Anda di halaman 1dari 12

Kitab The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary Karya Abdullah

Yusuf Ali

Helmy Maulana
Institut Agama Islam Darussalam

Abstrak:Abdullah Yusuf Ali dikenal sebagai sarjana Islam yang menghasilkan terjemah dan komentar
Al-Qur'an, The Holy Qur’an: Text, translation and Commentary. Karya ini diterbitkan pertama kali tahun
1934 dan secara berkala diterbitkan sampai tahun 1937. Terjemah dan komentar oleh Yusuf Ali adalah
salah satu referensi utama di dunia Islam dalam bahasa Inggris dan karyanya itu telah tersebar ke berbagai
penjuru dunia Islam. Reputasinya terus meningkat dari waktu ke waktu, yang sekaligus membuktikan
pengakuan dunia Islam terhadap karyanya ini. Artikel hasil penelitian ini menganalisis corak, metode,
gaya, dan sumber penafsiran Abdullah Yusuf Ali.

‫وهو‬،‫عبداللهيوسفعليمعروفلدىالمسلمينالناطقةباالنكليزيةانالرجاللذيأنتجالترجمةوالتعليقالقرآن‬:‫البحث‬ ‫ملخص‬
.1937 ‫وتنشردورياحتىعام‬،1934 ‫ وقدنشرهذاالعمالألولفيعام‬."‫ ترجمةالنصوالتعليق‬:‫"القرآنالكريم‬
20 ‫ترجمةوتعليقيوسفعليهوالمرجعالكتابإلىالعالماإلسالميفياللغةاإلنجليزيةوالعماللذيينتشرعلىنطاقواسعفيسن‬
.‫منالمسلمين‬
‫سمعةهذاالعمألصبحأكثرعلىنحومتزايدمعمرورالوقتوهذايثبتأيضادقةالترجمةالبالغوالتعليقباللغتينالعربيةوانهاتع‬
.‫بيرباللغةاالنجليزيةجيدة‬

Abstract: Abdullah Yusuf Ali is best known to English-speaking Muslims as the man who produced a
translation and commentary of the Qur'an, The Holy Qur’an: Text, translation and Commentary. This
work was published first in 1934 and periodically published until 1937. The translation and commentary
by Yusuf Ali is the book reference to the Moslem world in English and work that is widely spread in the
age 20th of Moslem. Reputation of this work become more increasingly over time and this also proves the
accuracy of author’s translation and commentary in Arabic and it’s expression in good English.

Keywords:Abdullah Yusuf Ali, theHoly Qur’an, text, translation, commentary.

Pendahuluan
Perkembangan penafsiran al-Qur’ân di negara atau wilayah lainnya jelas berbeda dengan yang terjadi
di dunia Arab (Timur Tengah), tempat turunnya al-Qur’ân sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’ân.
Perbedaan tersebut terutama disebabkan perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Setiap Muslim
memiliki kemampuan atau mempunyai kesempatan yang tidak sama, maka penerjemahan al-Qur’ân ke
dalam berbagai bahasa penerima merupakan kebutuhan penting dan mendesak yang tidak bisa ditawar-
tawar lagi. Oleh karena itu, proses penafsiran al-Qur’ân untuk bangsa Arab melalui bahasa Arab itu
sendiri, sedangkan untuk bangsa-bangsa lainnya harus melalui pernerjemahan terlebih dahulu ke dalam
bahasa masing-masing penerima, kemudian baru diberikan penafsiran lebih luas dan rinci.
Salah satu karya terjemahan sekaligus tafsir adalah The Holy Qur’an: Text, Translation and
Commentary yang dikandung dan dipraktekan oleh Abdullah Yusuf Ali melalui terjemahan dan tafsirnya.
Minimnya perhatian para pengkaji tafsir terhadap karya ini menggugah penulis untuk melakukan
pengkajian terhadap terjemahan dan tafsir tersebut.

Tentang Abdullah Yusuf Ali


Abdullah Yusuf Ali lahir di Surat, sebuah kota tekstil di India Barat, pada hari Kamis tanggal 4 April
1872 M./26 Muharram 1289 H.1 dalam komunitas Bohra yang didominasi oleh profesi pedagang.2
Belakangan ia diberikan sebutan Allamah, yaitu panggilan yang disematkan kepada ulama besar dalam
bidang pemikiran Islam, hukum, dan filsafat.3 Ia anak pertama dari dua putra Khan Bahadur Allahbuksh,
pegawai kepolisian Surat. Yusuf Ali disekolahkan ke Anjuman-e-Islam di Bombay pada 1880.4 Teman
satu sekolahnya antara lain Muhammad Ali Jinnah dan Muhammad Ali Jauhar.
Dua tahun kemudian dia pindah ke sebuah sekolah Katolik, Wilson's School, pimpinan misionaris
Skotlandia, John Wilson. Ia sekolah di sini sampai usia 15 tahun. Dia ikut matrikulasi pada tahun 1887,
sebelum pindah ke tingkat yang lebih tinggi, Wilson College, yang berafilisasi dengan Universitas
Bombay.
Yusuf Ali mempunyai catatan akademis yang cemerlang. Di Wilson's School dia mendapatkan nilai
tertinggi untuk wilayah Bombay pada usia empat belas tahun. Selanjutnya mencapai gelar BA nomor satu
dari Universitas Bombay pada Januari 1891. Oleh pemerintah Bombay, Yusuf Ali diberi beasiswa
melanjutkan studi ke Inggris. Sebelum berangkat ke Inggris, ayahnya meninggal pada bulan Juli 1891.5
Pada bulan September 1891, Yusuf Ali tiba di Inggris. Ia mengambil kuliah hukum di St John's
College, Cambridge. Setelah tamat studi di Inggris, Yusuf Ali diangkat menjadi pegawai ICS (Indian
Civil Service, Pamong Praja India), sebuah jabatan bergengsi bagi kalangan pribumi India di zaman
pemerintahan Inggris. Kala itu dia masih berusia dua puluh tiga tahun. Kecenderungan politik Yusuf Ali
segera terlihat. Kariernya terus menanjak dari tahun ke tahun. Kesetiaannya terhadap Inggris melahirkan
sebuah cerita tersendiri. Kecintaannya terhadap segala hal yang ”berbau” Inggris juga berpengaruh
terhadap karya-karyanya.
Ia adalah intelektual yang sangat dihormati di India. Ia juga direkrut oleh Muhammad Iqbal sebagai
kepala sekolah Islamia College di Lahore, Pakistan. Ia telah menghasilkan banyak karya tulis, namun ia
paling dikenal dengan karya terjemahan dan penafsirannya dalam bahasa Inggris, The Holy Qur’an: Text,
Translation and Commentary. Karya ini pertama kali terbit di India pada tahun 1934 secara berkala
hingga tahun 1937.
Ia kemudian pindah ke Inggris hingga akhir hidupnya. Allama Abdullah Yusuf Ali meninggal di St
Stephen's Hospital, Fulham pada hari Kamis tanggal 10 Desember 1953 M./4 Rabi‘ al-S|ânî 1373 H. dan

