Anda di halaman 1dari 14

TUGAS KELOMPOK

MK SANITASI MAKANAN DAN MINUMAN (3 SKS)


“TIFOID MARY MALLON”

Disusun Oleh :
Kelompok 7
Euis Novi Solihati 25010113120082
Umi Alfiani 25010113120104
Elisa Maharani 25010113120112
Achmad Rizki Azhari 25010113140258
Cristin Oktaviana G.Y.A 25010113140266
Titi Hapsari 25010113140357
Ilya Farokha Rizqyana 25010113130387
Agustina Ratri Maharani 25010113130416

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2016
1. Penyebab dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masalah

1.1. Penyebab Masalah

Seorang wanita bernama Mary Mallon (1869-1938) adalah sosok penting


dalam dunia kedokteran di Amerika Serikat. Pasalnya, Mallon adalah orang pertama
di AS yang diidentifikasi sebagai pembawa sehat (healthy carrier) kuman
tipus. Healthy carrier berarti tubuhnya membawa kuman namun dia tak menderita
sakit tipus.

Malon berimigrasi ke New York tahun 1884. Dia bekerja sebagai juru masak
tahun 1900-1907. Selama dia bekerja menjadi juru masak, 53 orang tertular penyakit
tifoid dan tiga di antaranya meninggal dunia.

Di tahun 1900 Malon bekerja menjadi juru masak di Mamaroneck New York
dan kurang dari dua minggu penghuni rumah yang dilayani langsung sakit tifoid. Di
Manhattan dia bekerja di sebuah keluarga tahun 1901 dan anggota keluarga itu
menderita demam dan diare. Kemudian dia bekerja pada seorang pengacara dan tujuh
dari delapan anggota keluarga pengacara itu menderita tifoid. Tahun 1906 dia bekerja
di Long Island. Dalam dua minggu enam dari sebelas anggota keluarga yang
dilayaninya masuk rumah sakit karena tifoid. Dia terus pindah kerja lagi dan menulari
tifoid pada lebih dari tiga keluarga lagi.

Healthy carrier adalah orang sehat yang pernah menderita demam tifoid
namun bakteri penyebab tifoid itu tetap hidup tanpa menyebabkan si pembawa sakit.
Si pembawa ini terus mengeluarkan bakteri di kotoran dan urinnya. Mary Mallon
merupakan healthy carrier atau carier kronis tifoid abdomalis yang disebabkan oleh
Salmonella typhi.

1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masalah

a. Faktor Host
Manusia merupakan sumber penularan Salmonella typhi. Terjadinya
penularan karena kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang
penderita demam tifoid abdominalis atau carrier kronis. Transmisi bakteri
Salmonella terutama masuk bersama makanan atau minuman yang tercemar
kotoran manusia. (Timmreck, 2004)
Selain itu, transmisi secara kongenital dapat terjadi secara transplasental dari
seorang ibu yang mengalami bakterimia (beredarnya bakteri dalam darah) kepada
bayi dalam kandungan atau tertular saat dilahirkan dari seorang ibu yang
merupakan carrier Tifoid abdominalis dengan rute fekal oral. (Timmreck, 2004)
Seseorang yang telah terinfeksi Salmonella typhi dapat menjadi carrier kronis
dan mengekspresikan mikroorganisme selama beberapa tahun (Soedarno et all,
2004). Kasus Mary Mallon merupakan salah satu kasus yang membuktikan
bahwa bukan hanya formite yang dapat menjadi media penyebaran penyakit.
Hasil penyelidikan George Soper (1900) mengatakan bahwa perhatian khusus
perlu diberikan pada carrier tifoid kronik yang menyebabkan dan menyebarkan
penyakit. (Timmreck, 2004)

b. Faktor Agent
Tifoid abdominalis disebabkan oleh Salmonella typhi. Bakteri ini hanya dapat
menginfeksi tubuh manusia. Jumlah Salmonella typhi yang tertelan akan
mempengaruhi masa inkubasi, semakin banyak bakteri yang tertelan maka akan
semakin singkat masa inkubasi Tifus abdominalis. (Agus Syahrurahman, 1994)

c. Faktor Environment
Tifoid abdominalis merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di
daerah tropis terutama daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar higiene dan sanitasi yang rendah. Penyebaran penyakit akan
semakin meningkat apabila disertai dengan kondisi tepat tinggal yang tidak sehat,
kepadatan penduduk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang
masih rendah. (Soeijanto, 2002)

