PENDAHULUAN
Pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang
terkait atau concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama
1
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep
Implementasi Kurikulum 2004), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 132.
2
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm. 1.
1
yang bersifat kognitif menjadi makna atau nilai yang perlu diinternalisasikan
dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta
didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara konkrit agamis dalam
kehidupan sehari-hari.
Bila kita mengamati fenomena empirik yang ada di hadapan dan sekeliling
kita maka tampaklah bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus kenakalan pelajar
dan mahasiswa. Isu perkelahian antar pelajar, tindak kekerasan antar mahasiswa,
premanisme, white collar crime (kejahatan kerah putih), konsumsi minuman
keras, etika berlalu lintas, perubahan pola konsumsi makanan, kriminalitas yang
semakin hari semakin menjadi-jadi dan sebagainya, telah mewarnai halaman surat
kabar dan media massa lainnya. Timbulnya kasus-kasus tersebut memang tidak
semata-mata kegagalan pendidikan agama Islam di sekolah maupun perguruan
tinggi yang lebih menekankan aspek kognitif, tetapi bagaimana semuanya itu
dapat mendorong serta menggerakkan guru pendidikan agama Islam untuk
mencermati kembali dan mencari solusi lewat pengembangan pembelajaran
pendidikan agama Islam yang berorientasi pada pendidikan nilai (afektif).4
3
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 23.
4
W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm. 245.
2
Dalam hal ini pembelajaran pendidikan agama Islam harus menempatkan
ajaran Islam sebagai suatu objek kajian yang melihat Islam sebagai sebuah sistem
nilai dan sistem moral yang tidak hanya diketahui dan dipahami, tapi juga
dirasakan serta dijadikan sebuah aksi dalam kehidupan peserta didik. Maka
dengan melihat latar belakang tersebut di atas, penulis ingin mengkaji lebih
mendalam dan terstruktur melalui sebuah makalah yang berjudul “Studi
Kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan Perguruan
Tinggi Umum”.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
C. Tujuan Penulisan
3
3. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi pengembangan
pendidikan agama Islam di sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
4
Selama ini di Indonesia terdapat beberapa kebijakan yang diambil dan
dikembangkan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan agama dan
sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna dari
pendidikan nasional. Misalnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, telah disahkan oleh DPR Republik Indonesia pada tanggal
11 juni 2003 dan diundangkan pada tanggal 8 juli 2003. Selain wacana pendidikan
agama Islam yang diperdebatkan dalam UU sebelumnya, dalam UU ini substansi
perdebatan terkait dengan istilah-istilah yang mencerminkannya, yakni substansi
istilah iman, takwa dan akhlak mulia, istilah pendidikan agama, pendidikan
keagamaan secara informal, formal maupun nonformal, pengakuan kesetaraan
pendidikan diniyah dan pesantren dengan pendidikan formal, dan sebagainya.
5
Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 137.
5
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Penjelasan “manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia” adalah manusia yang percaya kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan melaksanakan ajaran agama yang dianutnya serta berprilaku sesuai
dengan norma agama dan nilai-nilai budaya. Sementara itu tentang pendidikan
keagamaan, pada pasal 30 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dinyatakan
sebagai berikut:
6
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
7
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
6
Pemahaman tentang pendidikan agama Islam di sekolah dapat dilihat dari dua
sudut pandang, yaitu pendidikan agama Islam sebagai aktivitas dan pendidikan
agama Islam sebagai fenomena. Pendidikan agama Islam sebagai aktivitas berarti
upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok
orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani
dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan
hidup baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sikap
sosial yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran serta nilai-nilai Islam. Sedangkan
pendidikan agama Islam sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara
dua orang atau lebih atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah
berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran
dan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan
hidup pada salah satu atau beberapa pihak.8
7
melakukan tindakan kriminal, misalnya aksi kekerasan, anarkhisme, premanisme,
munculnya white collar crimes (kejahatan kerah putih atau kejahatan yang
dilakukan kaum berdasi), seperti para eksekutif, birokrasi, guru, politisi, serta isu
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh para elit, juga
merupakan bagian dari kegagalan pendidikan agama Islam.9
Selama ini telah banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka
peningkatan kualitas pendidikan agama Islam yang diharapkan mampu
memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem pendidikan agama Islam di
Indonesia dan sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan
makna pengembangan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tertuang dalam tujuan
pendidikan nasional. Namun demikian, dalam praktiknya masih belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
8
1. Visi kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber nilai
dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program
studi guna mengantarkan peserta didik memantapkan
kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
12
Keputusan Dirjen DIKTI Depdiknas Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu
Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi.
9
mana mengubah pengetahuan agama Islam yang kognitif menjadi pengetahuan
agama Islam yang lebih banyak menekankan aspek afektif (sikap) yang
mengandung makna dan nilai dari pengetahuan agama tersebut yang lebih
mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu
diinternalisasikan dalam diri peserta didik.
1. Model Dikotomis
Pada model ini aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana dan kata
kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi
yang berlawanan seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan
tidak bulat, pendidikan agama dan pendidikan non-agama, demikian dan
seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam
memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani
sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan pada kehidupan akhirat saja
ataupun kehidupan rohani saja.
13
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam..., hlm. 5.
10
Pandangan semacam ini akan berimplikasi pada pengembangan pendidikan
agama Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah
dengan kehidupan duniawi. Pendidikan agama Islam hanya mengurusi persoalan
ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni dan sebagainya sebagai urusan duniawi yang
menjadi bidang garap pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis inilah yang
menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan.
2. Model Mekanisme
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas nilai agama, nilai
individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetika, nilai
biofisik dan lain-lain. Dengan demikian aspek atau nilai agama merupakan salah
satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan
14
Ibid, hlm 59-61
11
lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat
horizontal-lateral (independent) atau lateral-sekuensial atau vertical linier).
Jadi pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau
dimensi afektif dari pada kognitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan
15
Ibid, hlm 62-64
12
psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual) yang berbeda
dengan mata pelajaran lainnya.16
Maka menurut hemat penulis, nilai-nilai moral dan spiritual itu yang harus
dikembangkan dalam pendidikan agama Islam. Tanpa mengabaikan nilai-nilai
pengetahuan dan keterampilan. Karena akan sangat tidak berarti apa-apa jika
tingkat pengetahuan dan keterampilan menonjol tetapi sikap/moralnya tidak
sesuai dengan ajaran agama.
Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para guru/dosen agama
harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu ilmu umum,
sebaliknya guru/dosen umum dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu umum (bidang
keahliannya) dan memahami dasar-dasar ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan
guru/dosen agama dituntut untuk mampu menyusun buku-buku teks keagamaan
yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya.17
3. Model Organisme/Sistemik
16
Ibid, hlm 65
17
Ibid, hlm 66
13
bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu
terwujudnya hidup yang religious atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.
18
Ibid, hlm 67
19
Ibid, hlm 71
14
Pendidikan agama di sekolah dapat dikategorikan sebagai bagian dari
pendidikan agama Islam, dalam kaitannya dengan tujuan mengembangkan
keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa. Kategori
sebagai pendidikan agama Islam ini terutama dilihat dari pengertian nya dari sudut
filosofisnya, bahwa esensi pendidikan agama Islam adalah untuk mengembangkan
pribadi muslim yang memahami ajaran agamanya dan dapat mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari sebagai pengabdian kepada Allah, Sang Pencipta.20
15
kandungan pengertian yang tidak berbeda, yaitu agar siswa memahami,
menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia
muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., dan berakhlak mulia.22
16
tertentu, membaca doa sebelum memulai pelajaran, shalat berjamaah di sekolah,
peringatan hari besar Islam, dan sebagainya.
23
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam..., hlm. 76.
24
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
173.
25
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam..., hlm. 173.
17
Perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang secara
formal diserahi tugas dan tanggung jawab mempersiapkan mahasiswa sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengisi kebutuhan masyarakat akan
tersedianya tenaga ahli dan tenaga terampil dengan tingkat dan jenis kemampuan
yang sangat beragam. Berdasarkan hal tersebut, struktur perguruan tinggi di
Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu: Pertama, Perguruan
Tinggi Umum (PTU) yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Kedua, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang dikelola oleh Departemen
Agama.26 Penggelompokkan perguruan tinggi di Indonesia seperti ini berimbas
kepada jenis penyelenggaraan pendidikan agama Islam, tujuan serta kurikulum
pendidikan agama Islam pada dua kelompok perguruan tinggi tersebut.
26
Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 236.
18
mahasiswanya lebih bersifat heterogen. Jadi dengan keadaan yang seperti itu,
sangat sulit untuk menciptakan lingkungan yang religius bernuansa Islami.
27
Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu Kontemporer..., hlm. 237.
19
terampil saja, melainkan sosok pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Untuk mencapainya tentu saja melalui pendidikan nilai-nilai
agama, dalam hal ini pendidikan agama Islam.28
29
Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik Terhadap
Pendidikan Islam, (Bogor: Yayasan Ngali Aksara dan Al-Manar Press, 2011), hlm. 239.
20
Akan tetapi realitas di lapangan, fenomena yang ada menunjukkan bahwa
pada umumnya pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU)
dilaksanakan dengan menggunakan model dikotomis/mekanisme, meksipun ada
beberapa yang Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang menggunakan model
organisme/sistemik. Hal ini setidak-tidaknya dapat diamati dari pelaksanaan
pendidikan di Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang mana nilai-nilai agama belum
mampu mewarnai pengembangan program studi-program studi yang ada, dan
belum mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.30
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
30
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam..., hlm. 69.
21
Setelah mengkaji tentang studi kebijakan pengembangan pendidikan agama
Islam di sekolah dan Perguruan Tinggi Umum (PTU) ini, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
22
agama Islam yang memenuhi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
yang tergambar pada sikap dan perilaku para siswa. Pembiasaan budaya
agama (religious culture) yang dikembangkan di sekolah-sekolah,
contohnya seperti pembiasaan pemberlakuan tradisi ritual keagamaan
tertentu, membaca doa sebelum memulai pelajaran, shalat berjamaah di
sekolah, peringatan hari besar Islam, dan sebagainya.
4. Dilihat dari visi dan misi pendidikan agama Islam sebagai bagian dari
mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi
Umum (PTU) tersebut, maka idelanya pendidikan agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum (PTU) dikembangkan ke model
organisme/sistemik, yang menjadikan pendidikan agama Islam sebagai
sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi serta
membantu peserta didik calon sarjana agar mampu mewujudkan nilai
dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Akan tetapi realitas di lapangan, fenomena yang ada menunjukkan bahwa
pada umumnya pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
(PTU) dilaksanakan dengan menggunakan model dikotomis/mekanisme,
meksipun ada beberapa yang Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang
menggunakan model organisme/sistemik.
B. Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai
UU Sisdiknas, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
24
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi
(Konsep Implementasi Kurikulum 2004), Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005.
Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik
Terhadap Pendidikan Islam, Bogor: Yayasan Ngali Aksara dan Al-Manar
Press, 2011.
25
Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Malang, Pendidikan Islam dari Paradigma
Klasik hingga Kontemporer, Malang: UIN Malang Press, 2009.
26