1 Dalam hal biografi Yusuf Ali ini banyak mengutip dari buku, M. A. Sherif, Jiwa yang Resah Biografi Yusuf Ali,

Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an paling Otoritatif dalam Bahasa Inggris, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2015), 18.
2
Bohra atau jika dalam bahasa Arab disebut al-Barah adalah firqahSyi‘ahIsmâ‘îliyah yang ada di India dan Yaman.Mereka
menisbatkan diri kepada Ismâ‘îliyah al-Musta’liyah yang banyak dianut penduduk Yaman pada masa Salihiyyin. Ketika daulah
al-Salahiyyin runtuh, Ismâ‘îliyah al-T{ayyibiyyah meninggalkan politik dan beralih kepada peniagaan. Mereka berdagang hingga
menyebrang ke India dan berasimilasi dengan penduduk setempat yang beragama Hindu.Bohra adalah kata India kuno yang
berarti ‘pedagang’.Bohra kemudian dibagi menjadi dua: BohraDaudiyyah yang bermarkas di India sejak abad ke-10 H., dan para
da‘inya bermukim di Bombay; BohraSulaimaaniyyah yang hingga kini masih bermarkas di Yaman. Mustofa Muhammad
AsySyak‘ah, Islam Tidak Bermazhab, terj. A. M. Basalamah (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), 207-208.
3Allamah berasal dari bahasa Persia atau Urdu, yaitu ‫عالمه‬, bisa dieja dengan Allameh dan Allama. Gelar ini biasanya

digunakan dalam komunitas Syi‘ah, seperti Allamah T{abataba‘i, selain itu juga digunakan di kalangan beberapa ulama Sunni,
misalnya, Muhammad Iqbal, seorang pemikir Modern Pakistan dipanggil Allamah Iqbal. Dalam tradisi Syi‘ah, panggilan
Allamah sama derajatnya dengan panggilan Âyatullâh dan H{ujjatulIslâm. Salahuddin Ahmed, The Dictionary of Muslim Names
(Now York: New York University Press, 2009), 14. Iamendapatkaan gelar Allamah sekitar tahun 1933. M A. Sherif, Jiwa yang
Resah…, 103-104.
4Sekolah ini dibuka pada September 1880 untuk Muslim India.Pelajaran diberikan dalam bahasa Urdu dan bahasa
Inggris.Pelajaran bahasa Urdu menjadi penting dalam kasus Anjuman ini sebab itulah bahasa kaum Muslim di India. M. A.
Sherif, Jiwa yang Resah..., 20-21.
5Ibid., 25-26.
dimakamkan di komplek pemakaman Muslim di Brookwood Cemetery, Surrey, dekat mesjid Woking,
berdampingan dengan pusara Muhammad Marmaduke “William” Pickthall.6

The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary


Latar Belakang Penyusunan Kitab
Latar belakang penyusunan kitab ini sangat pribadi. Kehidupan yang keras dialaminya dengan tetap
berpegang teguh pada al-Qur’ân. Cikal bakal keteguhannya dapat ditelusuri dari pengalaman hidup, cita-
cita, dan kesetiaan ideologinya. Kemudian, kehidupan pribadi dan rumah tangganya yang tidak harmonis,
untuk tidak mengatakan kacau, keahlian dan kesuksesan akademis yang diraih masih di usia dini.7
Pengalaman yang bersinergis sebagai seorang kepala sekolah Islamia College adalah merupakan
pengalaman yang mengantarkan dirinya menyelami lautan makna al-Qur’ân lebih dalam.8
Ketergantungannya terhadap al-Qur’ân terbentuk di masa-masa sulit dan penuh kemarahan ini ketika
ia sedang mencari “penghibur hati”. Bagi Yusuf Ali kegagalan hidup tidak menjadikan dirinya terpuruk.
Ujian hidup yang sangat keras dan bertubi-tubi hanya dapat dilunakkan oleh al-Qur’ân. Firman Tuhan
merupakan penyejuk rohani, dapat menyentuh kesadaran dan menjernihkan pikiran serta menyegarkan
hati yang jauh dari nilai-nilai al-Qur’ân.
Pengabdian serta pemahaman Yusuf Ali terhadap al-Qur’ân diungkapkan melalui karyanya ini. Pada
mulanya, ia mencoba menerjemahkannya untuk dirinya sendiri dan ia terapkan ke dalam pengalaman
hidupnya. Pengabdiannya terhadap al-Qur’ân sudah menjadi sebuah tugas bagi dirinya, di samping
merupakan sebuah kebanggaan dan keistemawaan tersendiri sebagai kaum Muslim.
Tujuan Penyusunan Kitab
Tujuan Yusuf Ali menulis karyanya adalah sebagai berikut. Pertama, menghadirkan terjemahan al-
Qur’ân bahasa Inggris. Terjemahan yang dimaksud olehnya adalah sebuah terjemahan yang
berdampingan letaknya dengan teks al-Qur’ân yang tidak hanya menukar kata dengan kata lain (tarjamah
harfiyah), tetapi terjemahan yang mencoba mengungkapkan makna al-Qur’ân ke dalam bahasa lain yang
dituju (tarjamahtafsiriyah).
Kedua, membuat karya tafsir yang ”ringkas tetapi padat” makna.9 Yusuf Ali berusaha
menguraikannya sesingkat mungkin bagi pembaca berbahasa Inggris, baik sarjana maupun pembaca pada
umumnya. Ia ingin memberikan suatu gambaran yang agak lengkap tetapi singkat mengenai pengertian
setiap ayat menurut pemikiran ijtihadnya sendiri.
Ketiga, ingin menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa umat Islam. 10 Dengan bahasa Inggris ia ingin
membangun peradaban yang cerdas dan diakui di mata internasional. Hal ini terbukti dari sambutan
masyarakat secara luas atas karyanya yang ditulis dalam bahasa Inggris. Jikalau ia menulis tidak dengan
bahasa Inggris, pastilah respon atas karyanya ini tidak seluas yang terjadi sekarang.
Terjemah

