Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar dan terencana yang


dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini,
memahami, dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.1

Jika kita melihat istilah pengembangan pendidikan agama Islam dapat


bermakna kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif bagaimana menjadikan
pendidikan agama Islam lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya dalam
konteks pendidikan pada umumnya. Secara kualitatif bagaimana menjadikan
pendidikan agama Islam lebih baik, bermutu dan lebih maju sejalan dengan ide-
ide dasar atau nilai-nilai Islam itu sendiri yang seharusnya selalu berada di depan
dalam merespon dan mengantisipasi berbagai tantangan pendidikan.

Termasuk dalam pengertian kualitatif adalah bagaimana mengembangkan


pendidikan agama Islam agar menjadi suatu bangunan keilmuan yang kokoh dan
memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan masyarakat nasional
dan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemikiran tentang
pengembangan pendidikan agama Islam mengajak seseorang untuk berpikir
analitis kritis, kreatif dan inovatif dalam menghadapi berbagai praktik dan isu
aktual di bidang pendidikan untuk dikaji dan ditelaah dari dimensi fondasionalnya
agar tidak kehilangan roh dan spirit Islam.2

Pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang
terkait atau concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama
1
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep
Implementasi Kurikulum 2004), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 132.
2
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm. 1.

1
yang bersifat kognitif menjadi makna atau nilai yang perlu diinternalisasikan
dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta
didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara konkrit agamis dalam
kehidupan sehari-hari.

Pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung di sekolah bisa dikatakan


masih mengalami banyak kelemahan, bahkan bisa dikatakan masih gagal.
Kegagalan ini disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memerhatikan
aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan
mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan
tekad mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara
pengetahuan dan pengalaman, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai
agama. Atau dalam praktik pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama,
sehingga tidak mampu membentuk pribadi bermoral, padahal intisari dari
pendidikan agama adalah pendidikan moral.3

Bila kita mengamati fenomena empirik yang ada di hadapan dan sekeliling
kita maka tampaklah bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus kenakalan pelajar
dan mahasiswa. Isu perkelahian antar pelajar, tindak kekerasan antar mahasiswa,
premanisme, white collar crime (kejahatan kerah putih), konsumsi minuman
keras, etika berlalu lintas, perubahan pola konsumsi makanan, kriminalitas yang
semakin hari semakin menjadi-jadi dan sebagainya, telah mewarnai halaman surat
kabar dan media massa lainnya. Timbulnya kasus-kasus tersebut memang tidak
semata-mata kegagalan pendidikan agama Islam di sekolah maupun perguruan
tinggi yang lebih menekankan aspek kognitif, tetapi bagaimana semuanya itu
dapat mendorong serta menggerakkan guru pendidikan agama Islam untuk
mencermati kembali dan mencari solusi lewat pengembangan pembelajaran
pendidikan agama Islam yang berorientasi pada pendidikan nilai (afektif).4

3
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 23.
4
W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm. 245.

2
Dalam hal ini pembelajaran pendidikan agama Islam harus menempatkan
ajaran Islam sebagai suatu objek kajian yang melihat Islam sebagai sebuah sistem
nilai dan sistem moral yang tidak hanya diketahui dan dipahami, tapi juga
dirasakan serta dijadikan sebuah aksi dalam kehidupan peserta didik. Maka
dengan melihat latar belakang tersebut di atas, penulis ingin mengkaji lebih
mendalam dan terstruktur melalui sebuah makalah yang berjudul “Studi
Kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan Perguruan
Tinggi Umum”.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana kebijakan pengembangan pendidikan agama Islam di Sekolah?

2. Bagaimana kebijakan pengembangan pendidikan agama Islam di


Perguruan Tinggi Umum (PTU)?

3. Sejauh manakah implementasi pengembangan pendidikan agama Islam di


sekolah?

4. Sejauh manakah implementasi pengembangan pendidikan agama Islam di


Perguruan Tinggi Umum (PTU)?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam


penulisan makalah ini adalah:

1. Mendeskripsikan kebijakan pengembangan pendidikan agama


Islam di sekolah

2. Mendeskripsikan kebijakan pengembangan pendidikan agama


Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU).

