Anda di halaman 1dari 34

Lab/SMF Ilmu Syaraf Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

GUILLAIN-BARRE SYNDROME

Oleh
MAHLINA NUR LAILI
NIM. 1810029041

Pembimbing
dr. H. Luthfi Widyastono, Sp.S

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Radiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2018
LEMBAR PERSETUJUAN

GUILLAIN-BARRE SYNDROME

REFERAT

Sebagai suatu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Saraf

Oleh:

MAHLINA NUR LAILI

1810029041

Pembimbing,

dr. H. M. Luthfi Widyasnoto, Sp.S


19661018 199903 1 003

2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Guillain Barre Syndrome”.
Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu
Syaraf Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Luthfi
Widyastono, Sp.S selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan
kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari masih
terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan
kritik dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini dapat
berguna bagi para pembaca.

Samarinda, 14 Desember 2018

Penulis,

Mahlina Nur Laili

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................. 4
BAB I ............................................................................................................................ 5
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 5
1.2 Tujuan ............................................................................................................. 6
BAB II ........................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 7
2.1 Definisi Guallain Barre Syndrome ................................................................. 7
2.2 Epidemiologi Guallain Barre Syndrome ........................................................ 7
2.3 Klasifikasi Guallain Barre Syndrome ............................................................. 8
2.4 Etiologi Guillain Barre Syndrome .................................................................. 9
2.5 Struktur dan Fungsi Normal Saraf ................................................................ 10
2.6 Patofisiologi Guillain Barre Syndrome ........................................................ 13
2.7 Manifestasi Klinis Guallain Barre Syndrome............................................... 18
2.8 Penegakan Diagnosis Guallain Barre Syndrome .......................................... 23
2.9 Diagnosis Banding ............................................................................................ 27
2.10 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome ..................................................... 28
2.11 Komplikasi ...................................................................................................... 31
2.12 Prognosis ......................................................................................................... 31
BAB III ....................................................................................................................... 32
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 32
3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 32
3.2 Saran .................................................................................................................. 32
References ................................................................................................................... 33

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guillain–Barré Syndrome (disingkat GBS) atau radang polineuropati
demyelinasi akut adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya
timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun, di mana proses imunologis
tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga
saraf kranialis. Sindroma ini juga dapat dikatakan sebagai sindroma klinis dari
kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan
oleh penyakit sistemik. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot,
tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa (1; 2)

Angka kejadian Guillain–Barré Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-


1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum
begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di
Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita
laki-laki dan wanita hampir sama. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan
tertua adalah 95 tahun, dan ada yang berpendapat bahwa terdapat hubungan antara
frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu (1; 2)

Etiologi Guillain–Barré Syndrome belum diketahui secara umum, tetapi


beberapa penelitian yang ada menduga bahwa ada beberapa faktor pencetus dan
beberapa dari faktor ini terdapat pada pelayanan kesehatan primer. Vaksinasi, infeksi
virus, dan beberapa jenis keracunan makanan adalah contoh dari faktor pencetus
Guillain–Barré Syndrome. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya Guillain–Barré Syndrome, antara lain infeksi,

5
vaksinasi, pembedahan, kehamilan atau dalam masa nifas, penyakit sistemik seperti:
keganasan, sistemik lupus eritematosus, tiroiditis, penyakit Addison (1; 3; 2)

Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Guillain–Barré Syndrome.
Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Namun demikian Guillain–Barré
Syndrome memerlukan perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa)
cukup tinggi terutama pada keadaan akut yang dapat menimbulkan gagal napas akibat
kelemahan otot pernapasan dan bisa berlanjut pada kematian . Oleh karena itu,
penderita Guillain–Barré Syndrome memerlukan pengawasan dan perawatan yang
baik untuk mempercepat pernyembuhan dan mencegah komplikasi (1; 2)

1.2 Tujuan
Tujuan umum pembuatan referat ini adalah untuk dapat mengetahui penegakan
diagnosis dan penatalaksanaan “Guillain Barre Syndrome” berdasarkan mekanisme
atau etiologinya. Serta diharapkan dapat menambah wawasan penulis tentang materi
serta tata cara melakukan penulisan referat secara baik dan benar.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Guallain Barre Syndrome


Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana
proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain–
Barré Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai
radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi (1; 2)

Parry mengatakan bahwa Guillain–Barré Syndrome adalah suatu


polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, Guillain–Barré Syndrome
merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya paralisis flaksid
yang terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis (1; 3)

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Guillain–Barré Syndrome


merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi
secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis.

