab Hukum Kanonik mengenakan hukuman ekskomunikasi pada setiap orang yang aktif
terlibat dalam “mengusahakan pengguguran kandungan yang berhasil” (KHK kan. 1398).
Hukuman itu harus dimengerti dalam rangka keprihatinan Gereja untuk melindungi hidup
manusia. Sebab hak hidup “adalah dasar dan syarat bagi segala hal lain, dan oleh karena itu harus
dilindungi lebih dari semua hal yang lain. Masyarakat atau pimpinan mana pun tidak dapat
memberi wewenang atas hak itu kepada orang-orang tertentu dan juga tidak kepada orang lain”
(Kongregasi untuk Ajaran Iman, Deklarasi mengenai Aborsi, 18 November 1974, no. 10). “Hak
itu dimiliki anak yang baru lahir sama seperti orang dewasa.Hidup manusia harus dihormati
sejak saat proses pertumbuhannya mulai” (no. 11).

Manusia dalam kandungan memiliki martabat yang sama seperti manusia yang sudah lahir.
Karena martabat itu, manusia mempunyai hak-hak asasi dan dapat mempunyai segala hak sipil
dan gerejawi, sebab dengan kelahirannya hidup manusia sendiri tidak berubah, hanya lingkungan
hidupnya menjadi lain. Kendati anak baru mulai membangun relasi sosial setelah kelahiran,
namun sudah dalam kandungan berkembanglah kemampuannya untuk relasi pribadi.Baru
sesudah kelahirannya, manusia menjadi anggota masyarakat hukum. Namun juga sebelum lahir,
ia adalah individu unik, yang mewakili seluruh “kemanusiaan” dan oleh sebab itu patut dihargai
martabatnya. Keyakinan-keyakinan dasar ini makin berlaku bagi orang yang percaya, bahwa
setiap manusia diciptakan oleh Allah menurut citra-Nya, ditebus karena cinta kasih-Nya, dan
dipanggil untuk hidup dalam kesatuan dengan-Nya.“Allah menyayangi kehidupan” (KWI,
Pedoman Pastoral tentang Menghormati Kehidupan, 1991). Artinya: setiap manusia disayangi-
Nya. Maka sebetulnya tidak cukuplah mengakui “hak” hidup manusia dalam kandungan; hidup
manusia harus dipelihara supaya dapat berkembang sejak awal.

Kapankah mulai hidup seorang manusia sebagai individu dan pribadi?Pertanyaan itu
mendapat bermacam-macam jawaban yang berbeda-beda dari zaman ke zaman, sesuai dengan
pengetahuan medis dan sesuai dengan keyakinan filsafat dan religius yang berbeda-beda.Banyak
orang menilai hidup sesudah kelahiran lebih tinggi daripada sebelumnya (sebab anak yang belum
lahir belum “dilihat”), namun tetap dikatakan, bahwa hidup “harus dihormati sejak saat mulai
pertumbuhannya”. Manusia menjadi manusia dalam suatu proses pertumbuhan, dan dalam proses
itu, dibedakan beberapa “saat” yang menonjol. Pada saat pembuahan (yakni persatuan sel telur
dan sperma) mulailah suatu makhluk baru, yang mulai hidup dengan identitas genetik tersendiri;
namun sampai saat embrio bersarang dalam kandungan (nidasi) kira-kira 40% embrio gugur.
Individualitas menjadi makin jelas, pada saat bila tidak bisa menjadi kembar lagi (twinning) atau
sudah tidak mungkin lagi dua kumpulan sel menjadi satu kembali (reconjunction), dan bila mulai
berkembang (sumsum) tulang punggung. Karena otak mutlak perlu untuk perbuatan-perbuatan
personal, maka ada yang berpendapat, bahwa sebelum struktur otak terbentuk (yang terjadi
antara hari ke-15 sampai ke-40), tidak tepat memandang embrio sebagai manusia yang
berpribadi.Jelaslah, bahwa semua pendapat ini tidak hanya bersandar pada alasan medis dan
biologis, melainkan juga berlatar-belakang suatu gambaran manusia yang tertentu. Tambah pula,
istilah-istilah seperti “manusia”, “individual” dan “personal” belum tentu punya arti yang sama.
Kiranya semua menyetujui yang dikatakan dalamDeklarasi mengenai Aborsi oleh Kongregasi
untuk Ajaran Iman (1974), “Dengan pembuahan sel telur sudah dimulai hidup yang bukan lagi
bagian dari hidup ayah atau ibunya, melainkan adalah hidup manusia baru, dengan
pertumbuhannya sendiri.” Namun tidak semua sependapat bahwa hidup yang bertumbuh itu
harus dilindungi dengan cara yang sama, mulai dari tahap pertama perkembangannya. Tetapi
Gereja menuntut, supaya hidup manusia dilindungi seluas-luasnya sejak saat pembuahan, justru
karena tidak mungkin ditetapkan dengan tegas kapan mulailah hidup pribadi
manusia.“Kehidupan manusia sejak saat pembuahan adalah suci” (KWI).

