Anda di halaman 1dari 59

Bagian Ilmu Penyakit Dalam LAPORAN KASUS

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

DM TIPE II DENGAN HIPOGLIKEMIA

oleh:

Mahlina Nur Laili


NIM. 1810029041

Pembimbing:

dr. Dieni Azra, Sp.PD

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2019

1
Bagian Ilmu Penyakit Dalam LAPORAN KASUS
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
HALAMAN JUDUL

DM TIPE II DENGAN HIPOGLIKEMIA

Oleh

Mahlina Nur Laili

Mengetahui,

Dipersentasikan pada tanggal 02 Juli 2019


Pembimbing
dr. Dieni Azra, Sp.PD

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “DM Tipe II dengan Hipoglikemia”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Dieni Azra, Sp.PD, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase Ilmu
Penyakit Dalam.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2018 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki
laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, 02 Juli 2019

Penulis

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekeresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia [PERKENI],
2015; Punthakee, Goldenberg, & Katz, 2018). Insulin adalah hormon esensial yang
diproduksi oleh kelenjar pankreas dan dapat memindahkan glukosa dari darah
masuk ke dalam sel dimana glukosa diubah menjadi energi. Kekurangan insulin
atau ketidakmampuan sel merespons terhadap insulin menyebabkan tingginya
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia dan jika tidak diobati dalam waktu
yang lama dapat menyebabkan kerusakan berbagai macam organ yang memberikan
dampak fungsi fisiologis manusia bahkan bisa timbul komplikasi yang dapat
mengancam hidup seseorang seperti penyakit kardiovaskular, neuropati, nefropati,
dan retinopati. Di lain sisi, jika ditatalaksana dengan baik maka komplikasi ini dapat
dihambat atau ditekan (Internasional Diabetes Federation [IDF], 2017).
Klasifikasi dan diagnosis diabetes merupakan hal yang kompleks dan telah
menjadi perhatian oleh banyak ahli sehingga selalu terjadi perdebatan dan revisi
dalam beberapa dekade. Tetapi saat ini, klasifikasi yang secara luas dipakai adalah
dengan membagi diabetes menjadi tiga tipe yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes
melitus tipe 2 dan diabetes gestasional (IDF, 2017). Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT
2) merupakan penyakit kronis dan progresif disebabkan oleh berbagai macam
mekanisme patologis seperti gangguan sekresi insulin, peningkatan resistensi
insulin serta peningkatan produksi glukosa oleh hepar yang semuanya
menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (Kahn, Cooper, &
Del, 2014). Berdasarkan Internasional Diabetes Federation 2014 update,
prevalensi global DMT 2 sekitar 8,3% dengan estimasi 387 juta orang hidup dengan
penyakit DMT 2. Selain itu akan diprediksi bahwa pada tahun 2035 akan ada
penambahan jumlah pasien dengan DMT 2 sebanyak 205 juta (Balijepalli, et al.,
2017).
Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi akut DMT 2 yang umum terjadi
dan menyebabkan tidak adekuat penyediaan glukosa ke serebral serta menyebabkan
timbulnya spektrum gejala neurogenik dan neuroglikopenik yang dapat
menyebabkan kematian jika tidak ditatalaksana dengan baik (Balijepalli, et al.,
2017). Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dL
dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom (PERKENI, 2015). Risiko
jangka pendek dari hipoglikemia adalah situasi dimana saat pasien mengalami
kondisi ini apakah sedang di rumah atau tempat kerja seperti sedang menyetir mobil
atau mengoperasikan mesin. Selain itu, koma dalam waktu lama terkadang
berkaitan dengan gejala neurologik sementara seperti paresis, konvulsi dan

4
ensefalopati. Hipoglikemia yang berulang mungkin dapat mengganggu
kemampuan kesadaran akan terjadinya hipoglikemia berikutnya dan hal ini terjadi
akibat respons neurohormonal terhadap hipoglikemia menjadi tidak sensitif. Tetapi
hal ini merupakan kejadian yang reversibel (Clayton, Woo, & Yale, 2013).

1.2. Tujuan
a. Sebagai salah satu syarat dalam menjalani proses pendidikan di laboratorium
Ilmu Penyakit Dalam.
b. Menambah pemahaman mengenai penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 dengan
Hipoglikemia.
c. Mengkaji ketepatan penegakan diagnosis dan penatalaksanaan Diabetes
Melitus Tipe 2 dengan Hipoglikemia.

5
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 11 Juni 2019, anamnesis dilakukan pada tanggal 11
Juni 2019. Anamnesis yang dilakukan berupa autoanamnesis.

ANAMNESIS UMUM
Identitas

Nama : Ny. IA
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Sidomulyo, Muara Kaman
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

ANAMNESA KHUSUS

Keluhan Utama

Badan terasa lemas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien rujukan dari Klinik Swasta Muara Kaman dengan keluhan badan
terasa lemas sejak 6 jam SMRS. Keluhan ini dirasakan setelah pingsan dirumah 7
jam sebelum masuk rumah sakit. Sebelum pingsan pasien merasakan badan lemas,
gemetar, kepala pusing dan pandangan berkunang-kunang lalu tiba-tiba gelap.
Pasien segera dirikan ke Klinik Muara Kaman. Saat diklinik keluarga pasien
mengatakan gula darahnya terlalu rendah dan dilakukan penanganan serta dirujuk
ke RSUD AWS. Keluhan yang menyertai saat ini penurunan nafsu makan dan nyeri
perut kanan bawah terkadang tembus ke belakang rasanya seperti tertusuk dan
hilang timbul. Tungkai terasa tebal dan kesemutan yang hilang timbul. Tidak ada

6
keluhan mual, muntah, nyeri dada, sesak, demam maupun BAB hitam. BAK
berwarna kuning jernih dan tidak ada nyeri saat kencing..
Pasien memiliki riwayat DM sejak 7 tahun yang lalu dan suntik insulin namun
pernah menghentikan suntik insulinnya sekitar 2 tahun terakhir karena dirasakan
sudah tidak ada gejala dan keluhan apapun. Namun sekitar 3 bulan belakangan
badan terasa lemas, mudah capek terkadang pusing dan gemetar, BAK lebih sering
mulai dirasakan lagi oleh pasien dan lebih memberat. Karena hal tersebut hingga
saat ini pasien menggunakan suntik insulin kembali. Sekitar 1 bulan yang lalu
pasien juga menjalani operasi pengangkatan mata ikan di kaki kanannya namun
lukanya saat ini tak kunjung sembuh dan mengeluarkan nanah.

Keterangan Tambahan
Saat di klinik Muara Kaman pasien tidak sadarkan diri dengan KU buruk dan
kesadaran delirium. Tanda vital saat di Klinik Muara Kaman, TD: 110/70 mmHg,
nadi: 74x/menit, RR: 22x/menit dan suhu: 36,1 0C. Didapatkan kadar gula darah
58 mg/dL. Dilakukan penanganan awal dengan IVFD D10% guyur 300 cc, lanjut
25 tpm.