2.2 Epidemiologi Guallain Barre Syndrome


Angka kejadian Guillain–Barré Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara
1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih
belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak
di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah
penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Penyakit ini menyerang semua umur,
dan lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35

7
tahun. Namun tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun.
Jarang sekali GBS menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang
dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan ada yang berpendapat
bahwa terdapat hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim
tertentu (1; 2)

2.3 Klasifikasi Guallain Barre Syndrome (4; 5; 6)


1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering
disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang
menyerang membrane sel schwann.

2. Acute motor axonal neurophaty (AMAN)


Atau sindroma paralitik Cina: menyerang nodus motorik ranvier dan
sering terjadi di cina dan meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini
musiman dan penyembuhan dapat berlangsungdengan cepat. Didapati
antibody Anti GD1a, sementara antibody anti- GD3 lebih sering
ditemukan pada AMAN.

3. Acute moyor sensory axonal neurophaty (AMSAN)


Mirip dengan AMAN , juga menyerang aksoplasma saraf perifer,
namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang
berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.

4. Fisher’s syndrome (MFS)


Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai
paralysis desendens ,berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi.
Umumnya mengenai otot otot okuler pertama kali dan terdapat trias
gejala yakni: oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibody
Anti GQ1b 90% kasus.

8
5. Acute panautonomia
Merupakan varian GBS yang paling jarang: dihubungkan dengan angka
kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskuler dan disritmia.

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff (BBE)


Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia , ataksia, gangguan kesadaran
,hiperrefelksia atau refleks babinski. Perjalanan penyakit dapat
monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan
irregular terutama pada batang otak seperti pons, midbrain, dan
medulla spinalis. Meskipun gejalanya berat namun prognosis BBE
cukup baik.

2.4 Etiologi Guillain Barre Syndrome


Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain: (7; 8)

1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Kehamilan atau dalam masa nifas
5. Penyakit sistemik
a. Keganasan
b. Systemic Lupus Erithematous
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison

9
Tabel 1. Infeksi akut yang berhubung dengan Guillain–Barré Syndrome

Infeksi Definite Probable Possible

Virus CMV HIV Influenza


EBV Varicella- Zoster Measles
Vaccinia/Smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo

Bakteri Campylobacter Typhoid Borreila B


Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria

Infeksi bakteri yang paling sering mencetuskan Guillain–Barré Syndrome adalah


infeksi Campylobacter jejuni. Bakteri dari genus Campylobacter diidentifikasi sebagai
yang paling umum menjadi sumber gastroenteritis bakteri di Amerika Serikat melebihi
Salmonella dan Shigella. Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Eropa,
dan Jepang, kultur dan serum menunjukkan bukti adanya infeksi pendahulu
Campylobacter jejuni pada 26-45% pasien Guillain–Barré Syndrome (1).

2.5 Struktur dan Fungsi Normal Saraf


Fungsi utama neuron adalah menerima, memadukan, dan menyalurkan
informasi ke sel lain. Neuron terdiri dari tiga bagian: dendrit, yaitu tonjolan
memanjang yang menerima informasi dari lingkungan atau dari neuron lain; badan
sel, yang mengandung nukleus dan akson, yang panjangnya dapat mencapai 1 meter
dan menghantarkan impuls ke otot, kelenjar, atau neuron lain. Sebagian besar
neuron bersifat multipolar, yang mengandung satu akson dan beberapa dendrit.
Neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan ditemukan di ganglion

