Anda di halaman 1dari 12

Bioetika, pada awalnya didefinisikan sebagai suatu studi

masalah etika terkait produksi, penggunaan dan modifikasi

mikroorganisme, tanaman dan hewan dalam pertanian, industri

farmasi dan produksi makanan, yang dikenal sebagai bioteknologi.

Bioetika, dengan demikian disebut etika bioteknologi. Saat ini,

Bioetika didefinisikan sebagai etika yang berhubungan dengan

praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang kedokteran.

Definisi ini menimbulkan persepsi bahwa bioetika sama atau

sinonim dengan etika kedokteran.

World Medical Association (WMA) menyebut etika kedokteran

berkaitan erat dengan bioetika namun tidak sama.Etika kedokteran

sendiri diterjemahkan sebagai suatu disiplin yang melibatkan

banyak ilmu, meneliti, mengkritisi, mendalami, menganalisis dan

menguji aspek moral dan etika terutama pengambilan keputusan

terkait pelayanan kesehatan dan penelitian kedokteran. Bioetika

dan etika kedokteran saling beririsan, dimana terdapat aspek yang

merupakan bagian dari keduanya. Tetapi jika bioetika didefinisikan

lebih luas sebagai cabang etika yang mempelajari masalah terkait

kedokteran dan biologi, termasuk masalah terapi, hak pasien, hak

dokter dan profesi kesehatan lainnya, batasan-batasan terhadap

intervensi medis seperti aborsi dan euthanasia, serta

ketepatgunaan penelitian genetika dan aplikasinya, maka bioetika

meliputi keseluruhan aspek dari etika ekosistem dan kedokteran.

Atau, bioetika dapat disebut sebagai etika ilmu hayati dimana tidak

hanya ilmu kedokteran dan biologi tetapi juga praktek kedokteran

dan biologi, yang antara lain mempelajari keputusan politik,

organisasi dan ekonomi yang mempengaruhinya. Dengan

demikian, etika kedokteran termasuk ke dalam bioetika.

Beauchamp dan Childress (1994) menyebutkan empat kaidah


dasar dalam bioetika, yang disebut sebagai prinsip moral bioetika

atau prinsip dasar bioetika. Empat prinsip tersebut adalah:

1) Prinsip Autonomy, yaitu prinsip moral yang menghormati hak

pribadi, terutama dalam membuat keputusan (the right to self

determination). Prinsip moral ini merupakan dasar

pelaksanaan informed consent,

Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos”

yang berarti sendiri dan ”nomos” yang berarti peraturan atau

pemerintahan atau hukum. Awalnya otonomi dikaitkan dengan

suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri

atau hukum sendiri. Namun kemudian, otonomi juga digunakan

pada suatu kondisi individu yang maknanya bermacam-macam

seperti memerintah sendiri, hak untuk bebas, pilihan pribadi,

kebebasan berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama

otonomi individu adalah aturan pribadi atau perseorangan dari diri

sendiri yang bebas, baik bebas dari campur tangan orang lain

maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang

benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup. Seseorang

yang dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan

oleh orang lain atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai

dengan hasrat dan rencananya.

Pada dasarnya berbagai teori otonomi menyepakati adanya

dua kondisi otonomi yang penting yaitu liberty atau bebas dari

pengaruh pengendalian dan agency atau kemampuan untuk

bertindak sesuai keinginan. Namun, hasil analisa lain menyebutkan

ada tiga kondisi penting dari otonomi yaitu mampu bertindak

(1) secara disengaja, (2) dengan pemahaman, dan (3) tanpa

dikendalikan dalam menentukan tindakannya.

Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip


otonomi. Meskipun demikian, secara umum ada beberapa cara

menerapkan prinsip otonomi, khususnya dalam praktek kedokteran.

Cara-cara tersebut antara lain:

1. Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya

(tell the truth)

2. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of

others)

3. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect

confidential information)

4. Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap

pasien (obtain consent for interventions with patients)

5. Membantu orang lain membuat keputusan yang penting

(when ask, help others make important decision)

Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai

kompetensi pasien. Para pakar meyakini belum ada satu definisi

kompetensi pasien yang dapat diterima semua pihak, sehingga

begitu banyak defnisi tentang kompetensi pasien. Salah satu

definisi kompetensi pasien yang dapat diterima adalah

”kemampuan untuk melaksanakan atau perform suatu tugas atau

perintah”.