2. Proses Terjadinya Masalah

2.1. Gambaran Proses Terjadinya Masalah

Seorang wanita bernama Mary Mallon (1869-1938) adalah sosok penting


dalam dunia kedokteran di Amerika Serikat. Pasalnya, Mallon adalah orang pertama
di AS yang diidentifikasi sebagai pembawa sehat (healthy carrier) kuman tifoid. Mary
Mallon dilahirkan dengan kuman tifoid karena ibunya menderita demam tifoid ketika
mengandung dirinya. (Dhorothea, 2014)

Berikut kronologi masalah terkait Mary Mallon: (Dhorothea, 2014)

1. Tahun 1900-1907, Mallon bekerja sebagai juru masak di New York. Selama dia
bekerja menjadi juru masak, 53 orang tertular penyakit tifoid dan tiga di antaranya
meninggal dunia.
2. Tahun 1900, Mallon bekerja menjadi juru masak di Mamaroneck New York dan
kurang dari dua minggu penghuni rumah yang dilayani langsung sakit tifoid.
3. Tahun 1901, Mallon bekerja di Manhattan dalam sebuah keluarga dan anggota
keluarga tersebut menderita demam dan diare. Kemudian dia bekerja pada
seorang pengacara dan tujuh dari delapan anggota keluarga pengacara tersebut
menderita tifoid.
4. Tahun 1906, Mallon bekerja di Long Island dan dalam dua minggu enam dari
sebelas anggota keluarga yang dilayaninya masuk rumah sakit karena tifoid. Dia
terus pindah kerja lagi dan menulari tifoid pada lebih dari tiga keluarga baru.
5. Kasus tifoid Mallon menjadi terkenal karena Mallon menolak disebut sebagai
penular penyakit tifoid. Dia menolak berhenti bekerja sebagai juru masak.
6. Pada akhirnya pejabat kesehatan memaksa Mallon dikarantina selama 23 tahun
dan dia meninggal di dalam karantina pada tahun 1938.

2.2. Analisa Proses Masalah

“Mary Mallon dilahirkan dengan kuman tifoid karena ibunya menderita


demam tifoid ketika mengandung dirinya”. Keterangan tersebut dapat menandakan
bahwa penyakit demam tifoid dapat terjadi transmisi vertikal. Transmisi vertikal
adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau dalam kasus yang jarang
terjadi, parasit ditularkan langsung dari ibu ke embrio, janin, atau bayi selama
kehamilan atau melahirkan (Wikipedia, 2016). Transmisi vertical demam tifoid dari
ibu dengan demam tifoid dapat terjadi pada masa neonatus (Schachner et all, 2011)
“Mallon adalah orang pertama di AS yang diidentifikasi sebagai pembawa
sehat (healthy carrier) kuman tifoid” Karir tifoid terdapat dua jenis yaitu karir
konvalens dan karir kronik. Perbedaan kedua karir tersebut dapat dipahami melalui
table berikut ini:

Tabel 1. Perbedaan Karir Konvalens dan Karir Kronik

Karir Konvalens Karir Kronik

Menyebarkan basil tifoid selama


lebih dari 12 bulan setelah onset
penyakit akut; atau
Menyebarkan basil tifoid selama 3
bulan atau lebih setelah onset dari Tidak memiliki riwayat demam tifoid
penyakit akut. atau memiliki penyakit lebih dari 1
tahun sebelumnya, namun memiliki
dua kultur kotoran atau urin positif S.
typhi dipisahkan selama 48 jam.

Sumber: County of Los Angeles Public Health, 2016

Mary Mallon tergolong karir kronik oleh karena dia tidak memiliki riwayat demam
tifoid tetapi terdapat S. typhi dalam tubuhnya dan dapat menyebarkan bakteri tersebut
kepada orang lain.