3
3. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi pengembangan
pendidikan agama Islam di sekolah.

4. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi pengembangan


pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU).

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah

4
Selama ini di Indonesia terdapat beberapa kebijakan yang diambil dan
dikembangkan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan agama dan
sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna dari
pendidikan nasional. Misalnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, telah disahkan oleh DPR Republik Indonesia pada tanggal
11 juni 2003 dan diundangkan pada tanggal 8 juli 2003. Selain wacana pendidikan
agama Islam yang diperdebatkan dalam UU sebelumnya, dalam UU ini substansi
perdebatan terkait dengan istilah-istilah yang mencerminkannya, yakni substansi
istilah iman, takwa dan akhlak mulia, istilah pendidikan agama, pendidikan
keagamaan secara informal, formal maupun nonformal, pengakuan kesetaraan
pendidikan diniyah dan pesantren dengan pendidikan formal, dan sebagainya.

Banyak hal yang dijadikan pertimbangan digagasnya Undang-Undang


tersebut, dua di antaranya adalah: Pertama, UUD 1945 hasil amandemen keempat
mengamanatkan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, selain akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dengan undang-undang. Kedua, bahwa sistem pendidikan
nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan kehidupan lokal, nasional dan
global, sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,
terarah dan berkesinambungan.5

Sebagaimana wacana aktual, perdebatan tentang Undang-Undang Nomor 20


Tahun 2003 dirumuskan tentang dasar, fungsi dan tujuan. Pada pasal 3
dinyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

5
Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 137.

5
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Penjelasan “manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia” adalah manusia yang percaya kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan melaksanakan ajaran agama yang dianutnya serta berprilaku sesuai
dengan norma agama dan nilai-nilai budaya. Sementara itu tentang pendidikan
keagamaan, pada pasal 30 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dinyatakan
sebagai berikut:

a. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau


kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

b. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik


menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama,

c. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur


pendidikan formal, nonformal dan informal.

d. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren


,pasraman, pabhaya samanera, dan bentuk lain yang sejenis.6

Selanjutnya kebijakan tentang tujuan kelompok mata pelajaran Agama dan


Akhlak Mulia yang termuat dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan, bahwa kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak
Mulia bertujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, yang dicapai
melalui muatan atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu
pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan kesehatan.7

6
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

7
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.

6
Pemahaman tentang pendidikan agama Islam di sekolah dapat dilihat dari dua
sudut pandang, yaitu pendidikan agama Islam sebagai aktivitas dan pendidikan
agama Islam sebagai fenomena. Pendidikan agama Islam sebagai aktivitas berarti
upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok
orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani
dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan
hidup baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sikap
sosial yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran serta nilai-nilai Islam. Sedangkan
pendidikan agama Islam sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara
dua orang atau lebih atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah
berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran
dan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan
hidup pada salah satu atau beberapa pihak.8

B. Kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi


Umum (PTU)

Banyak kalangan menganggap bahwa pendidikan agama Islam, termasuk di


perguruan tinggi belum memadai dan kurang relevan dengan tuntutan zaman.
Pendidikan agama Islam hanya sekedar pengajaran agama, singgah sebentar di
kepala mahasiswa dan keluar pada waktu ujian semester sehingga tidak mampu
untuk membentuk kepribadian mahasiswa menjadi pribadi luhur yang berakhlaqul
karimah.

Beberapa kritik yang berkembang di masyarakat di antaranya yaitu bahwa


pendidikan agama Islam dipandang kurang berhasil dalam membentuk sikap,
prilaku, dan pembiasaan peserta didik, sebagai indikatornya antara lain adalah: (1)
rendahnya minat dan kemampuan siswa/mahasiswa untuk melaksanakan ibadah;
(2) tidak mampu baca tulis Al-Qur’an; (3) berprilaku kurang terpuji bahkan
8
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009),
hlm. 51.

7
melakukan tindakan kriminal, misalnya aksi kekerasan, anarkhisme, premanisme,
munculnya white collar crimes (kejahatan kerah putih atau kejahatan yang
dilakukan kaum berdasi), seperti para eksekutif, birokrasi, guru, politisi, serta isu
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh para elit, juga
merupakan bagian dari kegagalan pendidikan agama Islam.9

Selama ini telah banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka
peningkatan kualitas pendidikan agama Islam yang diharapkan mampu
memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem pendidikan agama Islam di
Indonesia dan sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan
makna pengembangan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tertuang dalam tujuan
pendidikan nasional. Namun demikian, dalam praktiknya masih belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan.

Namun demikian beberapa hal agaknya pemikiran konseptual pengembangan


pendidikan agama Islam dan beberapa kebijakan yang diambil kadang-kadang
terkesan mengebu-ngebu dan idealis, tetapi di sisi lain para pelaksana di lapangan
kadang-kadang mengalami beberapa hambatan dan kesulitan untuk
merealisasikannya atau bahkan intensitas pelaksanaan dan efektivitasnya masih
dipertanyakan.10 Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya kejelasan dan
lemahnya pemahaman paradigma (jendela pandang) pengembangan pendidikan
agama Islam itu sendiri, yang berimplikasi pada kesalahan orientasi dan langkah,
atau ketidakjelasan wilayah dan arah pengembangannya.11

Dengan melihat SK Dirjen DIKTI Depdiknas Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006


tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi. Di dalamnya dinyatakan bahwa:
9
Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Malang, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga
Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 4.
10
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 36.
11
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam..., hlm. 17.

8
1. Visi kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber nilai
dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program
studi guna mengantarkan peserta didik memantapkan
kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.

2. Misi kelompok MPK di perguruan tinggi membantu peserta didik


memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu
mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa
kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai,
menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni yang dimilikinya dengan rasa tanggung jawab.12

Beberapa kebijakan tentang pengembangan pendidikan agama Islam di


sekolah maupun di Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang telah disebutkan di atas
sebenarnya sudah idealis, akan tetapi dalam praktik dan implementasinya di
lapangan masih belum terealisasikan sepenuhnya dengan baik. Di samping itu,
berdasarkan Pasal 37 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
menunjukkan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan mata pelajaran
yang wajib diajarkan dalam setiap kurikulum, jenis, dan jenjang pendidikan.

Dengan demikian sudah menjadi keputusan sistemik di Indonesia bahwa


Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah maupun di Perguruan Tinggi Umum
(PTU) merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Karena sudah
ada ketentuan hukum yang secara tegas menjamin dan mewajibkan adanya
Pendidikan Agama Islam (PAI) di setiap jalur dan jenjang pendidikan.

Oleh karena itu, seharusnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di


sekolah maupun di Perguruan Tinggi Umum (PTU) tidak hanya diajarkan
berdasarkan teorinya saja yang menekankan aspek kognitif atau tidak hanya
berupa transfer of knowledge, dan juga tidak hanya lebih menekankan pada aspek
knowing dan doing, akan tetapi harus banyak mengarah pada aspek being. Di

12
Keputusan Dirjen DIKTI Depdiknas Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu
Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi.

9
mana mengubah pengetahuan agama Islam yang kognitif menjadi pengetahuan
agama Islam yang lebih banyak menekankan aspek afektif (sikap) yang
mengandung makna dan nilai dari pengetahuan agama tersebut yang lebih
mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu
diinternalisasikan dalam diri peserta didik.

Pernyataan tentang pendidikan agama Islam sebagai sumber nilai atau


pedoman ternyata belum mewarnai lingkungan dan atmosfer kehidupan sekolah
maupun di perguruan tinggi pada umumnya. Hal ini dirasa sangat diperlukan
model-model pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah dan Perguruan
Tinggi Umum (PTU) untuk memberikan deskripsi tentang pengembangan
pendidikan agama Islam melalui potret atau pemetaan paradigma yang ada dan
memperjelas orientasi dan wilayah dari masing-masing paradigma tersebut.
Dengan demikian, para pemimpin atau pengelola sekolah dan Perguruan Tinggi
Umum (PTU) dapat melakukan evaluasi diri, paradigma mana yang seharusnya
dikembangkan untuk menatap masa depan bangsa Indonesia menuju masyarakat
madani.13

Model-model pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah dan


Perguruan Tinggi Umum (PTU), yakni sebagai berikut:

1. Model Dikotomis

Pada model ini aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana dan kata
kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi
yang berlawanan seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan
tidak bulat, pendidikan agama dan pendidikan non-agama, demikian dan
seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam
memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani
sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan pada kehidupan akhirat saja
ataupun kehidupan rohani saja.

13
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam..., hlm. 5.

10
Pandangan semacam ini akan berimplikasi pada pengembangan pendidikan
agama Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah
dengan kehidupan duniawi. Pendidikan agama Islam hanya mengurusi persoalan
ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni dan sebagainya sebagai urusan duniawi yang
menjadi bidang garap pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis inilah yang
menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan.

Demikian pula pendekatan yang digunakan lebih bersifat keagamaan yang


normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku
(aktor) yang loyal (setia), memiliki sikap komitmen (kebepihakan), dan dedikasi
(pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu, kajian-
kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis kritis, dianggap dapat
menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang
normatif dan doktriner tersebut.14

2. Model Mekanisme

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mekanisme secara etimologis


berarti hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja seperti
mesin, kalau yang satu bergerak, maka yang lain turut bergerak. Model
mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan pendidikan
dipandang sebagai penanaman dan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-
masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang
terdiri atas beberapa komponen atau elemen, yang masing-masing menjaga
fungsinya sendiri-sendiri dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling
berkonsultasi atau tidak.

Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas nilai agama, nilai
individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetika, nilai
biofisik dan lain-lain. Dengan demikian aspek atau nilai agama merupakan salah
satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan

14
Ibid, hlm 59-61

11
lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat
horizontal-lateral (independent) atau lateral-sekuensial atau vertical linier).

Relasi yang bersifat horizontal-lateral (independent), mengandung arti bahwa


beberapa mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama
mempunyai hubungan sederajat yang independen dan tidak saling berkonsultasi.
Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di antara masing-masing mata
pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa saling
berkonsultasi. Sedangkan relasi vertical linier, berarti mendudukkan pendidikan
agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata
pelajaran (mata kuliah) yang lain adalah termasuk pengembangan nilai-nilai insani
yang mempunyai relasi vertical-linier dengan agama.15

Mata pelajaran pendidikan agama merupakan salah satu seperangkat ilmu


pengetahun yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu:

a. Pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan.

b. Penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama.

c. Perbaikan kesalahan, kekurangan dan kesalahan dalam keyakinan,


pemahaman dan pengamalan ajaran agama.

d. Pencegahan hal-hal negatif dari lingkungan atau budaya asing yang


berbahaya.

e. Sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia


akhirat.

f. Pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagamaan.

Jadi pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau
dimensi afektif dari pada kognitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan

15
Ibid, hlm 62-64

12
psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual) yang berbeda
dengan mata pelajaran lainnya.16

Maka menurut hemat penulis, nilai-nilai moral dan spiritual itu yang harus
dikembangkan dalam pendidikan agama Islam. Tanpa mengabaikan nilai-nilai
pengetahuan dan keterampilan. Karena akan sangat tidak berarti apa-apa jika
tingkat pengetahuan dan keterampilan menonjol tetapi sikap/moralnya tidak
sesuai dengan ajaran agama.

Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu di


sekolah, misalnya antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus
para guru/dosen agamanya mampu memadukan mata pelajaran agama dan mata
pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah atau
Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang cukup puas hanya mengembangkan pola
relasi horizontal-lateral (independent). Barangkali kebijakan tersebut relatif
mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola
lateral-sekuensial.

Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para guru/dosen agama
harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu ilmu umum,
sebaliknya guru/dosen umum dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu umum (bidang
keahliannya) dan memahami dasar-dasar ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan
guru/dosen agama dituntut untuk mampu menyusun buku-buku teks keagamaan
yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya.17

3. Model Organisme/Sistemik

Meminjam istilah biologi “organism” dapat berarti susunan yang bersistem


dari bagian jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks pendidikan agama
Islam, model organisme bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan
merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup

16
Ibid, hlm 65

17
Ibid, hlm 66

13
bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu
terwujudnya hidup yang religious atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.

Pandangan semacam ini menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran


yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental values yang tertuang
dan terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran
dan nilai-nilai agama didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak,
sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani
yang mempunyai hubungan vertical-linier dengan nilai-nilai agama.

Melalui upaya tersebut, maka sistem pendidikan agama Islam diharapkan


dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai agama dan etika, serta
mampu melahirkan manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup di
dalam nilai-nilai agama.18

Berbagai krisis multidimensional yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia


memang tidak bisa hanya dilihat dan diatasi melalui pendekatan mono-
dimensional. Namun demikian, karena segala krisis tersebut berpangkal dari krisis
akhlak atau moral, maka pendidikan agama Islam dipandang memiliki peranan
yang sangat vital dalam membangun watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat. Untuk itu, diperlukan pengembangan pendidikan agama Islam yang
lebih kondusif dan prospektif terutama di sekolah atau perguruan tinggi. Model
pengembangannya perlu direkonstruksi, dari model yang bersifat dikotomik dan
mekanisme ke arah model organisme atau sistemik. Hanya saja untuk merombak
model tersebut diperlukan kemampuan dan political will dari para pengambil
kebijakan, termasuk di dalamnya para pemimpin lembaga pendidikan itu sendiri.19

C. Implementasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah

18
Ibid, hlm 67

19
Ibid, hlm 71

14
Pendidikan agama di sekolah dapat dikategorikan sebagai bagian dari
pendidikan agama Islam, dalam kaitannya dengan tujuan mengembangkan
keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa. Kategori
sebagai pendidikan agama Islam ini terutama dilihat dari pengertian nya dari sudut
filosofisnya, bahwa esensi pendidikan agama Islam adalah untuk mengembangkan
pribadi muslim yang memahami ajaran agamanya dan dapat mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari sebagai pengabdian kepada Allah, Sang Pencipta.20

Penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah dewasa ini diselenggarakan


berdasarkan berdasarkan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang
harus diajarkan di setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan nasional, tidak
terkecuali di sekolah umum baik negeri maupun swasta, serta baik pada jenjang
pendidikan dasar maupun menengah.

Kewajiban penyelenggara pendidikan untuk mengadakan kurikulum


pendidikan agama sejalan dengan kurikulum wajib lainnya menunjukkan
perhatian yang besar dari para pengambil kebijakan negara terhadap pentingnya
arti pendidikan agama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional itu
sendiri.21 Kurikulum dan materi pendidikan agama yang dituangkan ke dalam
bentuk GBPP (Garis-garis Besar Program Pembelajaran) merujuk kepada
kebijakan pemerintah. Arah, tujuan dan ruang lingkup materi pendidikan agama
Islam dapat dilihat dari GBPP 1994 dan 1999.

Dalam GBPP Pendidikan Agama Islam tahun 1994 disebutkan tujuan


pendidikan agama Islam, yaitu untuk meningkatkan keimanan, pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga
menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dalam GBPP tahun 1999, rumusan tersebut lebih diringkas lagi dengan
20
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hlm. 119.
21
Ibid, hlm 137

15
kandungan pengertian yang tidak berbeda, yaitu agar siswa memahami,
menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia
muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., dan berakhlak mulia.22

Dari penjelasan tentang tujuan pendidikan agama Islam di sekolah di atas


tampaknya dalam realisasi serta implementasinya di lapangan masih belum
tercapai dengan baik. Materi dari kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah,
yang merupakan pembekalan untuk membentuk sosok pribadi muslim yang
beriman dan mengamalkan ajaran agamanya, di dalam praktik pembelajaran yang
hanya mendapatkan alokasi waktu 2 atau 3 jam pelajaran per minggu mencakup
aspek yang luas dan karenanya menjadi sangat padat materi, dan lebih berorientasi
pada aspek kognitif. Hal ini menjadikan penyelenggaraan pendidikan agama Islam
kurang terarah bagi pencapaian ketiga ranah pendidikan, yaitu aspek kognitif
(pengetahuan), afektif dan psikomotorik (penghayatan dan pembentukan perilaku
dan tindakan pengamalan ajaran).