Riwayat Penyakit Dahulu


1. Eklamsia 4 tahun yang lalu
2. Operasi mata ikan 1 bulan yang lalu
3. Tidak ada riwayat hipertensi, penyakit jantung, asma maupun ginjal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat diabetes melitus pada ibu pasien
 Tidak ada riwayat hipertensi, penyakit jantung, asma maupun ginjal

Riwayat Pengobatan
 Novorapid 20-20-20
 Levemir

7
2.2 Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 11 Januari 2019
Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
Keadaan umum : Sakit sedang

Tanda Vital
TD : 110/70 mmHg (lengan kanan, berbaring)
N : 109 x/menit regular, isi cukup, kuat angkat, equal
RR : 22 x/menit
T : 37 0C (axila)
Habitus: Normal
Kepala/leher
Umum
Ekspresi : sakit sedang
Rambut : berwarna hitam, tebal terdistribusi merata dan tidak
penampakan area kerontokan ataupun kebotakan
Kulit muka : warna kulit sawo matang, tampak pucat
Mata
Palpebra : oedema (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sclera : ikterus (-/-)
Pupil : isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung
Septum deviasi : tidak ada
Sekret : tidak ada
Nafas cuping hidung : tidak ada
Telinga
Bentuk : normal, simetris kanan dan kiri
Lubang telinga : normal, sekret (-), nodule (-), tanda peradangan (-)
Proc. Mastoideus : nyeri (-/-)
Pendengaran : normal
Mulut

8
Nafas : bau aseton (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Gusi : perdarahan (-)
Mukosa : hiperemis (-), pigmentasi (-)
Lidah : makroglosia (-), mikroglosia (-) atrofi papil lidah (-)
Faring : hiperemis (-)
Leher
Umum : simetris, tumor (-)
Kelenjar limfe : membesar (-)
Trakea : di tengah, deviasi (-)
Tiroid : membesar (-)

Thorax
Umum
Bentuk dan pergerakan dada simetris
Ruang interkostalis (ICS) tampak jelas
Retraksi (-)

Pulmo
Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : fremitus raba simetris dekstra = sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler terdistribusi, suara napas tambahan ronkhi (-
/-), wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di midclavicular line sinistra ICS V
Perkusi : Atas: ICS II midclavicular line
Kanan : ICS II-III parasternal dextra
Kiri : ICS V mid axilla line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

9
Abdomen
Inspeksi : Bentuk flat, kulit normal, sikatrik (+), bekas operasi (+)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan perut bawah (+), hepatosplenomegali (-), nyeri ketok
ginjal kanan (+), defans muscular (-), turgor kulit baik <2 detik
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), fluid wave (-)

Ekstremitas
Superior
Dextra: Tampak adanya erosi multiple bekas garukan yang berukuran lenticular
sampai dengan miliar yang terdistribusi tidak merata pada lengan bawah sampai
dengan dorsum manus. Ekstremitas hangat, CRT < 2 detik, Oedema (-),
Eritematosa (-), Sianosis (-), Clubbing finger (-), Palmar eritema (-), Kekuatan
otot : Kanan = Kiri (5 = 5)
Sinistra: Tampak adanya erosi multiple bekas garukan yang berukuran lenticular
sampai dengan miliar yang terdistribusi tidak merata pada lengan bawah sampai
dengan dorsum manus. Ekstremitas hangat, CRT < 2 detik, Oedema (-),
Eritematosa (-), Sianosis (-), Clubbing finger (-), Palmar eritema (-), Kekuatan
otot : Kanan = Kiri (5 = 5)

Inferior
Dekstra: Tampak adanya area pigmentasi dan erosi berukuran lenticular sampai
dengan nummular yang terdistribusi tidak merata pada tungkai. Kaki kanan
diperban dan tampak rembesan cairan berwarna kekuningan. Ekstremitas
hangat, CRT tidak dapat dievaluasi. Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5 = 5)
Sinistra: Tampak area bekas eskoriasi berwarna kehitaman pada dorsum pedis.
Ekstremitas hangat, CRT < 2 detik. Eritematosa (-), Sianosis (-), Clubbing
finger (-), Palmar eritema (-), Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5 = 5)

2.3 Pemeriksaan Penunjang (11 Juni 2019)

10
Pemeriksaan Nilai Nilai Normal

Darah Lengkap

Leukosit 9.41 4.800-10.800 /µL

Eritrosit 3.61 4.70-6.10 x 106/µL

Hb 10.3 12-16 g/dL

Ht 31.6 37-54 %

Trombosit 413.000 150.000-450.000/µL

Kimia Klinik

GDS 294 70-140 mg/dL

Ureum 20.7 19,3-49,2 mg/dL

Creatinin 0.7 0,5-1,1 mg/dL

Elektrolit

Na 135 135-155 mmol/L

K 5.2 3,6-5,5 mmol/L

Cl 104 98-108 mmol/L

2.4 Assesment
Diagnosa IGD: Hipoglikemia ec DM Tipe 2

2.5 Penatalaksanaan awal


Penatalaksanaan IGD

IVFD RL 20 tpm

11
Injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam

Injeksi Metoclopramid 1 amp

Konsul dr Sp.PD

IVFD RL 20 tpm

Bila hipoglikemia kembali ganti infus dengan D10%. Apabila GDS <100
mg/dl bolus D40% 1 fls, bila GDS <70 mg/dl bolus D40%

Injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam

Insulin stop

Observasi cek GDS tiap 2 jam

2.6 Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
11/06/19 S: Badan terasa lemas. Nyeri perut kanan
P:
R. bawah tembus ke belakang. Nanah IVFD RL 20 tpm
Flamboyan merembes pada kaki kanan yang di Diet DM 1900 kkal
perban. Novorapid 8-8-8
PCT 3x500 mg
O: keadaan umum : sedang, TD= 110/70 Injeksi Ceftriaxon 2x1 gr
mmHg, N = 85x/i, RR = 18x/i, T : 37 Cek UL, USG Abdomen
Mata: anemis (-/-), ikterik (-/-) Konsul Bedah
Leher : pemb KGB(-/-)
Paru : Simetris, vesikuler -/-, Rh -/-, Wh
-/-
Cor: S1S2 tgl, m(-), g(-)
Abdomen: nt (+), nyeri ketok ginjal
kanan (+), distensi (-) benjolan (-), striae
(-), spider nevi (-), asites (-), BU (+)
Ekstremitas: akral hangat

A: Hipoglikemia ec DM tipe 2
12/06/19 S: Badan masih terasa lemas. Nyeri perut P:
kanan bawah tembus ke belakang sedikit Inj. Novorapid 16-16-16
berkurang. Inj. Levemir 0-0-10
Metronidazol 3x500 mg
O: keadaan umum : sedang, TD= 100/70 Inj. Santagesik 3x1 gr
mmHg, N = 89x/i, RR = 20x/i, T : 36.9 PCT 3x500 mg
Mata: anemis (-/-), ikterik (-/-) Injeksi Ceftriaxon 2x1 gr
Leher : pemb KGB(-/-) Cek GDS 3 jam preop
Paru : Simetris, vesikuler -/-, Rh -/-, Wh
Jawaban konsul: 12/06
-/- S: Bengkak kaki kanan, luka
Cor: S1S2 tgl, m(-), g(-) bernanah. Riwayat DM

12
Abdomen: nt (+), nyeri ketok ginjal O: Composmentis, stabil
kanan (+), distensi (-) benjolan (-), striae Pedis dextra edema (+), ulkus (+),
(-), spider nevi (-), asites (-), BU (+) pus (+)
Ekstremitas: akral hangat A: Abses pedis
P: Pro debriment 13/06
A: KIE
Hipoglikemia ec DM tipe 2 Daftar OK IBS
Ulkus pedis dextra Regulasi gula darah oleh Sp.PD

GDS:
06.00: 315 mg/dl
Hasil lab:
Urin lengkap (12/06)
Berat jenis 1.015
Nitrit +
Leukosit +1
Hb/darah +2
Warna kuning agak keruh
pH 6.0
Protein +2
Glukosa +2
Sel epitel +
Leukosit 10-15/lpb
Eritrosit 15-20
Bakteri +3
Jamur +
Imunoserologi:
Anti HbsAg: Non reaktif
Ab HIV: Non reaktif
13/06 S: Lemas berkurang. Nyeri perut kanan P:
bawah tembus ke belakang berkurang. Inj. Novorapid 16-16-16
Sariawan pada lidan dan nafsu makan Inj. Levemir 0-0-10
menurun. Metronidazol 3x500 mg
Inj. Santagesik 3x1 gr
O: keadaan umum : sedang, TD= 10/70 PCT 3x500 mg
mmHg, N = 83x/i, RR = 18x/i, T : 37,1 Injeksi Ceftriaxon 2x1 gr
Mata: anemis (-/-), ikterik (-/-) Nistatin oral drops 3x1cc
Leher : pemb KGB(-/-)
Paru : Simetris, vesikuler -/-, Rh -/-, Wh
-/-
Cor: S1S2 tgl, m(-), g(-)
Abdomen: nt (+), nyeri ketok ginjal
kanan (+), distensi (-) benjolan (-), striae
(-), spider nevi (-), asites (-), BU (+)
Ekstremitas: akral hangat
A:
Hipoglikemia ec DM tipe 2
Ulkus pedis dextra

GDS:

13
22.00: 259 mg/dL
06.00: 340 mg/dL
07.30: 166 mg/dL
9.20: 22 mg/dL (Bolus D40% 3 fls)
10.25: 147 mg/dL
14/06 S: Sudah tidak lemas badan lebih segar..
P:
Nyeri perut kanan bawah tembus ke Inj. Novorapid 16-16-16
belakang berkurang. Nyeri post op. Inj. Levemir 0-0-10
Nafsu makan membaik Metronidazol 3x500 mg
Inj. Santagesik 3x1 gr
O: keadaan umum : sedang, TD= 120/70 PCT 3x500 mg
mmHg, N = 86x/i, RR = 21x/i, T : 37 Injeksi Ceftriaxon 2x1 gr
Mata: anemis (-/-), ikterik (-/-) Nistatin oral drops 3x1cc
Leher : pemb KGB(-/-)
Paru : Simetris, vesikuler -/-, Rh -/-, Wh
-/-
Cor: S1S2 tgl, m(-), g(-)
Abdomen nt (+), nyeri ketok ginjal
kanan (+), distensi (-) benjolan (-), striae
(-), spider nevi (-), asites (-), BU (+)
Ekstremitas: akral hangat

A:
Hipoglikemia ec DM tipe 2
Ulkus pedis dextra
Cystitis
Kista ovarium

GDS:
22.00: 158 mg/dL
06.00: 198 mg/dL
Hasil Lab:
Darah lengkap
Leukosit: 9.44 103/microliter
Eritrosit: 3.20 106/microliter
Hb: 9.1 g/dl
Hct: 28.1 %
Plt: 465 103/microliter

Hasil USG Abdomen:


Kesan:
Cystitis
Kista ovarium dextra et sinistra
17/06 S: Sudah tidak lemas lagi. Nyeri perut P:
kanan bawah tembus belakang sudah Inj. Novorapid 16-16-16
jauh berkurang. Nafsu makan baik Inj. Levemir 0-0-14
Metronidazol 3x500 mg
O: keadaan umum : sedang, TD= 110/70 Inj. Santagesik 3x1 gr
mmHg, N = 88x/i, RR = 20x/i, T : 36,5 PCT 3x500 mg
Mata: anemis (-/-), ikterik (-/-) Injeksi Ceftriaxon 2x1 gr
Leher : pemb KGB(-/-) Nistatin oral drops 3x1cc

14
Paru : Simetris, vesikuler -/-, Rh -/-, Wh Cek DL dan albumin
-/-
Cor: S1S2 tgl, m(-), g(-)
Abdomen: nt (+), nyeri ketok ginjal
kanan (+), distensi (-) benjolan (-), striae
(-), spider nevi (-), asites (-), BU (+)
Ekstremitas: akral hangat
A:
Hipoglikemia ec DM tipe 2
Ulkus pedis dextra
Cystitis
Kista ovarium

GDS
22.00: 139 mg/dL
06.00: 239 mg/dL
18/06 S: Sudah tidak lemas lagi. Nyeri perut
P:
kanan bawah tembus belakang hanya Boleh pulang
terkadang saja tapi sudah jarang dan Kontrol ke poli
membaik. Nafsu makan baik Obat Pulang:
Novorapid 14-14-14
O: keadaan umum : sedang, TD= 120/80 Levemir 0-0-14
mmHg, N = 84x/i, RR = 19x/i, T : 36 Metronidazol 3x500 mg
Mata: anemis (-/-), ikterik (-/-) Cefixim 2x100 mg
PCT 3x500 mg
Leher : pemb KGB(-/-)
Paru : Simetris, vesikuler -/-, Rh -/-, Wh
-/-
Cor: S1S2 tgl, m(-), g(-)
Abdomen: nt (+), nyeri ketok ginjal
kanan (+), distensi (-) benjolan (-), striae
(-), spider nevi (-), asites (-), BU (+)
Ekstremitas: akral hangat
A:
Hipoglikemia ec DM tipe 2
Ulkus pedis dextra
Cystitis
Kista ovarium

GDS:
22.00: 184 mg/dL
06.00: 238 mg/dL
Hasil Lab:
Darah lengkap
Leukosit: 6.49 103/microliter
Eritrosit: 3.27 106/microliter
Hb: 9.3 g/dl
Hct: 28.3 %
Plt: 375 103/microliter

15
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Diabetes Mellitus

3.1.1. Definisi
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan adanya peningkatan kadar gula dalam darah akibat defek sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis pada diabetes dihubungkan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2010).

3.1.2. Klasifikasi
Menentukan jenis diabetes mellitus pada seseorang tergantung dari keadaan
pada saat pasien didiagnosis. Beberapa pasien dengan peningkatan kadar gula
dalam darah tidak hanya berada pada satu klasifikasi saja. Sebagai contoh,
seseorang dengan gestational diabetes mellitus (GDM) dapat terus mengalami
hiperglikemia setelah melahirkan dan lebih berisiko memiliki diabetes mellitus tipe
2. Pada contoh lain, seseorang yang mengalami hiperglikemi karena penggunaan
steroid eksogen dosis tinggi dapat menjadi normoglikemi bila penggunaan steroid
dihentikan (ADA, 2010).

Tabel 3.1 Klasifikasi DM

Tipe 1 Destruksi sel β pankreas, umumnya menjurus ke defisiensi insulin


absolut

 Autoimun
 Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin

Tipe lain  Defek genetik fungsi sel β pankreas


 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang

16
 Sindrom genetik lain yang dikaitkan dengan Diabetes Mellitus
Diabetes
mellitus
gestasional
(Rudijanto, et al., 2015)

1. Diabetes Mellitus Tipe 1


Diabetes mellitus tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat terjadinya
gangguan metabolisme yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini
diakibatkan oleh kerusakan sel β pankreas oleh karena proses autoimun atau
idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti (World Diabetes
Foundation, 2009).
a) Diabetes yang Diperantarai oleh Imun
Diabetes yang dimediasi oleh sistem imun hanya dialami oleh 5-10% pasien
diabetes mellitus. Istilah lain dari jenis ini adalah dependent diabetes atau diabetes
onset remaja. Jenis diabetes ini disebabkan oleh karena destruksi secara autoimun
yang diperantarai oleh sel dari sel β pankreas. Penanda dari adanya destruksi sel β
pankreas adalah autoantibodi sel islet, autoantibodi pada insulin, autoantibodi pada
GAD (GAD65), dan autoantibodi terhadap tirosin fosfatase IA-2 dan IA-2β.
Penghancuran sel β secara autoimun memiliki beberapa predisposisi genetik dan
juga faktor lingkungan yang belum dapat dijelaskan. Pada jenis ini pasien jarang
ada yang mengalami obesitas, namun pasien obesitas tidak dapat disingkirkan.
Pasien ini juga rentan mengalami kelainan autoimun lain seperti penyakit Graves,
tiroiditis hashimoto, vitiligo, hepatitis autoimun, miastenia gravis, dan anemia
pernisiosa (American Diabetes Association, 2010).
Pada diabetes jenis ini, tingkat kerusakan sel β cukup bervariasi, paling dini
diabetes dapat terjadi pada bayi dan anak, dan juga terjadi onset lambat pada usia
dewasa. Beberapa pasien terutama anak dan remaja, dapat terjadi ketoasidosis
sebagai manifestasi awal dari penyakit ini. Manifestasi lain yaitu berupa
hiperglikemia puasa yang dengan cepat terjadi hiperglikemia kronis atau
ketoasidosis dengan adanya infeksi lain (American Diabetes Association, 2010).
b) Diabetes Mellitus Idiopatik
Beberapa jenis dari diabetes mellitus tipe 1 tidak diketahui etiologinya.
Beberapa pasien memiliki insulinopenia permanen dan rentan mengalami

17
ketoasidosis, tetapi tidak memiliki bukti terjadi proses autoimun. Hanya sedikit
kasus yang memiliki diabetes jenis ini, dan paling sering terjadi pada ras Afrika
atau Asia. Pasien dengan diabetes ini dapat terjadi ketoasidosis episodik dan
menunjukkan defisiensi penggunaan insulin antar episode. Jenis diabetes ini sangat
mungkin diwariskan, karena tidak bukti yang dapat menunjukkan kelainan
autoimun atau pun adanya HLA yang terkait (American Diabetes Association,
2010).

2. Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes mellitus tipe 2 adalah suatu keadaan terjadi hiperinsulinemia tetapi
insulin tidak dapat membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi
resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi
glukosa oleh hati. Terjadinya resistensi insulin atau reseptor insulin sudah tidak
aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi di dalam darah, akan mengakibatkan
defisiensi relatif insulin. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
pada glukosa bersama bahan sekresi insulin lain, sehingga sel β pankreas akan
mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa (Ndraha, 2014).
Onset diabetes mellitus tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya
asimptomatik. Adanya resistensi insulin yang terjadi perlahan-lahan dapat
mengakibatkan sensitivitas reseptor terhadap glukosa berkurang. Diagnosisnya
sering terjadi bila sudah ada komplikasi (Ndraha, 2014) .

3. Diabetes Tipe Lain


Klasifikasi diabetes tipe lain sering ditemukan di daerah tropis dan negara
berkembang. Jenis ini biasanya disebabkan oleh adanya malnutrisi disertai
kekurangan protein yang nyata. Kuat dugaan penyebabnya juga berasal dari zat
sianida yang terdapat pada cassava atau singkong yang menjadi sumber karbohidrat
di beberapa kawasan di Asia dan Afrika berperan dalam patogenesisnya.
Diperkirakan diabetes jenis ini akan bertambah banyak di masa mendatang,
mengingat jumlah penduduk yang masih berada di bawah kemiskinan yang masih
tinggi. Dulu diabetes jenis ini dapat disebut Diabetes Terkait Malnutrisi, namun

18
karena patogenesisnya tidak jelas maka pada klasifikasi terakhir (1999) tidak lagi
disebut demikian tetapi disebut diabetes tipe lain (Suyono, 2015).

4. Diabetes Mellitus Gestasional


Diabetes mellitus gestasional adalah jenis diabetes yang timbul selama
kehamilan. Sekitar 2-5% dari seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui
karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar
(Suyono, 2015).
Diabetes mellitus gestasional adalah suatu intolerensi glukosa yang terjadi atau
pertama kali ditemukan pada saat hamil. Definisi ini tetap berlaku bila pada pasca
persalinan keadaan intoleransi glukosa masih menetap. Meskipun memiliki
perbedaan dalam perjalan penyakit awal, baik pasien dengan diabetes mellitus tipe
1 atau tipe 2 yang hamil atau diabetes mellitus gestasional memiliki
penatalaksanaan yang kurang lebih sama (Adam & Purnamasari, 2015).
Tabel Klasifikasi DM Berdasarkan Etiologi

3.1.3. Epidemiologi
Berdasarkan data prevalensi menurut World Health Organization, sekitar 150
juta orang memiliki diabetes mellitus di seluruh dunia, dan jumlah ini mungkin
dapat meningkat dua kali lipat pada tahun 2025. Sebagian besar kenaikan ini akan

19
terjadi di negara-negara berkembang yang dapat dipengaruhi oleh pertumbuhan
populasi, penuaan, diet tidak sehat, obesitas, dan gaya hidup. Pada tahun 2025,
sementara kebanyakan pasien diabetes mellitus di negara maju berusia 65 tahun
atau lebih, di negara-negara berkembang kebanyakan berada pada kelompok usia
45-65 tahun dan terpengaruh pada usia produktif mereka (World Health
Organization, 2017).
Jumlah pasien dengan diabetes mellitus meningkat dari 108 juta pada tahun
1980 menjadi 422 juta di tahun 2014. Prevalensi pasien diabetes mellitus secara
global, yaitu pada pasien dewasa lebih dari 18 tahun, sekitar 4.7% di tahun 1980
dan meningkat menjadi 8.5% pada 2014 (World Health Organization, 2017).
Perkiraan dari International Diabetes Federation (IDF) tahun 2014
menunjukkan bahwa terdapat 387 juta pasien dengan diabetes mellitus. Pada tahun
2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang.
Diperkirakan dari 387 juta orang tersebut, 175 juta diantaranya belum terdiagnosis,
sehingga terancam berkembang progresif dan dapat mengalami komplikasi tanpa
disadari (International Diabetes Federation, 2015).

3.1.4. Patofisiologi

Gambar. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia
pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New
Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795)

20
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang progresif, dimulai
dengan resistensi insulin yang mengarah ke peningkatan produksi glukosa hepatik
dan berakhir dengan kerusakan sel β pankreas. Resistensi insulin didefinisikan
sebagai ketidakmampuan jaringan target seperti otot dan jaringan adiposa untuk
merespon sekresi insulin endogen dalam tubuh. Lipotoxicity dapat berkontribusi
terhadap resistensi insulin. Lipotoxicity mengacu kepada tingginya konsentrasi
asam lemak bebas yang terjadi sebagai akibat tekanan hambatan hormone sensitive
lipase (HSL). Normalnya insulin menghambat lipolisis dengan menghambat HSL,
namun pada resistensi insulin tidak terjadi secara efisien. Hasil dari peningkatan
lipolisis adalah peningkatan asam lemak bebas, dan inilah yang menyebabkan
obesitas dan peningkatan adiposa. Asam lemak bebas menyebabkan resistensi
insulin dengan mempromosikan fosforilasi serin pada reseptor insulin yang dapat
mengurangi aktivitas insulin signalling pathway. Fosforilasi reseptor insulin pada
asam amino tirosin penting untuk mengaktifkan insulin signalling pathway, jika
tidak, maka GLUT-4 akan gagal untuk translocate, dan penyerapan glukosa ke
jaringan akan berkurang, menyebabkan hiperglikemia (Guyton AC, 2011).
Pada individu non-diabetik sel β pankreas mampu menangkal resistensi
insulin dengan meningkatkan produksi dan sekresi insulin. Pada penderita DM
apabila keadaan resistensi insulin bertambah berat disertai tingginya glukosa yang
terus terjadi, sel β pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak mampu
mensekresikan insulin dalam jumlah cukup untuk menurunkan kadar gula darah,
disertai dengan peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa
oleh otot dan lemak akan mempengaruhi kadar gula dara puasa dan postpandrial.
Akhirnya sekresi insulin oleh sel β pankreas akan menurun dan terjadi
hiperglikemia berat (Guyton AC, 2011).
Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM-2 menyebabkan
resistensi adiponektin melalui penurunan regulasi ekspresi reseptor AdipoR1. Hal
ini menyebabkan C-terminal globular domain (gAd), produk gen adiponektin yang
memilik efek metabolik yang poten terutama pada otot skeletal, mengalami
resistensi sehingga kemampuan gAd untuk meningkatkan translokasi GLUT-4,
penyerapan glukosa, penyerapan asam lemak dan oksidasi, serta fosforilasi AMP-

21
activated protein kinase (AMPK) dan asetil-CoA karboksilase (ACC) mengalami
penurunan (Guyton AC, 2011).
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas,
tetapi faktor risiko ini banyak berperan. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi
yaitu, ras dan etnik, riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes),
umur yaitu risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM, Riwayat
melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita
DM gestasional (DMG), Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5
kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi
dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal (Guyton AC, 2011).
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi antara lain, berat badan lebih (IMT >
23 kg/m2), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi ( > 140/90 mmHg), dislipidemia
(HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL), diet tak sehat (unhealthy
diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita
prediabetes/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2 (Guyton AC, 2011).

3.1.5. Tanda dan Gejala


Terdapat beberapa gejala dan tanda dari penyakit diabetes mellitus, yaitu
tediri dari dua gejala khas dan gejala tidak khas (Ikatan Dokter Indonesia, 2014).
Gejala khas:
- Polifagia
- Poliuria
- Polidipsia
- Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya

Gejala tidak khas:


- Lemah
- Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas)
- Gatal
- Mata kabur
- Disfungsi ereksi pada pria
- Pruritus vulva pada wanita

22
- Luka yang sulit sembuh

3.1.6. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah .
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel Kriteria Diagnosis DM

Tabel. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan


prediabetes.

23
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Tabel Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

3.1.7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan diabetes mellitus secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup pasien. Tujuan penatalaksanaan meliputi tujuan jangka pendek,
tujuan jangka panjang, dan tujuan akhir (Rudijanto, et al., 2015).