6Ibid, 149-150.
7 Kesuksesan-kesuksesan yang diraih di usia mudanya tidak berjalan mulus. Di tengah-tengah kehidupannya mendatangkan
kejutan-kejutan hebat kepadanya yang tidak terbiasa mengahadapiketerpurukan.Pertama, pernikahan pertamanya dengan seorang
gadis London yang bernama Teresa Shalders berakhir dengan penyelewengan yang dilakukan oleh istrinya pada tahun
1912.Keadaannya dengan Masuma sebagai istri keduanya tidak jauh berbeda.Kedua, anak-anak dari hasil perkawinannya ini
memusuhinya dengan penuh dendam sehingga akhir hidupnya diwarnai kesepian.Trauma-trauma emosional yang terjadi di dalam
kehidupannya mengubah persepsi Yusuf Ali ini menjadi latar belakang internal dalam menyusun karyanya tersebut.
8Ibid, 197.
9 AYA, GK, 31.
10Ibid., 30.
Penerjemahan al-Qur’ân merupakan problem klasik dalam sejarah penyebaran Islam. Terjemah al-
Qur’ân bukanlah suatu kegiatan baru, bahkan embrionya sudah tumbuh jauh-jauh hari pada masa sabahat.
Namun tidak ada data hitoris yang valid tentang terjemahan al-Qur’ân sudah dikerjakan pada masa Nabi
Saw. masih hidup, meskipun data-data mengatakan telah terjadi proses tersebut. Tidak diketahui secara
jelas bahwa al-Qur’ân telah diterjemahkan ketika Nabi Saw. masih hidup, siapa yang pertama kali
menerjemahkan al-Qur’ân, dan kapan hal itu terjadi. Namun, buku sejarah (sirah) menerangkan beberapa
peristiwa tentang cerita sahabat yang melakukan hijrah dan masuk Islamnya beberapa orang yang berasal
dari wilayah luar Arab yang berkaitan dengan penerjemahan al-Qur’ân. Mungkin dapat dikatakan bahwa
terjemah al-Qur’ân sudah ada pada zaman Nabi, tetapi hal itu terjadi di daerah-daerah luar Arab yang
tidak memakai bahasa Arab, seperti Persia dan Abbisinia.
Jenis Terjemahan
Terjemahan al-Qur’ân Yusuf Ali termasuk ke dalam macam atau jenis terjemah
tafsîriyah/ma‘nawiyah atau terjemah bebas. Hal ini senada dengan ungkapan Yusuf Ali dalam kata
pengantarnya mengatakan bahwa “The English shall be, not a mere substitution of one word for another,
but the best expression I can give to the fullest meaning which I can understand from the Arabic Text.”11
(“Terjemahan Inggris ini tidak sekadar mau menukar sebuah kata dengan kata yang lain, tetapi harus juga
dengan ungkapan yang sebaik-baiknya yang dapat saya lakukan untuk mengeluarkan makna sepenuhnya
sejauh yang dapat saya tangkap dari bahasa Arabnya.”)
Langkah yang ditempuh Yusuf Ali dalam menerjemah adalah berusaha mengindari terjemahan
secara harfiyah, yang hanya mencari padanan kata yang ada dalam bahasa sumber kepada bahasa yang
dituju. Misalnya kata ummat dalam Q. S. al-Anbiyâ’ (21): 92 diterjemahkan dengan Brotherhood
(persaudaraan) karena sesuai dengan konteks ayat sebelumnya. Ia juga menambahkan pendapatnya,
bahwa kata ummat tepat juga diterjemahkan dengan kata Religion (Agama) dan Way of Life (Cara hidup).
Arti kata ummat sendiri menurut bahasa adalah Community (Komunitas), race (ras), people (rakyat), dan
nation (bangsa).12
Teknik terjemah tafsiriyah atau ma‘nawiyah yang dimaksud oleh Abdullah Yusuf Ali adalah dengan
cara memahami maksud teks bahasa sumber (al-Qur’ân) terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami,
maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa yang dituju (Inggris) tanpa terikat dengan urutan-urutan
kata atau kalimat bahasa sumber tersebut. Misalnya Q. S. al-Baqarah (2): 2.
This is the Book;
In it is guidance sure, without doubt,
To those who fear God;13
Struktur kalimat terjemahan yang dipakai Yusuf Ali tidak mengikuti bahasa sumber, melainkan
mengikuti struktur dan gaya bahasa si penerjemah. Kata guidance sure sebagai terjemahan kata hudân,
jika mengikuti susunan kalimat bahasa al-Qur’ân semestinya diletakan setelah kata without doubt sebagai
terjemahan dari kata lâ raiba.
Dalam Q. S. al-Baqarah (2): 104, Yusuf Ali menerjemahkan kata Râ‘inâ dengan Words of ambiguous
import (“kata-kata yang samar-samar”) dan kata unzurnâ diterjemahkan dengan kata-kata words of
respect (“kata-kata yang terhormat”). Jelas ini merupakan terjemah tafsîriyah/ma‘nawiyah dari kata
râ‘inâdan unzurnâ.14 Contoh lain terjemah tafsîriyah adalah kata halîm dalam Q. S. al-S{âffât (37): 101
diterjemahkan dengan kata ready to suffer and forbear (“siap menderita dan tabah”).15

11 AYA, GK, 30.


12 AYA, GK, 843, Nomor Tafsir (selanjutnya disingkat T) 2749.
13 AYA, GK, 17
14 AYA, GK, 46.
15 AYA, GK, 1204.
Bentuk Terjemahan
Bentuk terjemahan yang dimaskud di sini adalah bentuk penyajian terjemahan yang ditempuh oleh
translator dalam menerjemahkan al-Qur’ân. Dalam bentuk terjemahan ini, penulis membaginya dalam
dua macam: bentuk terjemahan prosa dan bentuk terjemahan puitis.
Bentuk terjemahan prosa adalah sebuah bentuk terjemahan yang dilakukan oleh penerjemah dalam
menerjemahkan al-Qur’ân dengan disusun dalam bentuk terjemahan prosa. Terjemahan tersebut tidak
terikat oleh bunyi akhiran kata, jumlah suku kata dalam setiap baris dan bait, melainkan terjemahan bebas
tanpa adanya aturan rima, bunyi, dan penggalan bait maupun baris. Terjemahan puitis yang dimaksud
adalah terjemahan yang seperti puisi. Bentuk atau susunan terjemahaan itu membentuk seperti sebuah
puisi, seperti rima, pilihan nada dan kata, dan pemenggalan baris atau bait.
Terjemahan al-Qur’ân Yusuf Ali ini berusaha menghadirkan kembali irama, rima dan nada bahasa yang
terpancar dari bahasa asalnya (al-Qur’ân).16Dalam kata pengantarnya ia mengatakan, “The rhythm, music, and
exalted tone of the original should be reflected in the English Interpretation. It may be but a faint reflection, but
such beauty and power as my pen can command shall be brought to its service.” 17(“Irama, rima musik, dan nada
bahasa asalnya yang begitu agung dan indah memantul dalam terjemahan Inggris ini.Mungkin yang terasa
hanya pantulan-pantulan samar-samar, tetapi jika saya dapat menyampaikan kekuatan dan keindahan demikian
ini rasanya sudah akan merupakan suatu pengabdian juga.”)
Ada dua hal yang dapat mengkategorikan terjemahan al-Qur’ân Yusuf Ali ini disebut sebagai sebuah
karya terjemahan berbentuk puitis (seperti puisi). Pertama, seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa
karya ini berusaha menghadirkan bentuk terjemahan puitis yang ditangkap dari gaya al-Qur’ân yang sarat
akan keagungan bahasanya. Kedua, tidak hanya dari isi terjemahan itu sendiri, tetapi pengaruh tata letak
atau lay-out-nya yang tidak mengikuti standar lay-out mushaf Us\mânî, melainkan dipenggal-penggal
membentuk baris-baris atau bait-bait puisi, baik pemenggalan ayat maupun terjemahannya, sehingga
mengindikasikan karya itu dipandang sebagai karya terjemahan puitis.
Sebagai contoh Q. S. al-Nabâ’ (78).18 Terjemahan ayat 1-3 dipenggal mengikuti gaya pemenggalan
puisi sehingga membentuk awalan kata yang berirama (C-A-C-A-C) sebagai berikut,
Concerning what
Are they disputing?
Concerning the Great News,
About which they
Cannot agree.
Contoh lain pada kasus terjemahan ayat 39 dipenggal menjadi beberapa baris sehingga membentuk
awalan huruf yang sama (T) adalah sebagai berikut sebagai beikut,
That Day will be
The sure Reality:
Therefore, whoso will, let him
Take a (straight) return
To his Lord!
Hal serupa juga terjadi untuk kasus pemenggalan ayat, misalnya pada ayat36-38 sebagai berikut,