Menyatakan seseorang kompeten dan tidak kompeten tentu

harus memiliki dasar. Di dalam hukum dan kedokteran, standar

kompetensi seseorang umumnya didasarkan pada gambaran

kemampuan mentalnya atau kemampuan yang mengarah pada

karakteristik pribadi yang otonom, seperti kemampuan kognitif dan

kebebasan dalam membuat keputusan. Dalam kontek biomedis,

seseorang dipandang kompeten jika mampu memahami prosedur

suatu penelitian atau tindakan terapi, menyadari resiko serta

manfaatnya dan dalam membuat keputusan dilakukan secara


sadar atau disengaja.

Menyatakan seseorang tidak kompeten juga memiliki standar.

Standar tersebut antara lain:

1. Tidak mampu mengekspresikan atau mengkomunikasikan

suatu pilihan atau keputusan

2. Tidak mampu memahami satu situasi dan konsekuensi

atau dampaknya

3. Tidak mampu memahami informasi yang sesuai

4. Tidak mampu memberikan alasan

5. Tidak mampu memberikan alasan yang rasional

6. Tidak mampu memberikan alasan terkait resiko atau manfaat

7. Tidak mampu mencapai suatu keputusan yang beralasan

Standar tidak kompeten di atas dikelompokan lagi menjadi

3 jenis kemampuan. Standar 1 adalah kemampuan yang sederhana

untuk menyatakan keputusan atau pilihan dan merupakan standar

yang lemah. Standar 2 dan 3 adalah kemampuan untuk memahami

informasi dan menilai suatu kondisi. Standar 4 sampai 7 adalah

kemampuan membuat alasan terkait pembuatan keputusan yang

memiliki konsekuensi terhadap kehidupan seseorang meskipun

hanya standar 7 yang menunjukan secara jelas hasil yang dapat

diterima dari sebuah proses penetapan alasan. Cara lain untuk

menetapkan tidak kompeten adalah dengan melakukan pengujian

atau tes sehingga diperoleh hasil yang nyata.

Contohnya adalah tes demensia, uji status kejiwaan dan tes

sejenis lainnya yang digunakan untuk menguji faktor-faktor seperti

orientasi waktu dan tempat, perseveration, ingatan (memory),

pemahaman dan koherensi.

2) Prinsip Beneficence, yaitu mengutamakan tindakan untuk

kebaikan,
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan,

kebaikan, kemurahan hati, mengutamakan kepentiang orang lain,

mencintai dan kemanusiaan.

Beneficence dalam makna yang lebih luas berarti tindakan

yang dilakukan untuk kebaikan orang lain. Prinsip moral

beneficence adalah kewajiban moral untuk melakukan suatu

tindakan demi kebaikan atau kemanfaatan orang lain (pasien).

Prinsip ini digambarkan sebagai alat untuk memperjelas atau

meyakinkan diri sendiri (self-evident) dan diterima secara luas

sebagai tujuan kedokteran yang tepat.

Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip

ini bukanlah satu-satunya prinsip yang harus dipertimbangkan,

melainkan satu diantara beberapa prinsip lain yang juga harus

dipertimbangkan. Prinsip ini dibatasi keseimbangan manfaat,

resiko, dan biaya (sebagai hasil dari tindakan) serta tidak

menentukan pencapaian keseluruhan kewajiban. Kritik yang sering

muncul terhadap penerapan prinsip ini adalah tentang kepentingan

umum yang diletakan di atas kepentingan pribadi. Sebagai contoh,

dalam penelitian kedokteran, atas dasar kemanfaatan untuk

kepentingan umum sering prosedur penelitian yang

membahayakan individu subjek penelitian diperbolehkan. Padahal,

terdapat prinsip-prinsip lain yang semestinya juga

dipertimbangkan. Prinsip beneficence harus diterapkan baik untuk

kebaikan individu seorang pasien maupun kebaikan masyarakat

keseluruhan.