Sebab itu, moral Katolik memegang teguh keyakinan, bahwa begitu hidup pribadi manusia
dimulai, pembunuhan sebelum kelahiran dinilai sama seperti pembunuhan setelah kelahiran.
Pengguguran dinilai sehubungan dengan larangan membunuh manusia.Namun larangan
membunuh, biarpun berlaku universal, berlaku tidak tanpa kekecualian.Hidup manusia adalah
nilai paling fundamental, namun bukan nilai yang paling tinggi.Hidup manusia dapat
dikurbankan demi nilai yang lebih tinggi dan yang lebih mendesak – sebagaimana jelas dari
uraian teologi moral mengenai “hukuman mati”. Maka, tidak sedikit ahli teologi moral Katolik
yang berpendapat bahwa kalau ada seorang ibu yang tidak mungkin diselamatkan, bila
kehamilan berlangsung terus dan kalau anak dalam kandungan oleh karena penyakit sang ibu
juga tidak mampu hidup sendiri di luar kandungan, dalam konflik itu hidup ibu yang mesti
berlangsung terus harus diselamatkan biarpun oleh karenanya hidup anak tidak mungkin
diselamatkan. Pokoknya, hidup harus dipelihara! Kalau tidak mungkin hidup ibu dan anak,
sekurang-kurangnya satu yang hidup terus!

Namun kiranya jarang terjadi bahwa pengguguran menjadi satu-satunya jalan untuk
memelihara hidup. Jauh lebih sering terjadi konflik lain, seperti kehamilan di luar nikah yang
menjadi beban psikis bagi ibu dan keluarganya. Jelas sekali, bahwa konflik seperti itu tidak dapat
diselesaikan dengan pengguguran.Dalam hal ini harus dituntut sikap wajar dan manusiawi dari
lingkungan, dan dari tempat-tempat pendidikan serta tempat kerja.Kewajiban mereka ialah
membantu orang yang hamil di luar nikah, bukan menghukumnya. Hal yang sama berlaku, bila
pemeriksaan medis sebelum kelahiran memperlihatkan, bahwa anak yang akan lahir itu cacat.
Sudah barang tentu, demi cacatnya, anak tidak boleh dibunuh, baik setelah maupun sebelum
lahir, Konflik yang dialami oleh keluarga yang menantikan kelahiran seorang anak cacat,
hendaknya diatasi dengan bantuan sosial dan dengan konseling, pribadi dan resmi, sipil dan
gerejawi. Konflik hidup hanya dapat diselesaikan dengan membantu hidup!