Menurut Paulsun (dalam NDSC, 2004) asal-usul kontaminan mikroba dalam


makanan termasuk makanan itu sendiri atau sumbernya, lingkungan, dan kontaminasi
silang dari penjamah makanan (food handler) yang terinfeksi. Kontaminasi dari
mikroorganisme dapat bertanggung jawab untuk wabah penyakit menular diteruskan
dari pekerja makanan kepada konsumen melalui makanan. Healthy carrier dari
penyakit demam tifoid atau dapat disebut karir tifoid merupakan orang tanpa gejala
yang menebar bakteri tifoid dari tinja atau urin, kadang-kadang dari luka, jaringan,
dan organ (County of Los Angeles Public Health, 2016). Sehingga Mary Mallon
dapat dikatakan sebagai sumber penularan demam tifoid melalui perilakunya sebagai
food handler yang setiap harinya mengolah makanan untuk banyak orang dari tahun
1900-1915.

3. Kerugian Akibat Masalah

Marry Mallon bekerja sebagai juru masak tahun 1900-1907. Selama dia
bekerja menjadi juru masak, 53 orang tertular penyakit tifoid dan tiga diantaranya
meninggal dunia (Dhorothea, 2014).

Mary terus menjadi host dari bakteri typhoid ini, mencemari segalanya
disekelilingnya, ancaman nyata bagi lingkungan sekitarnya. Sebelumnya juru masak
Mary telah bertugas di 8 keluarga. Tujuh dari mereka pernah mengalami kasus
typhoid. 22 orang menunjukkan tanda-tanda infeksi dan beberapa meninggal
(Marineli et all, 2013).

Pada tahun 1907, sekitar 3.000 warga New York telah terinfeksi oleh
Salmonella typhi, dan mungkin Mary adalah alasan utama untuk wabah. Sebagai
seorang juru masak dari Sloane Maternity di Manhattan, ia mengkontaminasi, dalam
tiga bulan, sedikitnya 25 orang, dokter, perawat dan staf. Dua dari mereka tewas
(Marineli et all, 2013).

4. Solusi Masalah

4.1. Teori HCCP

HACCP atau Analisis Bahaya pada Titik Pengendalian Kritis adalah sebuah
pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi bahaya-bahaya, tindakan-tindakan
pengendalian dalam proses persiapan makanan, dimana pengendalian penting dalam
memastikan keamanan pangan. (Ditjen PPM & PL, 2001)

Pengertian lain HACCP adalah suatu alat (tools) yang dipakai untuk
mengukur tingkat bahaya, menduga perkiraan resiko dan menetapkan ukuran yang
tepat dalam pengawasan,dengan menitikberatkan pada pencegahan dan pengedalian
proses pengolahan makanan Badan Standardisasi Nasional. Sistem Analisa Bahaya
dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya (Ditjen PPM &
PL, 2001).

Pendekatan HACCP dapat disesuaikan dengan perkembangan desain,


prosedur, proses atau teknologi pengolahan makanan. Sebagai nilai tambah dari
penerapan HACCP adalah meningkatkan keamanan makanan, keuntungan
penggunaan bahan baku terbaik dan reaksi cepat dalam mengatasi masalah produksi
yang timbul. Penerapan HACCP juga membantu tugas pengawasan rutin oleh
pemerintah dan memfokuskan pengawasan pada makanan yang berisiko tinggi bagi
kesehatan dan meningkatkan kepercayaan dalam perdagangan lokal maupun
internasional. Untuk itu HACCP perlu dipahami untuk industri makanan (Ditjen PPM
& PL, 2001).

Secara garis besar menurut Badan Standardisasi Nasional (1998) tentang


HACCP serta pedoman penerapannya, bahwa dalam pelaksanaan HACCP terdapat 7
prinsip, di antaranya :

1. Mengidentifikasi bahaya atau ancaman

Merupakan upaya untuk mengkaji seberapa jauh akibat dan risiko yang akan
ditimbulkan oleh ancaman tersebut. Pada tahap ini, perlu mempelajari jenis-jenis
mikroba makanan , bahan-bahan kimia yang berbahaya dan benda-benda asing
yang membahayakan konsumen. Perlu dipertimbangkan pada prinsip ini adalah
bahan mentah, bahan baku dan parameter yang mempengaruhi keamanan pangan.
Disamping itu, pembuatan diagram alir dalam penanganan pangan mulai dari
bahan mentah hingga makanan tersebut siap dikonsumsi akan sangat membantu
dalam mengidentifikasi bahaya.

