Pengertian Ijtihad
1. Kata ijtihad (Al- ijtihad) berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,
kemampuan atau kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al masyaqqah (kesulitan,
kesukaran) dari itu secara harfiah, ijtihad adalah suatu ungkapan dari pengerahan daya
kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang di tuju. Karenanya, kosakata ijtihad
hanya digunakan untuk sesuatu yang mengandung beban dan kesulitan. Sedangkan
secara terminologis, ijtihad adalah Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan
pengetahuan bertaraf asumtif (zhann) atas hukum-hukum syara’, dengan upaya
maksimal dimana kemampuan diri tidak dapat lagi memberikan sesuatu yang lebih
dari itu. Definisi ini diungkapkan oleh AlAmudi dan ibn Al-Hajib. Dengan pengertian
ini ijtihad hanya belum mencakup pengetahuan bertaraf zhanni, kebenaran qath’i
(pasti) belum tercakup didalamnya.
Manfaat Ijtihad
1) Dapat mengetahui hukumnya, dari setiap permasalahan baru yang dialami
oleh umat muslim, sehingga hukum islam selalu berkembang dan mampu
menjawab tantangan.
2) Dapat menyesuaikan hukum berdasarkan perubahan zaman, waktu dan
keadaan
4) Dapat membantu umat muslim dalam menghapi masalah yang belum ada
hukumnya secara islam.
Kedudukan ijtihad
Dasar Penggunaan Ijtihad Dasar hukum dibolehkannyaijtihad adalah al-Qur'an, Sunnah, dan
logika. Ayat al-Quran yang dijadikan dasar bolehnya ijtihad adalah surat an-Nisa' (5): 59. Ayat ini
berisi perintah untuk taat kepada Allah (dengan menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum),
taat kepada Rasul-Nya (dengan menjadikan Sunnahnya sebagai pedoman), dan taat kepada ulil
amri, serta perintah untuk mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada al-Quran dan
Sunnah terkandung maka adanya perintah melakukan ijtihad. Dasar Sunnah atau hadis yang
dijadikan rujukan oleh para ulama tentang bolehnya melakukan ijtihad adalah hadis Muadz
seperti telah disebutkan di atas. Hadis ini menceritakan perihal diutusnya Muadz menjadi qadi
(hakim) di Yaman. Dasar logika dibolehkannya ijtihad adalah karena keterbatasan nash al-Quran
dan Sunnah jika dibandingkan dengan banyaknya peristiwa yang dihadapi oleh umat manusia.
Begitu juga, banyaknya lafazh atau dalil yang menjelaskannya, meskipun tidak jarang hasil ijtihad
para ulama berbeda-beda dari lafazh atau dalil yang sama
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadist. Dalilnya
adalah Al-Qur’an dan Hadist. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu kea rah Masjidil Haram dan
dimana saja kamu (sekalian) berada maka palingkanlah wajahmu kearahnya.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:
150).
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah (Ka’bah)
Masjidil Haram, apabila hendak mengerjakan shalat, ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat
shalat itu (Masjidil Haram) melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda
yang ada.
Hadist yang dijadikan dalil ijtihad ialah hadist riwayat Tirmidzi dan Abu Daud tentang dialog antara
Rasulullah Saw dengan sahabatnya Mu’az bin Jabal, yang telah disebutkan di muka.
Hadist lainnya, yang juga dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berijtihad adalah sabda Rasulullah
yang artinya: “Apabila seorang hakim didalam menjatuhkan hukum berijtihad, lalu ijtihadnya itu
benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ijtihadnya itu salah, maka ia memperoleh satu
pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
c. Fungsi ijtihad
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara
pasti didalam Al-Qur’an dan Hadist.
Masalah-masalah yang sudah jelas hukumnya, karena telah ditemukan dalilnya secara pasti didalam
Al-Qur’an dan Hadist seperti kewajiban beriman pada rukun iman yang enam, kewajiban
melaksanakan rukun Islam yang lama, maka masalah-masalah tersebut tidak boleh diijtihadkan lgi.
Ditinjau dari segi sejarah ijtihad, ijtihad telah dilakukan dari semenjak Rasulullah Saw masih hidup
dan terus berlanjut hingga beliau wafat.
