Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera medula spinali adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 sampai 500.000 orang di amerika serikat, dengan
perkiraan 10.000 cederah baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih
dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Setelah
dari kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor,selain itu banyak akibat
jatuh, olahraga dan kejadian industry dan luka tembak. Dua pertiga kejadian
adalah usia 30 tahun atau lebih mudah.
Cidera medula spinali merupakan salah satu penyebab disabilitas
neurologis akibat utama. Pusat data nasional cedera medula spinalis ( the national
spinal cord injuri data research center) memperkirakan ada 10.000 kasus baru
cedera spinalis setiap tahunya di amerika serikat. Angkat insidensi paralisis
komplet akibat kecelakaan di perkirakan 20 per 100.000 ribu penduduk dengan
angka tetraplegia 200.000 ribu pertahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor
merupakan penyebab utama cedera medula spinalis(york,2000 dalam
pinjon,2007)
Dalam hal ini peran serta para tenaga kesehatan sangat penting dalam
memberikan asuhan keperawatan yang profesional dan komprhensif dalam
mencegah,mengatasi dan mengobati pasien dengan cedera medulla spinalis(spinal
cord injuri).
B. Definisi
Trauma pada tulang belakang (spinal cors injury) adalah cedera yang
mengenai servikal, vertebralis, dan lumbalis dari suatu trauma yang mengenai
tulang belakang (Mutttaqin, 2008).
Cedera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan
olah raga dan sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu
atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi
(Sjamsuhidayat, 1997).
Spinal cord injury merupakan trauma pada medulla spinalis yang
merupakan susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebra dan
menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis, trauma dapat
bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara
mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinal
dengan quadriplegia.
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal,
meliputi spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang,
jaringan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat
trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga,
dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral
(fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) atau injuri saraf yang
aktual maupun potensial (Price, 2005).
Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher
sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara lain: 7
buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang
sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua
korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment)
tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang
tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang
belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al.
2000)
C. Anatomi Fisiologi
Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur continue dari
hemisfer serebral dan memberikan tugas sebgai penghubung otak dan saraf
perifer, seperti kulit dan otot. Panjangnya kira-kira 45 cm dan menipis pada jari-
jari (Smeltzer, 2001).
Medula spinalis tersusun dari 33 segmen yaitu 7 segmen servikal, 12
torakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 5 segmen koksigis. Medulla spinalis mempunyai
31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen mempunyai satu untuk setiap sisi
tubuh.
Columna Vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah
struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas
tulang belakang, berfungsi melindungi medulla spinalis dan menunjang berat
kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke tulang paha dan tungkai bawah.
Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitu intervertebralis atau bantalan tulang
belakang. Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai
57-67 cm. Medula spinalis yang keluar dari foramen intervertebralis
dikelompokkan dan dinamai sesuai dengan daerah yang ditempatinya (Smeltzer,
2001).
Struktur medulla spinalis, dikelilingi oleh meningen, arakhnoid, dan pia
mater. Diantara durameter dan kanalis vertebralis terdapat ruang epidural.
Medulla spinalis berbentuk seperti huruf H dengan badan sel saraf (substansia
grisea) dikelilingi traktus asenden dan desenden (substansia alba). Bagian yang
membentuk H meluas dari bagian atas dan bersamaan menuju bagian tanduk
anterior (anterior horn). Keadaan tanduk-tanduk ini berupa sel-sel yang
mempunyai serabut-serabut, yang membentuk ujung akar anterior (motorik) dan
berfungsin untuk aktivitas yang disadari dan aktivitas reflex dari otot-otot yang
berhubungan dengan medulla spinalis. Bagian posterior yang tipis (upper horn)
mengandung sel-sel berupa serabut-serabut yang masuk ke ujung akar posterior
(sensorik) dan kemudian bertindak sebagai relay station dalam jaras
reflex/sensorik. Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:
a. Vetebra Cervicalis
Vertebrata cervicalis ini memiliki dens, yang mirip dengan
pasak.Veterbrata cervicalis ketujuh disebut prominan karena
mempunyaiprosesus spinosus paling panjang
b. Vertebra Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus
berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian
belakang thorax