16 Ketertarikan Yusuf Ali terhadap sastra, terutama sastra Inggris, merupakan salah satu bukti bahwa ia sangat menguasai

bahasa dan literatur Inggris. Dalam beberapa uraiannya terlihat ia banyak mengutip karya sastra seperti puisi, novel, roman
maupun naskah drama dari tokoh-tokoh sastra terkenal dari beberapa negara. Ketertariakn ini kemudian yang mendorong
Abdullah Yusuf Ali untuk membuat karya terjemahan maupun ringkasan tafsir dalam bentuk puisi atau prosa. Sastrawan
berkebangsaan Inggris, seperti Shakespeare, Milton, Coleridge, Kipling, dll. banyak tertera dalam kutipan-kutipan tafsirnya.
Yusuf Ali juga sangat tertarik kepada karya sastra Persia, Jâmî dan Firdawsi. Selain itu, beberapa sastrawan Amerika, Perancis,
Romawi, dan Skotlandia juga tidak luput dikutip oleh Yusuf Ali.
17 AYA, GK, 30.
18 AYA, GK, 1672-1677.
‫سابًا‬ َ ‫طا ًء ِح‬ َ َ‫َجزَ ا ًء ِم ْن َربِِّ َكع‬
‫االرحْ َم ِن‬
َّ ‫ض َو َمابَ ْينَ ُه َم‬ ِ ‫األر‬
ْ ‫س َم َاواتِ َو‬ َّ ‫َربِِّال‬
‫طابًا‬ َ ‫اليَ ْم ِل ُكون َِم ْن ُه ِخ‬
َ ُ‫الرو ُح َو ْال َمالئِ َكة‬
‫صفًّا‬ ُّ ‫يَ ْو َميَقُو ُم‬
‫الرحْ َم ُن‬ َّ ‫اليَت َ َكلَّ ُمونَإِال َم ْنأ َ ِذنَلَ ُه‬
‫ص َوابًا‬َ َ‫َوقَال‬
Pada ayat 37 dipenggal menjadi dua baris pada kata al-rahmân untuk mendapatkan akhiran kata yang
sama pada pemenggalan ayat 38. Demikian pula kata-kata hisâbân, khitâbân, saffân, sawâbân
dimaksudkan untuk medapatkan akhiran bunyi an.
Namun, hal ini tidak harus disebut sebagai terjemahan puisi atas al-Qur’ân, karena di banyak tempat
ia tidak menunjukkan bentuk puisi, seperti, adanya penjelasan dalam bentuk catatan-catatan kaki
(footnote, tafsir). Bila saja ia melakukan terjemahan puisi, maka tidak mungkin melakukan hal seperti ini.
Oleh karena terjemahannya tidak puisi murni, juga bukan prosa murni, melainkan puitis (sepertipuisi)
atau—meminjam istilah H. B. Jassin—berwajah puisi. Oleh karenanya, catatan-catatan kaki itu ada.
Misalnya, kata Graet News dalam ayat 2, Grapevines dalam ayat 32, ia jelaskan melalui catatan tafsirnya.
Tafsir
Tafsir yang dimaksud dalam The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary adalah berupa
catatan-catatan atau komentar-komentar (commentary) Yusuf Ali terhadap suatu ayat yang sedang
diterjemahkan. Tafsir ini diletakkan di bagian bawah halaman (footnote) dan diberi nomor urut seperti
catatan kaki pada karya-karya ilmiah. Namun, ia tidak mengomentari seluruh ayat, ada beberapa ayat
yang tidak diberi komentar (ditafsirkan). Ia hanya menafsirkan ayat-ayat yang dipandang belum jelas
dengan terjemahannya maupun terhadap ayat yang, menurutnya, menarik dan perlu dijelaskan lebih
lanjut. Bila komentar-komentar itu memerlukan tempat yang lebih panjang, biasanya ia mengoksplorasi
pemikirannya dalam appendix atau lampiran-lampiran yang diletakkan pada bagian akhir surat yang
sudah dibahas. Jumlah Appendix yang dilampirkan Abdulah Yusuf Ali dalam karyanya mencapai empat
belas buah lampiran.
Selanjutnya, yang juga dikategorikan sebagai tafsir dalam karya Yusuf Ali ini adalah juga the running
commentary, in rhythmic prose, yaitu sebuah rangkuman tafsir puitis, prosa puitis atau puisi bebas yang
disajikan dan diberi nomor secara berturut-turut yang sudah dikelompokan dalam beberapa tema besar.19
Tafsir Puitis (disingkat menjadi TP) diletakkan sebelum memasuki pembahasan ayat yang akan
dijelaskan. Pembuatan TP ini berdasarkan pada ayat-ayat yang telah dikelompokkan pada beberapa
kelompok ayat sehingga menghasilkan sebuah bait-bait puisi bebas yang merangkum beberapa tafsiran
ayat.
Sistematika Penafsiran
Yusuf Ali menulis The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary menggunakan sistematika
Tartîb al-Mushafî. Dalam karyanya ini, Yusuf Ali mencoba mengomentari ayat al-Qur’ân yang telah ia