1) Tujuan jangka pendek, yaitu menghilangkan keluhan diabetes, memperbaiki


kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
2) Tujuan jangka panjang, yaitu mencegah dan menghambat progresivitas
komplikasi diabetes seperti komplikasi mikroangiopati dan makroangiopati

24
3) Tujuan akhir pengelolaan diabetes adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
diabetes mellitus
Penatalaksanaan diabetes mellitus dapat dimulai dengan menerapkan pola
hidup sehat yaitu terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik, bersamaan dengan
intervensi farmakologis menggunakan obat anti hiperglikemia oral dan/atau
suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan berupa terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, seperti
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya
ketonuria, harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder atau tersier
(Rudijanto, et al., 2015).

1) Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik (B). Materi edukasi terdiri dari materi edukasi
tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. (PERKENI, 2015)
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer yang meliputi:
 Materi tentang perjalanan penyakit DM.
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
 Penyulit DM dan risikonya.
 Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan
 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
 Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah
atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri
tidak tersedia).
 Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
 Pentingnya perawatan kaki.

25
 Cara mempergunakan fasilitas perawatankesehatan (B).
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:
 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
 Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
 Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
 Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
 Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari
sakit).
 Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
 Pemeliharaan/perawatan kaki. Elemen perawatan kaki dapat dilihat
pada tabel-7.
Tabel 7. Elemen Edukasi Perawatan Kaki

Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi


anjuran:
 Mengikuti pola makan sehat.
 Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur

26
 Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman
dan teratur.
 Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
 Melakukan perawatan kaki secara berkala.
 Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat.
 Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak
keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.
 Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
2) Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi nutrisi medis adalah prinsip pengaturan makan pada pasien diabetes
mellitus yang hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
masing individu. Pasien diabetes mellitus perlu diberi penjelasan dan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandundan
kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat dengan meningkatkan
sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri (PERKENI, 2015).

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


a) Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi, terutama
karbohidrat yang berserat tinggi. Pembatan karbohidrat total <130 g/hari
tidak dianjurkan. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien
dengan diabetes mellitus dapat memakan dengan keluarga yang lain.
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Pemanis alternatif
dapat digunakan sebagai glukosa, asal tidak melebihi batas aman konsumsi
harian (Accepted Daily Intake/ADI). Dianjurkan makan tiga kali sehari, bila
perlu dapat diberi makanan selingan atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori (PERKENI, 2015).
b) Lemak

27
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang
dianjurkam adalah lemak jenih kurang dari 7% kebutuhan kalori, lemak
tidak jenuh ganda kurang dari 10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans, antara lain daging berlemak, dan
susu fullcream. Konsumsi kolesterol dianjurkan kurang dari 200mg/hari
(PERKENI, 2015).
c) Protein
Kebutuhan protein sebesar 10-20% total asupan energi. Sumber protein
yang baik adalah yang berasal dari ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan
tempe. Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan
protein menjadi 0.8% g/kgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi,
dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada pasien
diabetes mellitus yang sudah menjalani hemodialisa asupan protein
menhadi 1-1.2 g/kgBB per hari (PERKENI, 2015).
d) Natrium
Anjuran asupan natrium untuk pasien diabetes mellitus sama dengan orang
sehat yaitu kurang dari 2300 mg perhari. Pasien diabetes mellitus dengan
hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara individual. Sumber
natrium antara lain adalah gram dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit (PERKENI, 2015).
e) Serat
Pasien diabetes mellitus dianjurkan mengonsumsi kacang-kacangan, buah
dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. Anjuran komsumsi
serat adalah 20-35 gram perhari uang berasal dari berbagai sumber bahan
makanan (PERKENI, 2015).
f) Pemanis alternatif
Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis
tak berkalori. Pemanis berkalori yaitu gula alkohol dan fruktosa. Gula
alkohol antara lain isomalt, lactilol, maltilol, mannitol, sorbitol, xylitol. Bila

28
menggunakan pemanis berkalohi, makan perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak
dianjurkan digunakan pada pasien diabetes mellitus karena berefek samping
pada lemak darah. Pemanis tanpa kalori masih dapat digunakan seperti
aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame. Pemanis
aman digunakan, asal tidak melebihi batas aman (Acceptes Daily
Intake/ADI) (PERKENI, 2015).

B. Kebutuhan kalori
Terdapat beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
pasien diabetes, yaitu dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.
Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah: (Rudijanto, et al., 2015).
a) Perhitungan Berat Badan Ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:
 Berat badan ideal, 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg
 Pria dengan tinggi badan kurang dari 160 cm dan wanita dengan
tinggi badan kurang dari 150 cm, rumus modifikasi mendi (TB
dalam cm – 100) x 1 kg
 Klasifikasi BBI:
BB normal: BB ideal  10%
Kurus: kurang dari BB ideal – 10%
Gemuk: lenoh dari BB ideal + 10%
b) Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT), dengan
rumus:
𝐵𝐵 (𝑘𝑔)
 IMT = 𝑇𝐵 (𝑚2 )

 Klasifikasi IMT:
BB kurang < 18,5
BB normal 18,5 – 22,9
BB lebih ≥ 23,0
o Dengan risiko 23,0 – 24,9

29
o Obes I 25,0 – 29,9
o Obes II ≥ 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori adalah: (Rudijanto, et al., 2015).

a) Jenis kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari pada perempuan adalah sebesar 25 kal/kgBB
dan pada pria adalah 30 kal/kgBB
b) Umur
Pasien dengan usia lebih dari 40 tahun, kebutuhan kalorinya dikurangi 5%
untuk setiap dekade, yaitu antara 40 – 59 tahun. Pada pasien dengan usia
antara 60 – 69 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 10%. Usia lebih dari 70
tahun, kebutuhan kalori dikurangi 20%
c) Aktivitas Fisik
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
keadaan istirahat. Penambhan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas
ringan seperti pegawai kantor, guru, dan ibu rumah tangga. Penambahan
sejumlah 30% pada aktivitas sedang yaitu pada pegawai industri ringan,
mahasiswa militer yang sedang tidak perang. Penambahan sejumlah 40% pada
aktivitas berat seperti petani, buruh, atlet, militer dalam keadaan latihan.
Sedangakn penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat seperti
tukang becak dan tukang gali.
d) Stres Metabolik
Penambahan 10 – 30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis,
operasi, trauma).
e) Berat Badan
Pasien dengan diabetes mellitus yang gemuk, kebutuhan kalori
dikurangi sekitar 20 – 30% tergantung tingkat kegemukan. Pasien diabetes
mellitus yang kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20 – 30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meingkatkan BB. Jumlah kalori yang diberikan
paling sedikit 1000-1200 kal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kal
perhari untuk pria (Rudijanto, et al., 2015).

30
Umumnya makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan
komposisi tersebut, dibagi dalam 3 porsi besar yaitu makan pagi (20%), siang
(30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Pada
kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis makanan dilakukan sesuai
dengan kebiasaan. Pasien diabetes mellitus yang memiliki penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya (Rudijanto, et al.,
2015).

3) Kegiatan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan diabetes mellitus. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurukan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas dari insulin, sehingga dapat memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobic
dengan intensitas sedang (50 – 70% denyut jantung maksimal) seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindari kebiasaan aktivitas kurang
gerak dan bermalas-malasan (PERKENI, 2015).

Tabel 3.2 Aktivitas Fisik Sehari-hari

Kurangi aktivitas Menonton 31 ias 31 ise, menggunakan


Hindari aktivitas ringan internet, main game computer

Persering aktivitas Jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda, sepak


Mengikuti olahraga rekreasi dan bola
beraktivitas fisik tinggi pada
waktu liburan
Aktivitas harian Berjalan kaki ke pasar (tidak menggunakan
Kebiasaan gaya hidup sehat kendaraan), menggunakan tangga (tidak
menggunakan lift), menemui rekan kerja
(tidak hanya menelpon internal), jalan dari
tempat parkir

(PERKENI, 2015)

31
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan
jasmani. Bila kadar glukosa darah kurang dari 100 mg/dL pasien harus
mengonsumsi karbohidrat dahulu dan bila lebih dari 250 mg/dL dianjurkan untuk
menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan
termasuk dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan selalu aktif setiap hari. Pada
pasien diabetes mellitus tanpa kontraindikasi seperti osteoatritis, hipertensi yang
tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan melakukan resistance training
(latihan beban) 2 – 3 kali/minggu sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Intensitas latihan
jamani pada pasien diabetes mellitus yang relative sehat bias ditingkatkan,
sedangkan pada pasien diabetes dengan komplikasi intensitas latihan perlu
dikurangi dan disesuaikan per individu (Rudijanto, et al., 2015).

4) Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makanan dan
latihan jasmani. Terapi farmakolis berupa obat oral dan suntikan. (PERKENI,
2015)
a) Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjadinya, obat antihiperglikemia oral dapat dibagi
menjadi 5 golongan yaitu pemacu sekresi insulin, peningkat sensitivitas
terhadap insulin, penghambat absorpsi glukosa di saluran cerna, penghambat
DPP-IV, dan penghambat SGLT-2.
1. Pemacu sekresi insulin
Pemacu sekresi insulin terdiri dari golongan sulfonylurea dan glinid.
Obat golongan sulfonylurea ini memiliki efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel β pankreas. Penggunaan sulfonylurea berisiko
tinggi terjadi hipoglikemia. Sedangkan glinid adalah obat dengan cara
kerja yang sama dengan sulfonylurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin pertama. Golongan glinid terdiri dari dua
macam obat yairu reoaglinid dan nateglinid. Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati.obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek
sampingnya adalah bisa terjadi hipoglikemia (Rudijanto, et al., 2015).

32
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60
ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti:
GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin
berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
 Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-
hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara
berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
3. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran
 Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73
m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan
dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
4. Penghambat DPP-IV
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) adalah suatu hormone peptide yang dihasilkan

33
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada
makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang
kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun
demikian, secara cepat FLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4),
menjadi metabolit GLP-1-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada
pasien dengan diabetes mellitus, sehingga upaya untuk meningkatkan GLP-1
bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan diabetes mellitus,
peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4). Contoh obat golongan ini
adalah Sitagliptin dan Linagliptin. (PERKENI, 2015).
5. Penghambat SGLT-2
Obat golongan penghambat SGLT-2 adalah obat antidiabetes oral jenis baru
yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan
ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.
Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan
Mei 2015 (Rudijanto, et al., 2015).

b) Obat Antihiperglikemia Suntikan


Obat yang berupa suntikan untuk pasien diabetes mellitus adalah insulin,
agonis GLP-1 dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi obah hipoglikemik oral dosis optimal
- Stres berat seperti infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
dan stroke
- Kehamilan dengan diabetes gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makanan

34
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap obat hipoglikemia oral
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
2. Agonis GLP-1/Increatin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 adalah pendekatan
baru untuk pasien diabetes. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel β
pankreas sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, memiliki efek
menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan
menghambat nafsu makan. Efek dari penurunan berat badan agonis GLP-
1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan pada pasien
diabetes dengan obesitas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah, obat yang termasuk golongan
ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide
(Rudijanto, et al., 2015).

3.1.8. Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus dapat digolongkan sebagai komplikasi akut dan
komplikasi kronik bisa reversibel atau iteversibel. Sebagian besar komplikasi akut
bersifat reversibel sedangkan komplikasi kronik bersifat iteversibel tetapi
perjalanan penyakit dapat diperlambat dengan intervensi. Umumnya, komplikasi
kronik disebabkan oleh kelainan mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan
nefropati) dan makrovaskular. Perbedaan HbA1c sebesar 1% sudah dapat
menunjukkan pengurangan risiko komplikasi sebanyak 25-50% (World Diabetes
Foundation, 2009)

A. Komplikasi jangka pendek


Komplikasi jangka pendek yang paling sering terjadi adalah hipoglikemia,
ketoasidosis diabetikum, dan hiperosmolar non ketotik.

1. Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat mengakibatkan kerusakan otak yang menetap. Faktor
penyebab dan dampaknya mungkin akan berbeda setiap individu. Mengenali gejala
hipoglikemia adalah yang paling penting karena apabila terjadi berulang dapat

35
terjadi fenomena hypoglycemic unawareness. Insiden hipoglikemia dapat dihindari
dengan meningkatkan pemantauan gula darah (World Diabetes Foundation, 2009).
Akibat kerja insulin berlebih maka dapat terjadi hipoglikemia berat dengan
gejala kejang, koma, bahkan kematian. Gejala dan tanda hipoglikemia harus dicatat
dan selalu ditanyakan kepada pasien. Keterangan tersebut kemudian dicocokkan
dengan data hasil pemantauan mandiri glukoasa darah. Apabila didapat hasil
glukosa darah rendah tetapi penderita tidak merasa apa-apa maka perlu diwaspadai
adanya hypoglycemic unawareness. Fenoma ini terjadi akibat menurunnya ambang
hipoglikemia sehingga pesien tidak akan merasakan gejala awal hipoglikemia yang
akan membahayakan (World Diabetes Foundation, 2009).

a) Gejala hipoglikemia
Gejala klinis hipoglikemia bervariasi dan dibagi menjadi gejala
neurogenik dan gejala neuroglikopenia

Tabel 3.3 Gejala-gejala hipoglikemia


Gejala Neurogenik Gejala neuroglikopenia
Berkeringat, lapar, Pusing, iritabel, lemah, mengantuk, sakit
parestesia di sekitar kepala, gangguan penglihatan, bicara lamban
mulut, tremor, dan pelo, vertigo dan dizziness, kesulitan
takikardi, pucat, berpikir, lelah, perubahan afektif (depresi,
palpitasi, lemas, marah), bicara ngaco, kejang, penurunan
gelisah, mual. kesadaran, koma.
(World Diabetes Foundation, 2009)

Berdasarkan kadar gula darah derajat hipoglikemia dibagi atas:


B. Hipoglikemia ringan: GDS kapiler 55-70 mg/dL
C. Hipoglikemia sedang: GDS kapiler <55 mg/dL tanpa penurunan kesadaran
D. Hipoglikemia berat: GDS kapiler <70 mg/dL disertai penurunan kesadaran
atau kejang (World Diabetes Foundation, 2009)

Tabel 3.4 Gejala hipoglikemia berdasarkan berat ringannya gejala klinis


Tingkat Gambaran klinis Terapi
Ringan Lapar, tremor, mudah Sari buah, limun manis, anggur manis,
goyah, pucat, ansietas, makanan ringan. Jika hipoglikemia sangat
berkeringat, palpitasi, ringan dapat diatasi dengan memajukan

36
takikardi, penurunan jadwal makan, apabila episode terjadi
konsentrasi, dan dalam 15-30 menit dari jadwal yang
kemampuan kognitif. ditentukan.
Sedang Sakit kepala, sakit 10-20 gram gula yang dapat dicerna segera,
perut, perubahan diikuti dengan pemberian
tingkah laku, agresif, snack.
ganguan visus,
bingung, ngantuk,
lemah, kesulitan bicara,
takikardi, pucat,
berkeringat, dilatasi
pupil.
Berat Disorientasi berat, Bila jauh dari pertolongan medis:
penurunan kesadaran, Bila tersedia glukagon, berikan injeksi
koma, kejang. glukagon (SC, IM atau IV) untuk usia < 5
tahun berikan 0,5 mg dan usia > 5 tahun 1,0
mg. Bila tak ada respon dalam 10 menit
ulangi sekali lagi. Kemudian diikuti
dengan makan dan monitoring berkala.
Bila tidak ada glukagon, oleskan selai atau
madu kebagian dalam mulut sambil segera
membawa pasien ke rumah sakit.
Di rumah sakit:
Berikan dekstrose 10% intravena dengan
dosis 2 mL/kgBB diikuti infus dekstrose
untuk menstabilkan kadar glukosa darah
antara 90-180 mg/dL (5-10
mmol/L)
(World Diabetes Foundation, 2009)
b) Pencegahan hipoglikemia
Umumnya, hipoglikemia dapat dicegah walaupun dapat terjadi secra
tiba-tiba dan tidak terduga. Hal-hal yang sering menyebabkan hipoglikemia
adalah asupan makan yang tidak teratur, olah raga yang berlebihan tanpa
ditunjang oleh makan yang cukup seta pengobatan menggunakan insulin
yang berlebihan. Hipoglikemia dapat dicegah dengan keteraturan dalam
pengobatan insulin, pengaturan makan/asupan makanan yang disesuaikan
dengan aktivitas atau kegiatan yang dilakukan. Sering terjadi hipoglikemia
pada malam hari yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti umur yang lebih
muda, dosis insulin yang berlebih, dan regimen insulin yang dipakai.

