TETANUS
Disusun oleh:
dr. Michael Sisko
Pendamping:
dr. GM Candrawati
Pembimbing:
dr. Windiarti Sp. B
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. S
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
No.RM : 17258117
Alamat : Kp. Manteng
II. ANAMNESIS
Pasien masuk via IGD RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo pada tanggal 10 Juni
2017 pukul 10.30 WIB dengan keluhan tidak bisa membuka mulut.
a. Keluhan Utama:
Tidak bisa membuka mulut sudah dirasakan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS)
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
- Pasien mengeluhkan tidak bisa membuka mulut sejak 4 hari SMRS.
- Pasien menjelaskan 1 bulan yang lalu kaki kanan pasien terkena beling (pecahan
kaca) yang diobati dengan minyak tanah dan tidak mau disuntik tetanus.
- Pasien juga mengeluhkan kaku pada kedua kaki, leher, dan perut terasa keras.
- BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan.
- Keluhan nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), pusing (-).
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Tidak ada keluhan yang sama sebelumnya.
- Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-) Penyakit Jantung (-), riwayat
merokok (+)
- Riwayat imunisasi tetanus: tidak pernah.
4
Follow Up
Tanggal Perjalanan penyakit Terapi
10/06/2017 S : tidak bisa membuka mulut; kaku Diit sonde 6 x 250cc
pada kedua kaki dan leher; perut terasa IVFD 2 buah
keras. 1. Drip diazepam 50mg
O : A: bebas dalam 500cc D5% /
B: spontan, RR: 18x/i 24jam
C: TD: 160/80 HR: 70x/i 2. RL 1000cc + D5%
Temp: 36.3OC 1000cc / 24jam
D: GCS: 15 Ceftriaxone 2 x 2g
Keadaan umum: lemah. Ranitidine 2 x 50mg
A : Tetanus score Philips 15 Santagesik 3 x 1g
Metronidazole 3 x 500mg
5
Suhu: 0
Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15
13/06/2017 S : kaku pada leher (+), tidak bisa Diit cair TKTP 1800 kkal
membuka mulut, kejang (-) IVFD 2 buah
O : A: bebas 1. Drip diazepam 50mg
B: spontan, RR: 18x/i dalam 500cc D5% /
C: TD: 120/80 HR: 84x/i 24jam
Temp: 36.3OC 2. RL 1000cc + D5%
D: GCS: 15 1000cc / 24jam
Keadaan umum: lemah. Trismus 1 cm, Ceftriaxone 2 x 2g
Kaku kuduk (+), Opistotonus (-). Ranitidine 2 x 50mg
Score perawatan: Santagesik 3 x 1g p.r.n
Spasme: 1 Metronidazole 3 x 500mg
Frekuensi spasme: 1
Suhu: 0
Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15
14/06/2017 S : tidak bisa membuka mulut, kaku Diit cair TKTP 1800 kkal
pada leher membaik, kejang (-) IVFD 2 buah
O : A: bebas 1. Drip diazepam 50mg
B: spontan, RR: 17x/i dalam 500cc D5% /
C: TD: 120/80 HR: 79x/i 24jam
Temp: 36.5OC 2. RL 1000cc + D5%
D: GCS: 15 1000cc / 24jam
Keadaan umum: lemah. Trismus 1 cm, Ceftriaxone 2 x 2g
Kaku kuduk (-), Opistotonus (-). Ranitidine 2 x 50mg
Score perawatan: Santagesik 3 x 1g p.r.n
Spasme: 1 Metronidazole 3 x 500mg
Frekuensi spasme: 1
Suhu: 0
Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15
15/06/2017 S : sudah bisa membuka mulut namun Diit bubur halus TKTP
sakit saat membuka, sudah bisa makan NGT AFF
sendiri, Kejang (-) IVFD 2 buah
O : A: bebas 1. Drip diazepam 50mg
B: spontan, RR: 20x/i dalam 500cc D5% /
C: TD: 120/80 HR: 76x/i 24jam
Temp: 36.3OC 2. RL 500cc + D5% 500cc /
D: GCS: 15 24jam
Keadaan umum: lemah. Trismus 2 cm, Ceftriaxone 2 x 2g
Kaku kuduk (-), Opistotonus (-). Santagesik 3 x 1g p.r.n
Score perawatan:
6
Spasme: 1 Metronidazole 3 x 500mg
Frekuensi spasme: 1
Suhu: 0
Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15
17/06/2017 S : nyeri saat buka mulut (-). Sulit untuk Diit bubur kasar TKTP
berjalan IVFD 2 buah
O : A: bebas 1. Drip diazepam 40mg
