Anda di halaman 1dari 15

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lanjut usia (lansia) adalah bukan suatu penyakit, namun merupakan

tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan

kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan (Efendi, 2014).

Menurut (Notoatmodjo, 2010) batasan lanjut usia dibagi menjadi empat

kelompok, meliputi usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59

tahun, Usia Lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun, Usia

lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara 71-90 tahun, Usia sangat tua (very

old) adalah kelompok usia diatas 90 tahun.

Lansia merupakan kelompok yang sudah mengalami penurunan atau

perubahan fungsi seperti fisik, psikis, biologis, spiritual, serta hubungan

sosialnya, dan tentunya memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek

kehidupannya, salah satunya kondisi kesehatannya. Menurut Depkes (2009,

dalam Maryam, 2011) menyebutkan bahwa proses penuaan adalah suatu proses

alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus menerus, dan

berkesinambungan yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis,

fisiologis dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi dan

kemampuan tubuh secara keseluruhan. Perubahan yang erat kaitannya dengan

proses penuaan salah satunya adalah perubahan pada sistem kardiovaskular.

Seiring bertambahnya usia, lansia mengalami perubahan stuktural dan


2

fungsional dalam tubuhnya seperti mengalami penyakit diabetes melitus, gout

atrithis, stroke dan salah satunya mengalami kerusakan struktural dan fungsional

pada aorta, yaitu arteri besar yang membawa darah dari jantung, yang

menyebabkan semakin parahnya pengerasan pembuluh darah dan semakin

tingginya tekanan darah sehingga menyebabkan lansia mengalami hipertensi

(Azizah, 2011).

Indonesia adalah termasuk Negara yang memasuki era penduduk

berstruktur lanjut usia, karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun keatas

sekitar 7,18 %. Usia harapan hidup tertinggi di Indonesia ada di DIY, yakni 74

tahun melebihi angka nasional. Sementara peningkatan, pertumbuhan lansia

paling tinggi ada dikota Yogyakarta sebesar 48.092 jiwa pertahun. Berdasarkan

data BPS, jumlah penduduk lansia di Yogyakarta juga mengalami peningkatan.

Jumlah penduduk lansia pada tahun 2010 sebesar 454.200 jiwa atau 13,2 % dari

total pendududuk. Pada tahun 2011 terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia

sebesar 459.200 jiwa atau 13,3 % dari total populasi penduduk. Sedangkan tahun

2020 di perkirakan akan terjadi peningkatan juga, yaitu jumlah penduduk lansia

menjadi 578.000 jiwa atau 15,6 % (BPS, 2011).

Menurut data statistik Indonesia tahun 2013 angka harapan hidup

penduduk Indonesia (laki-laki dan perempuan) naik dari 67.8 tahun pada periode

2000-2005 menjadi 73.6 tahun pada periode 2020-2025. Semakin meningkatnya

usia harapan hidup penduduk, menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus

meningkat dari tahun ke tahun. Proyeksi angka harapan hidup di Kalimantan

Selatan pada periode 2010-2015 adalah 69.2 tahun dan pada periode 2020-2025 di
3

proyeksikan meningkat menjadi 72.1 tahun (BPS, 2013). Berdasarkan data dari

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2015 jumlah penduduk

lansia di kalimantan selatan mencapai 239.947 jiwa. Data dari Dinas Kesehatan

Tanah Bumbu tahun 2016 jumlah lansia di Tanah Bumbu berjumlah 23.034 lansia

Dalam kebijakan penanganan, pemerintah telah mengeluarkan Undang–

Undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia yang

mengamanatkan adanya hak asasi untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya

yang meliputi bidang keagamaan, kesehatan, kesempatan kerja, pendidikan dan

latihan, bantuan hukum, bantuan sosial, serta perlindungan sosial. Sedangkan dari

profesinal kesehatan, bekerja sama dengan pihak swasta dan masyarakat untuk

mengurangi angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) lansia.

Pelayanan kesehatan, sosial, ketenaga kerjaan, dan lainnya telah dikerjakan pada

berbagai tingkatan yaitu tingkat individual, kelompok lansia, keluarga panti

social Tresna Wredha (PSTW), sasana tresna wredha (STW), sarana pelayanan

kesehatan tingkat dasar (primer), sarana pelayanan kesehatan rujukan (sekunder),

dan sarana pelayanan tingkat lanjutan (tersier) untuk mengatasi permasalahan

pada lansia (Maryam, 2011).

