Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRESENTASI KASUS DOKTER INTERNSIP

TETANUS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun oleh:
dr. Michael Sisko

Pendamping:
dr. GM Candrawati

Pembimbing:
dr. Windiarti Sp. B

RSUD dr. ABDOER RAHEM SITUBONDO


JAWA TIMUR
2017
BAB I
DESKRIPSI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. S
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
No.RM : 17258117
Alamat : Kp. Manteng
II. ANAMNESIS
Pasien masuk via IGD RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo pada tanggal 10 Juni
2017 pukul 10.30 WIB dengan keluhan tidak bisa membuka mulut.
a. Keluhan Utama:
Tidak bisa membuka mulut sudah dirasakan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS)
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
- Pasien mengeluhkan tidak bisa membuka mulut sejak 4 hari SMRS.
- Pasien menjelaskan 1 bulan yang lalu kaki kanan pasien terkena beling (pecahan
kaca) yang diobati dengan minyak tanah dan tidak mau disuntik tetanus.
- Pasien juga mengeluhkan kaku pada kedua kaki, leher, dan perut terasa keras.
- BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan.
- Keluhan nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), pusing (-).
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Tidak ada keluhan yang sama sebelumnya.
- Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Asma (-) Penyakit Jantung (-), riwayat
merokok (+)
- Riwayat imunisasi tetanus: tidak pernah.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan Umum
Tampak sakit sedang
2
b. Kesadaran
Komposmentis
c. Tanda Tanda Vital
Tekanan Darah : 160 / 80 mmHg
Frek. Nadi : 70 x / menit
Frek. Nafas : 18 x / menit
Suhu : 36,30C
d. Status Generalis
 Kepala
Trismus (+), konjuntiva anemis (-/-), skelra ikterik (-/-), pupil isokor (3 mm/ 3 mm),
reflex cahaya (+/+)
 Leher
Kaku kuduk (+)
 Thoraks
o Inspeksi: Gerakan dada simetris, retraksi subkosta (-)
o Palpasi: - Paru : Stem fremitus kiri = kanan.
- Jantung : apex cordis tidak teraba.
o Perkusi: - Paru : Sonor.
- Jantung : Pekak.
o Auskultasi: - Paru : SP: Vesikuler, ST (-)
- Jantung : BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-).
 Abdomen
o Inspeksi: Perut tampak datar
o Palpasi: Defans muscular (-), opistotonus (+), hepar tidak teraba.
o Perkusi: Timpani.
o Auskultasi: Peristaltik (+) Normal
 Ekstremitas :
o Superior
Dextra: Hangat, oedem (-), capillary refill time <2 detik
Sinistra: Hangat, oedem (-), capillary refill time <2 detik
o Inferior
Dextra: Scar (+) di regio digiti II, hangat, oedem (-), capillary refill time <2
detik, rigid (+)
3
Sinistra: Hangat, oedem (-), capillary refill time <2 detik, rigid (+)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tanggal 10/06/2017
Hematologi rutin
Hemoglobin : 13.9 gr/dl
Eritrosit : 4.68 jt/mm3
Hematokrit : 42.4 %
Leukosit : 10.630/ul
Trombosit : 248.000/ul
Kimia Darah
Kreatinin : 0,72 mg/dl
BUN : 18 mg/dL
GDS : 71 mg/dl
SGOT : 63 u/l
SGPT : 32 u/l
DIAGNOSIS: Tetanus Score Philips 15
Skor tetanus (skor Philips)
Incubation time: 1
Site of infection: 2
State of protection: 10
Complicaty factor: 2
PENATALAKSANAAN
 O2 nasal kanul 2-4 L/menit
 IVFD RL 20 tpm makrodrip
 Drip diazepam 50 mg dalam D5% / 24 jam
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1g
 Inj. Santagesik 3 x 1g
 Inj. Tetagam 3000 IU/IM
 Diit sonde 6 x 250cc per NGT