B: spontan, RR: 19x/i dalam 500cc D5% /
C: TD: 120/80 HR: 80x/i 24jam
Temp: 36.4OC 2. RL 500cc + D5% 500cc /
D: GCS: 15 24jam
Keadaan umum: lemah. Trismus (-), Ceftriaxone 2 x 2g
Kaku kuduk (-), Opistotonus (-). Santagesik 3 x 1g p.r.n
Abdomen: soepel. Metronidazole 3 x 500mg
Score perawatan: Meloxicam 2 x 15mg p.r.n
Spasme: 1 Mobilisasi duduk + jalan
Frekuensi spasme: 1
Suhu: 0
Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15
7
Kaku kuduk (-), Opistotonus (-). Ceftriaxone 2 x 2g
Abdomen: soepel. Santagesik 3 x 1g p.r.n
Score perawatan: Metronidazole 3 x 500mg
Spasme: 1 Meloxicam 2 x 15mg p.r.n
Frekuensi spasme: 1 Mobilisasi duduk + jalan
Suhu: 0
Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15
8
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Resume
Pasien laki-laki usia 47 tahun datang dengan keluhan tidak bisa membuka mulut yang
sudah dirasakan sejak 4 hari SMRS. Pasien juga mengeluhan kaku pada kedua kaki dan leher
serta perut yang terasa keras. Satu bulan yang lalu, jari kaki kanan pasien terkena pecahan
kaca dan diobati dengan minyak tanah serta tidak disuntik tetanus.
II.2 Pembahasan
Tn S, 47 tahun datang dengan keluhan tidak bisa membuka mulut sejak 4 hari SMRS.
Pasien juga mengeluhkan kaku pada kedua kaku dan leher serta perut terasa keras. Satu bulan
yang lalu, jari kaki kanan pasien terkena beling dan tidak dijahit. Tidak ada riwayat disuntik
tetanus. Dari gejala yang dikeluhkan pasien diatas jelas mengarah kepada gejala tetanus.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang. Pada
pemeriksaan kepala didapatkan trismus. Pada pemeriksaan leher didapatkan kaku kuduk.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan opistotonus. Dari scoring Philips didapatkan masa
inkubasi 1 bulan (1), imunisasi (10), luka infeksi digiti II (2), faktor komplikasi ringan (2).
Total scoring Philips 15 yaitu derajat keparahan sedang.
Penatalaksanaan di IGD pada pasien ini adalah pemberian O2 2-4 L/menit dengan
nasal kanul untuk mempertahankan saturasi O2 >95%. Antibiotika yang diberikan pada
pasien ini adalah injeksi ceftriaxone 2 x 1g serta pemberian imunisasi pasif yaitu injeksi
Tetagam 3000 IU intramuskular. Antikonvulsan yang diberikan yaitu Diazepam 50 mg drip
dalam IVFD Dextrose 5% 7 tpm makrodrip untuk mengatasi spasme otot dan kejangnya.
IVFD 20 tpm makrodrip. Diit per NGT makanan cair 6 x 250 cc.
9
Pasien dirawat di ruangan mawar. Pengobatan ditambah dengan Metronidazole 3 x
500 mg dan Ranitidine 2 x 50 mg mulai tanggal 10 Juli 2017. Keadaan trismus dan
opistotonus mulai membaik setelah dirawat selama 2 hari. Kaku kuduk membaik setelah
tanggal 14 Juli 2017. Tanggal 15 Juli 2017 diit pasien diganti dari cair menjadi bubur halus.
Tanggal 16 Juli 2017 pasien mengeluhkan nyeri saat membuka mulut dan diberikan
Meloxicam 2 x 15 mg p.r.n. dan dosis Diazepam drip diturunkan menjadi 40 mg per 24 jam
serta diit pasien diganti dari bubur halus menjadi bubur kasar. Tanggal 17 Juli 2017 pasien
disarankan agar mobilisasi duduk dan berjalan. Tanggal 19 Juli 2017 keluhan pasien sudah
tidak ada dan dosis Diazepan drip diturunkan menjadi 20 mg per 24 jam. Tanggal 19 Juli
2017 pukul 16.00 WIB pasien pulang atas permintaan sendiri.
Bentuk spora Clostridium tetani terdapat di sekitar kita seperti pada tanah, rumput –
rumput, kayu, kotoran hewan dan manusia. Kuman ini untuk pertumbuhannya membutuhkan
suasana anaerob yang akan terjadi apabila luka dengan banyak jaringan nekrotik di dalamnya,
atau luka dengan pertumbuhan bakteri lain terutama bakteri pembuat nanah
seperti Staphyloccus aureus.