Penyakit yang erat hubungannnya dengan proses menua salah satunya

yaitu gangguan sirkulasi darah atau kardiovaskuler (Azizah, 2011). Komponen

utama pada sistem kardiovaskuler adalah jantung dan vaskularisasinya. Pada

lansia terjadi perubahan normal pada jantung (kekuatan otot jantung berkurang),

pembuluh darah (arteriosklerosis, elastisitas dinding pembuluh darah berkurang)


4

dan kemampuan memompa dari jantung bekerja lebih keras sehingga terjadi

hipertensi (Maryam, 2011).

Hipertensi diperkirakan menjadi penyebab kematian sekitar 7,1 juta

orang di seluruh dunia atau sekitar 13% dari total kematian. Menurut WHO

(2012) di Amerika sebanyak 54 juta penduduk mengalami prehipertensi dan 74

juta penduduk mengalami hipertensi atau 1 dari 3 orang mengalami hipertensi

pada orang dewasa dan diperkirakan setiap 1 dari 6 kematian disebabkan oleh

hipertensi. Hipertensi di negara berkembang mencapai 37% pada tahun 2000 dan

diperkirakan mencapai 42% pada tahun 2025. Bila dikalikan dengan penduduk

Indonesia yang 200 juta jiwa saja maka setidaknya terdapat 74 juta jiwa yang

menderita hipertensi. Di Indonesia tingkat kesadaran masyarakat masih rendah

terhadap penyakit hipertensi, sehingga masyarakat yang menyadari dirinya

hipertensi juga masih sedikit.

Prevalensi hipertensi yang tinggi pada laki-laki usia 25-44 tahun sebesar 95

per 1000 orang, sedangkan perempuan usia 25-44 tahun sebesar 50 per 1000

orang dan menjadi sebaliknya pada usia diatas 60 tahun lebih tinggi perempuan

yaitu sebanyak 191 per 1000 orang dan laki-laki 150 per 1000 orang (Depkes RI,

2009). Survey Kesehatan Dasar 2013 yang dilakukan Kementrian Kesehatan

menunjukkan hasil pengukuran tekanan darah pada umur 18 tahun keatas sebesar

25,8%, sedangkan jumlah penderita hipertensi di Indonesia didapat melalui

kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4% yang didiagnosis tenaga

kesehatan atau minum obat sebesar 9,5%. Jadi ada 0,1% yang minum obat sendiri.

Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum obat
5

hipertensi sebesar 0,7%. Jadi jumlah penderita hipertensi di Indonesia sebesar

26,5%.

Berdasarkan data Riskesdas 2007 rata-rata prevalensi penduduk yang

mengalami hipertensi di Pulau Kalimantan cukup tinggi yaitu 33.6%, dengan

prevalensi masing-masing provinsi sebagai berikut: Kalimantan Barat 29.8%,

Kalimantan Tengah 33.6%, Kalimantan Timur 31.3%, dan prevalensi hipertensi

tertinggi berada di Kalimantan Selatan sebesar 39.6%. Persentase berat badan

lebih untuk Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,

dan Kalimantan Timur secara berturut-turut adalah 6.6%, 7.5%, 7.8%, dan 11.6%.

Sedangkan persentase obese untuk masing provinsi adalah Provinsi Kalimantan

Barat 6.4%, Kalimantan Tengah 7.7%, Kalimantan Selatan 8.9%, dan Kalimantan

Timur 11.9%. Dari data tersebut dapat diketahui persentase berat badan lebih

penduduk dewasa (15 tahun ke atas) yang dinilai dengan Indeks Massa Tubuh

(IMT) di Pulau Kalimantan sebesar 8.4% dan 8.7%. Dua Provinsi di Pulau

Kalimantan menjadi 1 dari 16 provinsi yang memiliki prevalensi kurang aktivitas

fisik di atas prevalensi nasional yaitu Provinsi Kalimantan Timur 61.7% dan

Provinsi Kalimantan Selatan 49.4%. Sedangkan prevalensi untuk Provinsi

Kalimantan Tengah 43.8% dan Provinsi Kalimantan Barat 46.9%. Sedangkan data

dari Dinas Kesehatan Tanah Bumbu Tahun 2016 jumlah kasus hipertensi yang

ditemukan sebesar 8.260 jiwa.

Hampir 1 miliar atau sekitar seperempat dari seluruh populasi orang dewasa

di dunia menyandang tekanan darah tinggi, dan jumlah ini cenderung terus

meningkat. Pada populasi usia lanjut angka penyandang tekanan darah tinggi lebih
6

banyak. Pada tahun 2025 diperkirakan penderita tekanan darah tinggi mencapai

hampir 1,6 miliar orang di dunia (Palmer, 2007).