19Jumlah TP mencapai 300 bait. Dalam edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Ali Audah istilah ini diberi nama
”Rangkuman” yang disingkat menjadi “R”. Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemah dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, Jil. I (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2014). Pada kesempatan ini penulis menyebutnya dengan istilah ”Tafsir Puitis” yang disingkat dengan ”TP”.
Kemudian, selain dicetak bersama dengan tafsir The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary, TP ini juga diterbitkan
dalam sebuah buku terpisah dengan judul The Message of Islambeing a résumé of the teaching of the Qur’ân: with special
reference to the spiritual and moral struggles of the human soul (New Delhi: Kitab Bhavan, 2014).
terjemahkan sesuai dengan urutan surat yang ada dalam al-Qur’ân yang diawali dari surat al-Fâtihah (1),
al-Baqarah (2) dan seterusnya hingga berakhir pada surat al-Nâs (114).20
Bentuk Penulisan Tafsir
Bentuk penulisan tafsir yang dimaksud di sini adalah cara atau mekanisme penulisan tafsir
menyangkut bentuk dan penempatan tafsir.21 Pembahasan mengenaai bentuk penempatan tafsir sebuah
ayat menjadi penting karena hal ini menjadi karakteristik atau sesuatu yang ”membedakan” antara satu
kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya.
Bentuk penulisan tafsir yang sudah lazim dilaksanakan oleh para penafsir adalah bentuk penulisan
linear. Yang dimaksud penulisan linear atau lurus di sini adalah penempatan tafsir tersebut diletakan
setelah ditapilkannya ayat, terjemahan ayat, dan makna kosa kata sulit serta asbâb al-nuzûl jika ada.
Bentuk penulisan tafsir Yusuf Ali disajikan dalam tiga bentuk. Pertama, dalam bentuk footnote.
Bentuk penyajian tafsir yang terdapat dalam karya ini memang terbilang khas dan berbeda dengan kitab-
kitab tafsir yang lain. Catata-catatan tafsir atau komentar-komentar-komentar ini diberi nomor urut hingga
mencapai 6311 catatan. Penulis melihat bentuk penulisan tafsir seperti ini, yakni dalam bentuk catatan
kaki atau footnote, sebagai salah satu kecenderungan khusus dari para mufassir modern di Anak Benua
India. Dikatakan khusus karena pada dasarnya tidak semua mufassir yang berasal dari wilayah ini
menggunakan bentuk seperti ini. Contoh lain mufassir yang menggunakan bentuk catatan kaki ialah
Maulana Muhammad Ali22 dan Malik Ghulâm Farîd.23
Kecenderungan ini menurut penulis mengindikasikan sebuah karya yang dapat dipandang sebagai
sebuah karya ilmiah, yaitu suatu karya yang mengikuti tata cara penulisan seperti karya ilmiah. Maksud
ilmiah di sini tidak ada kaitannya dengan segi isi, karena jika karya tafsir yang tidak mengikuti aturan ini
tidak serta merta diklaim sebagai karya yang tidak ilmiah. Bentuk penulisan seperti ini, yakni pemakain
catatan kaki atau footnote, kemudian dipakai oleh Dewan Penerjemah/Penafsir al-Qur’ân Departemen
Agama Republik Indonesia dalam karya terjemahan al-Qur’ân ke dalam Bahasa Indonesia.24
Kedua, dalam bentuk lampiran-lampiran atau appendix. Appendix ini disertakan jika penjelasan pada
bagian footnote dirasa perlu dielaborasi lebih lanjut dan sebagai—semacam—informasi (baca: tafsir)
tambahan yang memerlukan tempat yang lebih luas. Bentuk appendix ini disertakan karena demi menjaga
20Al-Qur’ân yang dijadikan standar penulisan dalam karya inimayorotas mengikuti al-Qur’ân edisi Mesir yang digunakan

oleh Anjuman-i-Himâyat-i-Islâm di Lahore, kecuali Q. S. Âli Imrân (3) dan Q. S. al-Mâ’idah (5). Dalam Q. S. Âli Imrân (3) ayat
3 berhenti (baca: berakhir) pada kata al-Furqân dan ayat 4 dimulai dari kata inna al-laz\îna kafarûdan berhenti pada kata intiqâm.
Sepanjang Q. S. al-Mâ’idah (5) penomoran ayat megikuti penomoran ayat H{âfiz ‘Usmân dan penomoran ayat kitab Fath al-
Rahmân Li T{âlib Âyât al-Qur’ân karya Faidullâh al-H{asanî al-Maqdisi. Jumlah ayat Q. S. al-Mâ’idah (5) menurut edisi standar
120 ayat, sedangkan dalam karya Yusuf Ali ada 123 ayat. AYA, GK, 122 dan 238.
21Islah Gusmian dalam bukunya Khazanah Tafsir Indonesia mengungkapkan bahwa yang dimasud dengan bentuk penulisan
tafsir adalah “mekanisme penulisan yang menyangkut aturan teknis dalam penyusunan keredaksian sebuah literature tafsir. “
Lebih lanjut ia mengatakan, “aturan yang dimasud adalah tata cara mengutip sumber, penulisan catatan kaki, penyebutan buku-
buku yang dijadikan rujukan, serta hal-gal lain yang menyangkut konstruksi keredaksionalan.” Islah Gusmian, Khazanah Tafsir
dari Hemeneutika hingga Ideologi (Bandung: Teraju, 2013),172. Bentuk yang dimaksud ada dua macam: bentuk penulisan
ilmiah; dan bentuk penulisan nonilmiah. Yang dimaksud oleh penulis di sini tidak mengikuti pengelompokan yang dilakukan
oleh Islah, penulis membuat kategori lain untuk memotret karya Abdullah Yusuf Ali ini.
22Lihat karya Maulana Muhammad Ali, Qur’an Suci Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia, terj. H. M. Bahrun
(Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2009). Karya ini termasuk dari sekte Ahmadiyah.
23 Lihat karyanya Malik GhulâmFarîd (ed.), The Holy Qur’ân English Translation & Commentary (Rabwah-Pakistan: The