4
Follow Up
Tanggal Perjalanan penyakit Terapi
10/06/2017 S : tidak bisa membuka mulut; kaku  Diit sonde 6 x 250cc
pada kedua kaki dan leher; perut terasa  IVFD 2 buah
keras. 1. Drip diazepam 50mg
O : A: bebas dalam 500cc D5% /
B: spontan, RR: 18x/i 24jam
C: TD: 160/80 HR: 70x/i 2. RL 1000cc + D5%
Temp: 36.3OC 1000cc / 24jam
D: GCS: 15  Ceftriaxone 2 x 2g
Keadaan umum: lemah.  Ranitidine 2 x 50mg
A : Tetanus score Philips 15  Santagesik 3 x 1g
 Metronidazole 3 x 500mg

11/06/2017 S : kaku pada leher, perut, dan  Diit sonde 6 x 250cc


punggung. Tidak bisa membuka mulut.  IVFD 2 buah
Kejang (-) 1. Drip diazepam 50mg
O : A: bebas dalam 500cc D5% /
B: spontan, RR: 20x/i 24jam
C: TD: 130/80 HR: 74x/i 2. RL 1000cc + D5%
Temp: 36.5OC 1000cc / 24jam
D: GCS: 15  Ceftriaxone 2 x 2g
Keadaan umum: lemah. Trismus (+),  Ranitidine 2 x 50mg
Kaku kuduk (+), Opistotonus (+).  Santagesik 3 x 1g
Score perawatan:  Metronidazole 3 x 500mg
 Spasme: 5
 Frekuensi spasme: 1
 Suhu: 0
 Pernafasan: 0
Total: 0
A: Tetanus Phillips score 15
12/06/2017 S : tidak bisa membuka mulut, demam (-  Diit cair TKTP 1800 kkal
), Kejang (-)  IVFD 2 buah
O : A: bebas 1. Drip diazepam 50mg
B: spontan, RR: 18x/i dalam 500cc D5% /
C: TD: 120/80 HR: 80x/i 24jam
Temp: 36.4OC 2. RL 1000cc + D5%
D: GCS: 15 1000cc / 24jam
Keadaan umum: lemah. Trismus  Ceftriaxone 2 x 2g
membaik 1 cm, Kaku kuduk (+),  Ranitidine 2 x 50mg
Opistotonus (-).  Santagesik 3 x 1g p.r.n
Score perawatan:  Metronidazole 3 x 500mg
 Spasme: 1
 Frekuensi spasme: 1

5
 Suhu: 0
 Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15
13/06/2017 S : kaku pada leher (+), tidak bisa  Diit cair TKTP 1800 kkal
membuka mulut, kejang (-)  IVFD 2 buah
O : A: bebas 1. Drip diazepam 50mg
B: spontan, RR: 18x/i dalam 500cc D5% /
C: TD: 120/80 HR: 84x/i 24jam
Temp: 36.3OC 2. RL 1000cc + D5%
D: GCS: 15 1000cc / 24jam
Keadaan umum: lemah. Trismus 1 cm,  Ceftriaxone 2 x 2g
Kaku kuduk (+), Opistotonus (-).  Ranitidine 2 x 50mg
Score perawatan:  Santagesik 3 x 1g p.r.n
 Spasme: 1  Metronidazole 3 x 500mg
 Frekuensi spasme: 1
 Suhu: 0
 Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15
14/06/2017 S : tidak bisa membuka mulut, kaku  Diit cair TKTP 1800 kkal
pada leher membaik, kejang (-)  IVFD 2 buah
O : A: bebas 1. Drip diazepam 50mg
B: spontan, RR: 17x/i dalam 500cc D5% /
C: TD: 120/80 HR: 79x/i 24jam
Temp: 36.5OC 2. RL 1000cc + D5%
D: GCS: 15 1000cc / 24jam
Keadaan umum: lemah. Trismus 1 cm,  Ceftriaxone 2 x 2g
Kaku kuduk (-), Opistotonus (-).  Ranitidine 2 x 50mg
Score perawatan:  Santagesik 3 x 1g p.r.n
 Spasme: 1  Metronidazole 3 x 500mg
 Frekuensi spasme: 1
 Suhu: 0
 Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15
15/06/2017 S : sudah bisa membuka mulut namun  Diit bubur halus TKTP
sakit saat membuka, sudah bisa makan  NGT AFF
sendiri, Kejang (-)  IVFD 2 buah
O : A: bebas 1. Drip diazepam 50mg
B: spontan, RR: 20x/i dalam 500cc D5% /
C: TD: 120/80 HR: 76x/i 24jam
Temp: 36.3OC 2. RL 500cc + D5% 500cc /
D: GCS: 15 24jam
Keadaan umum: lemah. Trismus 2 cm,  Ceftriaxone 2 x 2g
Kaku kuduk (-), Opistotonus (-).  Santagesik 3 x 1g p.r.n
Score perawatan:
6
 Spasme: 1  Metronidazole 3 x 500mg
 Frekuensi spasme: 1
 Suhu: 0
 Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15