Menurut National Comitte on Detection, Evaluation, and Treatment of

Hight Blood Pressure/ JNC (2003). Penanganan hipertensi dilakukan dengan dua

cara yaitu secara farmakologis dan non farmakologis. Secara farmakologis dapat

digunakan obat antihipertensi, tetapi terapi farmakologis ini dapat menimbulkan

efek samping berupa mual, muntah, pusing, takikardi, dan palpitasi yang

berbahaya bagi tubuh. Sedangkan secara non farmakologis banyak terapi

individual yang biasa diterapkan berupa terapi modalitas terapi herbal, meditasi,

akupuntur, akupresur, aromaterapi, hidroterapi dan olahraga. Untuk mengatasi

hipertensi secara non farmakologis bisa dengan cara berolahraga salah satunya

senam diantaranya senam bugar, senam yoga, senam ergonomik, senam aerobik

dan juga bisa dengan menggunakan terapi modalitas untuk membuat tubuh

menjadi lebih rilexs diantaranya terapi musik, relaksasi otot progresif, terapi

tertawa dan masih banyak lagi penatalaksanaan secara non farmakologis lainnya

yang bisa diterapkan.

Hasil penelitian yang sudah ada, jenis terapi senam yang mudah dilakukan

dan dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi yaitu salah satunya

relaksasi otot progresif, teknik relaksasi otot dalam yang tidak memerlukan

imajinasi, kekuatan atau sugesti. Teknik relaksasi otot progresif memusatkan

perhatian pada suatu aktivitas otot dengan mengidentifikasi otot yang tegang

kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk

mendapatkan perasaan rileks. Terapi relaksasi otot progresif bermanfaat untuk


7

menurunkan resistensi perifer dan menaikkan elastisitas pembuluh darah. Otot-

otot dan peredaran darah akan lebih sempurna dalam mengambil dan

mengedarkan oksigen serta relaksasi otot progresif dapat bersifat vasodilator yang

efeknya memperlebar pembuluh darah dan dapat menurunkan tekanan darah

secara langsung. Relaksasi otot progresif ini menjadi metode relaksasi termurah,

tidak memerlukan imajinasi, tidak ada efek samping, mudah dilakukan, membuat

tubuh dan pikiran terasa tenang dan rileks. Latihan ini dapat membantu

mengurangi ketegangan otot, stres, menurunkan tekanan darah, meningkatkan

toleransi terhadap aktivitas sehari-hari, meningkatkan imunitas, sehingga status

fungsional, dan kualitas hidup meningkat (Potter dan Perry, 2005 dalam Suratini,

2013).

Pada lansia, gaya hidup yang tidak baik, stres yang berkepanjangan,

kebiasaan makan yang tidak teratur, masukan serat dan air yang tidak cukup,

kurangnya aktivitas fisik seperti berjalan, bersepeda, serta latihan fisik seperti

olahraga dan senam sangat berperan dalam memicu timbulnya berbagai masalah

kesehatan pada lansia (WHO, 2010).

Dampak positif yang akan terjadi jika para lansia mau mengikuti terapi

relaksasi otot progresif maka akan sangat berpengaruh terhadap penurunan

tekanan darah tinggi pada lansia usia 45-59 tahun pada penderita hipertensi

dimana terapi relaksasi otot progresif bermanfaat untuk menurunkan resistensi

perifer dan menaikkan elastisitas pembuluh darah. Otot-otot dan peredaran darah

akan lebih sempurna dalam mengambil dan mengedarkan oksigen serta relaksasi

otot progresif dapat bersifat vasodilator yang efeknya memperlebar pembuluh


8

darah dan dapat menurunkan tekanan darah secara langsung, sedangkan hipertensi

sistolik terisolasi dimana terdapat kenaikan tekanan darah sistolik yang selisish

tekanan ini terbukti sebagai penyebab tingginya angka kematian dan kesakitan

(Ali, 2009 dalam Suratini, 2013).

Solusi yang tepat yaitu dilakukan terapi relaksasi otot progresif yang

bermanfaat untuk menurunkan resistensi perifer dan menaikkan elastisitas

pembuluh darah. Otot-otot dan peredaran darah akan lebih sempurna dalam

mengambil dan mengedarkan oksigen serta relaksasi otot progresif dapat bersifat

vasodilator yang efeknya memperlebar pembuluh darah dan dapat menurunkan

tekanan darah secara langsung. Relaksasi otot progresif ini menjadi metode

relaksasi termurah, tidak memerlukan imajinasi, tidak ada efek samping, mudah

dilakukan, membuat tubuh dan pikiran terasa tenang dan rileks, latihan ini dapat

membantu mengurangi ketegangan otot, stres, menurunkan tekanan darah,

meningkatkan toleransi terhadap aktivitas sehari-hari, meningkatkan imunitas,

sehingga status fungsional, dan kualitas hidup meningkat (Stanley, 2007 dalam

Suratini, 2013).