2. Menentukan titik pengendalian kritis (CCP= Critical Control Point )

Pada tahap ini, diagram alir sudah tersedia, sehingga tim pengendali akan
mengenali titik-titik yang berpotensi menimbulkan kontaminasi dengan
menghilangkan atau mengurangi bahaya yang dapat terjadi.
3. Menetapkan batas kritis dan spesifikasi batas kritis.

Titik-titik pengendali kritis (CCP) dapat berupa bahan mentah/baku, lokasi,


tahapan pengolahan, serta praktek atau prosedur kerja yang sangat spesifik. Dari
titik pengendali kritis tersebut kemudian ditentukan batas kritis. Batas kritis
adalah nilai yang memisahkan antara nilai yang diterima dengan nilai yang tidak
dapat diterima.

4. Melakukan penyusunan sistem pemantauan

Penyusunan sistem pemantauan ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi


tentang masing-masing bahan pangan, serta tahap dan prosedur yang disusun
untuk meyakinkan bahwa proses berlangsung secara terkendali.

5. Melakukan tindakan perbaikan

Tindakan ini dilakukan bila kriteria yang ditetapkan tidak tercapai, serta situasi
berada pada kondisi “di luar pengendalian“. Oleh karena itu, harus segera
diperbaiki sehingga tindak lanjut yang tepat dalam proses produksi akan diambil.

6. Menetapkan prosedur verifikasi

Prosedur verifikasi dan pengujian mencakup pengambilan contoh secara acak


dan hasil analisanya dapat dipergunakan untuk menentukan apabila system
HACCP telah bekerja dengan benar.

7. Mencatat dan mendokumentasikan

Pencatatan dan pembukuan yang efisien serta akurat penting dalam penerapan
sistem HACCP. Dokumen yang akurat dapat menjadi dasar dan ukuran dalam
prosedur yang bersangkutan

4.2. Implementasi HCCP

Berdasarkan analisis kasus menggunakan pendekatan HACCP (Hazard


Analitic Critical Control Point) maka dapat diidentifikasi poin kritis sumber
penularan dari kasus Typhoid Mary berasal dari perilakunya sebagai penjamah
makanan (Food Handler) yang ternyata penderita carrier typhi. Solusi atau
pengendalian yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

A. Perilaku Penjamah

Penjamah makanan adalah orang yang bertugas mengolah makanan yang


bekerja di ruang pengolahan makanan, dimana harus sehat dan secara berkala
dilakukan pemeriksaan kesehatan dan tidak boleh berstatus sebagai carrier. Semua
penjamah makanan harus selalu memelihara kebersihan pribadi dan terbiasa untuk
berperilaku sehat selama bekerja ( Direktorat Jendral PPM & PL dan Direktorat
Jendral Pelayanan Medik, 2002). Penjamah makanan dalam hal ini dapat berperan
dalam pemrosesan makanan maupun dalam penyajian makanan. Penyajian makanan
sendiri harus memenuhi persyaratan sanitasi, yaitu bebas dari kontaminasi, bersih dan
tertutup, serta dapat memenuhi selera makan pembeli.

1. Penggunan APD
Penggunaan APD pada karyawan dimaksudkan untuk menghindarkan
kontaminasi s.typhi yang berasal dari penjamah ke makanan sesuai dengan prinsip
handling. Para pekerja harus steril dalam mengelola makanan, diantaranya
menggunakan sarung tangan, masker, celemek, penutup rambut dan penutup
lainnya menutup luka dan iritasi dan sebaiknya ada aturan yang melarang pekerja
yang sakit untuk bekerja (Buckle et al, 2009)

2. Personal hygiene yang baik


Personal higiene penjamah makanan sangatlah perlu dipelajari dan diterapkan
dalam pengolahan makanan untuk mencegah penyebaran penyakit menular
melalui makanan. Hygiene perorangan mencakup semua segi kebersihan diri
pribadi karyawan (penjamah makanan) tersebut. Berdasarkan Permenkes RI No.
1096 Tahun 2011, menjaga hygiene meliputi :
a) Tidak merokok
b) Tidak makan atau mengunyah
c) Tidak memakai perhiasan
d) Selalu mencuci tangan sebelum dan setelah bekerja serta setelah keluar dari
toilet
e) Selalu memakai pakaian kerja dan pakaian pelindung dengan benar
f) Tidak banyak berbicara dan selalu menutup mulut pada saat batuk atau bersin
dengan menjauhi makanan (Permenkes, 2011).

