“sekali lagi aku minta maaf, aku benar-benar ceroboh” ucap gadis itu sambil
membungkukkan badan
Baru beberapa langkah kakinya berjalan, tetes demi tetes air menjatuhi tubuhnya. Dia
menengadah.
“hujan”
[Menyebalkan]
[Juga benci hujan. Datang pergi seenaknya setelah membuat basah kuyup.]
Lelaki tersebut berlari mencari tempat untuk berteduh. Rumah makan keluarga menjadi
pilihannya. Matanya terpaku sebentar di rumah makan tersebut.
[Juga benci terjebak di restoran ini seakan-akan tidak ada restoran lain yang lebih baik]
Seorang wanita berambut panjang berkacak pinggang di hadapan Dion. Tanpa sempat
menjawab, wanita itu menariknya menuju meja yang sudah ada Ibu dan Ayah mereka.
“Akhirnya kau datang juga. Tidak kehujanan kan? Ibu lupa menyuruhmu membawa
payung tadi.”
Dion tersenyum melihat Ibunya. Dia menggeleng tanda semuanya baik-baik saja. Detik
selanjutnya berlangsung dengan candaan menyenangkan, penampakan keluarga harmonis.
[Kakak yang menyebalkan, Ibu yang selalu tersenyum indah, dan Ayah yang penuh
kasih sayang.]
Tiba-tiba penampakan bahagia itu mengabur dan hanya menyisakan Dion yang
sendirian duduk di kursi.
Dion tersenyum tipis. “Memangnya apa yang kuharapkan?” ucapnya. Dia memangku
wajahnya di atas meja dan terus menatapi hujan lewat jendela kaca.
Dion memandangi kopi pesanannya yang sudah tiba sejak tadi. Kopi tersebut tidak
menggugah seleranya, melainkan hal lain, yaitu masa lalunya.
[Mungkin seperti kopi ini. Bukan pahit masalahnya. Orang yang tidak bisa menerima
rasa pahit itulah yang menjadi masalah.]
Ponsel dion bergetar. Pesan baru telah masuk. Dia membaca pesan tersebut.
Dari: Riana
Kau di mana? Ayah dan Ibu sudah ada di sini. Kita sudah sepakat untuk makan
bersama hari ini, kan?
Ayolah, Dion. Jangan cari masalah. Ini hari ulang tahun Ibu.
Dion masih ingat itu dengan jelas. Dia yang masih menggunakan baju sekolah dengan
wajah tertunduk sedih yang sama sementara dua orang wanita bercerita di dekatnya.
“Parah?”
Tidak jauh dari Dion ada Riana yang menangis keras sementara Ayah terus
memeluknya dan menenangkannya. “Tenang, Anna. Tenang.”
[Walau sebenarnya Ayah juga menitikkan air mata, tapi sebagai kepala keluarga dia
berusaha tetap tegar.]
[Hari yang semenyedihkan bunyi hujan kali ini. Itu adalah selasa yang kuharap tak
pernah ada.]