Berdasarkan studi pendahuluan 3 orang dan lansia perempuan usia 55

tahun sebanyak 7 orang, diketahui bahwa masih banyak lansia yang tidak patuh

minum obat, tidak meeriksakan tekanan darah secara rutin, melanggar pantangan

makan yang dapat memicu terjadinya hipertensi, dan kurangnya pengetahuna

yang ditandai dengan penurunan kesadaran akibat peningkatan tekanan darah, jika

hal tersebut tidak segera ditangani dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah
9

seperti stroke, yang dapat menyebabkan kematian (Posyandu Lansia Desa

Sejahtera, 2019).

Berdasarkan hasil dari studi pendahuluan yang telah dilakukan diketahui

banyak kejadian hipertensi pada lansia usia 45-59 tahun, kurangnya pengetahuan

tentang hipertensi, kurangnya kesadaran akan bahaya hipertensi yang akan terjadi,

maka peneliti tertarik untuk meneliti adanya “Pengaruh tehnik relaksasi otot

progresif terhadap penurunan hipertensi pada lansia usia 45-59 Tahun di Wilayah

Kerja Puskesmas perawatan Simpang Empat Posyandu lansia Desa Sejahtera

Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu 2019.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah

yaitu “Adakah pengaruh tehnik relaksasi otot progresif terhadap penurunan

hipertensi pada lansia usia 45-59 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas

perawatan Simpang Empat Posyandu lansia Desa Sejahtera Kecamatan

Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu 2019?.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh tehnik relaksasi otot progresif terhadap

hipertensi pada lansia usia 45-59 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas

perawatan Simpang Empat Posyandu lansia Desa Sejahtera Kecamatan

Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu 2019.


10

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pengaruh tehnik relaksasi otot progresif pada

Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Empat di Posyandu Desa

Sejahtera Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu 2019.

2. Mengidentifikasi hipertensi pada usia 45-59 tahun pada Wilayah Kerja

Puskesmas Simpang Empat di Posyandu Desa Sejahtera Kecamatan

Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu 2019.

3. Menganalisa pengaruh tehnik relaksasi otot progresif terhadap

hipertensi pada lansia usia 45-59 Tahun pada Wilayah Kerja

Puskesmas Simpang Empat di Posyandu lansia Desa Sejahtera

Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Lebih memperdalam pengetahuan serta memperkaya pengalaman bagi

peneliti tentang pengaruh tehnik relaksasi otot Progresif terhadap penurunan

hipertensi Pada Usia 45-59 Tahun pada Wilayah Kerja Puskesmas

perawatan Simpang Empat Posyandu lansia Desa Sejahtera Kecamatan

Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu 2017. Serta elemen yang ada

didalamnya.
11

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan

Pendidikan keperawatan dapat lebih mendukung penelitian yang

dilakukan dengan memberikan fasilitas yang lengkap agar mahasiswa

dapat melakukan penelitian dengan lebih baik.

1.4.3 Untuk Lansia

Memberikan gambaran pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya

memeriksakan diri untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

1.4.4 Untuk Pembaca

Dapat dijadikan referensi dan literatur dalam pengerjaan tugas yang

berkaitan dengan kejadian hipertensi pada lansia.


12

1.5 Keaslian Penelitian


Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Nasional dan Internasional
No Judul, Penulis, Tahun Persamaan Perbedaan
Metode, desain, variabel, Metode, desain, variabel,
hasil analisis hasil analisis
1. Pengaruh tehnik relaksasi otot 1. Variabel independen 1. Tempat
progresif terhadap tekanan darah (Relaksasi otot Banguntapan Bantul
pada lansia dengan hipertensi di progresif) Yogyakarta
desa karangbendo Banguntapan 2. Variabel (hipertensi) 2. Sampel (20
Bantul Yogyakarta, Adi Sucipto 3. Desain penelitian Responden
(2014) (Quasi Experiment) Kelompok
4. Instrumen (Lembar Intervensi, 35
obsevasi) Responden
Kelompok Kontrol)
3. Dengan rancangan
(Non Equivalent
Pretest-Posttest)
4. Hasil penelitian
(Hasil penelitian
dengan
menggunakan uju
parametric paired t-
test menunjukkan p
= 0,0001 pada
kelompok perlakuan
dan p = 0, 138 pada
kelompok kontrol,
karena p value =
0,0001 < α (0,05),
maka H0 ditolak,
sedangkan uji regresi
linier menunjukkan
selisih minggu ke-1
dengan minggu ke-2
pada kelompok
perlakuan -1,766 dan
0,249 dengan nilai
Rsquare 0,05, pada
minggu ke-3 dan
minggu ke-4 0,494 -
1,86 dan dengan nilai
Rsquare 2,44).
13