3. Pemeriksaan kesehatandiri (mandiri)


Dengan pemeriksaan kesehatan ini maka kemungkinan adanya gangguan
kesehatan atau gangguan penyakit akan diketahui lebih dini atau lebih awal.
Sehingga pengobatanya akan lebih mudah. Bagi mereka yang dibawah 40 tahun,
pemeriksaan kesehatan cukup dilakukan 2 tahun sekali.Tetapibagimereka yang
berumur 40 tahunkeatas, sebaiknya melakukannya setahun sekali. Pemeriksaan
kesehatan berkala dapat dilakukan melalui: (Nasution, 2004)
a) Pemeriksaan kesehatan berkala mandiri yang dilakukan oleh diri sendiri.
Contohnya dengan menimbang berat badan. Berat badan yang turun maupun
naik secara drastic dapat mengindikasikan atau memprediksikan
kemungkinan adanya gangguan penyakit.
b) Pemeriksaan kesehatan berkala dengan memeriksaan diri pada tempat-tempat
pelayanan kesehatan yang ada (Rumah sakit, Klinik, dan sebagainya)

B. Regulasi/Peraturan Perusahaan (Lingkungan/Karyawan)


1. Persyaratan Kesehatan Karyawan/Penjamah Makanan
Untuk menjadi seorang penjamah makanan harus memenuhi beberapa
syarat. Syarat seorang penjamah makanan dalam Permenkes RI No. 1096
Tahun 2011 : (1) seorang penjamah makanan memiliki sertifikat kursus
hygiene sanitasi makanan. (2) berbadan sehat dibuktikan dengan surat
keterangan dokter. (3) semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan
dengan cara terlindungi dari kontak langsung dengan tubuh.
2. Pemeriksaan Rutin Kesehatan Karyawan/Penjamah Makanan
Pemeriksaan kesehatan karyawan (penjamah makanan) dapat
dilakukan pada awal seleksi masuk (pra-kerja), selama bekerja (berkala) dan
akhir bekerja. Tujuan dilakukannya pemeriksaan kesehatan oleh perusahaan
adalah:
a) Kelayakan untuk bekerja (status kesehatan memenuhi syarat untuk
pekerjaan yang ditetapkan)
b) Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri baik
fisik maupun mental, terutama dalam penyesuaian pekerjaan dengan
tenaga kerja
c) Melindungi tenaga kerja pada setiap gangguan kesehatan yang timbul dari
pekerjaan atau lingkungan kerja
d) Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan
fisik tenaga kerja Memberikan pengobatan dan perawatan secara
rehabilitasi bagi tenaga kerja yang menderita saki (Darmawan,2014)
3. Pemberian Pelatihan / Edukasi bagi Penjamah Makanan
Penjamah makanan harus mendapatkan pelatihan dalam dua aspek
keamanan makanan – prinsip-prinsip praktik higiene yang baikdan system
HACCP. Prinsip-prinsip dalam praktik hygiene yang baik terdiri atas
pengetahuan umum tentang makanan dan kaidah dasar yang harus
diperhatikan oleh penjamah makanan (Jacob, 1989). Manfaat pelatihan
HACCP bagi penjamah makanan terletak pada kenyataan bahwa penjamah
makanan belajar berpikir kritis dan analitist entang unsur-unsur makanan
(termasuk air), produk, peralatan, proses pengolahan makanan dan bahaya
yang ditimbulkan.
Mereka belajar mengidentifikasi bahaya yang potensial dan tindakan
pengendalian yang sesuai dengan pengopeerasian dan kondisi tertentu.
Mereka juga belajar untuk memprioritaskan upaya pengendalian untuk
menjamin agar tindakan yang menentukan dilaksanakan dengan benar da
memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk mengambil langkah - langkah
yang tepat ketika persyaratan tersebut tidak terpenuhi (WHO, 2005)
4. Pembersihan tempat dan disinfeksi
Pembersihan dan disinfeksi yang layak dan tepat waktu pada alat,
peralatan dan permukaan yang kontak langsung dengan makanan dapat
melindungi mutu dan keamanan pangan.Sisa produksi pada peralatan
produksi yang digunakan dapat mendukung pertumbuhan mikroorganisme
pathogen yang dapat membahayakan keamanan produk. Inilah sebabnya
pentingnya penetapan pembersihan dan penjadwalan desinfeksi untuk semua
peralatan dan permukaan alat yang kontak langsung dengan makanan.
Pembersihan dan disinfeksi yang rutin secara signifikan dapat mengurangi
risiko kontaminasi mikrobiologi (APEC, 2013).
Daftar Pustaka