10
cochleare dan vestibulare, retina, serta mukosa olfaktorik. Ganglion sensorik spinal
mengandung neuron-neuron pseudounipolar yang memiliki suatu tonjolan yang
keluar dari badan sel dan terbagi menjadi dua cabang, satu memanjang ke medula
spinalis dan yang lain memanjang ke perifer. Akson dan dendrit biasanya
bercabang-cabang secara ekstensif di bagian ujungnya. Percabangan dendrit dapat
sangat rumit, dengan akibat bahwa satu neuron dapat menerima ribuan masukan.
Setiap cabang akson berakhir di sel berikutnya di sinaps, yakni suatu struktur khusus
untuk menyalurkan informasi dari akson ke otot, ke kelenjar atau ke neuron lain.
Sinyal merambat secara elektris di sepanjang akson. (9)

Mielinisasi meningkatkan kecepatan hantaran potensial aksi. Mielin


terutama terdiri dari lipid. Selaput mielin berfungsi sebagai insulator, sperti karet
yang membungkus kabel listrik, untuk mencegah arus bocor menembus bagian
membran yang bermielin. Mielin sebenarnya bukan bagian dari sel saraf tetapi
terdiri dari sel-sel pembentuk mielin terpisah yang membungkus diri mengelilingi
akson seperti kue bolu gulung. Hilangnya mielin memperlambat transmisi impuls
pada neuron yang terkena. Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan kerusakan
mielin dapat juga merusak akson dibawahnya yang semakin menggangu perambatan
potensial aksi. (10)

Susunan saraf mempunyai reaksi imunologik terhadap antigen-antigen yang


berasal dari susunan saraf itu sendiri. Autoantigenik neural ini tidak patologik
selama toleransi imunologik masih ada. Tetapi karena suatu sebab, toleransi
imunologik itu dapat dihilangkan dan timbullah proses auto-imunopatologik yang
mengakibatkan timbulnya kerusakan jaringan. Apa yang dinamakan sel T itu
ternyata sebuah limfosit yang mempunyai struktur kimiawi lipopolisakarida.
Menurut teori yang diuraikan maka beberapa penyakit nerologik disebabkan oleh
proses imunopatologik dan auto-imunopatologik. Namun demikian yang dianggap
imunologik atau autoimunologik dapat diperbaiki dengan farmaka yang dinamakan
imunosupresor. (8)

11
Gambar 1. Sel Saraf

Gambar 2. Jenis-jenis sel saraf

12
2.6 Patofisiologi Guillain Barre Syndrome
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Guillain–Barré Syndrome masih
belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan
saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti
bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi
pada sindroma ini adalah (11):

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated


immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain–Barré Syndrome dipengaruhi oleh
respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem kekebalan seluler,
sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel
limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami
pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran (11)

Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan
memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu
limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi
interlekuin (IL2), gamma interferon serta TNFα (11)

Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba


menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan
bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan

13
alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing.
Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan
makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan
limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung
myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin (12)

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf.
Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan (12)

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya,yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah
yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini,
sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat (12)

Gambar 3. Proses demielinisasi saraf tepi pada sindrom Guillain Barre

14
Pada Guillain–Barré Syndrome, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig)
sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri
ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-
sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel
Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Akibatnya,
produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada
telah dirusak oleh antibodi tubuh (12; 13)

Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal
melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini
akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari,termasuk berjalan (13)

Limphosit bermigrasi & bertransformasi ke dlm


serabut saraf, myelin & axon belum rusak.

Sel limphosit & sel makrofag >>, mulai terjadi


segmental demyelinisasi, axon belum rusak.

kerusakan selubung myelin & axon, Terjadi


kromatolisis sentral inti sel saraf atropi &
denervasi.

Kerusakan axon >> proximal, kerusakan


Patologi irreversible regenerasi sel saraf (-)

Gambar 4. Perjalanan kerusakan sel saraf tepi pada poliradiculoneuritis

15
Pada Guillain–Barré Syndrome, gangliosid merupakan target dari antibodi.
Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada
myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut myelin ini menjadi target dari
sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi
akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke
bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama (12)

Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisiasi imunitas humoral maka sel-
T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk
makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan
hambatan penghantaran impuls saraf (12)

Gambar 5. Patogenesis infeksi Campylobacter jejuni terhadap kerusakan sel saraf tepi

16
Guillain–Barré Syndrome dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari
kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau
hancur, transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat,
sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan
prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer (14; 12)
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson
ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga
timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe
ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik,
karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung
myelin, yang sembuh lebih cepat (14)
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf.
Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-
saraf kranialis dapat juga ikut terlibat (14)

Gambar 6. Derajat kerusakan sel saraf dan manifestasi klinik

17
2.7 Manifestasi Klinis Guallain Barre Syndrome
Guillain–Barré Syndrome terjadi pada orang yang relatif sehat yang mengalami
infeksi beberapa hari sampai minggu sebelum timbul gejala Guillain–Barré Syndrome.
Infeksi yang paling sering dilaporkan pada kasus Guillain–Barré Syndrome adalah
gastroenteritis dan infeksi saluran pernapasan atas yang terjadi kira-kira 1-3 minggu
sebelum gejala neurologi muncul. Sekitar 20% dari pasien Guillain–Barré Syndrome
pernah mengalami bentuk gastroenteritis sebelum diagnosis Guillain–Barré Syndrome
(1; 3)

Orang dengan Guillain–Barré Syndrome mengalami onset bertahap simetris dari


parestesia dan mati rasa yang dimulai di kaki dan naik pada tingkat yang bervariasi.
Hal ini juga dapat mencakup tangan dan kaki naik dari distal ke proksimal yang
menyebabkan kelemahan motorik dan akhirnya menjadi paralisis (1; 3)

Disfungsi sensoris dan otomatik terlihat pada 2/3 dari kasus, tapi tidak selalu
hadir pada semua kasus. Gangguan otonom dapat bermanifestasi pada banyak variasi
seperti hipertensi/hipotensi, aritmia jantung, dan berbagai gejala lainnya (1; 3)

Gejala klinis pada penderita Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut:

a. Kelemahan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada
sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian
menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-
kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar
ke badan dan saraf kranialis. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan
sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang
lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat juga terpengaruh. Kelemahan
otot pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Kelumpuhan otot-otot ini simetris
dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot

18
bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau
bagian distal lebih berat dari bagian proksimal. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi (14; 12)

b. Keterlibatan saraf kranial


Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan Guillain–Barré
Syndrome. Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-
otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral,
sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai
kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila
N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia
dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n.
laringeus (14)

Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa


menampakkan palsy Bell), diplopias, dysarthria, disfagia, ophthalmoplegia, serta
gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah
tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari Guillain–Barré Syndrome
adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial (12)

c. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa,
atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses
menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau
pergelangan kaki. Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka
juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya
minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan.
Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir. Sensibilitas

19
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot
sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik (14; 12)

d. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome,
89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan Guillain–Barré Syndrome pada
beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah
bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit
gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut (14)

Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan
penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan,
atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di
ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien.
Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan Guillain–Barré
Syndrome adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait
dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus) (14)

e. Perubahan otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita Guillain–Barré
Syndrome. Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis
dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome.
Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia, bradikardia, facial
flushing, hipertensi paroksimal, hipotensi ortostatik, anhidrosis dan /atau diaphoresis
(14)

Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan
dismotilitas usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan
kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah. Gangguan otonom ini jarang yang
menetap lebih dari satu atau dua minggu (14; 12)

f. Pernapasan

20
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal
bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita (14)

Empat puluh persen pasien Guillain–Barré Syndrome cenderung memiliki


kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan
adalah sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, dan
bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi
pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit
mereka (12)

g. Papil Edema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang (14)

Manifestasi klinik yang paling sering terjadi adalah kelemahan dan nyeri pada
anggota tubuh. Nyeri dialami oleh hampir 90% pasien. Nyeri digambarkan seperti
“kuda charlie” yaitu nyeri yang timbul hanya dengan perubahan kecil yang seharusnya
tidak menyebabkan nyeri, biasanya disebut juga dengan hipersensitif atau hiperalgesia
(1; 3)

Walaupun Guillain–Barré Syndrome adalah neuropati perifer, tetapi dapat juga


terdapat keterlibatan nervus kranialis. Kebanyakan yang terjadi adalah kelumpuhan
wajah. Pasien-pasien sindrom Guillain-Barre dengan perjalanan penyakit yang
didahului infesi Campylobacter jejuni menunjukkan tanda dan gejala keracunan
makanan yang klasik, yang paling umum adalah mual, muntah, nyeri abdomen, dan
diare (3)

Penelitian telah dilakukan untuk membandingkan adanya Campylobacter jejuni


di sel mononuklear darah perifer pasien yang didiagnosis dengan gastroenteritis akibat

21
Campylobacter jejuni dan di pasien kontrol sehat yang tidak terpapar bakteri. Data dari
penelitian ini menunjukkan bahwa DNA Campylobacter didapatkan dan stabil dalam
darah pasie kira-kira selama satu hingga dua tahun (3)

Infeksi pendahulu kedua terbanyak yang dilaporkan adalah cytomegalovirus


(CMV). Pasien yang didahului diagnosis CMV akan memiliki bentuk Guillain–Barré
Syndrome yang berbeda dibandingkan pasien yang didahului infeksi C. jejuni. Pasien
Guillain–Barré Syndrome dengan riwayat infeksi CMV akan cenderung mengalami
kelemahan nervus fasialis bilateral, memiliki komplikasi di sistem pernafasan yang
berat (misalnya sampai memerlukan ventilasi mekanis), dan kehilangan fungsi sensoris
yang berat (3)

Perjalanan alamiah Guillain–Barré Syndrome, skala waktu dan beratnya


kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita Guillain–Barré Syndrome. Perjalan
(12)
penyakit ini terdiri dari 3 fase, yaitu :

1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampaigejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi
tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus Guillain–Barré Syndrome
yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan Guillain–Barré
Syndrome yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju
fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala (12)

2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perludilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,

22
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta
kekakuan otot dan sendi;namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan
dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai
fase penyembuhan setelah fase infeksi,sementara pasien lain mungkin bertahan di
fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan (12)

3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal,
sertamengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang
masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini
juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan
samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi (12)

2.8 Penegakan Diagnosis Guallain Barre Syndrome


A. Kriteria Diagnosis
Diagnosis Guillain–Barré Syndrome terutama ditegakkan secara klinis. Kriteria
diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological
and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu (1; 3; 2):
1. Kelumpuhan progresif dari lengan dan tungkai. Mungkin diawali oleh kelumpuhan
di ekstremitas bawah saja, gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu
dan 90% dalam 4 minggu.
2. Arefleksia (penurunan refleks tendon).

23
3. Ditemui hal-hal yang memperkuat prognosis:
a. Progresi dari gejala dalam 4 minggu atau kurang
b. Gejala relatif simetris
c. Ada gejala sensoris yang ringan
d. Ada keterlibatan saraf kranial. Gejala saraf kranial ±50% terjadi paresis nervus VII
dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi
lidah dan otot-otot menelan
e. Disfungsi otonom: takikardi, aritmia, hipotensi, hipertensi dan gejala vasomotor
f. Nyeri biasanya sering terjadi
g. Terdapat protein dengan konsentrasi tinggi, serta kelainan pada CSF yang khas.
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosis:
- Protein cairan serebrospinal: meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada lumbal pungsi serial
- Jumlah sel cairan serebrospinal <10MN/m3
- Varian: tidak ada peningkatan protein cairan serebrospinal setelah 1 minggu
gejala, jumlah sel cairan serebrospinal 11-50 MN/m3
h. Ada gambaran elektrodiagnosis yang spesifik. Perlambatan konduksi saraf bahkan
blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
Hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan akan diagnosis adalah sebagai berikut
(15)
;

a. Disfungsi paru berat dengan kelemahan tungkai yang terbatas pada awal penyakit
b. Tanda sensoris yang berat dengan kelemahan pada awal penyakit
c. Disfungsi kandung kemih atau disfungsi usus
d. Demam
e. Progresi lambat dengan kelemahan terbatas tanpa keterlibatan sistem respirasi
f. Kelemahan asimetri yang menetap
g. Disfungsi kandung kemih dan usus yang menetap
h. Peningkatan jumlah sel mononuklear dalam CSF (> 50 x 106/L)
i. Adanya sel polimorfonuklear di CSF.

24
B. Pemeriksaan Neurologis

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat


difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang
lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal.
Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan.
Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan (14)

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam
cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak,
hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini
dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6
minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian
kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa
penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik
Hormone) (14; 12)
2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Guillane Barre Syndrome merupakan suatu kelainan pada konduksi pada saraf dan
EMG dapat menjadi suatu penilaian yang baik untuk mengkonfirmasi diagnosis,
identifikasi dari segmen saraf yang rusak dan memperkirakan prognosis. Ada sejumlah
laporan temuan elektrodiagnostik dalam kasus ini beberapa menunjukkan sedikit
perubahan pada konduksi saraf dengan adanya kelemahan yang parah, mengarah ke
kesimpulan oleh beberapa bahwa tidak ada korelasi antara gejala klinis dan studi
konduksi saraf.
Perubahan patologis pada saraf perifer terdiri dari infiltrasi sel mononuklear dan
demielinasi segmental di motor dan akar sensorik, akhirnya melibatkan seluruh
panjang neuraxis.probably lesi jerawatan, ada kemungkinan lebih besar dari disfungsi

25
dan dominan lebih besar dari gejala klinis dalam otot distal, yang mencerminkan
probabilitas yang lebih besar bahwa semakin lama akson individu pada risiko lebih
besar kemungkinan akan terpengaruh pada satu titik lebih sepanjang jalurnya.
degenerasi aksonal dapat terjadi pada kasus yang parah dan secara tradisional dianggap
sekunder untuk proses inflamasi berhubungan dengan demielinasi.

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis Guillain–Barré


Syndrome adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal
motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk
mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan
prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa
penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna (14; 12)
3. Pemeriksaan Darah Tepi
Dapat didapati polimorfonuclear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang
imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase
lanjut, dapat terjaadi limfositosis, eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah (LED)
dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala (14;
12)

4. Test hipersensitivitas
Dapat dijumpai hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgM, dan IgA, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya
hepatitis virus yang akut atau sedang berlangsung; umumya jarang karena virus
hepatitis itu sendiri, namun aibat infeksi CMV ataupun EBV (14; 12)
5. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardi. Gelombang
T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang
dijumpai, namun tidak sering (14; 12)
6. Tes fungsi respirasi

26
Dikenal juga dengan pengukuran kapasitas vital paru ini, akan menunjukkan
adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending) (14; 12)
7. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa
limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan
pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan
secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf
tepi telah hancur (14; 12)

Asbury, dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah


infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya
berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan
makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel
schwan dan akson (14; 12)

2.9 Diagnosis Banding


Gejala klinis Guillain–Barré Syndrome biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai
dengan kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang
harus dibedakan dengan keadaan lain

Guillain–Barré Syndrome harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan


gejala kelemahan motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut (16; 11)
1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat
ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita Guillain–Barré
Syndrome tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah
setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari Guillain–Barré Syndrome dimana pada
Guillain–Barré Syndrome, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas

27
gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks
patologis Babinski
3. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang
terinfeksi. Gejala dimulai dengan diplopia disertai dengan pupil yang non-reaktif
pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien Guillain–
Barré Syndrome (17)
4. Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi
pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.
5. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal,
yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.

2.10 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome


Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simptomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa)
cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem
imunitas (imunoterapi) (15)

Perawatan intensif di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai adalah hal yang
paling penting. Selain pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi umum,
diperlukan juga perawatan aktif (15)

Sebuah review dari database Cochrane menunjukkan bahwa plasma exchange


(PE) atau pengobatan dengan immunoglobulin intravena (IVIg) memiliki efektifitas
yang ekuivalen dalam upaya penyembuhan pasien Guillain–Barré Syndrome jika
pengobatan diberikan dalam 2 minggu setelah onset kelemahan. Sekitar 10% pasien
membutuhkan pemberian pengobatan ulangan karena mereka mengalamikelemahan
sekunder setelah keadaan membaik setelah pemberian terapi dengan plasma exchange
(PE) atau IVIg yang pertama (15)

28
Dalam banyak kasus karena alasan praktis ( misalnya karena resiko yang rendah
dan aplikasi yang mudah), pengobatan dengan IVIg saat ini menjadi terapi lini pertama
pada pasien Guillain–Barré Syndrome (15)

Hal lain yang penting adalah memulai fisioterapi pada fase awal untuk mencegah
berbagai permasalahan sekunder seperti kekakuan sendi. Rehabilitasi adalah sangat
penting dan harus dilakukan setelah pasien stabil dan memungkinkan untuk melakukan
berbagai macam gerakan dan mengikuti program latihan (15)

1. Terapi Farmakologi
A. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak


mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB (1)

B. Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor


autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada Guillain–Barré Syndrome
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan
alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama)
(1)

C. Pengobatan imunosupresan (1):


a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh (1)

29
Pada penelitian tentang terapi immunoglobulin intravena pada kasus Guillain–
Barré Syndrom pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al. ditemukan bahwa
pengobatan dengan IVIg pada kasus ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit
tetapi memberikan peningkatan pada kecepatan onset perbaikan klinis (18)

Efek samping IVIg pada percobaan tersebut dikatakan ringan tetapi tidak sering
terjadi. Reaksi alergi, gangguan fungsi hati yang bersifat sementara, hipertonik,
meningitis aseptik, proteinuria, gangguan fungsi ginjal, dan peningkatan viskositas
serum dilaporkan pada orang dewasa dan anak yang mendapat terapi dengan IVIg (18)

b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah:

- merkaptopurin (6-MP)
- azathioprine
- cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopesia, muntah, mual dan sakit kepala
(18)

Manajemen nyeri cukup sulit tapi karbamazepin atau gabapentin dapat


membantu. Dosis untuk karbamazepin yaitu 300mg/hari, dan untuk gabapentin
15mg/kgBB/hari. Asetaminofen atau obat NSAID dapat dicoba sebagai terapi pertama
pada sindrom Guillain-Barre tetapi biasanya kurang efektif (3; 17)

2. Terapi Suportif
A. Monitor respirasi, bila perlu lakukan trakeostomi. Penggunaan ventilator
mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telahterjadi paralysis otot-
otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini
(17)

B. Pasang NGT

30
Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu
dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan
makanan dan cairan (17)
C. Fisioterapi
Fisioterapi aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan fungsi
alat gerak, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan keseimbangan. Fisioterapi
pasif setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot (19)

2.11 Komplikasi
Guillain–Barré Syndrome merupakan salah satu penyebab terbanyak dari
paralisis neuromuskular. Kebanyakan pasien Guillain–Barré Syndrome meninggal
dikarenakan gangguan otonom; henti jantung menjadi penyebab paling sering,
(1)
bertanggung jawab pada 20-30% kematian

2.12 Prognosis

Kajian yang dilakukan oleh Berger dan Pulley, (2000) memperlihatkan bahwa
prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan
umur pasien. Faktor prediktor prognosis yang buruk dalam penelitian Lyu dkk, (1997)
adalah : (1) usia > 40 tahun, (2) amplitudo CMAP yang rendah, dan (3) perlunya
ventilasi mekanik. Sebuah penelitian prospektif lain dengan waktu follow-up 1 tahun
terhadap 79 pasien SGB dilakukan oleh Ress dkk, (1998) memperlihatkan bahwa usia
tua (>=60 tahun) merupakan faktor prediktor prognosis yang buruk untuk tidak
tercapainya pemulihan sempurna (p=0.05; odds ratio 0.35; 95% CI 0.12-1.00).
Penelitian lain oleh Kuwabara dkk, (2001) menunjukkan bahwa refleks tendo yang
positif merupakan salah satu prediktor tercapainya pemulihan SGB yang cepat (skala
Hughes meningkat 2 skor dalam waktu 14 hari) (44% : 9%, p=0,01 (20)

31
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Etiologi SGB sampai saat
ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan
perdebatan. Diagnosis Guillain–Barré Syndrome terutama ditegakkan secara klinis
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simptomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan.

3.2 Saran
Sebagai dokter umum, sebaiknya kita mampu mengenali gejala serta dapat
mendiagnosis secara dini Guallain Barre Syndrome. Pendeteksian secara dini
mencegah terjdinya kerusakan saraf lebih lanjut serta menurunkan tingkat
komplikasniya.

32
Daftar Pustaka

1. The epidemiology of guillane-barre syndrome worldwide. McGrogan , A, et al.


2009, Neuroepidemiology, Vol. 32, pp. 150-163.

2. Gullain-Barre syndrome. Erasmus, MC. 2004, Orphanet Encyclopedia, Vol. 1, pp.


1-5.

3. Recognizing Guillain-Barre Syndrome in primary care setting. Mantay, KC,


Parish, T and Armeau, E. 1, 2007, The Internet Journal of Allied Heath Sciences and
Practice, Vol. 5, pp. 1-8.

4. Davids, HR. Guillain-Barre Syndrome. [Online] 2012. [Cited: 12 7, 2018.]


http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview..

5. Lewis, RA. Chronic Inflamatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. [Online]


2009. [Cited: 12 06, 2018.] http://emedicine.medscape.com/article/1172965-
overview..

6. Menkes, JH, Sarnat, HB and Moser, FG. Child Neurology 6th Ed. London :
Williams & Wilkins, 2000.

7. Adams, RD, Victor, M and Ropper, AH. Principles of Neurology 8th Ed. USA :
McGraw Hill, 2005.

8. Mardjono, M and Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. 8. Jakarta : Dian Rakyat,


2000.

9. Ganong, F William and Mcphee, Stephen J. Patofisiologi Penyakit: Pengantar


Menuju Kedokteran Klinis Edisi 5. Jakarta : EGC, 2007.

10. Sherwood, Laurale. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC, 2010.

11. Guillan-Barre sundrome. Burns, TM. 2, 2008, Thieme Medical Journal, Vol. 28,
pp. 152-167.

12. Ropper, H A and Brown, H R. Principles of Neurological 8th Ed. USA : Adam's
and Victoe, 2005.

13. Bradley, WG, et al. Neurology in clinical practice: the neurological disorders 2nd
edition. USA : Butterworth-Heinemann, 1996.

33
14. Fauci, AS, Kasper, DL and Longo, DL. Harrison's principles of internal
medicine 17th Ed. New York : McGraw-Hill, 2008.

15. Guillain-Barre Syndrome. Vaan Doorn, PA. s.l. : University Medical Center
Rotterdam, 2004, Orphanet Encyclopedia, pp. 1-5.

16. Clinical features, pathogenesis and treatment of Guillain-Barre syndrome. Van


Doorn, PA, Ruts, L and Jacobs, B. 2008, Lancet Neurol, Vol. 7, pp. 939-950.

17. Guillain-Barre syndrome and vaccination: usually unrelated. Grabenstein, JD. 2,


2000, Hospital Pharmacy, Vol. 36, pp. 199-207.

18. Intravenously Administering Immunoglobulin in the Treathment of Chillhood


Guillain-Barre Syndrome: A Randomized Trial. Korinthenberg, R, et al. 2005,
Pediatrics, Vol. 116, pp. 8-14.

19. Amparo, Gutierrez and Sumner, Austin J. Electromyography in


neurorehabilitation. [book auth.] ME Selzel, et al. Textbook of neural repair and
rehabilitation. UK : Cambridge University Press, 2006, pp. 49-55.

20. Rizaldy, Pinzon. Sindrom Guillan-Barre: Kajian Pustaka. Jakarta : Dexa Medica,
2007.

34

Anda mungkin juga menyukai