37
Pencegahan hipoglikemia pada malam hari yaitu kadr gula dara tengah
malam harus diusahakan sekitar 120-180 mg.dL (7-10 mmol/L). Makanan
yang sebaiknya dikonsumsu dimalam hari adalah karobohidrat yang lambat
dicerna seperti susu, roti, pisang, apel, dan protein (World Diabetes
Foundation, 2009).

Tabel 3.5 Pencegahan hipoglikemia


1) Gunakan regimen insulin yang se-fi siologis mungkin sesuai dengan pola
kehidupan penderita melalui penyesuaian dosis insulin berdasarkan pola
makan dan jenis kegiatan (olah raga)
2) Edukasi tentang teknik penyuntikan insulin. Absorbsi insulin disuntikkan
secara intramuskular lebih cepat dibandingkan penyuntikan subkutan
3) Masa kerja insulin. Hal ini menentukan interval waktu antara penyuntikan
dan makan
4) Monitoring kadar glukosa sendiri, termasuk kadar glukosa darah malam
hari
5) Penyesuaian dosis insulin berdasarkan profil glukosa darah, bukan
berdasarkan kadar glukosa darah sesaat
6) Usahakan kadar gula darah mendekati normal dengan fluktuasi
seminimal mungkin untuk memberikan kesempatan supaya hormon
kontra-insulin dapat bekerja dengan baik
7) Edukasi pasien dan orang disekitarnya untuk waspada terhadap gejala dan
tanda hipoglikemia
8) Memberikan informasim engenai pengaruh liburan dan olah raga pada
pasien
9) Dukungan psikologis untuk meningkatkan rasa percaya diri pasien
(World Diabetes Foundation, 2009)

2. Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis diabetikum atau KAD adalah komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat dan terjadi peningkatan anion gap. Kejadian KAD memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga memerlukan perawatan di rumah
sakit untuk mendapat penatalaksanaan yang memadai (Rudijanto, et al., 2015).

3. Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik

38
Hiperglikemik hiperosmolar non ketotik adalah komplikasi akut pada
pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 berupa peningkatan glukosa darah sangat
tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma
sangat meningkat, plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat
(Rudijanto, et al., 2015). Keadaan ini biasanya terjadi pada orang tua dengan
diabetes mellitus, yang memiliki penyakit penyerta dengan asupan makanan yang
kurang. Faktor pencetus serangan ini adalah infeksi, ketidakpatuhan dalam
pengobatan, diabetes mellitus tidak terdiagnosa, dan penyakit penyerta lainnya
(Ikatan Dokter Indonesia, 2014).

B. Komplikasi jangka panjang


Komplikasi jangka panjang diabetes mellitus terjadi akibat perubahan-
perubahan mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan neuropati) dan komplikasi
mengenai makrovaskular (World Diabetes Foundation, 2009).
1. Mikrovaskular
a) Retinopati
Retinopati dapat berupa obstruksi pembuluh darah, kelainan progresif
mikrovaskular retina, dan infark serabut saraf retina yang mengakibatkan
bercakpada retina. Gambaran khas retinopati proliferatif adalah neovaskularisasi.
Pembuluh darah ini bisa pecah mengakibatkan perdarahan ke ruang vitreus dan
menyebabkan kebutaan. Terjadinya kebutaan tergantung dari lokasi dan luasnya
neovaskularisasi. Pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
diabetes retinopati, adalah oftalmoskopi, angiografi fluoresensi, stereoscopic
digital and color film-based fundal photography (World Diabetes Foundation,
2009).
Kontrol glikemik yang optimal adalah pencegahan dini terjadinya retinopati.
Perbaikan HbA1c 1% dapat menurunkan risiko terjadi komplikasi jangka panjang
sekitar 20-50%. Deteksi dini retinopati dapat dilakukan dengan melakukan kontrol
teratur ke dokter mata dengan melakukan pemeriksaan mata tiap 3 bulan pada
pasien dengan kontrol metabolik buruk yang kronis (World Diabetes Foundation,
2009).
b) Nefropati

39
Tanda awal terjadinya nefropati pada diabetes mellitus adalah ditemukannya
mikroalbuminuria. Mikroalbuminuria persisten adalah terjadinya nefropati diabetik
dan meningkatnya risiko mortalias kardiovaskular. Nefropari diabeteik sering
berhubungan dengan adanya hipertensi. Diperkirakan 30-40% nefropati pada
diabetes mellitus dapat berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Deteksini dini
befropati diabetik dengan melakukan pemeriksaan mikroalbuminuria setiap tahun
(walaupun tidak ada gejala) disertai pemeriksaan tekanan darah teratur setiap
kunjungan. Mikroalbuminuria dengan hipertensi memiliki prognosis yang lebih
buruk dibandikan dengan tanpa hipertensi. Sangat penting kontrol glikemi yang
dicapai disertai penggunaan obat anihipertensi untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas mikroalbuminurua menjadi nefropati diabetik (World Diabetes
Foundation, 2009).
c) Neuropati
Sistem saraf terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang,
susunan saraf perifer di oto, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang
mengatur miokardium dan intestinal. Bila dalam jangka panjang glukosa darah
tetap tinggi maka dapat melemahkan pembuluh darah kapiler sebagai penghantar
nutrisi ke saraf, sehingga dapat terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik. Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak dapat mengirimkan
atau ada gangguan dalam menghantarkan impulsnya. Berat ringannya komplikasi
ini bergantung dari lokasi saraf yang terkena dan derajat kerusakannya. Apabila
glukosa darah dapat dikontrol dengan baik, terkadang perbaikan saraf dapat terjadi
(Ndraha, 2014).

2. Makrovaskular
a) Coronary Arteryal Disease
Coronary arteryal disease atau penyakit jantung koroner merupakan suatu
kondisi yang disebabkan oleh suplai darah dan oksigen ke miokardium tidak
adekuat, dapat terjadi ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai darah. Penyebab
utama penyakit jantung koroner adalah sumbatan plak aterom pada arteri koroner
sehingga dapat disebut juga penyakit jantung iskemik (Liwang & Wijaya, 2014).
b) Stroke

40
Stroke adalah suatu keadaan defisit neurologis fokal (atau global) yang terjadi
mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor vaskuler.
Secara global, saat ini stroke menjadi salah satu penyebab kematian utama dan
penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Gejala awal serangan stroke
mendadak yang sering dijumpai adalah kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi
wajah, lengan, dan tungkai (hemiparesis, hemiplegi), gangguan sensorik pada salah
satu sisi wajah, lengan, dan tungkai (hemihipestesi, hemianesthesi), gangguan
bicara (disartria), gangguan berbahasa (afasia), dan gejala neurologik lain seperti
jalan sempoyongan (ataksia), rasa berputar (vertigo), kesulitan menelan (disfagia),
penglihatan ganda (diplopia), penyempitan lapang pandang (hemianopsia) (Ikatan
Dokter Indonesia, 2014).
c) Peripheral Arterial Disease
Peripheral Arterial Disease adalah penyumbatan yang terjadi pada arteri
perifer akibat adanya proses atherosklerosis atau proses inflamasi yang
menyebabkan lumen arteri menyempit atau stenosis, dan adanya pembentukan
trombus. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh
darah yang dapat menimbulkan penurunan tekanan perfusi ke area distal.
Mekanisme dan proses hemodinamik yang terjadi pada peripheral arterial disease
sangat mirip dengan mekanisme pada coronary arteryal disease. Lokasi tersering
terjadinya peripheral arterial disease adalah daerah tungkai bawah dan jarang
ditemukan pada ekstremitas atas (Hanafi, 2003).