Macam-Macam Ijtihad
MACAM MACAM IJTIHAD LIHAT DI SS YG GW KIRIM DI GRUP
Metode-metode Ijtihad
Metode-metode yang umum dipergunakan adalah ishtihsan, al-maslahah al-
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama
ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga,
karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut
sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-
kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa
atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan
peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama
sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau
kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil
pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan
perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua
peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat
digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
2. al-Maslahatul Mursalah
Para ulama fikih yang mendukung konsep ini membagi jenis mashlahah kepada dua macam,
yaitu:
A. Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahah yang diakui syari'ah terdiri dari tiga,
macam yaitu:
(2) haajiyyah (kebutuhan pokok), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan hal-hal yang
sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak
halanganhalangan. Dan apabila hal-hal tersebut tidak terwujud, maka tidak sampai menjadikan
aturan hidup
manusia berantakan atau kacau, melainkan hanya membawa kesulitan-kesulitan saja.
(3) Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun dan tata
krama dalam kehidupan.
Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam asy-Syafi'i dan sebagian besar pengikut
Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahat mursalah harus dengan syarat, harus ada
persesuaian dengan mashlahat yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.
Para ulama fikih yang mendukung konsep ini mencatat tiga persyaratan dalam penerapan
hukum mashlahah ini, yaitu,
1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia
memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau
kemelaratan).
2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil masyarakat,
tapi harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang
ditetapkan oleh nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma').
B. Dilihat dari segi wilayah kebutuhan, maslahah yang diakui syari'ahterdiri atas dua macam,
yaitu:
[1] mashlahah 'ainiyah (kepentingan perorangan) dari setiap manusia, yang sifatnya umum
yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang digambarkan
dalam uraian terdahulu tentang al-kulliyyat al-khams. Hal-hal ini terkait dengan taklif yang
berbentuk fardhu 'ain. Seperti misalnya yang menyangkut mashlahah harta benda/kepentingan
seorang manusia memiliki harta benda (untuk
makan, pakaian dan tempat tinggalnya) hal ini bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan
dalam tuntunan Rasulullah saw. (thalab-u 'l-halal faridhatun 'ala kulli muslim) yaitu kewajiban
bekerja mencari rizki memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-
hari. Seterusnya yang menyangkut mashlahah akal pikiran, bersangkutan dengan fardhu 'ain yang
dijelaskan dalam hadits lain yang berbunyi (thalb-u 'l-'ilmi faridhatun 'ala kulli muslim).
Begitu seterusnya menyangkut tiap mashlahah yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan
keterkaitannya dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan adanya pengakuan atas mashlahah
dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak mutlak perorangan bagi setiap manusia.
[2] mashlahah 'ammah yang menjadi kepentingan bersama masyarakat atau kepentingan
umum. Ini menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.
Imam Rafi'i menjelaskan, fardhu kifayah itu adalah urusan umum yang
menyangkut kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya urusan
agama dan dunia dalam kehidupan kita, di antaranya adalah:
[a] mencegah madarat kekacauan, seperti persengketaan dan peperangan,
kekacauan dan pertumpahan darah, serta kondisi anarkis, sehingga al-hajah ad-dharuriyyah
kehidupan menjadi terancam, bahkan hancur.
[b] merealisasikan kewajiban agama, baik untuk individu maupun kelompok sosial.
Diantara contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan
Alquran yang terkenal dengan jam'ul Alquran. Pengumpulan Alquran ini tidak disinggung
sedikitpun oleh syara', tidak ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang
melarangnya. Setelah terjadi peperangan Yamamah banyak para penghafal Alquran yang
mati syahid (± 70 orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar
pengumpulan Alquran itu, bahkan menyangkut kepentingan agama (dhurari). Seandainya
tidak dikumpulkan, dikhawatirkan aI-Alquran akan hilang dari permukaan dunia nanti. Karena
itu Khalifah Abu Bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.
Demikian pula tidak disebut oleh syara' tentang keperluan mendirikan rumah penjara,
menggunakan mikrofon di waktu adzan atau shalat jama'ah, menjadikan tempat melempar
jumrah menjadi dua tingkat, tempat sa'i dua tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan
sematamata untuk kemashlahatan agama, manusia dan harta.
Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan antara qiyas, istihsan dan
mashlahat mursalah. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian, yang pertama tidak ada
nashnya, karena itu belum ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah
ditetapkan hukumnya. Pada istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat dari yang kedua. tetapi karena ada
sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang kedua. Sedang pada mashlahat mursalah hanya
ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum
dari peristiwa itu, tetapi ada suatu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan
hukumnya. Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu.
