Anda di halaman 1dari 10

1.

Pendahuluan

Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia


dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan
kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin. World Health
Organization atau WHO (2016) menyebutkan bahwa Penyakit ini ditandai dengan
munculnya gejala khas yaitu poliphagia, polidipsia dan poliuria serta sebagian mengalami
kehilangan berat badan. DM merupakan penyakit kronis yang sangat perlu diperhatikan
dengan serius. DM yang tidak terkontrol dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti
kerusakan mata, ginjal pembuluh darah, saraf dan jantung.
International Diabetes Federation(IDF) menyebutkan bahwa prevalensi Diabetes
Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan
ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian diabetes mellitus didunia adalah
sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita diabetes mellitus. WHO memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008,
menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%. Tingginya prevalensi
Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya
jenis kelamin, umur, dan faktor genetic, yang kedua adalah faktor risiko yang dapat diubah
misalnya kebiasaan merokok tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan
merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh, lingkar pinggang dan umur. Diabetes
Mellitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat mengenai semua organ
tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit yang akan ditimbulkan antara
lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal, impotensi seksual,
luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru, gangguan pembuluh darah,
stroke dan sebagainya. Tidak jarang, penderita DM yang sudah parah menjalani amputasi
anggota tubuh karena terjadi pembusukan.Untuk menurunkan kejadian dan keparahan dari
Diabetes Melitus tipe 2 maka dilakukan pencegahan seperti modifikasi gaya hidup dan
pengobatan seperti obat oral hiperglikemik dan insulin.
Teixeria L. Regular physical exercise training assists in preventing type 2 diabetes
development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory properties. Biomed
Central Cardiovascular Diabetology.2011; 10(2);1-15.
WHO. Global Report On Diabetes. France: World Health Organization; 2016.
IDF. IDF Diabetes Atlas Seventh Edition: International Diabetes Federation; 2015.

2. Epidemiologi
Prevalensi penderita DM di seluruh dunia sangat tinggi dan cenderung meningkat
setiap tahun. Jumlah penderita DM di seluruh dunia mencapai 422 juta penderita pada
tahun 2014. Jumlah penderita tersebut jauh meningkat dari tahun 1980 yang hanya 180 juta
penderita. Jumlah penderita DM yang tinggi terdapat di wilayah South-East Asia dan
Western Pacific yang jumlahnya mencapai setengah dari jumlah seluruh penderita DM di
seluruh dunia. Satu dari sebelas penduduk adalah penderita DM dan 3,7 juta kematian
disebabkan oleh DM maupun komplikasi dari DM (WHO, 2016).
Penderita DM di Indonesia berdasarkan data dari IDF pada tahun 2014 berjumlah
9,1 juta atau 5,7 % dari total penduduk. Jumlah tersebut hanya untuk penderita DM yang
telah terdiagnosis dan masih banyak penderita DM yang belum terdiagnosis. Indonesia
merupakan negara peringkat ke-5 dengan jumlah penderita DM terbanyak pada tahun
2014. Indonesia pada tahun 2013 berada diperingkat ke-7 penderita DM terbanyak di dunia
dengan jumlah penderita 7,6 juta (Perkeni, 2015).

PERKENI. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI; 2015.

3. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP,
sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c.
Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan
terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal
maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke
dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah
TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c
yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus
Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan
gejala klasik DM yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau mempunyai
riwayat diabetes mellitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.

2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.


Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang
tiap 1 tahun.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan
adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler
seperti pada tabel-6 di bawah ini.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan
adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler
seperti pada tabel-6 di bawah ini.
4. Tatalaksana
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) ada tiga tujuan
penatalaksanaan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes melitus, antara lain :
a. Menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko
komplikasi akut.
b. Mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
c. Turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan
DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis
(PERKENI, 2015).
5. Prognosis

Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang dilakukan oleh pasien dalam
mengontrol kadar gula nya. Pasien dengan kontrol glikemik ketat (HbA1c < 7%), tanpa
disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan juga tidak ada gangguan mikrovaskuler
serta makrovaskuler akan mempunyai harapan hidup lebih lama. Namun jika pasien
memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler dan telah menderita diabetes lama (≥ 15 tahun)
akan mempunyai harapan hidup lebih singkat, walaupun telah melakukan kontrol glikemik
ketak sekalipun (Khardori, 2017). DM dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas
karena dapat berkomplikasi pada penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal, gangguan
pembuluh darah perifer, gangguan saraf (neuropati), dan retinopati. Pengontrolan kadar
glikemik merupakan cara efektif untuk pencegahan DM (Khardori, 2017).
Khardori, R., 2017, Type 2 Diabetes Mellitus,
http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview, diakses pada 25 Agustus
2019.
6. Komplikasi
Komplikasi DM dibedakan menjadi 2 yaitu, komplikasi akut dan komplikasi kronik:
1. Komplikasi akut
Komplikasi metabolik DM disebabkan oleh perubahan yang relative akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada DM tipe-1
adalah ketosidosis diabetik (DKA). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien
mengalami hipergilkemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan
lipolisis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda
keton yang merupakan awal dari DKA (Price, 2006).
2. Komplikasi kronis
Komplikasi vaskular jangka panjang ini meliputi mikroangiopati (pembuluh darah
kecil), dan makroangiopati (pembuluh darah sedang dan besar). Mikroangiopati
merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang glomerulus ginjal (nefropati
diabetik), kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), dan saraf-saraf perifer
(neuropati diabetik), kulit serta otot-otot.

Dalam keadaan hiperglikemia, yang terjadi adalah penebalan dari lapisan membran
dasar pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi karena glukosa sebagai salah satu
komponennya dapat masuk pada sel-sel membran dasar tanpa insulin. Keadaan ini
dapat mengakibatkan timbulnya mikroaneurisma pada arteriola retina yang bisa
berakhir dengsn neovaskularisasi, perdarahan, bahkan jaringan parut. Selain itu,
hiperglikemia juga dapat meningkatkan sorbitol melalui jalur poliol. Sehingga dapat
menimbulkan katarak pada lensa mata. Jika terjadi penimbunan sorbitol dalam jaringan
saraf, maka kegiatan metabolik selsel schwan akan terganggu dan menyebabkan
neuropati.
Makroangiopati diabetikum yang umum terjadi adalah aterosklerosis.
Gangguannya berupa (1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, (2)
hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembekuan darah. Akhirnya yang terjadi adalah
penyumbatan aliran darah (Price, 2005). Jika mengenai arteri-arteri perifer maka dapat
menyebabkan insufisiensi vaskular perifer yang ditandai dengan klaudikasio intermiten
dan gangren pada ekstremitas. Jika mengenai otak, maka dapat terjadi insufisiensi
serebral dan stroke. Jika mengenai arteri koronaria, maka dapat terjadi angina dan
infark miokardium

Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai