Anda di halaman 1dari 8

IV.

ASSESMENT

4.1 Terapi Pasien


R/ Natrium Diklofenak 3 x 50 mg
R/ Prednison 3 x 10 mg
R/ Klorokuin 2 x 250 mg
4.2 Problem Medik dan DRP Pasien

Problem Subyektif dan


Terapi Drug Related Problem (DRP)
Medik Obyektif
Klorokuin 2 x 1. Dose Too High
250mg Pemberian dosis klorokuin pada
resep adalah klorokuin dalam bentuk
fosfat. Dosis klorokuin fosfat 250mg
setara dengan dosis klorokuin 150mg.
Dosis klorokuin fosfat untuk
rheumatoid arthritis adalah 250 mg per
hari dengan dosis maksimal
4mg/kg/hari untuk pasien dengan
fungsi ginjal normal (Mota et al., 2013;
Ashley dan Dunleavy, 2019).
2. Penulisan Resep
Dalam resep tidak disebutkan
jumlah obat yang harus diberikan
kepada pasien.
3. Adverse Drug Reaction
Efek samping jarang terjadi, seperti
mual, muntah, sakit kepala, reaksi kulit
(ruam, pruritus), dan retinopati.
Namun, klorokuin telah ditemukan
menyebabkan endapan dalam epitel
kornea dan toksisitas retina (retinopati)
merupakan efek samping yang serius
(Nakasato dan Yung, 2011;
Bogaczewicz dan Sobów, 2017).
4. Interaksi Obat
Interaksi antara klorokuin oral
dengan amlodipin (ACE-I) pada pasien
dengan riwayat hipertensi, dapat
menyebabkan terjadinya sinkop
vasovagal (Aronson, 2014).

4.3 Pertimbangan Pengatasan DRP

4.3.1 DRP 1 dapat dilakukan dengan melakukan konfirmasi kepada dokter penulis resep
terkait dosis dan riwayat GGK yang diderita oleh pasien. Dosis klorokuin fosfat pada
resep tergolong overdose. Berdasarkan pustaka, dosis klorokuin fosfat yang
direkomendasikan untuk terapi RA adalah 250mg/hari dengan dosis maksimal
4mg/kg/hari untuk pasien dengan fungsi ginjal yang normal, sedangkan dosis pada
gangguan ginjal dengan GFR <10 mL/mnt diperlukan penyesuaian dosis sebesar 50%
dari dosis normal (Ashley dan Dunleavy, 2019). Setelah dilakukan perhitungan nilai
GFR, diketahui bahwa pasien mengalami GGK stage 5 dengan nilai GFR <15
mL/mnt, tetapi nilai GFR ini masih di atas 10 mL/mnt, sehingga pasien dapat
diberikan dosis normal klorokuin fosfat (Wells et al., 2015; Ashley dan Dunleavy,
2019).

4.3.2 DRP 2 dapat dilakukan dengan melakukan konfirmasi kepada dokter penulis resep
mengenai jumlah masing-masing obat yang harus diberikan kepada pasien, untuk
menghindari kesalahan pemberian obat. Jumlah obat klorokuin fosfat yang dapat
dipertimbangkan untuk satu bulan pengobatan sebanyak 30 tablet terkait dengan
aturan pakai yaitu 1 x 250mg.

4.3.3 DRP 3 dapat dilakukan dengan melakukan edukasi kepada pasien mengenai efek
samping yang dapat terjadi dari penggunaan klorokuin pada gastrointestinal. Selain
itu, pasien RA yang menerima pengobatan klorokuin, frekuensi makulopati akan
meningkat dengan peningkatan dosis total pada kelompok usia yang lebih tua,
sehingga dapat dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan mata pada awal
pengobatan dan selanjutnya setiap 3-6 bulan pengobatan (Nakasato dan Yung, 2011;
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014).

4.3.4 DRP 4 dapat dilakukan dengan melakukan konsultasi kepada dokter atau penggalian
informasi pada pasien terkait dengan terapi antihipertensi yang diterima pasien.
Apabila terapi antihipertensi yang diperoleh pasien adalah golongan obat ACE-I,
maka diperlukan edukasi kepada pasien mengenai kemungkinan terjadinya interaksi
obat klorokuin dengan antihipertensi golongan ACE-I.

V. PLAN

5.1 Care Plan

5.1.1 DRP 1 perlu dikonsultasikan terlebih dahulu dengan dokter penulis resep mengenai
dosis klorokuin fosfat yang diberikan kepada pasien dengan riwayat GGK. Setelah
itu, akan dipertimbangkan untuk melakukan penurunan dosis klorokuin fosfat
menjadi 1 x 250mg.
Care Giver : Setelah dikonsultasikan dengan dokter, maka akan diberikan edukasi kepada
pasien mengenai aturan pakai obat.

5.1.2 DRP 2 perlu dikonsultasikan terlebih dahulu dengan dokter penulis resep mengenai
jumlah masing-masing obat yang harus diberikan kepada pasien. Selanjutnya akan
dipertimbangkan jumlah klorokuin fosfat sebanyak 30 tablet untuk satu bulan
pengobatan.
Care Giver : Setelah dikonsultasikan dengan dokter, maka akan diberikan edukasi kepada
pasien mengenai jumlah obat dan lama waktu pemakaian klorokuin fosfat.
Selain itu, pasien akan diberikan informasi untuk melakukan kontrol rutin ke
dokter terkait prognosis penyakit dan keberhasilan terapi RA.

5.1.3 DRP 3 perlu monitoring lebih lanjut mengenai efek samping klorokuin pada
gastrointestinal (seperti mual dan muntah) dan retinopati.
Care Giver : Akan diberikan edukasi kepada pasien mengenai efek samping retinopati pada
penggunaan klorokuin jangka panjang dan saran untuk melakukan
pemeriksaan oftalmologi pada awal terapi, kemudian setiap 3-6 bulan
pengobatan dan setiap tahun setelah lima tahun pengobatan. Selain itu, akan
diberikan edukasi aturan pakai obat yaitu diminum satu jam setelah makan
untuk mencegah terjadinya efek samping mual.

5.1.4 DRP 4 perlu dilakukan konsultasi kepada dokter penulis resep atau penggalian
informasi kepada pasien untuk mengetahui terapi antihipertensi yang diterima oleh
pasien.
Care Giver : Setelah dilakukan konsultasi dengan dokter atau penggalian informasi kepada
pasien, pasien akan diberikan edukasi mengenai interaksi yang mungkin terjadi
akibat penggunaan klorokuin dan agen antihipertensi. Selanjutnya akan
disarankan untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah secara berkala dan
segera melaporkan kepada dokter atau apoteker apabila terjadi gejala sinkop
akibat penggunaan klorokuin dan agen antihipertensi. Gejala sinkop antara lain
rasa ingin pingsan, kepala terasa ringan, vertigo, penglihatan kabur dan pucat.
Namun pada lansia hanya sedikit menunjukkan gejala prodromal, biasanya
diikuti oleh truma fisik misalnya terjatuh (Dewanto dkk., 2009).

5.2 Implementasi Care Plan


1. Terapi Farmakologi
a. Apoteker menyarankan untuk melakukan penurunan dosis klorokuin fosfat
menjadi 1 x 250mg.
b. Apoteker menyarankan jumlah klorokuin fosfat sebanyak 30 tablet untuk satu
bulan pengobatan.
c. Apoteker menyarankan monitoring lebih lanjut mengenai efek samping
klorokuin pada gastrointestinal (seperti mual dan muntah) dan retinopati.
d. Apoteker menyarankan monitoring lebih lanjut mengenai interaksi obat antara
klorokuin dengan agen antihipertensi yang digunakan pasien terkait dengan
riwayat hipertensi yang diderita oleh pasien.
e. Apoteker juga harus memonitoring tingkat kepatuhan pasien mengingat pasien
memperoleh banyak obat terkait dengan penyakit RA, riwayat hipertensi dan
GGK pasien.

2. Terapi Non Farmakologi


a. Klorokuin: -

5.3 Monitoring
1. Efektivitas
Monitoring efektivitas terapi yang dilihat dari kondisi klinik pasien meliputi ;
a. Tujuan utama dari terapi RA adalah untuk menginduksi remisi secara
menyeluruh atau mengurangi aktivitas penyakit. Selain itu, bertujuan untuk
mengontrol aktivitas penyakit dan nyeri sendi, mempertahankan kemampuan
agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari, memperlambat kerusakan sendi, dan
menunda kecacatan.
b. Membantu meningkatkan efektivitas terapi farmakologi dengan terapi non
farmakologi seperti istirahat yang memadai, pengurangan berat badan jika
obesitas, terapi okupasi, terapi fisik, dan penggunaan alat bantu dapat
memperbaiki gejala dan membantu menjaga fungsi sendi.
2. Efek Samping
Efek samping yang perlu diinformasikan dan dimonitoring kepada pasien yaitu :
a. Klorokuin : mual, muntah dan retinopati.