Beberapa bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan

komponen penting dalam moralitas. Karena luasnya cakupan

kebaikan, maka banyak ketentuan-ketentuan dalam praktek

(kedokteran) yang baik lahir dari prinsip beneficence ini. Beberapa


contoh penerapan prinsip beneficence ini adalah:

1. Melindungi dan menjaga hak orang lain.

2. Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain.

3. Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain.

4. Membantu orang dengan berbagai keterbatasan (kecacatan).

5. Menolong orang yang dalam kondisi bahaya.

Salah satu bagian dari pengembangan prinsip kebaikan

adalah prinsip non-maleficence (lihat prinsip non-maleficence).

Prinsip ini dibedakan dari prinsip beneficence dalam beberapa

kondisi. Prinsip non-maleficence; (a) berisi larangan untuk

melakukan suatu tindakan, (b) harus diikuti dengan seimbang, dan

(c) memberi alasan terhadap larangan suatu tindakan.

Sedangkan prinsip beneficence; (a) berisi dorongan untuk

melakukan suatu tindakan, (b) tidak harus diikuti dengan seimbang,

dan (c) jarang, memberi alasan suatu hukuman ketika gagal

mentaati suatu aturan. Kondisi yang kedua, terkait dengan ketaatan

yang seimbang menjadi perhatian tersendiri.

Perbedaan ketaatan antara non-malefecence dengan

beneficence didasarkan pada beberapa pemikiran. Kita secara

moral dilarang untuk melakukan tindakan yang membahayakan

orang lain. Namun, dalam beberapa kondisi, kita diperkenankan

untuk memilih dalam membantu orang lain. Kita dimungkinkan

untuk menerapkan non-maleficence pada semua orang, tetapi sulit

bagi kita untuk bisa berbuat baik kepada semua orang. Tidak

melakukan tindakan pencegahan atau membiarkan bahaya yang

dapat menimpa orang lain adalah tidak bermoral. Namun tidak

berbuat baik kepada orang lain pada beberapa situasi, tidak bisa

dikatakan tidak bermoral. Meskipun demikian, kita harus berupaya

untuk melaksanakan kewajiban yang seimbang pada prinsip


non-maleficence dan pada prinsip beneficence.

Kewajiban beneficence adalah kewajiban yang terbatas.

Dokter memiliki kewajiban untuk memberikan manfaat kepada

beberapa atau seluruh pasiennya. Meskipun demikian, dokter

diperbolehkan untuk menerima atau menolak pasiennya jika sudah

diluar kompetensinya atau tidak terdaftar untuknya. Kewajiban

beneficence menjadi kompleks jika dua pasien yang harus

ditangani pada waktu yang bersamaan. Berbagai kriteria seperti

kemendesakan, atau prinsip lain seperti prinsip non-maleficence

harus digunakan dalam pengambilan keputusan.

Terdapat satu kondisi dalam dunia kedokteran, dimana dokter

melakukan suatu tindakan yang didorong oleh semangat kebaikan

dan pengabdian untuk kebaikan pasien tanpa berkonsultasi dulu

dengan pasien atau mengesampingkan harapan pasien, yang

disebut “paternalistik”. Contoh kasusnya adalah tindakan yang

dilakukan dokter kepada seorang pasien yang mencoba bunuh diri.

Untuk mencegah pasien membahayakan dirinya sendiri, misalnya

dokter menempatkan pasien pada ruangan yang terlindungi dari

percobaan bunuh diri.

3) Prinsip Maleficence, yaitu melarang tindakan yang

membahayakan atau memperburuk keadaan, dan

Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang

membahayakan atau memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini

dikenal sebagai “primum non nocere” atau “do no harm”. Prinsip

ini berhubungan dengan ungkapan Hipokrates yang menyatakan

“saya akan menggunakan terapi untuk membantu orang sakit

berdasarkan kemampuan dan pendapat saya, tetapi saya tidak

akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau

mencelakakan mereka”.
Prinsip non-maleficence sering menjadi pembahasan dalam

bidang kedokteran terutama kasus kontroversial terkait dengan

kasus penyakit terminal, penyakit serius dan luka serius. Prinsip


ini

memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan untuk

mempertahankan atau mengakhiri kehidupan. Penerapannya dapat

dilakukan pada pasien yang kompeten maupun tidak kompeten.