Oleh karena itu sebaiknya dalam implementasi pendidikan agama Islam di


sekolah perlu dikembangkan lagi dengan beberapa cara dan model pengembangan
agar tujuan dari pendidikan nasional itu dapat tercapai dengan baik, serta agar
pembelajaran pendidikan agama Islam tersebut selain menyampaikan pengetahuan
tentang agama Islam itu sendiri, juga dapat menumbuhkan kemauan dan tekad
dalam diri peserta didik untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam dalam
kehidupan sehari-hari mereka.

Pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah sangat


diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait implementasinya di
lapangan. Untuk mencapai keberhasilan pendidikan agama Islam banyak
sekolah mengembangkan pembiasaan budaya agama (religious culture) di sekolah
yang mendukung proses pendidikan agama Islam yang memenuhi aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik yang tergambar pada sikap dan perilaku para siswa.
Pembiasaan budaya agama (religious culture) yang dikembangkan di sekolah-
sekolah, contohnya seperti pembiasaan pemberlakuan tradisi ritual keagamaan
22
Ibid, hlm 139

16
tertentu, membaca doa sebelum memulai pelajaran, shalat berjamaah di sekolah,
peringatan hari besar Islam, dan sebagainya.

Selain itu, kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam diarahkan untuk


meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran
agama Islam dari peserta didik, yang di samping untuk membentuk kesalehan atau
kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial. 23 Kesalehan
pribadi mengandung makna seseorang muslim yang baik, yang memiliki
komitmen untuk memperbaiki, meningkatkan serta mengembangkan potensi dan
kreativitas dirinya sekaligus meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaannya
secara berkelanjutan. Sedangkan kesalehan sosial mengandung makna seseorang
yang kreatif tersebut memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis
dengan lingkungan sosial dan alam sekitarnya, sekaligus mampu ikut bertanggung
jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan
partisipatoris yang dilandasi oleh tingginya kualitas iman dan taqwa terhadap
Allah Swt.24

Karena itu, pengembangan pendidikan agama Islam diharapkan agar mampu


menciptakan ukhwah islamiyah dalam arti luas, yakni persaudaraan yang bersifat
Islami, bukan sekedar persaudaraan antar umat Islam sebagaimana yang selama
ini dipahami, serta mampu membentuk kesalehan pribadi sekaligus pribadi
sosial.25 Hal ini mengingat bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang serba prural, masyarakat yang berbeda-beda agama, ras, etnis,
tradisi dan budaya. Tetapi bagaimana melalui keragaman ini dapat dibangun suatu
tatanan hidup serta toleransi yang dinamis dalam membangun bangsa Indonesia.

D. Implementasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Perguruan


Tinggi Umum (PTU)

23
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam..., hlm. 76.

24
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
173.

25
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam..., hlm. 173.

17
Perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang secara
formal diserahi tugas dan tanggung jawab mempersiapkan mahasiswa sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengisi kebutuhan masyarakat akan
tersedianya tenaga ahli dan tenaga terampil dengan tingkat dan jenis kemampuan
yang sangat beragam. Berdasarkan hal tersebut, struktur perguruan tinggi di
Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu: Pertama, Perguruan
Tinggi Umum (PTU) yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Kedua, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang dikelola oleh Departemen
Agama.26 Penggelompokkan perguruan tinggi di Indonesia seperti ini berimbas
kepada jenis penyelenggaraan pendidikan agama Islam, tujuan serta kurikulum
pendidikan agama Islam pada dua kelompok perguruan tinggi tersebut.

Implementasi pembelajaran pendidikan agama Islam antara di Perguruan


Tinggi Agama Islam (PTAI) dan di Perguruan Tinggi Umum (PTU) sangatlah
berbeda. Hal ini dapat dilihat dari tujuan penyelenggaraan pendidikan agama
Islam yang berbeda dari dua kelompok perguruan tinggi tersebut, di mana tujuan
penyelenggaraan pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) yaitu mencetak para ahli agama (ulama) dalam semua tingkat,
kurikulumnya juga lebih dominan menekankan aspek keagamaan Islam serta
nuansa dan lingkungan yang religius juga lebih terlihat di kampus atau universitas
yang berciri khas agama Islam.