c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk
ginjal,berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki
corpusvertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih
luaskearah fleksi
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang
kengkangdimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang
membentuk tulang bayi
e. Os. Coccygeal
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia,
mengalamirudimenter. Beberapa segmen ini membentuk 1 pasang
saraf coccygeal (Price, 2005).
Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya
terletak dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput
pembungkus yang disebut meningen. Lapisan-lapisan dan struktur yang
mengelilingi medula spinalis dari luar ke dalam antara lain:
a) Dinding kanalis vertebralis (terdiri atas vertebrae dan ligamen)
b) Lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman
pembuluh-pembuluh darah vena
1) Duramater
2) Arachnoid
3) Ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor
cerebrospinalis
4) Piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang
langsung membungkus permukaan sebelah luar medula spinalis
Lapisan meningen terdiri atas pachymeninx (duramater)
dan leptomeninx (arachnoid dan piamater). Pada masa kehidupan intrauterin
usia 3 bulan, panjang medula spinalis sama dengan panjang kanalis
vertebralis, sedang dalam masa-masa berikutnya kanalis vertebralis tumbuh
lebih cepat dibandingkan medula spinalis sehingga ujung kaudal medula
spinalis berangsur-angsur terletak pada tingkat yang lebih tinggi. Pada saat
lahir, ujung kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi kaudal corpus
vertebrae lumbalis II. Pada usia dewasa, ujung kaudal medula spinalis
umumnya terletak setinggi tepi kranial corpus vertebrae lumbalis IIatau
setinggi discus intervertebralis antara corpus vertebrae lumbalis I dan II.
Terdapat banyak jalur saraf (tractus) di dalam medula spinalis. Jalur saraf
tersebut dapat dilihat pada gambar di berikut.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan
lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani
anggotabadan atas dan bawah dan plexus dari daerah thorax membentuk
saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan
komunikasiantara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Untuk
terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut:
a. Organ sensorik: menerima impuls, misalnya kulit-kulit
b. Serabut saraf sensorik: mengantarkan impuls-impuls tersebut menujusel-
sel dalam ganglion radix posterior dan selanjutnya menujusubstansi
kelabu pada kornu posterior mendula spinalis.
c. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung,
mengantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis
d. Sel saraf motorik: dalam kornu anterior medula spinalis yangmenerima
dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sel
e. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang
olehimpuls saraf motorik
f. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila
terputuspada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah
torakal)paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen
danotot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker
padauretra dan rektum.
D. Etiologi
Penyebab dari cedera medulla spinalis menurut Batticaca (2008), antara
lain:
a. Kecelakaan di jalan raya (paling sering terjadi)
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk
merusak kord spinal serta kauda ekuina
b. Olahraga
c. Menyelam pada air yang dangkal
d. Luka tembak atau luka tikam
e. Ganguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit
dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar;
mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis
yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertembra; tumor infiltrasi
maupun kompresi; dan penyakit vascular
E. Patofisiologi
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien
sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla,
(lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla
(membuat pasien paralisis). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis,
darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal
spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi
terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan
yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut.
Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti
baik pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal
terpusat pada turunan asam amino eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat
pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal, dimana
konsentrasi ini cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam
setelah cedera. Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa
aktivitas neuron lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah
menunjukkan disfungsi ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino
eksitasi.
Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder
pada spinal cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol
saluran untuk sodium (natrium) influx dan potassium (kalium) efflux, serta
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang memiliki saluran untuk natrium dan
kalium dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi kalsium intraseluler
dengan kalium efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari
pembengkakan neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana
disintegrasi neuron disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif
seperti 3-(2-carboxypiperazin-4-yl)-propyl-1-phosphoric
acid dan aminophosphoheptanoates, serta antagonis nonkompetitif
seperti phencyclidine, ketamin, magnesium, dextrorphan, dan MK-801 telah
menunjukkan dapat menurunkan cedera neurologis sekunder.
Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, beta-
endorphin, leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada
reseptor kappa, mu, dan delta. Opiat berhubungan dengan hipotensi yang terjadi
setelah SCI. Perawatan dengan obat yang dapat bekerja sebagai antagonis opiat
menghasilkan fungsi yang lebih baik.
Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan
aktivasi membrane phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid,