Pada dasarnya, prinsip non-maleficence memberikan peluang

kepada pasien, walinya dan para tenaga kesehatan untuk

menerima atau menolak suatu tindakan atau terapi setelah

menimbang manfaat dan hambatannya dalam situasi atau kondisi

tertentu.

Banyak filosof yang menjadikan prinsip non-maleficence

sebagai satu kesatuan dengan prinsip beneficence

(mengutamakan tindakan untuk kebaikan pasien). Namun, banyak

juga yang membedakannya. Pertimbangannya antara lain

pemikiran bahwa kewajiban untuk tidak membahayakan atau

mencelakakan pasien, tentu berbeda dengan kewajiban untuk

membantu pasien, walaupun keduanya untuk kebaikan pasien.

Salah satu dasar yang membedakan antara keduanya adalah

pembagian prinsip beneficence dari Willian Frankena. Ia membagi

prinsip beneficence menjadi empat kewajiban umum, yaitu:

1. Satu keharusan untuk tidak menimbulkan kejahatan atau

bahaya

2. Satu keharusan untuk mencegah kejahatan atau

bahaya

3. Satu keharusan untuk menghilangkan kejahatan atau bahaya

4. Satu keharusan untuk melakukan atau mendukung kebaikan

Kewajiban pertama adalah kewajiban non-maleficence,


sedangkan yang lainnya adalah kewajiban beneficence. Empat

kewajiban tersebut disusun oleh William Frankena sebagai

kewajiban yang berjenjang, dimana kewajiban nomor 1 didahulukan

daripada nomor 2, nomor 2 didahulukan dari nomor 3, dan nomor

3 didahulukan dari nomor 4. Meskipun demikian, dalam

penerapannya, kadangkala beneficence justeru lebih kuat dari

non-maleficence, tergantung kondisi yang dihadapi.

Terdapat beberapa kondisi dimana kewajiban non-maleficence

lebih kuat dari kewajiban beneficence atau sebaliknya. Kewajiban

tidak mencelakai seseorang kelihatannya lebih kuat daripada

kewajiban untuk menolongnya. Namun pada kondisi pelaksanaan

prosedur penelitian, kewajiban untuk tidak menimbulkan resiko

mencelakai seorang yang menjadi subjek penelitian dalam suatu

prosedur yang resiko kecelakaannya rendah, tidak sama kuatnya

dengan kewajiban untuk menolong seorang yang mengalami

kecelakaan akibat suatu prosedur penelitian. Pada suatu kondisi

dimana kerugian yang ditimbulkan kecil tetapi manfaat

menolongnya besar, maka kewajiban beneficence lebih utama

daripada kewajiban non-maleficence.

Ketentuan utama non-maleficence adalah “tidak melakukan X”,

dimana “X” adalah hal yang “membahayakan” (harm) atau

“merugikan” (injury). Membahayakan dalam makna yang lebih luas

memiliki pengertian kemunduran atau penurunan dari reputasi,

sifat, keleluasaan pribadi atau kebebasan. Dalam arti yang lebih

sempit adalah penurunan kondisi fisik dan psikologis, seperti

kesehatan dan ketahanan atau keselamatan (survive) hidup.

Contoh penerapan non-maleficence dalam bentuk sikap adalah:

1. Tidak membunuh.

2. Tidak menyebabkan sakit atau penderitaan yang lain.


3. Tidak menyebabkan orang lain menjadi tidak mampu atau tidak

berdaya.

4. Tidak melukai perasaan orang lain.

5. Tidak mencabut kebahagiaan orang lain.

Contoh penerapan di atas tidak bersifat mutlak.

Prinsip non-maleficence sangat erat kaitannya dengan

standar pelayanan yang layak diberikan kepada pasien. Standar

pelayanan di sini mencakup aspek hukum dan moral. Bagi profesi

kedokteran, standar ini meliputi pelatihan atau pendidikan yang

sesuai, kemampuan medis dan ketentuan atau standar profesi

yang berlaku. Standar pelayanan ditetapkan untuk mencegah

munculnya resiko yang membahayakan pasien. Ketika dokter

gagal mencegah resiko yang membahayakan pasien maka disebut

melakukan kelalaian (negligence). Kelalaian berupa tidak

diikutinya standar profesi (secara sengaja) disebut malpraktek

profesi (professional malpractice). Untuk menyatakan suatu profesi

telah membahayakan suatu pihak (misal dokter membahayakan

pasien), maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Profesi tersebut harus memiliki kewajiban/tugas kepada pihak

yang terkena dampak.