16/06/2017 S : nyeri saat buka mulut  Diit bubur kasar TKTP


O : A: bebas  IVFD 2 buah
B: spontan, RR: 17x/i 1. Drip diazepam 40mg
C: TD: 120/80 HR: 81x/i dalam 500cc D5% /
Temp: 36.3OC 24jam
D: GCS: 15 2. RL 500cc + D5% 500cc /
Keadaan umum: lemah. Trismus 3 cm, 24jam
Kaku kuduk (-), Opistotonus (-).  Ceftriaxone 2 x 2g
Score perawatan:  Santagesik 3 x 1g p.r.n
 Spasme: 1  Metronidazole 3 x 500mg
 Frekuensi spasme: 1  Meloxicam 2 x 15mg p.r.n
 Suhu: 0  Mobilisasi duduk + jalan
 Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15

17/06/2017 S : nyeri saat buka mulut (-). Sulit untuk  Diit bubur kasar TKTP
berjalan  IVFD 2 buah
O : A: bebas 1. Drip diazepam 40mg
B: spontan, RR: 19x/i dalam 500cc D5% /
C: TD: 120/80 HR: 80x/i 24jam
Temp: 36.4OC 2. RL 500cc + D5% 500cc /
D: GCS: 15 24jam
Keadaan umum: lemah. Trismus (-),  Ceftriaxone 2 x 2g
Kaku kuduk (-), Opistotonus (-).  Santagesik 3 x 1g p.r.n
Abdomen: soepel.  Metronidazole 3 x 500mg
Score perawatan:  Meloxicam 2 x 15mg p.r.n
 Spasme: 1  Mobilisasi duduk + jalan
 Frekuensi spasme: 1
 Suhu: 0
 Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15

18/06/2017 S : (-)  Diit bubur kasar TKTP


O : A: bebas  IVFD 2 buah
B: spontan, RR: 20x/i 1. Drip diazepam 30mg
C: TD: 120/80 HR: 76x/i dalam 500cc D5% /
Temp: 36.2OC 24jam
D: GCS: 15 2. RL 500cc + D5% 500cc /
Keadaan umum: cukup. Trismus (-), 24jam

7
Kaku kuduk (-), Opistotonus (-).  Ceftriaxone 2 x 2g
Abdomen: soepel.  Santagesik 3 x 1g p.r.n
Score perawatan:  Metronidazole 3 x 500mg
 Spasme: 1  Meloxicam 2 x 15mg p.r.n
 Frekuensi spasme: 1  Mobilisasi duduk + jalan
 Suhu: 0
 Pernafasan: 0
Total: 2
A: Tetanus Phillips score 15

19/06/2017 S : (-)  Diit bubur kasar TKTP


O : A: bebas  Drip diazepam 20mg dalam
B: spontan, RR: 21x/i 500cc D5% / 24jam
C: TD: 120/80 HR: 77x/i  Ceftriaxone 2 x 2g
Temp: 36.3OC  Santagesik 3 x 1g p.r.n
D: GCS: 15  Metronidazole 3 x 500mg
Keadaan umum: cukup. Trismus (-),  Meloxicam 2 x 15mg p.r.n
Kaku kuduk (-), Opistotonus (-).
 Mobilisasi duduk + jalan
Abdomen: soepel.
Score perawatan:
 Spasme: 0
 Frekuensi spasme: 0
 Suhu: 0
 Pernafasan: 0
Total: 0
A: Tetanus Phillips score 15

19/06/2017 Pasien pulang atas Permintaan sendiri.