3. Istishhab
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah
ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum
pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan
yang telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan Ibnu Qayyim di atas, dipahami bahwa
istishhab itu terbagai kepada dua macam;
i. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang, kecuali kalau ada yang mengubahnya. Berdasarkan pengertian ini, istishhab
merupakan salah satu produk hukum.
ii. Menetapkan segala hukum yang ada pada masa sekarang, berdasarkan ketetapan hukum
pada masa yang lalu. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan proses penetapan
hukum.
Contoh istishab:
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk
kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum
itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-
binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.
4. ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh,
'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada
perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan
bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping
telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan
telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang
melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli.
Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima
barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang
pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli
dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan
dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan.
Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya
sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya
ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena
itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya
sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian
seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini
dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula.
Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis
yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat
karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya
karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
Bentuk-bentuk Pemikiran Ijtihâd
Kontemporer
Sebagai alternatif dan menjadi pemikiran
para ilmuwan kini dan mendatang, tiga
bentuk pemikiran ijtihâd kontemporer
ditawarkan pula oleh al-Qaradlâwi:
a. Ijtihâd dalam bentuk perundang-
undangan modern.
Dalam perkembangannya, ijtihâd kon-
temporer pada mulanya terbatas pada
ijtihâd intiqâ’i saja, tetapi dengan semakin
menggunungnya isu-isu kontemporer
pemikiran hukum Islam kemudian ber-
kembang pula menjadi ijtihâd insyâ’i. Para
pemikir (mujtahid) semula terbatas pada
satu pemikiran dan pandangan mujtahid
mazhab tertentu, kemudian berkembang
kepada semua pemikiran dan pandangan
empat mujtahid mazhab yang terkenal,
bahkan sekarang sudah banyak keluar dari
pemikiran dan pandangan empat dan lima
mujtahid mazhab, dan seterusnya. Namun
demikian, pelaksanaan dari suatu perundang-
undangan dalam suatu negara membutuhkan
keterlibatan penguasa (pemerintah). Karena
itu, ulama dan umara serta para pengambil
kebijakan yang berkompeten harus berjalan
dan duduk berdampingan, sehingga apapun
perundang-undangan yang dicanangkannya
dapat terlaksana dengan baik.
Dalam konteks ini kaitan dengan
positivisasi hukum Islam di Indonesia
tampak semakin berjalan dengan baik. Hal
ini terlihat dengan diundangkannya UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang sekarang sedang diajukan RUU proses
perubahan yang tentunya disesuaikan
dengan kebutuhan zaman, di antara pasalnya
menyangkut sanksi bagi pelaku nikah siri,
pidana bagi pelaku poligami tanpa izin
Pengadilan Agama, dan lain-lain, Inpres No.
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, yang telah diubah
dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, UU No. 17 Tahun 1999
tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji,
UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat, UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, dan UU N0. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
Perundang-undangan tersebut apabila
dikritisi satu persatu, pasal demi pasal masih
ditemukan kelemahan-kelemahan yang
cukup mendasar. Misalnya dalam UU No.
34 Tahun 1999, belum diatur sanksi bagi
para muzakki yang enggan mengeluarkan
zakatnya, hanya baru ada diatur sanksi
bagi pengelola zakat yang lalai dalam
menjalankan tugasnya. Begitu juga undang-
undang yang lainnya. Kelemahan-kelemahan
itu merupakan lapangan pemikiran ijtihâd
bagi para mujtahid untuk mampu menggali
dan menetapkan hasil ijtihâdnya sebagai
kontribusi bagi penyempurnaan perundang-
undangan yang lebih baik dan kontekstual.
Bayi Tabung
Pendapat ulama:
“Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah
(boleh). Sedangkan bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri
yang tidak sah hukumnya haram. Karena statusnya sama dengan hubungan kelamin antarlawan
jenis di luar penikahan yang tidak sah alias zina.”
“Namun, dilarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan di
rahim perempuan lain. Itu hukumnya haram. Karena di kemudian hari hal itu akan menimbulkan
masalah yang rumit dalam kaitannya dengan warisan.”
“Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya
haram. Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan
penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan,"
“Apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan mani
suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.”
“Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram,
serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).”
“Hukum inseminasi buatan seperti itu (menitipkan sperma dan ovum suami-istri di rahim
perempuan lain) termasuk yang dilarang. Inseminasi itu dilakukan di luar kandungan antara dua
biji suami-istri, kemudian ditanamkan pada rahim istri yang lain, hal itu dilarang menurut hukum
Syara’.”
Kesimpulan:
Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah
(boleh).
Bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang sah
hukumnya haram.
Bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan lain hukumnya
haram