2. Profesi tersebut harus melanggar kewajiban/tugas tersebut.

3. Pihak yang terkena dampak harus mengalami suatu bahaya.

4. Bahaya tersebut disebabkan karena pelanggaran terhadap

kewajiban/ tugas profesi.

Ada satu kondisi dimana prinsip non-maleficence berada dalam

dua pilihan, atau disebut prinsip efek ganda (the principle of


double

effect). Contohnya adalah pemilihan tindakan pada wanita hamil


yang terkena kanker rahim dimana seharusnya rahimnya tersebut

dioperasi untuk menyelamatkan hidup sang ibu. Namun jika hal

tersebut dilakukan, maka akan menyebabkan kematian bayi yang

ada dalam kandungan. Ada empat pertimbangan yang biasanya

diterapkan dalam menghadapi prinsip efek ganda ini:

1. Tindakan yang diambil harus tidak boleh salah, harus

merupakan tindakan yang tepat atau netral.

2. Tindakan dimaksudkan hanya untuk efek yang baik, bukan

efek buruk, meskipun hal tersebut masih merupakan

perkiraan.

3. Efek buruk bukan alat untuk mencapai efek yang baik.

4. Efek yang baik harus mempertimbangkan bahaya yang masih

diperbolehkan.

4) Prinsip Justice, yaitu menegakan keadilan atau kesamaan

hak.

Prinsip Justice diterjemahkan sebagai menegakan keadilan

atau kesamaan hak kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya

adalah memperlakukan orang lain secara adil, layak dan tepat

sesuai dengan haknya. Situasi yang adil adalah seseorang

mendapatkan mendapatkan manfaat atau beban sesuai dengan hak

atau kondisinya. Situasi yang tidak adil adalah tindakan yang salah

atau lalai berupa meniadakan manfaat kepada seseorang yang

memiliki hak atau pembagian beban yang tidak sama. Prinsip

justice lahir dari sebuah kesadaran bahwa jumlah benda dan jasa

(pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang memerlukan seringkali

melabihi batasan tersebut. Prinsip justice kemudian diperlukan

dalam pengambilan keputusan tersebut.

Terdapat beberapa kriteria dalam penerapan prinsip justice,

antara lain:
1. Untuk setiap orang ada pembagian yang merata (equal share)

2. Untuk setiap orang berdasarkan kebutuhan (need)

3. Untuk setiap orang berdasarkan usahanya (effort)

4. Untuk setiap orang berdasarkan kontribusinya (contribution)

5. Untuk setiap orang berdasarkan manfaat atau kegunaannya

(merit)

6. Untuk setiap orang berdasarkan pertukaran pasar bebas

(free-market exchange)

Selain kriteria di atas, ada 3 prinsip yang harus diterapkan

dalam penegakan prinsip justice di bidang pelayanan kesehatan.

Pertama adalah prinsip keadilan (need principles) dimana

pelayanan kesehatan diberikan berdasarkan kebutuhan (kebutuhan

klinis). Misalnya segera atau tidak. Kedua prinsip memaksimalkan

(maximising principles) dimana pelayanan kesehatan diberikan

berdasarkan pencapaian manfaat yang maksimal. Misalnya

cakupan kesehatan masyarakat (jumlah penduduk). Ketiga prinsip

persamaan (egalitarian principles) dimana pelayanan kesehatan

diberikan untuk mengurangi ketidakmeratan. Misalnya terkait

kesehatan seumur hidup.

Empat prinsip di atas bersama dengan ”Sumpah Dokter”dan ”Kode

Etik Kedokteran” menjadi dasar atau pedoman dalam pengambilan

keputusan medis.

Prinsip moral mempengaruhi prinsip etika, prinsip etika dituangkan dalam kode etik dan keode etik
merupakan bagian dari UU Kes

Anda mungkin juga menyukai