Oriental and Religions Publishing Corporation, 2013). Karya ini lahir di bawah pengawasan Khalifah ke-3 Ahmadiyah,
H{adratMirzâNâsir Ahmad. Pada waktu itu Negara Islam Pakistan belum menetapkan Ahmadiyah sebagai non-Muslim. Terlepas
berasal dari sekte yang dianutnya, karya ini patut diapresiasi karena berusaha menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur’ân dengan
bahasa Inggris dan bentuk penyusunan tafsirnya menggunakan bentuk catatan kaki.
24 Lihat karya Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Edisi Revisi, Surabaya: Jaya Sakti, 2009. Karya terjemahan ini
menyertakan catatan-catatan kaki atau komentar-komentar dalam mengatasi ketidak jelasan makna dari terjemahan yang ada.
Hemat penulis, prinsip kerja seperti ini dipandang mengikuti bentuk penulisan karya Yusuf Ali yang tidak lain itu adalah
tafsirnya.
konsisitensi Yusuf Ali dalam menulis tafsir yang singkat-padat makna sehingga dengan adanya lampiran-
lampiran ini tidak mengganggu pembaca menelaah komentar-komentarnya terhadap suatu ayat.
Lampiran-lampiran ini diletakan pada bagian akhir surat yang sudah dibahas. Jumlah appendix yang
dilampirkan mencapai 14 buah tulisan.
Ketiga, Tafsir Puitis (TP) adalah juga merupakan tafsir Yusuf Ali. Jumlah TP mencapai tiga ratus
bait. Setiap bait merangkum beberapa ayat yang telah dikelompokkan dalam satu tema besar atau satu
kelompok ayat. TP diletakkan tidak dalam catatam kaki melainkan ditempatkan di awal ayat-ayat yang
akan dibahas selanjutnya.
Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran yang dijadikan rujukan Yusuf Ali adalah al-Qur’ân, Asbâb al-Nuzûl, Sirah, Bibel,
sains modern dan temuan-temuan ilmu pengetahuan mutakhir, kitab-kitab tafsir lain, dan rasio atau akal.
Ia menganut kaidah penafsiran yang berbunyi, “al-Qur’ân yufassiru ba‘duhu ba‘dan.” Baginya, al-
Qur’ân itu adalah penafsir dirinya yang terbaik. Dia mengadakan perbandingan yang cermat dan teliti
mengenai ayat-ayaat dari al-Qur’ân itu, sehingga banyak sekali kesulitan-kesulitan yang ia temukan
ketika memahami maksud suatu ayat bisa diatasi dengan merujuk kepada ayat lain.25 Keyakinan Yusuf
Ali akan al-Qur’ân yang saling terkait makna satu surat atau suatu ayat dengan lainnya ini diakui dalam
Kata Pengantar tafsirnya.
It has been said the Qur’an is its own best Commentary. As we proceed with the study of the Book, we find how
true this is. A careful comparison and collation of passage from the Qur’an removes many difficulties. Use a
good Concordance, such as the one I have named among the Work Reference, and you will find that one
passage throws light on another.26
Ketika menafsirkan suatu ayat, Yusuf Ali sering membuat rujukan silang ayat-ayat yang dipandang
berkaitan atau satu tema yang saling menjelaskan.Ia menggunakan istilah “Compare” yang dilambangkan
dengan “Cf” untuk menunjukkan ayat yang menjadi rujukan dalam tafsir yang sedang dibahas. 27
Lambang Cf ini juga digunakan untuk menyatakan bahwa tafsir ayat tersebut sudah dijelaskan pada ayat
dan atau surat lain (sebelumnya). Terkadang di beberapa tempat lambang itu digunakan untuk
menyatakan bahwa tafsir ayat tersebut akan dijelaskan pada ayat dan atau surat yang lain (selanjutnya).
Berkenaan dengan asbâb al-nuzûl, Yusuf Ali tidak hanya pada hadis-hadis yang menerangkan
riwayat hadis, tetapi lebih luas kepada hal-hal yang bersifat keterangan sejarah.28Iamenganut kaidah al-
‘ibrah bi ‘umûm al-lafzlâ bi khusûs al-sabâb, yakni yang menjadi patokan dalam memahami ayat adalah
redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya.
Berkenaan dengan penggunaan Bibel, ia mengatakan bahwa untuk menafsirkan kisah-kisah masa
lampau yang berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan Yahudi atau Kristen harus mengacu pada
sumber-sumber Yahudi atau Kristen pula.29Pengutipan Bibel ini bertujuan hanya sebagai ilustrasi, tidak
bertujuan untuk menyakini kepercayaan mereka.

25Untuk berbagai rujukan silang ayat-ayat al-Qur’ân, Yusuf Ali berutang budi kepada karya John Penrice, A Dictionary and
Glossary of the Koran, dan karya Faidullâh al-H{asanî al-Maqdisî, Fath al-Rahmân.
26 AYA, GK, 39.
27 Dalam edisi Bahasa Indonesia istilah “Compare” disesuaikan dan diganti oleh Ali Audah dengan istilah “Bandingkan”
dan lambang ”Cf” diganti dengan lambang ”Bd”.
28Sebanarnya, Yusuf Ali tidak menggunakan istilah asbâb al-nuzûl, tetapi ia menggunakan istilah occasionsonwhich

particular verses werereveled(istilah penulis di sini meminjam istilah Fazlur Rahman, theoccasion of revelation, saat
pewahyuan), yakni peristiwa-peristiwa tertentu yang menyebabkan pula turunnya ayat-ayat tertentu.
29 Yusuf Ali menyertakan dua lampiran mengenai Taurat (Appendix II) dan Injil (Appendix III) yang terdapat pada akhir

surat al-Mâidah (5). Taurat dan Injil sering disebut dalam al-Qur’ân. Dalam kedua lampiran tersebut ia menjelaskan bahwa salah
jika kata Taurat diterjemahkan dengan istilah Perjanjian Lama dan jelas tidak tepat pula jika kata Injil diterjemahkan dengan
istilah Perjanjian Baru. PL merupakan istilah Kristen yang dipakai untuk menyebut sekumpulan naskah-naskah kuno Yahudi,
sedangkan PB yang diakui sekarang oleh Gereja Kristen sebagai keempat Injil (Gospel). Terma al-Qur’ân mengenai Taurat dan
In interpreting Jewish or Christian legend or beliefs we must go to Jewish or Christian sources, but by way of
illustration only, not in the direction of incorporating such beliefs or systems. Thought they were true in their
original purity, we ere not sure of the form which they subsequently took, and in any case the fuller light of the
sun obscures the lesser light of the stars. 30
Penggunaan Bibel untuk kisah-kisah al-Qur’ân tidak hanya untuk ilustrasi kisah saja. Di beberapa
tempat Yusuf Ali mengkritik cerita Bibel yang tidak relevan dengan semangat al-Qur’ân. Bahkan tidak
hanya kritik, ia sendiri dalam hal ini tidak mengutip Bibel untuk menjelaskan tafsir dalam Q. S. al-Nisâ’
(4): 1, misalnya. Banyak mufassir yang mengaitkan kisah penciptaan perempuan dalam ayat tersebut
dengan kisah yang ada dalam Bibel tentang cerita penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam yang terdapat
dalam PL Kejadian, 2: 21-23.Ia mengatakan dengan tegas bahwa, “The Biblical story of the creation of
Eve from a rib of Adam may be allegorical, but we need not assume it in Quranic teaching.” (Cerita Bibel
tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam mungkin suatu alegori, namun kita tidak perlu
menerapakannya dalam ajaran al-Qur’ân)31
Yusuf Ali menyetujui penggunaan sains atau ilmu pengetahuan modern dalam menafsirkan al-
Qur’ân. Diakui dalam al-Qur’ân terdapat banyak ayat-ayat yang mengisyaratkan ilmiah. Untuk
memahami kandungan al-Qur’ân tersebut diperlukan ilmu-ilmu bantu atau pemanfaatan penemuan-
penemuan mutakhir. Akan tetapi, ia mengingatkan supaya jangan sampai penggunaan ilmu pengetahuan
dalam tafsir ini tidak relevan dengan pembahasan ayat-ayat yang sedang dibahas.32 Sebagai contoh Q. S.
al-Anbiyâ’ (21): 30, yang menjelaskan bahwa langit dan bumi pada suatu ketika merupakan suatu
gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan, dan air adalah sumber segala kehidupan, merupakan suatu hakikat
ilmiah yang tidak diketahui pada masa turunnya al-Qur’ân oleh masyarakat bangsa Arab.33 Kemudian
kata dâbbahpada Q. S. al-Syûrâ (42): 29 ditafsirkan dengan protoplasma, yakni makhluk hidup dalam inti
sel atau bahan kehidupan sel.34
Masalah eskatologis (kiamat) yang notabene jauh dari isyarat ilmiah terkadang juga ditafsirkan
dengan menggunakan istilah-istilah sains dan penemuan-penemuan mutakhir ilmu pengetahuan.35 Hukum
Newton tentang teori gravitasi dipakai untuk menjelaskan proses terjadinya kehancuran matahari pada
saat kiamat. Ia juga mengatakan bahwa apabila matahari sebagai sumber energi di dunia ini hancur, maka
benda-benda lain pun akan ikut hancur pula.
Metode Penafsiran
Metode yang digunakan Yusuf Ali dalam tafsirnya lebih mendekati kepada metode tahlîlî.
Sebenarnya ia tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlîlî, tetapi karena penafsirannya
melakukan sebagian langkah-langkah itu, seperti makna kosa kata, munasabah, dan lain-lain, maka tafsir
ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlîlî.36Para ulama dalam megaplikasikaan metode tahlîlîtidak