Berbeda dengan penyelenggaraan pendidikan agama Islam di Perguruan


Tinggi Umum (PTU), di mana bertujuan untuk memenuhi kewajiban setiap orang
mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya sebagai seorang pemeluk agama,
kurikulum pendidikan agama Islam di Pergurun Tinggi Umum (PTU) hanya
merupakan mata kuliah pengembangan kepribadian, bukan merupakan mata
kuliah dasar keahlian dan mata kuliah keahlian, dan kondisi perbedaan latar
belakang keagamaan mahasiswanya juga bermacam-macam, dalam arti

26
Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 236.

18
mahasiswanya lebih bersifat heterogen. Jadi dengan keadaan yang seperti itu,
sangat sulit untuk menciptakan lingkungan yang religius bernuansa Islami.

Struktur pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya yang bersifat umum,


memberikan kemampuan bagi mahasiswa untuk mempelajari suatu bidang ilmu
yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Hal ini tercermin dari sejumlah
program studi yang disediakan oleh perguruan tinggi yang kurikulumnya
nasionalnya telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (untuk
program sarjana).

Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan


kewarganegaraan, dan bahasa. Apabila ditinjau dari kurikulum pendidikan tinggi
tersebut, tambak bahwa mata kuliah agama dan etika merupakan mata kuliah
wajib di seluruh perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
memandang penting agama dan etika dalam proses pendidikan tinggi, dengan
harapan bahwa mahasiswa akan mempunyai penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) yang baik disertai dengan keimanan dan ketakwaan (IMTAK)
yang mendalam. Hal ini menjadi tolak ukur sosok manusia Indoneisa yang
seutuhnya dan diharapkan mampu menjawab tantangan perkembangan dunia.27

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sekarang ini


menghadapkan manusia kepada situasi yang cepat berubah, sehingga pergeseran
nilai-nilai sosial dan budaya dalam masyarakat tidak dapat dihindarkan lagi.
Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai universal yang mengacu kepada petunjuk
wahyu semakin kuat peranannya, karena ia memberikan dasar-dasar moralitas
yang kokoh dalam melestarikan harkat dan martabat manusia yang tinggi dan
menyelamatkannya dari degradasi nilai dan demoralisasi yang biasanya menyertai
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, peran pendidikan
agama Islam, khususnya di Perguruan Tinggi Umum (PTU) semakin penting.

Terlebih lagi bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila di mana


pendidikan tidak hanya menghendaki terwujudnya sarjana yang cerdas dan

27
Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu Kontemporer..., hlm. 237.

19
terampil saja, melainkan sosok pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Untuk mencapainya tentu saja melalui pendidikan nilai-nilai
agama, dalam hal ini pendidikan agama Islam.28

Namun demikian, hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bagaimana


mengemas dan mengisi mata kuliah agama dan etika Islam agar mampu
menjawab tantangan perkembangan dunia, dengan sedikitnya SKS terkait
pendidkan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU). Hal ini sebagaimana
pada pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Indonesia (UI), di
mana mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) yang bermuatan 2 (dua) SKS
diberikan dalam satu semester yang diambil mahasiswa semester 3 ke atas. Dalam
satu semester terdapat paling banyak 14 kali pertemuan.29

Menurut idealnya, Pendidikan Agama Islam (PAI) menempati posisi kunci


dan penting, terintegrasikan secara fungsional dengan berbagai disiplin ilmu atau
bidang studi dan berperan menentukan kelulusan. Namun dalam kenyataannya
dan pelaksanaannya, pendidikan agama Islam masih menempati posisi marginal
(pinggiran), teralienasi (terasing), dan tidak menentukan kelulusan. Selain itu,
mata kuliah pendidikan agama Islam bukanlah mata kuliah keahlian, tetapi hanya
merupakan mata kuliah umum yang bersifat melayani dan tidak berpengaruh
dalam menentukan kelulusan atau kesarjanaan seorang mahasiswa.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat dari visi


pendidikan agama Islam sebagai bagian dari mata kuliah pengembangan
kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi Umum (PTU) tersebut, maka idelanya
pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU) dikembangkan ke
model organisme/sistemik, yang menjadikan pendidikan agama Islam sebagai
sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi serta membantu
peserta didik calon sarjana agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam
menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
28
Ibid, hlm 242-243

29
Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik Terhadap
Pendidikan Islam, (Bogor: Yayasan Ngali Aksara dan Al-Manar Press, 2011), hlm. 239.