Agus Syahrurahman. 1994. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Revisi. Jakarta:
Binarupa Aksara.

APEC SECRETARIAT. 2013. Training Modules on Food Safety Practices for


Aquaculture: Penerapan Keamanan Pangan pada Perikanan Budidaya. Michigan
State University and The World Bank Group. fscf-ptin.apec.org. Diakses pada 7
Mei 2016.

Badan Standardisasi Nasional. 1988. Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik
Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya. Jakarta.

County of Los Angeles Public Health. 2016. Acute Communicable Disease Control
Manual (B-73), Part IV: Acute Communicable Diseases Typhoid Fever, Carrier.
http://publichealth.lacounty.gov/acd/procs/b73/DiseaseChapters/B73Typhoidfeve
rcarrier.pdf. Diakses pada 08 Maei 2016.
Darmawan, Armaidi. 2014. Pemeriksaan Kesehatan Pekerja. Bagian Ilmu
Kedokteran Komunitas / Keluarga FKIK UNJA.

Dhorothea. 2014. Kisah Tentang Mallon, Si Pembawa Kuman Tifoid.


http://health.kompas.com/read/2014/08/21/081248723/Kisah.Tentang.Mallon.Si.P
embawa.Kuman.Tifoid. Diakses pada 08 Mei 2016.

Ditjen PPM & PL. 2001. Pengendalian Mutu Mandiri Hazard Analysis Critical
Control Point. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Jacob M. 1989. Safe food handling; a training guide for managers of food service
establishments. Geneva, World Health Organization.

Marineli, Filio. Et all. 2013. Mary Mallon (1869-1938) and The History Of Typhoid
Fever. Annals of Gastroenterology (2013) 26, 1-3. Medical School, University of
Athens, Athens, Greece.
http://www.annalsgastro.gr/files/journals/1/earlyview/2013/ev-01-2013-01-
1622.pdf. Diakses pada 08 Mei 2016.
Nasution, Siti Khadijah. 2004. Meningkatkan Status Kesehatan Melalui Pendidikan
Kesehatandan Penerapan Pola Hidup Sehat. FKM USU.

National Disease Surveillance Centre (NDSC). 2004. Preventing Foodborne Disease:


A Focus on the Infected Food Handler. ISBN 0-9540177-5-7.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/Menkes/Per/VI/2011
tentang Higiene Sanitasi Jasaboga

Schachner, Lawrence A. et all. 2011. Pediatric Dermatology Ed 4. United States:


Elsevier Health Sciences.

Silviani, Widi Sovianty. 2012. Implementasi Higiene Sanitasi Penyelenggaraan


Makanan di Rumah Sakit XYZ Tangerang Tahun 2011. Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Soedarno SS. Et all. 2008. Buku Ajar Infeksi Pediatrik Tropik. Jakarta: IDI.

Soeijanto, Soegeng. 2002. Demam Tifoid Ilmu Penyakit Anak Diagnosis dan
Penatalaksanan. Jakarta: Salemba Medika. .
Timmreck, T.C. 2004. Epidemiologi Suatu Pengantar. Edisi 2. Jakarta: EGC:.

WHO. 2005. PenyakitBawaanMakanan (FokusPendidikanKesehatan). Jakarta: EGC.

Wikipedia. 2016. Vertically Transmitted Infection.


https://en.wikipedia.org/wiki/Vertically_transmitted_infection. Diakses pada 08
Mei 2016.

Anda mungkin juga menyukai