16.00 WIB

8
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Resume

Pasien laki-laki usia 47 tahun datang dengan keluhan tidak bisa membuka mulut yang
sudah dirasakan sejak 4 hari SMRS. Pasien juga mengeluhan kaku pada kedua kaki dan leher
serta perut yang terasa keras. Satu bulan yang lalu, jari kaki kanan pasien terkena pecahan
kaca dan diobati dengan minyak tanah serta tidak disuntik tetanus.

Pada pemeriksaan fisik didapati tekanan darah 160/80mmHg, frekuensi nadi


70x/menit, frekuensi nafas 18x/menit, suhu 36.3OC. dari pemeriksaan kepala didapatkan
trismus. Dari pemeriksaan leher didapatkan kaku kuduk. Dari pemeriksaan abdomen
didapatkan opistotonus. Dari pemeriksaan ekstremitas inferior didapatkan rigid.

II.2 Pembahasan

Tn S, 47 tahun datang dengan keluhan tidak bisa membuka mulut sejak 4 hari SMRS.
Pasien juga mengeluhkan kaku pada kedua kaku dan leher serta perut terasa keras. Satu bulan
yang lalu, jari kaki kanan pasien terkena beling dan tidak dijahit. Tidak ada riwayat disuntik
tetanus. Dari gejala yang dikeluhkan pasien diatas jelas mengarah kepada gejala tetanus.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang. Pada
pemeriksaan kepala didapatkan trismus. Pada pemeriksaan leher didapatkan kaku kuduk.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan opistotonus. Dari scoring Philips didapatkan masa
inkubasi 1 bulan (1), imunisasi (10), luka infeksi digiti II (2), faktor komplikasi ringan (2).
Total scoring Philips 15 yaitu derajat keparahan sedang.

Penatalaksanaan di IGD pada pasien ini adalah pemberian O2 2-4 L/menit dengan
nasal kanul untuk mempertahankan saturasi O2 >95%. Antibiotika yang diberikan pada
pasien ini adalah injeksi ceftriaxone 2 x 1g serta pemberian imunisasi pasif yaitu injeksi
Tetagam 3000 IU intramuskular. Antikonvulsan yang diberikan yaitu Diazepam 50 mg drip
dalam IVFD Dextrose 5% 7 tpm makrodrip untuk mengatasi spasme otot dan kejangnya.
IVFD 20 tpm makrodrip. Diit per NGT makanan cair 6 x 250 cc.

9
Pasien dirawat di ruangan mawar. Pengobatan ditambah dengan Metronidazole 3 x
500 mg dan Ranitidine 2 x 50 mg mulai tanggal 10 Juli 2017. Keadaan trismus dan
opistotonus mulai membaik setelah dirawat selama 2 hari. Kaku kuduk membaik setelah
tanggal 14 Juli 2017. Tanggal 15 Juli 2017 diit pasien diganti dari cair menjadi bubur halus.
Tanggal 16 Juli 2017 pasien mengeluhkan nyeri saat membuka mulut dan diberikan
Meloxicam 2 x 15 mg p.r.n. dan dosis Diazepam drip diturunkan menjadi 40 mg per 24 jam
serta diit pasien diganti dari bubur halus menjadi bubur kasar. Tanggal 17 Juli 2017 pasien
disarankan agar mobilisasi duduk dan berjalan. Tanggal 19 Juli 2017 keluhan pasien sudah
tidak ada dan dosis Diazepan drip diturunkan menjadi 20 mg per 24 jam. Tanggal 19 Juli
2017 pukul 16.00 WIB pasien pulang atas permintaan sendiri.