Pembahasan
Agen antimalaria seperti klorokuin umumnya menjadi pilihan pengobatan lini pertama
untuk pasien dengan penyakit autoimun, seperti rheumatoid arthritis (RA) yang memiliki
riwayat hipertensi. Klorokuin menyebabkan respons hipotensi, meningkatkan aliran darah
lengan bawah, dan menyebabkan venodilatasi melalui pelepasan oksida nitrat pada vena
lengan bawah manusia (Aronson, J.K. 2014). Klorokuin pada resep merupakan klorokuin
dalam bentuk fosfat karena di pasaran hanya klorokuin fosfat yang tersedia dalam dosis 250
mg. Dosis klorokuin fosfat yang direkomendasikan untuk RA adalah 250 mg/hari dengan
dosis maksimal 4mg/kg/hari untuk pasien dengan fungsi ginjal normal, sedangkan dosis pada
gangguan ginjal dengan GFR <10 mL/mnt diperlukan penyesuaian dosis sebesar 50% dari
dosis normal (Mota et al., 2013; Ashley dan Dunleavy, 2019). Dosis klorokuin fosfat 2 x 250
mg tergolong overdose sehingga diperlukan penurunan dosis menjadi 1 x 250 mg berdasarkan
pada dosis yang direkomendasikan untuk terapi RA. Pasien pada kasus mengalami GGK
stage 5 dengan nilai GFR <15 mL/mnt, tapi nilai GFR ini masih di atas 10 mL/mnt, sehingga
pasien dapat diberikan dosis normal klorokuin fosfat (Wells et al., 2015; Ashley dan
Dunleavy, 2019). Jumlah klorokuin fosfat pada kasus tidak diketahui, sehingga untuk
menghindari kesalahan pemberian obat perlu dikonsultasikan kepada dokter penulis resep
mengenai jumlah obat yang harus diberikan kepada pasien yang berkaitan dengan lama terapi
dari klorokuin fosfat tersebut. Berdasarkan aturan pakai 1 x 250 mg, maka jumlah obat yang
dapat disarankan adalah sebanyak 30 tablet untuk pengobatan selama 1 bulan.
Retinopati klorokuin (CR) adalah suatu bentuk toksisitas retina yang parah yang
disebabkan oleh penggunaan jangka panjang klorokuin dengan insidensi 1–16%. Retinopati
ini dapat muncul bahkan setelah penggunaan klorokuin dihentikan (Kazi et al., 2013). Terapi
klorokuin untuk RA tanpa adanya penyakit lain yang dapat menyebabkan retinopati
menyiratkan risiko yang dapat diabaikan pada pasien dewasa di bawah usia 50 tahun. Oleh
karena pasien pada kasus berusia 52 tahun, maka dibutuhkan pemeriksaan oftalmologi secara
teratur. Pemeriksaan oftalmologi dilakukan pada awal terapi, kemudian setiap 3-6 bulan
pengobatan dan setiap tahun setelah lima tahun (atau setiap tahun sejak awal, dengan adanya
faktor risiko makulopati atau retinopati) (Mota et al., 2013; Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2014; Bogaczewicz dan Sobów, 2017). Seperti disebutkan pada kasus, pasien
memiliki riwayat penyakit hipertensi yang artinya pasien juga memperoleh terapi
antihipertensi yang tidak dicatat pada rekam medis. Interaksi antara klorokuin oral dosis
tinggi (total 600mg basa) dan amlodipin (ACE-I) dosis 5 mg/hari dapat menyebabkan
terjadinya sinkop vasovagal (Aronson, 2014). Klorokuin dan amlodipin keduanya
menyebabkan vasodilatasi, dengan melepaskan oksida nitrat dan sinkop mungkin terjadi
karena mekanisme efek sinergis keduanya. Interaksi ini dapat dihindari dengan memberi jeda
waktu dalam meminum obat klorokuin dan antihipertensi, melakukan pemeriksaan tekanan
darah secara berkala dan meminta pasien untuk segera melaporkan kepada dokter atau
apoteker apabila terjadi gejala sinkop. Namun apabila sinkop telah terjadi maka dapat
dilakukan dengan memberi terapi infus dextrose-saline (Aronson, 2014).

Dapus:

Ashley, C., dan Dunleavy, A. 2019, The Renal Drug Handbook, CRC Press, New York.

Aronson, J.K. 2014. Meyler's Side Effects of Drugs 15E: The International Encyclopedia of
Adverse Drug Reactions and Interactions, Elsevier, United Kingdom.

Bogaczewicz A., dan Sobów, T. 2017, Psychiatric Adverse Effects of Chloroquine, Psychiatr
Psychol Klin, 17: 111–114.

Dewanto, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., dan Turana, Y. 2009, Panduan Praktis Diagnosis
dan Tata Laksana Penyakit Saraf, EGC, Jakarta.

Mota, L. M. H., Cruz, B. A., Brenol, C. V., Pereira, I. A., Rezende-Fronza, L. S., Bertolo, M.
B., Freitas, M. V. C., Silva, N. A., Louzada-Junior, P., Giorgi, R. D. N., Lima, R. A. C.,
Bernardo, W. M., and Pinheiro, G. R. C. 2013, Guidelines for The Drug Treatment of
Rheumatoid Arthritis. Rev Bras Reumatol, 53:158–183

Nakasato, Y., dan Yung, R. L. 2011, Geriatric Rheumatology: A Comprehensive Approach,


Springer Science & Business Media, New York.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014. Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid,


Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta.

Wells, B. G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L., and Dipiro, C. V. 2015, Pharmacotherapy
Handbook. 9th ed, McGraw-Hill, USA.

Anda mungkin juga menyukai