Injil adalah Taurat asli yang dibawa oleh Nabi Musa a.s. dan Injil asli yang dibawa oleh Nabi Isa a.s. seperti al-Qur’ân yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
30 AYA, GK, 38.
31 AYA, GK, 178, T 504.
32 Ketika “membuktikan” kebenaran al-Qur’ân dengan capaian ilmu pengetahuan akan menjadi sangat berbahaya karena
begitu pengetahuan itu diruntuhkan oleh teori baru, maka al-Qur’ân akan ikut tumbang pula. Lebih lanjut ia juga mengatakan
bahwa penggunaan sains dalam tafsir tidak menjadi penghalang dalam menemukan makna batin dari suatu ayat, sebab kebenaran
rohani tidak terlepas dari gagasan-gagasan yang benar. AYA, GK, 38.
33 AYA, GK, 822, T 2690-2691.
34 AYA, GK, 1314, T 4568.
35 Q. S. al-Takwîr (81): 1.
36 Berkaitan dengan metode penafsiran The HolyQur’an: Text, Translation and Commentary, Yusuf Ali menyatakan dengan
tegas bahwa metode yang digunakan adalah tafsir al-Qur’ân bi al-Qur’ân. Dengan demikian tafsir ini bisa dikelompokkan ke
dalam tafsîr bi al-riwâyah. Namun untuk menentukan hubungan antar ayat, pengelompokkan ayat, surat serta korelasi antara
keduanya dalam penafsiran tersebut ia menggunakan pemahaman rasional, sehingga dari sudut ini tafsirnya juga bisa
dikelompokkan sebagai tafsîr bi al-ra’yi. Demikian pula ketika memahami makna dari kadungan ayat. Ia lebih menekankan
sepakat, ada yang menguraikannya secara ringkas, ada juga yang menguraikannya secara luas dan
terperinci. Menurut penulis, tafsir ini tergolong dalam kelompok tafsir tahlîlîyang ringkas.37
Dalam menjelaskan sebuah surat, Yusuf Ali pada bagian ”Introduction to Sura ...” memaparkan
terlebih dahulu maksud umum dari surat, hubungan surat tersebut dengan surat sebelumnya, dan
ringkasan (summary) makna keseluruhan surat dalam beberapa kelompok ayat. Kemudian sebelum
memasuki pembahasan ayat ia terlebih dahulu mempersembahkan the running commentary, in rhythmic
prose atau Tafsir Puitis (TP). Setelah itu ia menerjemahkan ayat dan memberi tafsiran atau komentar
(commentary) terhadap beberapa ayat—lebih tepatnya terhadap terjemahan—yang dianggap perlu
mendapat tafsiran.
Corak Penafsiran
Tafsir ini oleh penulisnya lebih ditekankan pada penggalian makna-makna batin (rohani) dari sebuah
ayat, sehingga tafsir dapat dikatakan bercorak sufistik dan bersifat alegoris serta ajakan-ajakannya kepada
kaum Muslim untuk mencoba merasakan dan menikmati sentuhan lembut al-Qur’ân dalam kehidupan.
Yang menonjol darinya adalah tekanannya pada dimensi spiritual Islam dan pesan kebangkitan
moralnya dan yang menarik baginya adalah pesan al-Qur’ân mengenai pertolongan dan harapan-
harapan.38 Selaras dengan ciri tafsir sufistik, karya ini juga berangkat dari pengalaman-pengalaman si
penafsir sendiri.39
Kecenderungan Yusuf Ali terhadap mistik tidak hanya terlihat dalam beberapa komentar (tafsir)-nya,
tetapi terdapat pula dalam beberapa appendix. Diantaranya adalah appendix I “Abbreviated Letters”,
appendix VI “Allegorical Interpretation of the Story of Joseph”, appendix VIII “Mystic Interpretation of
the Verse of Light”, appendix VII “Who was Zul-qarnain”, appendix XII “The Muslim Heaven”, dan
appendix IV “Oaths and Adjurations in the Qur’an”.
Evaluasi Karya
Beberapa hal yang dianggap orisinal dari karya ini adalah terjemahannya yang puitis karena
sebelumnya belum ditemukan karya yang menyerupai karya Yusuf Ali.40 Rangkuman tafsir puitis yang

aspek rasio dalam menguraikan makna ayat. Pengelompokan tafsir pada satu atau dua jenis metode (bahkan bisa lebih) tersebut
tidak harus bersifat dikotomis, karena pada dasarnya tidak ada tafsir yang murni berdiri pada salah satu metode dari sekian
banyak metode tafsir yang pernah ada. Yang menjadi pegangan untuk menentukan metode apa yang digunakan dalam sebuah
kitab tafsir adalah titik-tekannya atau aksentuasinya, bukan pada dominannya. Kata ”aksentuasi” secara semantik berarti sering
dan cenderung selalu selaras dengan tujuan pokok, sedangkan kata ”dominan” hanya menunjukan pada kebiasaan yang mengarah
pada banyak.
37 Dari beberapa penafsirannya terbukti bahwa ia membuat tafsir yang singkat. Bahkan sebagain ayat ada yang sama sekali