Di Indonesia pengguguran terlarang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal


346-349, yang untuk itu juga ditetapkan hukuman yang berat.Hukum Pidana mau melindungi
hidup sejak awal. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kesehatan (1992) tampaknya
ingin mengatur konflik:

“Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya,
dapat dilakukan tindakan medis tertentu.” Aturannya memang tidak jelas, karena menampung
banyak pendapat yang berbeda-beda; dan pada umumnya dipertanyakan, adakah hukum aborsi
masih efektif membantu orang dalam konflik atau melindungi hidup dalam kandungan.
Kini makin meluaslah pendapat bahwa hidup hanya diterima kalau direncanakan dan
sebagaimana direncanakan. Para dokter dan petugas medis sering dihadapkan dengan permintaan
untuk membunuh anak yang ”di luar rencana”, padahal merekalah “wakil dan wali kehidupan”
dalam masyarakat. Bagaimana mendukung dan membela hidup dalam suasana “hidup
berencana”?Tugas membela dan melindungi hidup tidak dapat dibebankan seluruhnya kepada
ibu yang hamil saja.Dan tidak pada tempatnya menilai, apalagi mengutuk seorang ibu yang
ternyata menggugurkan anak¬nya.Tidak ada orang yang menggugurkan kandungan karena
senang membunuh, melainkan karena mengalami diri terjepit dalam konflik.Konflik hidup hanya
diatasi dengan bantuan praktis. Bila ada orang merasa harus menggugurkan kandungan atau telah
melakukannya – karena alasan apa pun – orang itu hendaknya diberi pendampingan manusiawi
agar dapat kembali menghargai hidup. Masalah pengguguran hanya nyata bagi ibu yang hamil.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Aborsi menurut istilah kesehatan adalah penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur
(ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu.
Sedangkan menurut syariat islam adalah kematian janin atau keguguran sebelum sempurna,
walaupun janin belum mencapai usia enam bulan. Dapat disimpulkan bahwa aborsi secara
syari’at tidak melihat kepada usia kandungan, namun melihat kepada kesempurnaan bentuk janin
tersebut. Tidak ada satupun ayat didalam Al-Quran yang menyatakan bahwa aborsi boleh
dilakukan oleh umat Islam.Sebaliknya, banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan bahwa janin
dalam kandungan sangat mulia. Dan banyak ayat-ayat yang menyatakan bahwa hukuman bagi
orang-orang yang membunuh sesama manusia adalah sangat mengerikan. Aborsi dalam agama
Kristen sangat dilarang, dan dikatakan bahwa betapa Tuhan sangat tidak berkenan atas
pembunuhan seperti yang dilakukan dalam tindakan aborsi.

Aborsi dalam Theology Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut “Himsa karma”
yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan menyiksa.
Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai “menghilangkan nyawa” mendasari
falsafah “atma” atau roh yang sudah berada dan melekat pada jabang bayi sekalipun masih
berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti tubuh manusia. Dalam undang-undang pun
pidana yang mengikatnya sangat rancu dan lebih mengarah untuk tidak melakukan pengguguran
(aborsi) terkecuali dalam keadaan darurat yang menghawatirkan keselamatan salahsatu nya,
yaitu ibu dan bayi dilakukan tindakan medis.Namun, pernyataan itu juga tidak mengatakan untuk
melakukan tindakan aborsi.

Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tindakan aborsi


sangat dilarang dalam semua agama.Tidak ada satu kitab pun yang membenarkan tindakan aborsi
dalam keadaan apapun.

B. SARAN
Tindakan aborsi tidak dibenarkan oleh semua agama.Oleh karena itu hendaknya kita sebagai
seorang wanita berhati-hati pada hal-hal yang mengarah pada tindak aborsi.Dan sebagai seorang
bidan yang berkecimpung pada pertolongan persalinan hendaknya tidak menolong pasien yang
meminta persalinan sebelum waktunya (aborsi)

DAFTAR PUSTAKA

http://dellydamayanti.blogspot.com/2013/12/aborsi-menurut-5-pandangan-agama-di.html

https://www.slideshare.net/subjay/makalah-pandangan-agama-terhadap-kasus-aborsi

Anda mungkin juga menyukai