20
Akan tetapi realitas di lapangan, fenomena yang ada menunjukkan bahwa
pada umumnya pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU)
dilaksanakan dengan menggunakan model dikotomis/mekanisme, meksipun ada
beberapa yang Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang menggunakan model
organisme/sistemik. Hal ini setidak-tidaknya dapat diamati dari pelaksanaan
pendidikan di Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang mana nilai-nilai agama belum
mampu mewarnai pengembangan program studi-program studi yang ada, dan
belum mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.30

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

30
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam..., hlm. 69.

21
Setelah mengkaji tentang studi kebijakan pengembangan pendidikan agama
Islam di sekolah dan Perguruan Tinggi Umum (PTU) ini, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebijakan pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah dirumuskan


dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
yang telah disahkan oleh DPR Republik Indonesia pada tanggal 11 juni
2003 dan diundangkan pada tanggal 8 juli 2003. Selanjutnya kebijakan
tentang tujuan kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia yang
termuat dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan.

2. Kebijakan pengembangan pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi


Umum (PTU) dirumuskan dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI
Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan
Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Di dalamnya dinyatakan bahwa visi kelompok MPK di perguruan tinggi
merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan
penyelenggaraan program studi guna mengantarkan peserta didik
memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
Kemudian misi kelompok MPK di perguruan tinggi membantu peserta
didik memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu
mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa
kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai,
menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
yang dimilikinya dengan rasa tanggung jawab.

3. Pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah sangat


diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait
implementasinya di lapangan. Untuk mencapai keberhasilan pendidikan
agama Islam banyak sekolah mengembangkan pembiasaan budaya
agama (religious culture) di sekolah yang mendukung proses pendidikan

22
agama Islam yang memenuhi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
yang tergambar pada sikap dan perilaku para siswa. Pembiasaan budaya
agama (religious culture) yang dikembangkan di sekolah-sekolah,
contohnya seperti pembiasaan pemberlakuan tradisi ritual keagamaan
tertentu, membaca doa sebelum memulai pelajaran, shalat berjamaah di
sekolah, peringatan hari besar Islam, dan sebagainya.

4. Dilihat dari visi dan misi pendidikan agama Islam sebagai bagian dari
mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi
Umum (PTU) tersebut, maka idelanya pendidikan agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum (PTU) dikembangkan ke model
organisme/sistemik, yang menjadikan pendidikan agama Islam sebagai
sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi serta
membantu peserta didik calon sarjana agar mampu mewujudkan nilai
dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Akan tetapi realitas di lapangan, fenomena yang ada menunjukkan bahwa
pada umumnya pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
(PTU) dilaksanakan dengan menggunakan model dikotomis/mekanisme,
meksipun ada beberapa yang Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang
menggunakan model organisme/sistemik.

B. Saran

Saran pemakalah sebagai penyusun, apabila nantinya terdapat kesalahan dan


kekeliruan, pemakalah mohon kepada pembaca untuk dapat memberikan
pembenaran kepada hal yang tidak pada tempatnya tersebut. pemakalah pun
sebagai penyusun, masih banyak terdapat kesalahan karena keterbatasan ilmu.
pemakalah akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca.
Terima kasih.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai
UU Sisdiknas, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.

24
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi
(Konsep Implementasi Kurikulum 2004), Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005.

Keputusan Dirjen DIKTI Depdiknas Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang


Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi.

Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik
Terhadap Pendidikan Islam, Bogor: Yayasan Ngali Aksara dan Al-Manar
Press, 2011.

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan


Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.

Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam,


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,


Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,


Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2004.

Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan,


Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.

Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu Kontemporer Tentang


Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2010.

25
Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Malang, Pendidikan Islam dari Paradigma
Klasik hingga Kontemporer, Malang: UIN Malang Press, 2009.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, 1996.

26

Anda mungkin juga menyukai