Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi
baik secara langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen. Setiap tahun di Amerika Serikat, mencatat 1,7 juta kasus
trauma kepala 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap.
Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis
trauma dikaitkan dengan kematin. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh
Natroma Trauma Project di Islamic Republik of Iran bahwa, diantara
semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7 %
trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma
kepala (Karbakhsh, zand, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata – rata rawat inap
pada laki – laki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala
sebanyak 146,3 per 100.000 dan 158,3 per 100.000 (Thomas 2006).
Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada
laki – laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8
per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun keatas, kematian akibat
trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika
yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh.
Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas
tertinggi, oleh karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang
lebih baik terutama tentang penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan
cedera otak sekunder dan cara merujuk penderita secepat mungkin oleh
untuk petugas kesehatan yang berada digaris depan.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum:

1
Mengetahui asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada kasus cedera
kepala
Tujuan khusus:
1. Mengetahui pengkajian kegawatdaruratan pada kasus cedera kepala
2. Mengetahui diagnosa pada kasus cedera kepala
3. Mengetahui intervensi kegawatdaruratan pada kasus cedera kepala
4. Mengetahui implementasi pada kasus cedera kepala
5. Mengetahui evaluasi pada kasus cedera kepala

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

2
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai atau
tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury, baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2001).
Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma, baik
trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit neurologis terjadi karena
robeknya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa hemoragik, serta
edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca, 2008).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besarterjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, dkk, 2000).
B. Etiologi
Menurut Hundak dan Gallo (1996:108) mendiskripsikan bahwa penyebab
cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2
faktor, yaitu:
1. Trauma primer; terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselerasi dan deselerasi).
2. Trauma sekunder; terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson)
yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau
hipotensis sistemik.
3. Trauma akibat persalinan kecelakaan, kendaraan bermotor atau
sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat olahraga jatuh.
4. Cedera akibat kekerasan.
C. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan meyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20
mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak
25% dari seluruhkebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi
cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi

3
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cedera kepala,
kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala
langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi
dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi
tengkorak dan isinya,kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak
dan kompresi, goresan/tekanan. Cedera akselerasi terjadi bila kepala kena
benturan dari obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari
akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak
dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cedera deselerasi terjadi bila
kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi
yang cepat dari tulang tengkorak. Pengaruh umum cedera kepala dari
tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema otak, deficit sensorik
dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK
normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran
otot. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karenamemar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera
robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuanautoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah)
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intracranial (TIK).
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan
kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal”dan “menyebar”

4
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan
hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan darikerusakan fokal
yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,serta kerusakan
otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak
atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengankerusakan yang
menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:cedera akson
menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera inimenyebabkan
koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karenacedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada
kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar,kerusakan yang
terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar
kerusakanyang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju
Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh
perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga
akan menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial,
perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak
menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan
akan menyebabkan odema cerebral. Akibat dari haematoma diatas
akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke
arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan TIK (Tekanan Intra
Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroidadrenal sehingga sekresi
asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mualdan muntah dan
anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang.
D. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan
dan morfologi cedera:
1. Berdasarkan mekanisme:
a. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
b. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.
2. Berdasarkan keparahan:
a. Ringan (GCS 14-15)

5
b. Sedang (GCS (9-13)
c. Berat (GCS 3-8)
3. Berdasarkan morfologi:
a) Fraktur tengkorak
a) Kalvaria; linear atau stelata, depressed atau non depressed,
terbuka atau tertutup.
b) Dasar tengkorak; dengan atau tanpa kebocoran CNS, dengan
atau tanpa paresis/kelumpuhan nervus VII (fasial).
b) Lesi intracranial
a) Fokal; epidural, subdural, intraserebral.
b) Difusa; komosio ringan, komosio klasik, cedera aksonal
difusa.
4. Skala Coma Glasgow
Tabel 1. Skala Coma Glasgow

Buka Mata (E) Respon Verbal (V) Respon Motorik (M)

1.Tidak ada reaksi 1.Tidak ada jawaban 1. Tidak ada reaksi

2.Dengan rangsang 2.Mengerang 2. Reaksi


nyeri ekstensi(deserebrasi)
3.Tidak tepat
3.Terhadap suara 3. Reaksi fleksi(dekortikasi)
4.Kacau/confused
4.Spontan 4. Reaksi menghindar
5.Baik, tidak ada
disorientasi 5. Melokalisir nyeri

6. Menurut perintah

Klasifikasi yang mendekati keadaan klinis adalah berdasarkan nilai


GCS yang dikeluarkan oleh The Traumatic Coma Data Bank (Hudak
dan Gallo ; 1996 : 59).