2. Tehnik relaksasi otot progresif 1. Desain penelitian 1. Variabel dependen


untuk mengurangi stres pada (Quasi Experiment) (mengurangi stres
penderita asma, Indriana Bil Resti 2. Instrumen (Lembar pada penderita
(2014) obsevasi) asma)
3. Variabel independen 2. Tempat
(Relaksasi otot 3. Populasi (142
progresif) Orang)
4. Sampel (21
Responden)
5. Desain penelitian
(Pre Experiments)
6. Dengan rancangan
(One Group Pre-Test
And Post-Test
Design)
7. Analisa data (Uji
Statistik Mc Nemar)
Hasil penelitian
(Hasil penelitian
dengan
menggunakan uji
statistik Mc Nemar
didapatkan nilai p
value 0,01 (<0,05)
dapat disimpulkan
bahwa H1 diterima
3. Pengaruh Relaksasi Progesif 1. Desain penelitian 1. Waktu (Januari-
Terhadap Tingkat Kenaikan (Quasi Experiment) Februari 2014)
Tekanan Darah Pada Lansia 2. Instrumen (Lembar 2. Tempat
Hipertensi di STIKES Aisyiyah obsevasi) 3. Sampel (72
Yogyakarta, Suratini, (2012) 3. Variabel independen Responden)
(Relaksasi otot 4. Tehnik pengambilan
progresif) sampel (Ramdom
Sampling)
5. Data dikumpulkan
dengan
menggunakan
(General Health
Questionnaire (Ghq-
28)
6. Analisa data (Uji
Kolmogorov-
Smirnov)
7. Hasil penelitian
(Hasil penelitian
menunjukkan pada
kelompok
eksperimen setelah
intervensi. Selain itu,
perbedaan antara
skor sebelum dan
sesudah intervensi
secara statistik
menunjukkan pada
14

kelompok
eksperimen setelah
intervensi. Selain itu,
perbedaan antara
skor sebelum dan
sesudah intervensi
secara statistik
signifikan untuk
semua sub-skala
pada kelompok
eksperimen (P =
0,05))

4. The progressive muscle 1. Desain penelitian 1. Waktu (November


relaxation in hypertension, (Quasi 2012)
Divaale Hande, Experiment) 2. Tempat (Isfahan,
(2013) 2. Instrumen Iran)
(Lembar obsevasi) 3. Sampel (118
3. Variabel Responden)
independen 4. Analisa data
(Relaksasi otot (Analisis Satu Arah
progresif) Varians (ANOVA)
4. Variabel dependen 5. Hasil penelitian
(Hipertension) (Tekanan darah
diastolik menurun
secara signifikan
(P <0,05), Hasil
penelitian ini
menunjukkan
bahwa relaksasi
otot progresif dapat
mencegah risiko
gangguan
hipertensi.

5. Efectivenees of progresive muscle 1. Desain penelitian 1. Waktu (Januari-


relaction technique on stres and (Quasi Experiment) Februari 2014)
blood presure among elderly of 2. Instrumen (Lembar 2. Tempat (Shiraz,
hypertension Kumutha, (2014) obsevasi) Iran)
3. Variabel independen 3. Sampel (72
(Relaksasi otot Responden)
progresif) 4. Tehnik
4. Variabel dependen pengambilan
(Hipertension) sampel (Ramdom
Sampling)
5. Data dikumpulkan
dengan
menggunakan
(General Health
Questionnaire
(Ghq-28)
6. analisa data (Uji
Kolmogorov-
Smirnov)
7. Hasil penelitian
15

(Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa perbedaan
antara skor
sebelum dan
sesudah intervensi
secara statistik
signifikan untuk
semua sub-skala
pada kelompok
eksperimen (P =
0,05))

6. Progresive muscle relaction 1. Desain penelitian 1. Waktu (November


technique efectivenees of the (Quasi Experiment) 2014)
blood sugar patien with type 2 2. Instrumen (Lembar 2. Tempat (Isfahan,
diabetes Hotma Rumahorbo, obsevasi) Iran)
(2016) 3. Sampel (40
Responden)
4. Analisa data
(Analisis Satu Arah
Varians (ANOVA)
Hasil penelitian
(Tekanan darah
diastolik menurun
secara signifikan
(P <0,05),

Anda mungkin juga menyukai