Anda di halaman 1dari 2

Hilda Ratu Harum

XIi MIPA 5

UJIAN BERAT SEKTOR PARIWISATA

INDONESIA menjadi perhatian dunia internasional dalam beberapa hari terakhir menyusul unjuk rasa
besar-besaran mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya menentang sejumlah rancangan undang-undang
(RUU) yang akan dan telah disahkan DPR. Unjuk rasa ini berlangsung anarkistis dalam dua hari terakhir di
berbagai kota di Tanah Air, termasuk Jakarta.

Situasi tegang dalam negeri ini tentu berimbas ke banyak sektor, terutama pariwisata. Situasi dalam negeri
terkini diperkirakan akan sangat memengaruhi keputusan turis untuk berkunjung ke Tanah Air. Sejauh ini
belum ada tanda-tanda protes massa akan mereda meskipun sejumlah RUU kontroversial ditunda
pengesahannya. Satu di antara yang belum dikabulkan yakni tuntutan agar Presiden Joko Widodo
menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menganulir Undang-Undang
Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang baru saja disahkan DPR.

Selain faktor keamanan akibat unjuk rasa, pariwisata Tanah Air juga sudah terlebih dulu “terganggu” oleh
isu pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Ada sejumlah pasal di RUU tersebut
yang sangat sensitif terhadap pariwisata. Di antaranya Pasal 417 ayat 1 yang melarang dan mengancam
pidana bagi pelaku hubungan seksual yang bukan pasangan suami istri sah. Ada juga larangan pasangan di
luar perkawinan untuk tinggal bersama dalam satu rumah. Ini diatur dalam Pasal 419 ayat 2. Pasal
kontroversial ini termasuk yang diprotes pengunjuk rasa karena negara dinilai terlalu jauh masuk
mencampuri urusan privat warganya.

Di luar negeri sejumlah media mengangkat isu RKUHP ini. Meskipun akhirnya pengesahan RKUHP
ditunda, namun pasal kontroversial tersebut telanjur membawa dampak. Ini tak lepas sifat-sifat sektor
pariwisata yang memang sangat sensitif dengan polemik dan kegaduhan. Saat kontroversi RKUHP
memanas, satu di antara negara yang memberi travel advicekepada warganya adalah Australia. Ini
dibenarkan oleh Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana
Sukawati pada Selasa (24/9/2019). Dia menyebut sudah banyak wisatawan asing yang membatalkan
kunjungannya ke Bali akibat polemik RKUHP tersebut.

Situasi terkini tentu tidak menguntungkan dunia pariwisata kita. Kekhawatiran target kunjungan wisman
tahun ini sebesar 18 juta tidak terealisasi kini semakin besar. Sebelumnya sudah banyak faktor lain yang
membuat target kunjungan wisman sulit tercapai. Hal ini pula yang memaksa pemerintah merevisi target
kunjungan wisman tahun ini dari 20 juta menjadi 18 juta. Beberapa faktor yang bersifat eksternal, yakni
pelemahan ekonomi dunia dan perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Wisman terbesar ke
Indonesia pada tahun lalu berasal dari China. Faktor lain yang bersifat internal, yakni mahalnya harga tiket
pesawat rute domestik. Tiket mahal ini berpengaruh pada penurunan lama tinggal wisman saat berada di
Tanah Air.

Isyarat bahwa target kunjungan wisman tahun ini tidak akan tercapai sudah tampak pada laporan Badan
Pusat Statistik (BPS) pada Juni lalu. Realisasi kunjungan wisman menurut BPS pada semester I/2019 hanya
7,83 juta orang atau kurang 50% dari yang ditargetkan. Kontroversi RKUHP, ditambah unjuk rasa
anarkistis massa dalam beberapa hari ini, jelas menambah berat beban pariwisata kita. Bukan hal mudah
bagi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) untuk bisa mengejar target di sisa waktu yang ada. Dengan
kompleksnya permasalahan, bisa mencapai 16 juta kunjungan wisman saja itu sudah tergolong bagus.
Situasi ini disayangkan karena capaian Kemenpar dalam hal kunjungan wisman sejak 2015 sebenarnya
sudah sangat baik. Dari 9,4 juta kunjungan wisman pada 2014, Kemenpar mampu mendongkraknya
menjadi 10,4 juta pada 2015. Bahkan pada 2016 terjadi lompatan luar biasa karena kunjungan wisman
menembus 12 juta. Lalu, pada 2017 kembali melonjak menjadi 14 juta. Tahun lalu kunjungan wisman ke
Tanah Air mencapai 15,81 juta meskipun tidak mencapai target sebesar 17 juta.

Kita tentu berharap situasi dalam negeri segera pulih. Selain itu, bencana alam juga diharapkan tidak lagi
terjadi. Masih ada waktu tiga bulan bagi Kemenpar untuk mengejar defisit jumlah kunjungan wisman.
Terlepas dari faktor penghambat kunjungan wisman yang disebutkan di atas, Kemenpar harus tetap
menggenjot promosi. Jika pun tahun ini kunjungan wisman menurun dan tak mencapai target, tahun
depannya harus bisa lebih baik. Kunjungan wisman di tahun-tahun mendatang bisa digenjot kembali
dengan lebih intensif mengenalkan destinasi superprioritas yang kita miliki, yakni Candi Borobudur,
Komodo di Labuan Bajo, Mandalika Lombok, Kaldera Danau Toba, dan Bitung, Sulawesi Utara. Tentu
promosi harus dibarengi dengan kesiapan di destinasi wisata berupa pembangunan infrastruktur penunjang
yang bisa menjamin kenyamanan wisman saat berada di Tanah Air.

Anda mungkin juga menyukai