tidak diberi komentar (tafsir). Ia memandang cukup hanya dengan terjemahan yang dbuatnya. Meskipun karya ini diaanggap
sebagai tafsir yang ringkas, tetapi ada beberapa tema yang dijelaskannya dengan uraian yang tidak singkat, misalnya uraian tafsir
yang ada dalam appendix.
38 M. A. Sherif, Jiwa yang Resah..., 178 dan 179. Selain kecenderungan rohani atau sufistik, Yusuf Ali dalam
menyampaikan ide dan gagasannya juga diwarnai penggunaan ra’yuatau rasio—untuk tidak mengatakan filosofis—yang cukup
dominan. Penulis menemukan banyak ulasan dan eksplorasi pada sebuah ayat dengan bahasa-bahasa sufistik maupun mengajak
pembaca untuk merenungkan dan berfikir lebih mendalam. Jadi, dapat dikatakan bahwa penafsiran-penafsirannya merupakan
akumulasi dari pemikiran-pemikiran yang bersifat sufistik dan rasionalis.
39 Corak tafsir sufistik lahir bukan dari teks melainkan ia berangkat dari pengalaman hidup yang dijalani oleh mufassir
menuju kepada pengalaman batiniah. Tafsir sendiri merupakan bagian dari pergumulan pengalaman kehidupan manusia. Tidak
akan ada tafsir jika mufassir tidak memiliki pengalaman yang dia alami sendiri. Walaupun tafsir ini mengandung sejumlah
kelemahan, tetapi tafsir sufistik merupakan tafsir yang jujur, karena berlandaskan pada pengalaman.
40 Terjemahan al-Qur’ân dengan gaya sastra bukanlah hal yang baru dalam sejarah penerjemahan al-Qur’ân. Terjemahan

karya Pickthall (1875-1936), seorang penerjemah Muslim pertama berkebangsaan Inggris yang karyanya diakui oleh Universitas
al-Azhar, Mesir, yang berjudul The meaning of the Glorious Koran yang dianggap karya terjemahannya puitis. Haji Abdul Malik
Karim Amrullah, “Sambutan Hamka pada Cetakan Pertama”, dalam H. B. Jassin, al-Qur’ân al-Karîm Bacaan Mulia (t.k.:
Djambatan, 1991), hlm. xvi. Namun, terjemahan puitis yang disusun dengan penggalan-penggalan bait, baik ayat maupun
terjemahnya, mengikuti gaya puisi tergolong karya baru (baca: orisinil). Menurut pengetahuan penulis sampai saat ini, belum
ditemukan gaya terjemahan Inggris putis seperti karya Yusuf Ali.
dianggap sebagai ciri khas dari karya ini, juga dapat dikatkan sebagai sesuatu yang asli dari Yusuf Ali.
Pembagian kembali rukû‘ dalam al-Qur’ân menjadi beberapa anak-bagian rukû‘ sesuai tema-tema tertentu
memberikan sumbangsih yang besar dalam studi al-Qur’ân.
Di samping kelebihan-kelebihan lainnya, karya ini juga mengandung beberapa hal yang dianggap
tidak sejalan dengan kebiasaan. Kurangnya kutipan hadis dalam tafsir menjadikan karya ini dipandang
kurang otoritatif dalam bidang tafsir. Selain itu, kutipan-kutipan Bibel, terutama dalam ayat-ayat yang
berkaitan dengan tradisi Yahudi dan kristen, juga ikut memadati tafsir Yusuf Ali. Dalam hal ini ia
dianggap telah menodai cita rasa al-Qur’ân yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Tetapi meskipun
demikian adanya, karya ini juga mampu memberikan semacam ide kepada generasi selanjutnya dalam
rangka studi perbandingan tafsir al-Qur’ân dengan Bibel, atau kitab-kitab agama lain.
Sebagai mufassir yang hidup di abad modern, ia telah berusaha membantu umat Islam bangkit dari
keterpurukan. Karya ini dipandang suatu karya terjemahan yang paling banyak digunakan oleh
masyarakat berbahasa Inggris yang ingin mempelajari al-Qur’ân, baik pada level terjemah mampun
meningkat pada level ulasan atau tafsir yang lebih rinci. Paling tidak karya ini telah ikut meramaikan
dunia terjemahan dan penafsiran al-Qur’ân.
Penutup
The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary telah dibaca secara luas dan sangat
memengaruhi umat Islam dalam membentuk prilaku mereka terhadap agama, moralitas, dan problematika
kehidupan modern. Karya ini diakui sebagai tafsir yang jelas, masuk akal dan memuaskan. Karya ini pula
dipandang sebagai sebuah tafsir yang bebas dari tendensi-tendensi apologetik dan perdebatan panjang
teologis.
Dari penelitian ini, mungkin masih dirasa kurang oleh sebagian pihak. Bagi pemerhati tafsir al-
Qur’ân yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut, hendaknya memfokuskan pada tema-
tema tertentu dari penafsiran Yusuf Ali dan perumusan prinsip-prinsip penafsirannya berikut contoh-
contoh aplikasinya. Kendati tafsir ini begitu ringkas, boleh jadi ada sisi lain yang menjadi perhatian untuk
dikaji lebih mendalam, seperti menentukan grand tema atau sub-sub tema secara kongkrit dari setiap
suratnya. Oleh karena itu, kiranya penelitan ini bisa dikembangkan dan dipertajam dengan mengambil
sisi-sisi lain yang belum tersentuh.

Daftar Pustaka

Ahmed, Salahuddin. 2009.The Dictionary of Muslim Names, Now York: New York University Press.
Ali, Abdullah Yusuf. t.t.The Glorious Kur’an Translation and Commentary, Beirut: Dâr al-Fikr.
_____.2014.The Message of Islam being a résumé of the teaching of the Qur’ân: with special reference to
the spiritual and moral struggles of the human soul, New Delhi: Kitab Bhavan.
_____. 1995.Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, terj. Ali Audah Jil. I, Jakarta: Pustaka Firdaus.
_____. 2014.Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, terj. Ali Audah Jil. II, Jakarta: Pustaka Firdaus.
_____. 1996.Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, terj. Ali Audah Jil. III, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ali, Maulana Muhammad. 2009.Qur’an Suci Teks Arab, Terjemah dan Tafsir Bahasa Indonesia, terj. H.
M. Bahrun, Jakarta: Darul Kutub Islamiyah.
Amrullah, Haji Abdul Malik Karim. 1991. “Sambutan Hamka pada Cetakan Pertama”, dalam H. B.
Jassin, al-Qur’ân al-Karîm Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan.
Depag RI. 2009.Al-Qur’an dan Terjemahnya Edisi Revisi, Surabaya: Jaya Sakti.
Farîd, Malik Ghulâm (ed.). 2013.The Holy Qur’ân English Translation & Commentary, Rabwah-
Pakistan: The Oriental and Religions Publishing Corporation.
Gusmian, Islah. 2013.Khazanah Tafsir Indonesia dari Hemeneutika hingga Ideologi, Bandung: Teraju.
Sherif, M. A. 2015.Jiwa Yang Resah Biografi Yusuf Ali, Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an paling
Otoritatif dalam Bahasa Inggris, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan.
Syak‘ah, Mustofa Muhammad Asy. 2014.Islam Tidak Bermazhab, terj. A. M. Basalamah, Jakarta: Gema
Insani Press

Anda mungkin juga menyukai