Anda di halaman 1dari 3

Pembelajaran Konstruktivisme dalam Matematika

Beberapa ahli konstruktivis telah menguraikanindikator belajar mengajar berdasarkan


konstruktivisme. Confrey (1991) menyatakan :

Sebagai seorang konstruktivis ketika saya mengajarkan matematika yang objeknya aa


di dunia ini. Saya mengajar mereka, bagaimana mengembangkan kognisi mereka,
bagaimana melihat dunia melalui sekumpulan lensa kuantitatif yang saya percaya akan
menyediakan suatu cara yang powerful untuk memahami dunia, bagaimana
merefleksikan lensa – lensa itu untuk menciptakan lensa – lensa yang lebih kuat, dan
bagaimana mengapresiasi peranan dari lensa dalam memainkan perkembangan kultur
mereka. Saya mencoba untuk mengajarkan mereka untuk mengembangkan satu alat
intelektual yaitu matematika (h.111).

Hal ini mencerminkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk berfikir, fokus
utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berfikir mengkonstruksi
pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli – ahli sebelumnya.

2.3 Implementasinya dalam Pembelajaran Matematika

Dari sudut pandang konstruktivis, Koehler and Grouws (1992) menyatakan bahwa
“pembelajaran telah di pandang sebagai suatu kontinum antara negoisasi dan imposition pada
ujung – ujungnya”(h.119). lebih jauh lagi, Cobb and Stefie (1992) menambahkan bahwa
“...dalam pandangan konstruktivisme guru harus secara terus menerus menyadarkan untuk
mencoba melihat keduanya aksi siswa dengan dirinya dari sudut pandang siswa (h.119).
Seseorang yang memandang bahwa belajar adalah transmisi, maka proses mengetahui akan
mengikuti model imposition (pembebanan). Sedangkan yang berpandangan bahwa mengajar
adalah suatu proses yang memfasilitasi suatu konstruksi, maka ia akan mengikuti model
negoisasi. Aktivitas guru dikelas dipengaruhi oleh paham mereka tentang pembelajaran.

Perbedaan individu dikelas berimplikasi bahwa guru diisyaratkan untuk


mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat melayani
secara cukup perbedaan – perbedaan individu siswa.

Berdasarkan dengan perbedaan individu, Board of Studies (1995) menyatakan bahwa


“ siswa akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara kualitatif
dalam cara yang berbeda – beda (h.12). Lovitt and Clarke (1988, dikutip dalam Mathematichs
Education 1996) juga menambahkan bahwa “kualitas pembelajaran ditandai seberapa luas
dari lingkungan belajar :

 Mulai dari mana siswa ini berada


 Mengenali bahwa siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda, dan cara yang
berbeda
 Melibatkan siswa secara fisik dalam proses belajar
 Meminta siswa memvisualkan yang imajiner...”(h.3)

Dengan demikian ada suatu perbedaanyang sangat berarti pembelajaran matematika


dengan paradigma konstruktivisme dan dengan pendekatan tradisional. Di dalam
konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa,
melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksi) pengetahuan
matematika sehingga diperoleh struktur matemayika. Sedangkan dalam paradigma
tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan senantiasa menjawab ‘dengan segera’
terhadap pertanyaan – pertanyaan siswa.

Implikasi dari perbedaan – perbedaan di atas menjadikan posisi guru dalam pembelajaran
matematika untuk bernegosiasi dengan siswa, bukan memberikan jawaban akhir yang telah
negoisasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa pengajuan pertanyaan – pertanyaan
kembali, pertanyaan – pertanyaan yang menantang siswa untuk berfikir lebih lanjut yang
dapat mendorong mereka sehingga penguasaan konsepnya semakin kuat.

Contoh implementasi pembelajaran matematika menggunakan pendekatan ini


dicantumkan pada akhir sub bab ini.

Untuk mendeskripsikan evaluasi pembelajaran perlu diklarifikasi seberapa bedakah antara


asesmen dan evaluasi. Menurut Webb (1992) evaluasi dalam pendidikan adlah suatu
investigasi sistematis tentang nilai atau merit tentang suatu tujuan. Termasuk di dalam
evaluasi adalah kumpulan bukti –bukti secara sistematis untuk membantu membuat
keputusan tentang : (1) siswa belajar. (2) pengembangan materi, (3) program wood,
(1987,dikutip dalam Webb, 1992) memberikan defenisi umum tentang asesmen sebagai
berikut :
Asesmen dianggapsebagai penyediaan suatu pertimbangan menyeluruh dari suatu fungsi
individu di dalam melukiskan rasa paling luas dalam berbagai bukti baik kualitatif dan
kuantitatif dan karenanya sampai pada pengujian keterampilan kognitif dengan teknik
paper-pencil untuk sejumlah orang.

Webb and Briars menambahkan bahwa :

Asesmen dalam matematika adalah proses penentuan apakah siswa tahu. Merupakan suatu
bagian dari aktivitas pengajaran matematika, yaitu penegcekan apakah siswa memahami,
mendapatkan umpan balik dari siswa, kemudian menggunakan informasi ini untuk
membimbing pengembangan pengalaman belajarnya.(h.108)

Meskipun ada perbedaan penegertian antara evaluasi dan asesmen yang dimaksudkan
disini ialah cara guru magakses (menilai) prestasi siswa belajar matematika. Jacobsen dkk
(1985) mengidentifikasi tahap ketiga dari pembelajaran adalah evaluasi. Di sini guru
mencoba mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk menentukan apakah
pembelajarannya telah sukses? Apa yang semestinya guru lakukan untuk mengukur
pemahman konsep matematika? Bagaimana guruakan mengetahui bahwa siswanya telah
mengetahui matematika? Dalam memberikan asesmen penegetahuan matematika siswa,
mestinya diperoleh data kemampuan siswa dalam matematika; harus memasukkan tentang
pengetahuan siswa pada konsep matematika, prosedur matematika, dan kemampuan problem
solving, reasoning, dan komunikasi.(NCTM, 90)

Evaluasi dalam pembelajaran matematika menggunakan pendekatan kontstruktivis terjadi


sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assesment). Dari awal sampaiakhir
guru memantau perkembangan siswa, pemahaman siswa terhadap suatu konsep
matematika,ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi penegtahuan (matematika)
yang di buat oleh siswa.

Anda mungkin juga menyukai