II.3 Tinjauan Pustaka

Defenisi dan Etiologi

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dengan gangguan neuromuskular akut


berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik dari kuman
anaerob Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar
maupun kecil, luka nyata maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus
adalah luka-luka seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka
tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali
pusat. Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu sejenis kuman gram positif
yang dalam keadaan biasa berada dalam bentuk spora dan dalam suasana anaerob berubah
menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi eksotoksin antara lain neurotoksin
tetanospasmin dan tetanolysin. Toksin inilah yang menimbulkan gejala – gejala penyakit
tetanus.1

Bentuk spora Clostridium tetani terdapat di sekitar kita seperti pada tanah, rumput –
rumput, kayu, kotoran hewan dan manusia. Kuman ini untuk pertumbuhannya membutuhkan
suasana anaerob yang akan terjadi apabila luka dengan banyak jaringan nekrotik di dalamnya,
atau luka dengan pertumbuhan bakteri lain terutama bakteri pembuat nanah
seperti Staphyloccus aureus.

Istilah “ tetanus prone wound ” yaitu luka yang cenderung menyebabkan penyakit
tetanus antara lain luka dengan patah tulang terbuka, luka tembus, luka dengan berisi benda
10
asing, terutama pecahan kayu, luka dengan infeksi pyogenic, luka dengan kerusakan jaringan
yang luas, luka bakar luas grade II dan III, luka superfisial yang nyata berkontaminasi dengan
tanah atau pupuk kotoran binatang di mana luka itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat
topical desinfektansia atau pembersihan secara bedah, abortus dengan septis, melahirkan
dengan pertolongan persalinan yang tidak adekuat, pemotongan dan perawatan tali pusat
tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik, ulserasi kulit dengan
jaringan nekrotik, segala macam tipe gangren, operasi bedah pada saluran cerna mulai dari
mulut sampai anus, otitis media puralenta. Masa inkubasi penyakit tetanus tidak selalu sama
tapi pada umumnya 8 – 12 hari, akan tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa minggu bahkan
beberapa bulan. Bertambah pendek masa inkubasinya bertambah berat penyakit yang
ditimbulkannya.

Penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang telah diserangnya.
Angka kematian penderita tetanus sangat tinggi sekitar 50 %, angka itu akan bertambah besar
pada rumah sakit yang belum lengkap peralatan perawatan intensifnya, mungkin lebih rendah
pada rumah sakit dengan perawatan intensif yang sudah lengkap.2

Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu mendapat perhatian yang
utama. Usaha yang ditempuh mengatasi penyakit ini adalah :

a. Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang

b. Melakukan tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yang luka secara benar dan tepat.

c. Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara multidisipliner.

Terdapat beberapa faktor yang memperburuk prognosis seperti masa inkubasi yang
pendek, stadium penyakit yang parah, penderita yang lanjut usia, neonatus, kenaikan suhu
yang tinggi, pengobatan yang lambat, adanya komplikasi seperti status konvulsivus, gagal
jantung, fraktur vertebra, pneumonia. Ciri khas kejang pada tetanus yaitu kejang tanpa
penurunan kesadaran. Masa inkubasi penyakit (waktu dari timbulnya gejala pertama
sehingga terjadi kejang) adalah 24 – 72 jam.

11
Patogenesis dan Patofisiologi

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka
dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar,
luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien
tetanus, port d’entre terdapat didaerah kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat
juga terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru
lahir Clostridium tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa
memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap
sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan
sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk
vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian
mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka dan tidak ada
penyebaran kuman.

Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi
tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal
untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik
terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan
diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai
susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi.
Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik
sama sekali tidak menyerap toksin.

Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,


Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke
dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4
penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh
kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya
kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang
dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari
12
kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotonga
tali pusat yang tidak steril.

Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila
dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-
tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak
eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom.
Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside
dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum
tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin
terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan
dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus
menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter.
Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter
inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan
penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada
tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum
tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada,
perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan
mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah
menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini
pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan
gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.

Tetanospasmin pada system saraf otonom juga terpengaruh, sehingga terjadi


gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih,
dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi,
hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena
penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi
dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan di kelola dengan teliti.

13
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level
dari susunan syaraf pusat, dengan cara:
 Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
 Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks
synaptik di spinal cord.
 Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS )


dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung,
peninggian cathecholamine dalam urine.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan


meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus oleh
karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli
terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya
kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:


1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa
kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk kedalam susunan syaraf pusat.

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak)
pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena
biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan
oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.

14
Manifestasi Klinis

Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai
kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut masa inkubasi,
yang berpengaruh terhadap prognostik. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
1. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian
sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit
pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus
umum.
2. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa
trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang
terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
3. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus,
iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-
abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang
umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan
dengan kesadaran yang tetap baik.
4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya
karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi
yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek,
kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik: trismus,
kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis
lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap
dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan
dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan
henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.1,3

15
Skoring Tetanus

Beberapa sistem scoring tetanus yang dapat digunakan antara lain, scoring Phillips,
abletss score.

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s:


 Derajat I (ringan) Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada,
disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
 Derajat II (sedang) Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu
dan disfagia ringan
 Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell,
disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
16
 Derajat IV (sangat berat) Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi
sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi,
hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis,
hipovolemia atau penyebab iatrogenik. Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan,
sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:


 Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
 Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
 Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut
(opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
 Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
 Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana
kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
 Lekositosis ringan
 Trombosit sedikit meningkat
 Glukosa dan kalsium darah normal
 Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
 Enzim otot serum mungkin meningkat
 EKG dan EEG biasanya normal
 Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk
tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
 Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang, sukar
membuka mulut lebar – lebar), rhisus sardonicus (wajah setan). Kemudian diikuti kaku
kuduk, kaku otot perut, gaya berjalan khas seperti robot, sukar menelan, dan laringospasme.
Pada keadaan yang lebih berat terjadi opistotonus di mana pada saat kejang badan penderita
melengkung dan bila ditelentangkan hanya kepada dan bagian tarsa kaki saja yang

17
menyentuh dasar tempat berbaring. Dapat terjadi spasme diafragma dan otot – otot
pernapasan lainnya. Pada saat kejang penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh
normal hingga subfebris. Sekujur tubuh berkeringat.

Karakteristik Penyakit

Kejang – kejang bertambah berat selama tiga hari pertama, menetap selama 5 – 7
hari. Setelah 10 hari, frekuensi kejang mulai berkurang, setelah 2 minggu kejang
menghilang. Kaku otot hilang paling cepat mulai minggu ke-4.

Stadium Tetanus

Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi stadium
klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.
 Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :
1. Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm) belum ada kejang rangsang,
dan belum ada kejang spontan.
2. Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum
ada kejang spontan.
3. Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan kejang
spontan.
 Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :
1. Stadium 1: Trismus
2. Stadium 2: Opisthotonus
3. Stadium 3: Kejang rangsang
4. Stadium 4: Kejang spontan

Prinsip – prinsip Umum Profilaksis

 Pertimbangan individual penderita. Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah
perlu tindakan profilaksis terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis
luka, dan riwayat imunisasi.
 Debridement. Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan
benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.

18
 Imunisasi aktif. Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan
dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut. DPT
(Dephteri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada usia 2 – 6
bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.
Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan antara umur 5 – 6 tahun 1 x 0,5
cc IM.
 Tetanus toksoid. Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan
selama 3 bulan berturut – turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah
suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pmberian booster di
atas. Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah
mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun, terakhir.
 Imunisasi Pasif. ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal
lembu) maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM. Human Tetanus
Immunoglobuline (asal manusia), terkenal di pasaran dengan nama Hypertet. Dosis yang
diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500 IU ATS),
sedang untuk anak – anak adalah 125 IU per IM. Hypertet diberikan bila penderita alergi
terhadap ATS yang diolah dari hewan. Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat
luka, kondisi penderita, dan status imunisasi. Pasien yang belum pernah mendapat
imunisasi aktif maupun pasif, merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian
imunisasi secara IM, jangan sekali – kali secara IV. Kerugian hypertet adalah harganya
yang mahal, sedangkan keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.

