Anda di halaman 1dari 4

Wajib imunisasi di Italia: 'Tidak divaksinasi,

tidak boleh sekolah'


 13 Maret 2019

Para orang tua di Italia diwanti-wanti bahwa anak mereka tidak akan diizinkan masuk
sekolah jika belum mendapat vaksinasi.

Jika nekad mengirimkan anak yang belum divaksinasi ke sekolah, orang tua akan didenda
hingga €500 atau setara dengan Rp8 juta.

Pemberlakuan larangan ini ditetapkan di tengah peningkatan kasus campak. Namun para
pejabat Italia mengklaim jumlah vaksinasi telah bertambah sejak larangan diterapkan.

 Vaksinasi tanpa izin orang tua, bisakah dibenarkan? Kisah remaja AS yang
'melawan' ibunya
 Delapan mitos vaksinasi yang memicu munculnya kembali penyakit yang dapat
dicegah
 Pemprov Aceh akhirnya bolehkan vaksinasi MR, meski mengandung enzim babi

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lorenzin—dinamai demikian karena yang


mengusulkan UU itu adalah mantan menteri kesehatan Italia, Beatrice Lorenzin—semua
anak harus menerima sejumlah imunisasi wajib sebelum datang ke sekolah. Imunisasi itu
mencakup vaksin cacar air, polio, campak, gondok, dan rubella.
Melalui UU itu pula, anak-anak balita hingga usia enam tahun tidak akan diperbolehkan
masuk PAUD dan taman kanak-kanak tanpa ada bukti telah menerima vaksinasi.

Anak yang berusia enam hingga 16 tahun tidak dapat dilarang masuk sekolah, namun
orang tua mereka akan didenda jika si anak tidak menerima imunisasi wajib.

Tenggat mendapat bukti vaksinasi semula dijadwalkan jatuh pada 10 Maret, namun
diperpanjang hingga Senin.

"Semuanya kini punya waktu untuk mengejar ketertinggalan," kata Menkes Giulia Grillo
kepada harian La Repubblica.

Dia dilaporkan bertahan dari tekanan politik Wakil Perdana Menteri Matteo Salvini yang
mendesak tenggat diperpanjang.

Grillo menegaskan aturannya sederhana, "Tidak divaksinasi, tidak boleh sekolah".

Media di Italia melaporkan aparat daerah menangani situasi ini dalam beragam cara.

Di Bologna, pejabat setempat mengirim surat skorsing kepada para orang tua dari 300
anak. Sebanyak 5.000 anak di daerah itu tidak memperbarui bukti vaksinasi mereka.

Apakah aturan itu berdampak?


Aturan baru itu diberlakukan untuk mendongkrak tingkat vaksinasi di Italia dari di bawah
80% ke target Organisasi Kesehatan Dunia sebesar 95%.

Pada Senin (11/3)—hari terakhir bagi orang tua untuk menyediakan bukti bahwa anak
mereka telah menerima vaksinasi wajib—pejabat kesehatan Italia mengklaim tingka
imunisasi nasional mendekati 95% bagi anak yang lahir pada 2015, tergantung dari vaksin
apa yang sedang digencarkan.

Target 95% itu adalah titik ketika 'kekebalan kelompok' muncul—yaitu ketika sebagian
besar masyarakat kebal terhadap penyakit tertentu, kelompok masyarakat yang bukan
merupakan sasaran imunisasi dari penyakit tersebut turut terlindungi.

Kelompok masyarakat yang turut terlindungi ini mencakup bayi-bayi yang masih terlalu
kecil untuk divaksinasi atau mereka yang mengalami kondisi medis tertentu.

 Darurat rabies di dua kabupaten, Nusa Tenggara Barat cegah perpindahan anjing
antarpulau
 Wabah virus campak melanda Manila, dua juta anak yang belum divaksinasi
'terancam'
 Kalangan keagamaan antivaksin berada di balik wabah cacar air di AS

Jika 'kekebalan kelompok' ini belum tercapai, anak yang belum divaksinasi akan
terdampak.

Bulan lalu, seorang bocah delapan tahun yang sedang menjalani pemulihan akibat
leukaemia, tidak dapat masuk sekolah di Kota Roma karena kekebalan tubuhnya lemah.

Anak tersebut telah berbulan-bulan mendapat perawatan, namun dia berisiko terpapar
virus karena sebagian besar murid di sekolahnya belum divaksinasi, termasuk beberapa
teman sekelasnya.
Mengapa orang tua tidak mengimunisasi anak mereka?
Gerakan anti-vaksi telah berkembang secara global selama beberapa tahun sehingga
membangkitkan kewaspadaan WHO.

Sebuah makalah yang disusun Andrew Wakefield dituding berada di balik ketakutan
sebagian orang tua untuk memvaksinasi anak mereka. Namun, rumor soal imunisasi terus
berkembang sehingga menimbulkan risiko akan ada banyak orang tidak kebal terhadap
penyakit-penyakit berbahaya.

Izin praktik Wakefield sendiri dicoret oleh otorita kesehatan Inggris setelah secara
sembrono mengklaim ada keterkaitan antara vaksin MMR (campak, gondok, dan rubella),
penyakit pencernaan, dan autisme.

Dia membuat klaim tersebut berdasarkan pengalaman 12 anak, namun tiada studi lain
yang bisa membuktikan klaimnya.

Anda mungkin juga menyukai