bebasnya asam arakidonat dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas
enzimatik oleh siklooksigenase terhadap asam ini memproduksi peroksida lipid,
sedangkan aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi leukotrien dan
prostanoid. Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi
SCI eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap prostasiklin meningkat
abnormal hingga 18 jam. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera
sekunder oleh karena terbatasnya perfusi jaringan. Faktanya, pada model
eksperimental aliran darah pada spinal cord terukur pada 40-54% terhadap level
kontrol. Penggunaan steroid dan analognya dapat meningkatkan pemulihan,
kemungkinan berhubungan dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap
peroksidasi lipid atau supresinya terhadap pelepasan asam amino
eksitasi. Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain:
a. Cedera Cervikal
 Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot
platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami
paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun
fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada
tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh
karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga
tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada
C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas.
Jadi penggunaannya secara intermitten saja
 Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi
diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis
intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan.
Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam
melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi
pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik
 Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena
paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya
akan terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya
tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat
melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat
memakai dan melepaskan baju
 Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan
aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi
jari tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali.
Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan
perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas
pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan
rumah yang ringan dan memasak
 Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi
duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat
diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke
posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia
C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan
pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri
b. Cedera Torakal
 Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan
lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis
parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan,
seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu
 Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari
tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada
tingkat 12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada
tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus
befungsi secara mandiri. Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal
adalah:
 T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
 T3 Aksilla
 T5 Putting susu
 T6 Prosesus xifoid
 T7, T8 Margin kostal bawah
 T10 Umbilikus
 T12 Lipat paha
c. Cedera Lumbal
 Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:
 L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian
belakang dari bokong
 L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior
paha
 L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel
 L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha
 L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah
dan area sadel
d. Cedera Sakral
 Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa
perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis
dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans
penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.
e. Klasifikasi Berdasarkan Keparahan
1) Klasifikasi Frankel:
Grade A : Motoris (-), sensoris (-)
Grade B : Motoris (-), sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : Motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : Motoris (+) normal, sensoris (+)
2) Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade A : Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : Hanya sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : Motoris dan sensoris normal
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi yang timbul antara lain:
a) Bila pasien dalam keadaan sadar, biasanya mengeluh nyeri akut pada
belakang leher, yang mnyebar sepanjang saraf yang terkena
b) Cedera spinal dapat menyebabkan paraplegia atau quadriplegia
Akibat cedera bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera :
c) Tingkat neurologik: berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik
bagian bawah yang normal. Tingkat neurologic bagian bawah mengalami
paralisis sensori dan motorik total, kehilangan kontrol kandeng kemih,
penurunan keringat dan tonus vasomotor dan penurunan tekanan darah
diawali dengan resistensi vascular perifer.
d) Tipe cedera, mengacu pada luasnya cedera medulla spinalis itu sendiri:
Masalah pernapasan basanya dikaitkan dengan penurunan fungsi peranpasan,
beratnya bergantung pada tingkat cedera. Otot-otot yang berperan dalam
pernapasan adalah abdominal, interkostal (T1-T11) dan diafragma. Pada
cedera medulla spinalis servikal tinggi, kegagalan pernapasan akut adalah
penyebab utama kematian (Smeltzer, 2001).
Manifestasi klinis berdasarkan lokasi yang mengalami trauma dan apakah
trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan
lokasi trauma:
a. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
b. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah;kehilangan refleks brachioradialis
c. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi
sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep

d. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki
f. Antara T11 dan T12
g. Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
h. T12 sampai L1
i. Paralisis di bawah lutut
j. Cauda equine
k. Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually pain
and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
l. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total. Bila terjadi trauma spinal
total atau complete cord injury, manifestasi yangmungkin muncul antara lain
total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks (Merck, 2010).
G. Komplikasi
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang dapat timbul dari cedera
medulla spinalis yakni:
a. Syok spinal
Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla
spinalis (areflexia) dibawah tingkat cedera. Dalam kondidi ini otot-otot yang
disarafin oleh bagian segmen medulla yang ada dibawah tingkat lesi menjadi
parlisis kolplet dan flaksid dan reflex-refleks tidak ada. Tekanan darah
menurun. Karena ada cedera servikal dan medulla spinalis torakal atas,
pernapasan pada otot aksesorius mayor pernapasan hilang dan terjadi masalah
pernapasan : penurunan kapsitas vital, retensi sekresi, peningkatan tekanan
parsial karbondioksida, penururnan PO2, Kegagalan pernapasan dan edema
pulmonal.
b. Trombosis Vena Profunda
Merupakan komplikasi umum dari imobilitas dan umumnya pada
pasien cedera medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme
pulmonal (EP) dengan manifestasi nyeri dada pleuritis, cemas, nafas pendek,
dan nilai gas darah abnormal.
c. Komplikasi lain
Komplikasi lain dapat berupa dekubitus dan infeksi (infeksi urinarius,
pernapasan, dan local pada tempat pin).
H. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
a. X-Ray spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislokasi)
b. CT Scan
Untuk menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural
c. MRI
Untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika
faktorpatologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang
subarakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi)
e. Foto rongent thorak
Mengetahui keadaan paru (contoh : perubahan padadiafragma, atelektasis).
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikal bagian
bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus
/ototinterkostal).
g. AGD: menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi (Batticaca,
2008).
I. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis :
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral
dalam posisi lurus:
1. Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk
mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung
bila memindahkan pasien
2. Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi
penggunaanCrutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada
tengkorak
3. Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur
servikalstabil ringan
4. Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington)
untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x
ditemui spinal tidak aktif.Tindakan-tidakan untuk mengurangi
pembengkakan pada medula spinalis denganmenggunakan glukortiko
steroid intravena.
b. Penatalaksanaan Keperawatan :
1. Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis,
kemungkinan didapatidefisit motorik dan sensorik di bawah area yang
terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan
fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi
seksualnya, perubahan fungsi defekasi
2. Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya
3. Pemeriksaan diagnostik Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing,
Circulation).
c. Penatalaksanaan Cedera Medulla Spinalis (Fase Akut)
1. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis
lebih lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit
neurologis
2. Lakukan resusitasisesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan
kestabilan kardiovaskuler
3. Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema
medela
4. Tindakan Respiratori
 Berikan oksigen untuk mempertahankan PO arterial yang tinggi
 Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi
atau eksistensileher bila diperlukan inkubasi endrotakeal
Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus)
untuk pasien denganlesi servikal yang tinggi
5. Reduksi dan Fraksi skeletal
 Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi,
dislokasi, dan stabilisasi koluma vertebrata
 Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu
bentuk traksi skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo
vest
 Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi
 Intervensi bedah = Laminektomi
Dilakukan Bila:
 Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
 Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
 Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal
 Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi
fraktur spinal ataudislokasi atau dekompres medulla (Diane C.
Braughman, 2000).
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian keperawatan
a. Aktifitas /Istirahat
 Tanda: Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi
 Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf)
Sirkulasi
 Gejala: Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi
 Tanda: Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan
pucat
b. Eliminasi
Tanda: Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena,
emisis berwarna seperti kopi tanah / hematemesis
c. Integritas Ego
Gejala: Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah
Tanda: Takut, cemas, gelisah, menarik diri
d. Makanan /cairan
Tanda: Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
e. Higiene
Tanda: Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari
(bervariasi)
f. Neurosensori
Gejala : Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flaksid
Tanda :
 Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi
perubahan pada syok spinal)
 Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah
syok spinalsembuh)
 Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris
termasuk tendon dalam
 Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh
yangterkena karena pengaruh trauma spinal
g. Nyeri /Kenyamanan
Gejala: Nyeri atau nyeri tekan otot, hiperstesia tepat di atas daerah trauma.
Tanda: Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral
h. Pernapasan
Gejala: Nafas pendek, kekeurangan oksigen, sulit bernafas
Tanda : Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronki, pucat, sianosis
i. Keamanan
Gejala: Suhu yang berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar)
j. Seksualitas
Gejala : Keinginan untuk kembali berfunfsi normal
Tanda: Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur
(Bastticaca, 2008).
B. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
2. Hambatan mobilitas fisik
3. Nyeri akut
4. Gangguan eliminasi alvi
5. Inkontinensia urine
6. Resiko kerusakan integritas kulit
7. Defisit keperawatan diri
DAFTAR PUSTAKA

Lewis,M S (2007).Medical surgical Nursing Assesment and management of clinical

problem. Seventh Edition. Elsevier

Meg Gulanlck/Judith L.myeres (2010). Nursing care plans diagnoset,intervention and

out comes. Elsevier

Ethei sloane (2004). Anatomi dan fiologi untuk pemula.EGC

Sneltzer,S. & Bare,B.(2004). Brunner & suddarth’s textbook of medical surgical

nursing.10th edition.lippincott & wilikins.

Monical saptiningsih.NPM.(2011). Telemonitering pada cidera medula spinal. Program

pasca sarjana kekhususan keperawatan medical bedah fakultas ilmu keperawatan

universitas indonesia.

http://askepdoumbojo.blogspot.com/2011/09/laporan-pendahuluan-cedera-medulla.html

Andi, Mutttaqin,2010.

Marion Johnson, dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.

Mosby.

Mc. Closkey dan Buleccheck. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC) Second

Edition. Mosby.

NANDA. 2005. Nursing Diagnosis: Definition and Classification. Philadelphia: North

American Nursing Diagnosis Association.

Anda mungkin juga menyukai