Penatalaksanaan tetanus

Terdiri atas:
1. Pemberian antitoksin tetanus
Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS bagi orang dewasa adalah sebesar
10.000 – 20.000 IU IM dan untuk anak – anak sebesar 10.000 IU IM, untuk hypertet bagi
orang dewasa adalah sebesar 300 IU – 6000 IU IM dan bagi anak – anak sebesar 3000 IU
IM. Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2 – 5 hari berturut – turut.

19
2. Penatalaksanaan luka
Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam setelah terapi
sera (pemberian antitoksin tetanus). Jika memungkinkan dicuci dengan perhydrol. Luka
dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob. Bila perlu di sekitar luka dapat
disuntikan ATS.
3. Pemberian antibiotika
Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar
1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedang untuk anak – anak adalah sebesar 50.000
IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas. Bila penderita alergi terhadap
penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa
adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi dalam 4 dosis. Pengobatan dengan antibiotika ditujukan
untuk bentuk vegetatif clostridium tetani, jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk
membunuh kuman tetanus yang masih ada dalam tubuh, sehingga tidak ada lagi sumber
eksotoksin. ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan dengan
susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf pusat akan
menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS / HTIG tak dapat menetralkannya.
Untuk mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka sumbernya yaitu
kuman clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan antibiotik.
4. Penanggulangan kejang
Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang.
Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang
memadai maka kejang dapat dicegah. Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan
pelemas otot (muscle relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini
hanya dilakukan di ruang perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah
pengawasan seorang ahli anestesi.

20
Jenis Obat Dosis Anak – anak Dosis Orang Dewasa
Fenobarbital Mula – mula 60 – 100 mg IM, 3 x 100 mg IM
kemudian 6 x 30 mg per oral.
(Luminal)
Maksimum 200 mg/hari
Klorpromazin 4 – 6 mg/kg BB/hari, mula – mula 3 x 25 mg IM
IM, kemudian per oral
(Largactil)
Diazepam Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB 3 x 10 mg IM
IM, kemudian per oral 1,5 – 4
(Valium)
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6
dosis
Klorhidrat – 3 x 500 – 100 mg per
rectal

5. Perawatan penunjang
Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde, dengan asupan sebesar 2000 kalori / hari untuk
orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/kg BB/hari untuk anak – anak, bersihkan jalan
nafas secara teratur, berikan cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda –
tanda vital (seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi, kecepatan
pernapasan), trismus (diukur dengan cm setiap hari), asupan / keluaran (pemasukan dan
pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit (bila fasilitas pemeriksaan memungkinkan),
konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
6. Pencegahan komplikasi.
Mencegah anoksia otak dengan pemberian antikejang sekaligus mencegah laringospasme,
jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba endotrakheal)
atau lakukan trakheotomi berencana, pemberian oksigen. Mencegah pneumonia dengan
membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian
antibiotika. Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian anti kejang yang memadai.

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul adalah: pneumonia, terutama karena aspirasi,


terutama pada saat kejang, fraktur vertebra akibat kejang.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumiardi Karakata, Bob Bachsinar; Bedah Minor, edisi 2, Jakarta: Hipokrates,1999

2. Ismael Chairul; Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus dalam bidang bedah : UNPAD, 2000

3. Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2001, 49- 51.

4. Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta: 2004. 322.

5. http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview

6. BUKU Ajar Ilmu Bedah. De Jong dkk. Ed 2: Jakarta, 2004

7. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.


Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871

22

Anda mungkin juga menyukai