Istilah “ tetanus prone wound ” yaitu luka yang cenderung menyebabkan penyakit
tetanus antara lain luka dengan patah tulang terbuka, luka tembus, luka dengan berisi benda
10
asing, terutama pecahan kayu, luka dengan infeksi pyogenic, luka dengan kerusakan jaringan
yang luas, luka bakar luas grade II dan III, luka superfisial yang nyata berkontaminasi dengan
tanah atau pupuk kotoran binatang di mana luka itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat
topical desinfektansia atau pembersihan secara bedah, abortus dengan septis, melahirkan
dengan pertolongan persalinan yang tidak adekuat, pemotongan dan perawatan tali pusat
tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik, ulserasi kulit dengan
jaringan nekrotik, segala macam tipe gangren, operasi bedah pada saluran cerna mulai dari
mulut sampai anus, otitis media puralenta. Masa inkubasi penyakit tetanus tidak selalu sama
tapi pada umumnya 8 – 12 hari, akan tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa minggu bahkan
beberapa bulan. Bertambah pendek masa inkubasinya bertambah berat penyakit yang
ditimbulkannya.
Penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang telah diserangnya.
Angka kematian penderita tetanus sangat tinggi sekitar 50 %, angka itu akan bertambah besar
pada rumah sakit yang belum lengkap peralatan perawatan intensifnya, mungkin lebih rendah
pada rumah sakit dengan perawatan intensif yang sudah lengkap.2
Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu mendapat perhatian yang
utama. Usaha yang ditempuh mengatasi penyakit ini adalah :
b. Melakukan tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yang luka secara benar dan tepat.
Terdapat beberapa faktor yang memperburuk prognosis seperti masa inkubasi yang
pendek, stadium penyakit yang parah, penderita yang lanjut usia, neonatus, kenaikan suhu
yang tinggi, pengobatan yang lambat, adanya komplikasi seperti status konvulsivus, gagal
jantung, fraktur vertebra, pneumonia. Ciri khas kejang pada tetanus yaitu kejang tanpa
penurunan kesadaran. Masa inkubasi penyakit (waktu dari timbulnya gejala pertama
sehingga terjadi kejang) adalah 24 – 72 jam.
11
Patogenesis dan Patofisiologi
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka
dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar,
luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien
tetanus, port d’entre terdapat didaerah kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat
juga terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru
lahir Clostridium tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa
memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap
sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan
sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk
vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian
mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka dan tidak ada
penyebaran kuman.
Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi
tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal
untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik
terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan
diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai
susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi.
Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik
sama sekali tidak menyerap toksin.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila
dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-
tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak
eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom.
Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside
dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum
tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin
terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan
dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus
menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter.
Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter
inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan
penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada
tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum
tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada,
perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan
mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah
menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini
pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan
gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.
13
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level
dari susunan syaraf pusat, dengan cara:
Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks
synaptik di spinal cord.
Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak)
pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena
biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan
oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.
14
Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai
kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut masa inkubasi,
yang berpengaruh terhadap prognostik. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
1. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian
sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit
pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus
umum.
2. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa
trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang
terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
3. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus,
iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-
abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang
umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan
dengan kesadaran yang tetap baik.
4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya
karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi
yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek,
kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik: trismus,
kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis
lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap
dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan
dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan
henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.1,3
15
Skoring Tetanus
Beberapa sistem scoring tetanus yang dapat digunakan antara lain, scoring Phillips,
abletss score.
Diagnosis
Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang, sukar
membuka mulut lebar – lebar), rhisus sardonicus (wajah setan). Kemudian diikuti kaku
kuduk, kaku otot perut, gaya berjalan khas seperti robot, sukar menelan, dan laringospasme.
Pada keadaan yang lebih berat terjadi opistotonus di mana pada saat kejang badan penderita
melengkung dan bila ditelentangkan hanya kepada dan bagian tarsa kaki saja yang
17
menyentuh dasar tempat berbaring. Dapat terjadi spasme diafragma dan otot – otot
pernapasan lainnya. Pada saat kejang penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh
normal hingga subfebris. Sekujur tubuh berkeringat.
Karakteristik Penyakit
Kejang – kejang bertambah berat selama tiga hari pertama, menetap selama 5 – 7
hari. Setelah 10 hari, frekuensi kejang mulai berkurang, setelah 2 minggu kejang
menghilang. Kaku otot hilang paling cepat mulai minggu ke-4.
Stadium Tetanus
Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi stadium
klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.
Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :
1. Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm) belum ada kejang rangsang,
dan belum ada kejang spontan.
2. Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum
ada kejang spontan.
3. Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan kejang
spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :
1. Stadium 1: Trismus
2. Stadium 2: Opisthotonus
3. Stadium 3: Kejang rangsang
4. Stadium 4: Kejang spontan
Pertimbangan individual penderita. Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah
perlu tindakan profilaksis terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis
luka, dan riwayat imunisasi.
Debridement. Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan
benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.
18
Imunisasi aktif. Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan
dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut. DPT
(Dephteri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada usia 2 – 6
bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.
Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan antara umur 5 – 6 tahun 1 x 0,5
cc IM.
Tetanus toksoid. Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan
selama 3 bulan berturut – turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah
suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pmberian booster di
atas. Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah
mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun, terakhir.
Imunisasi Pasif. ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal
lembu) maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM. Human Tetanus
Immunoglobuline (asal manusia), terkenal di pasaran dengan nama Hypertet. Dosis yang
diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500 IU ATS),
sedang untuk anak – anak adalah 125 IU per IM. Hypertet diberikan bila penderita alergi
terhadap ATS yang diolah dari hewan. Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat
luka, kondisi penderita, dan status imunisasi. Pasien yang belum pernah mendapat
imunisasi aktif maupun pasif, merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian
imunisasi secara IM, jangan sekali – kali secara IV. Kerugian hypertet adalah harganya
yang mahal, sedangkan keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.
Penatalaksanaan tetanus
Terdiri atas:
1. Pemberian antitoksin tetanus
Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS bagi orang dewasa adalah sebesar
10.000 – 20.000 IU IM dan untuk anak – anak sebesar 10.000 IU IM, untuk hypertet bagi
orang dewasa adalah sebesar 300 IU – 6000 IU IM dan bagi anak – anak sebesar 3000 IU
IM. Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2 – 5 hari berturut – turut.
19
2. Penatalaksanaan luka
Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam setelah terapi
sera (pemberian antitoksin tetanus). Jika memungkinkan dicuci dengan perhydrol. Luka
dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob. Bila perlu di sekitar luka dapat
disuntikan ATS.
3. Pemberian antibiotika
Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar
1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedang untuk anak – anak adalah sebesar 50.000
IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas. Bila penderita alergi terhadap
penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa
adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi dalam 4 dosis. Pengobatan dengan antibiotika ditujukan
untuk bentuk vegetatif clostridium tetani, jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk
membunuh kuman tetanus yang masih ada dalam tubuh, sehingga tidak ada lagi sumber
eksotoksin. ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan dengan
susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf pusat akan
menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS / HTIG tak dapat menetralkannya.
Untuk mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka sumbernya yaitu
kuman clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan antibiotik.
4. Penanggulangan kejang
Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang.
Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang
memadai maka kejang dapat dicegah. Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan
pelemas otot (muscle relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini
hanya dilakukan di ruang perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah
pengawasan seorang ahli anestesi.
20
Jenis Obat Dosis Anak – anak Dosis Orang Dewasa
Fenobarbital Mula – mula 60 – 100 mg IM, 3 x 100 mg IM
kemudian 6 x 30 mg per oral.
(Luminal)
Maksimum 200 mg/hari
Klorpromazin 4 – 6 mg/kg BB/hari, mula – mula 3 x 25 mg IM
IM, kemudian per oral
(Largactil)
Diazepam Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB 3 x 10 mg IM
IM, kemudian per oral 1,5 – 4
(Valium)
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6
dosis
Klorhidrat – 3 x 500 – 100 mg per
rectal
5. Perawatan penunjang
Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde, dengan asupan sebesar 2000 kalori / hari untuk
orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/kg BB/hari untuk anak – anak, bersihkan jalan
nafas secara teratur, berikan cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda –
tanda vital (seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi, kecepatan
pernapasan), trismus (diukur dengan cm setiap hari), asupan / keluaran (pemasukan dan
pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit (bila fasilitas pemeriksaan memungkinkan),
konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
6. Pencegahan komplikasi.
Mencegah anoksia otak dengan pemberian antikejang sekaligus mencegah laringospasme,
jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba endotrakheal)
atau lakukan trakheotomi berencana, pemberian oksigen. Mencegah pneumonia dengan
membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian
antibiotika. Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian anti kejang yang memadai.
Komplikasi
21
DAFTAR PUSTAKA
2. Ismael Chairul; Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus dalam bidang bedah : UNPAD, 2000
3. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2001, 49- 51.
4. Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta: 2004. 322.
5. http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview
22