Tabel 2. Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan


nilai skala Coma Glasgow

6
Penentuan Deskripsi Frekuensi
keparahan

Minor/ringan GCS:13-15

Dapat terjadi
kehilangan
55 %
kesadaran atau
amnesia tetapi
kurang dari 30 menit

Tidak ada fraktur


tengkorak,tidak ada
kontusio
serebral,tidak ada
hematom

Sedang GCS:9-12

Kehilangan
kesadaran dan/atau
24 %
amnesia lebih dari
30 menit tetapi
kurang dari 24 jam

Dapat mengalami
fraktur tengkorak

Berat GCS:3-8

Kehilangan
kesadaran dan /atau
21 %
amnesia lebih dari
24 jam,juga meliputi
21
kontusio
serebral,laserasi,

7
atau hematom
intrakranial

E. Komplikasi
1. Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral. Pada
perdasrahan doptak, tekanan intrakranial meningkat, dan sel neuron
dan vaskiloer tertekan. Pada hematoma, lesadaran dapat menurun
dengan segera atau dapat menururn setelahnya ketika hematoma
meluas dan edema interstisial memburuk.
2. Petubahan perilaku dan defisit kognitif dapat terjadi dan tetap ada.
(Elizabeth J.Corwin, 2009)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiografi tengkorak, untuk mengidentifikasi lokasi fraktur atau
perdarahan atau pembekuan darah yang terjadi.
2. CT- Scan (dengan atau tanpa kontras) Mengidentifikasi luasnya
lesi,perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan
otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan
dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
3. MRI digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography, menunjukan anomali sirkulasi cerebral,
seperti: perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema,
perdarahan dan trauma.

5. EEG (Elektroencepalograf)Dapat melihat perkembangan gelombang


yang patologis

6. X-Ray, mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan


struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

8
7. BEAR, mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

8. PET, mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

9. CSF, Lumbal Pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi


perdarahan subarachnoid dan untuk mengevaluasi/mencatat
peningkatan tekanan cairan serebrospinal.I.

10. ABGs Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan


(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

11. Kadar Elektrolit, untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai


akibat

12. Screen Toxicologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga


menyebabkan penurunan kesadaran

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA KASUS


CEDERA KEPALA

A. Pengkajian

9
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada ganguuan
sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital
lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan
pengkajian psikososial.
a. Pengkajian awal
Airway : Klien terpasang ETT ukuran 7,5 dengan pemberian
oksigen 15 liter permenit. FIO2 = 81 %, terdapat sumbatan atau
penumpukan sekret, adanya suara nafars tambahan yaitu ronchi +/+.
Breathing :Frekuensi nafas 20x/menit, irama nafas abnormal,
nafas tidak spontan.
Circulation :Perubahan frekuensi jantung (bradikardi), keluar
darah dari hidung dan telinga, perubahan tekanan darah.
b. Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk
rumah sakit, nomor register, diagnosa medis. Keluhan utama yang
sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian,dan trauma langsung ke kepala.
Pengkajian yang didapat meliputi; tingkat kesadaran menurun(GCS
<15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau
tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran
pernafasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan
didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi.
Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif,
dan koma. Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar

10
klien ( bila klien tidak sadar ) tentang penggunaan obat-obatan adiktif
dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang
suka ngebut-ngebutan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung
,anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan, konsumsi alkohol
berlebih.
e. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota terdahulu yang menderita hipertensi dan
diabetes melitus.
f. Pengkajian psiko,sosio,spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketautan akan
kesadaran, rasa cemas. Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien
merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif. Karena klein harus menjalani rawat inap maka apakah
keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi kilen, karena
biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit. Cedera otak memerlukan dana pemeriksaan, pengobatan, dan
perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor
biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klein dan
keluarga.
g. Pengkajian fisik
1. Keadaan Umum
Pada keadaan cedera otak umumnya mengalami penurunan
kesadaran (cedera otak ringan GCS 13-15, cedera otak sedang
GCS 9-12, cedera otak berat GCS <8) dan terjadi perubahan pada
tanda-tanda vital.
2. B1 ( Breathing )
Sistem pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan
jaringan serebral akibat trauma kepala. Akan didapatkan hasil:

11
Inspeksi : Didapatkan klien batuk. Peningkatan produksi
sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan
peningkatan frekuensi pernafasan.
Palpasi : Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang
lain akan didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga
thoraks.
Perkusi : Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada thoraks.
Auskultasi : Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, ronkhi
pada klein dengan pengingkatan produksi sekret dan kemampuan
batuk yang menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala
dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Klien biasanya
terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat
diruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil
pada klien dengan cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi
pernafasan.
3. B2 ( Blood )
Pada sisitem kardiovaskuler didapatkan syok hipovolemik yang
sering terjadi pada klien cedera otak sedang sampai cedera otak
berat. Dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,
bradikardi, takikardi, dan aritmia.
4. B3 ( Brain )
Cedera otak menyebabakan berbagai defisit neurologi terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat
adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma, dan epidural hematoma. Pengkajian tingkat
kesadaran dengan menggunakan GCS.
5. B4 ( Bladder )
Kaji keadaan urin meliputi warna, jumlah, dan karakteristik.
Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi urine dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala,
klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan
kontrol motorik dan postural.
6. B5 ( Bowel )

12
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan adanya peningkatan produksi asam
lambung. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus.
7. B6 ( Bone )
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
( Arif Muttaqin, 2008 )
B. Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran


darah, edema serebral.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler ( cedera pada pusat pernafasan otak).
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan persepsi
atau kognitif.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi
atau kognitif.
( Doengose, 2000 )
C. Rencana tindakan keperawatan
Diagnosa 1: Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah, edema serebral.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, GCS, tingkat kesadaran,
kognitif, dan fungsi motorik klien membaik.
Kriteria Hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Tingkat kesadaran membaik.
GCS klien meningkat.
Intervensi:
− Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan
otak dan peningkatan TIK.
R/ : Penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya klien
dirawat diperawatan intensif
− Pantau atau catat status neurologis secara teratus dan bandingkan
dengan nilai GCS

13
R/ : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaatdalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan
kerusakan saraf pusat.
− Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti
lingkungan yang tenang.
R/ : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh
dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan
TIK.
Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien mampu
mempertahankan pola pernafasan efektif melalui pemasangan ETT.
Kriteria Hasil:
Pola nafas kembali efektif
Nafas spontan.
Intervensi:
− Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan
pernafasan.

R/ : Perubahan daoat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau


menandakan lokasi / luasnya keterlibatan oyak. Pernafasan lambat,
periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanik.

− Diposisikan head up (300).

R/ : Untuk menurunkan tekanan vena jugularis

− Berikan oksigen
R/ : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia. Jika pusat pernafasan tertekan, mungkin
diperlukan ventilasi mekanik.
Diagnosa 3: Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan
prosedur invasif.
Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien bebas dari tanda-
tanda infeksi.
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi yaitu kalor (panas), rubor (kemerahan),
dolor (nyeri tekan), tumor (membengkak), dan fungsi ulesa.
Intervensi:
− Berikan perawatan aseptik,pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
− Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan.

14
R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk
melakukan tindakan dengan segera dan peegahan teradap komplikasi
selanjutnya.
− Pantau suhu tubuh secara teratur.
R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan segera.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat menarik
suatu kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang
disebabkan oleh trauma benda tajam maupun benda tumpul yang
menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang
disertai atau tanpa pendarahan.

B. Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam keadaan
darurat secara cepat dan tepat, mungkin perlu dilakukan prosedur tetap
yang dapat digunakan setiap hari. Bila memungkinkan , sangat tepat
apabila pada setiap unit keperawatan di lengkapi dengan buku-buku yang
di perlukan baik untuk perawat maupun untuk klien.

15
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, J. Elzabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologis. Edisi revisi 3. Jakarta. EGC

Dewanto, George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta. EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta. EGC

Ariani, T,A. 2012. Sistem Neurobehavior. Jakarta selatan: salemba medika


Brunner and suddarth. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :kedokteran
EGC
Umar. K. 2000. Penangangan Cidera Kepala Simposium. Treste :IKABI

16

Anda mungkin juga menyukai