3.2. Hipoglikemia

3.2.1. Definisi dan Klasifikasi


Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dL.
Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait dengan
derajat keparahannya, yaitu (PERKENI, 2015):
a. Hipoglikemia berat, yaitu pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya.
b. Hipoglikemia simtomatik apabila GDS < 70 mg/dL disertai gejala
hipoglikemia.

41
c. Hipoglikemia asimtomatik apabila GDS < 70 mg/dL tanpa gejala
hipoglikemia.
d. Hipoglikemia relatif apabila GDS > 70 mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
e. Probable hipoglikemia apabila gejala hipoglikemia tanpa pemeriksaan
GDS.

3.2.2. Epidemiologi
Di antara hipoglikemia yang disebabkan oleh faktor luar, obat-obatan
merupakan penyebab tersering dan di antara obat-obatan tersebut adalah obat
antidiabetes yang berperan dalam meningkatkan kadar insulin serum merupakan
penyebab utama. Berdasarkan penelitian, terjadi peningkatan insidensi
hipoglikemia pada penderita yang diobati dengan obat-obatan antidiabetes, sejalan
dengan kebijakan pengendalian kadar glukosa darah secara intensif. Sebagai
contoh, terjadi peningkatan angka kejadian hipoglikemia berat dari 20 episode per
100 penderita/tahun menjadi 60 episode per penderita/tahun dengan pengobatan
intensif pada diabetes tipe 1 yang diobati dengan insulin. Angka kejadian
hipoglikemia pada DMT 1 lebih tinggi daripada DMT 2, tapi dampak yang
ditimbulkannya justru lebih serius bila ini terjadi pada DMT 2. Pada DMT 2,
ditambah dengan usia lanjut, hipoglikemia tidak jarang mencetuskan gejala serius
seperti stroke, infark miokard, gagal jantung akut, dan aritmia ventrikular (Manaf,
2014).

3.2.3. Etiologi
Secara etiologis hipoglikemia dapat disebabkan oleh (Manaf, 2014):
a. Penggunaan obat-obatan diabetes seperti insulin, sulfonilurea yang
berlebihan. Penyebab terbanyak hipoglikemia umumnya terkait dengan
diabetes.
b. Obat-obatan lain meskipun jarang terjadi namun dapat menyebabkan
hipoglikemia adalah beta blockers, pentamide, kombinasi sulfometoksazole
dan trimethoprim.
c. Sehabis minum alkohol, terutama bila telah lama berpuasa dalam keadaan
lama.
d. Intake kalori yang sangat kurang.

42
Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan, antara lain
(PERKENI, 2015):
a. Kendali glikemik terlalu ketat
b. Hipoglikemia berulang
c. Hilangnya respons glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun
terdiagnosis DMT 2
d. Attenuation of epinephrine, norepinephrine, growth hormone, cortisol
responses
e. Neuropati autonom
f. Tidak menyadari hipoglikemia
g. End Stage Renal Disease (ESRD)
h. Penyakit/gangguan fungsi hati
i. Malnutrisi
j. Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat.

3.2.4. Patofisiologi
a. Keseimbangan Konsentrasi Glukosa dan Mekanisme Kontraregulator
Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak.
Selain itu otak tidak dapat mensintesis glukosa dan hanya menyimpan cadangan
glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena
itu, fungsi otak yang normal sangat tergantung pada konsentrasi asupan glukosa
dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa
menit dapat menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan
koma (EIMED PAPDI, 2011).
Konsentrasi glukosa plasma normalnya dipertahankan pada batas
normal, sekitar 70-110 mg/dL (3,8-6,1 mmol/L) pada saat puasa disertai adanya
perubahan sesaat yang bervariasi pada saat mendapatkan glukosa eksogen (dari
makanan) disertai dengan produksi glukosa endogen, glikogenolisis hepatik, dan
glukoneogenesis hepatik (dan renal). Cadangan glikogen hepatik dapat menjaga
konsentrasi glukosa plasma dalam batas normal selama kurang lebih 8 jam, tetapi
pada beberapa keadaan seperti olahraga (dimana glukosa yang dipakai bertambah
banyak) atau pada saat cadangan glikogen terbatas (contohnya pada saat sakit

43
atau puasa) cadangan glikogen tersebut hanya dapat bertahan beberapa saat
(EIMED PAPDI, 2011).
Penurunan konsentrasi glukosa plasma akan memicu respons tubuh yaitu
penurunan konsentrasi insulin secara fisiologis seiring dengan turunnya
konsentrasi glukosa plasma yang masih dalam batas fisiologis, peningkatan
konsentrasi glukogon dan epinefrin sebagai respons neuroendokrin pada
konsentrasi glukosa plasma sedikit di bawah batas normal, dan timbulnya gejala
neurogenik (autonom) dan penurunan kesadaran pada konsentrasi glukosa darah
di bawah batas normal (Gambar 3.1). Batas konsentrasi glukosa plasma yang
dimaksud yaitu konsentrasi glukosa plasma pada rata-rata orang sehat.
Konsentrasi glukosa plasma yang masih dapat diterima tubuh sangat bervariasi.
Konsentrasi glukosa plasma pada subjek DM dengan glukosa darah yang tidak
terkontrol akan lebih tinggi daripada subjek DM yang glukosa darahnya
terkontrol baik dan orang sehat. Sedangkan pada orang yang sering mengalami
episode hipoglikemia berulang, konsentrasi glukosa plasma normal akan lebih
rendah daripada orang sehat (EIMED PAPDI, 2011).
Konsentrasi glukosa darah berkaitan erat dengan sistem hormonal,
persarafan dan pengaturan produksi glukosa endogen serta penggunaan glukosa
oleh organ perifer. Insulin memegang peranan yang utama dalam pengaturan
konsentrasi glukosa darah. Saat puasa konsentrasi glukosa darah turun secara
fisiologis dan sekresi insulin ikkut menurun. Hal ini akan menigkatkan
glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis hepatik (dan renal). Konsentrasi
insulin yang rendah juga mengurangi penggunaan glukosa pada jaringan perifer,
merangsang lipolisis dan proteolisis, serta melepaskan prekursor glukoneogenik.
Oleh karena itu pengurangan sekresi insulin merupakan mekanisme
kontrareglukosasi yang pertama untuk menanggulangi hipoglikemia (EIMED
PAPDI, 2011).

44
Gambar 3.1. Fisiologi kounterregulasi glukosa, mekanisme untuk mencegah terjadinya
hipoglikemia (Harrison)

Apabila konsentrasi glukosa darah menurun melewati batas bawah


konsentrasi normal, hormon-hormon kontraregualsi akan dilepaskan. Dalam hal
ini, glukagon yang diproduksi oleh sel alfa pankreas berperan penting sebagai
pertahanan utama terhadap hipoglikemia. Selanjutnya epinefrin, kortisol dan
hormon pertumbuhan juga berperan meningkatkan produksi dan mengurangi
penggunaan glukosa. Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang
disekresi pada kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja di hati.
Glukagon mula-mula menigkatkan glikogenolisis dan kemudian
glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan glikogenolisis dan
glukoneogenesis di hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan serta
glikogenolisis dan proteolisis di otot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino
(alanin dan aspartat) merupakan bahan baku glukoneogenesis hati. Epinefrin juga
meningkatkan glukoneogenesis di ginjal, yang pada keadaan tertentu merupakan
25% produksi glukosa tubuh. Kortisol dan growth hormon berperan pada
keadaan hipoglikemia yang berlangsung lama, dengan cara melawan kerja
insulin di jaringan perifer (lemak dan otot) serta meningkatkan glukoneogenesis
(EIMED PAPDI, 2011).

45
b. Mekanisme Kontraregulasi pada Subjek DM
Pada diabetes yang sudah lama sering dijumpai respons simpatoadrenal
yang berkurang walaupun dengan tingkat gangguan yang bervariasi. Respons
epinefrin terhadap rangsang yang lain, seperti latihan jasmani tampaknya normal.
Seperti pada gangguan respons glukagon, kelainan tersebut merupakan
kegagalan mengenal hipoglikemia yang selektif (EIMED PAPDI, 2011).
Pasien diabetes dengan respons glukagon dan epifenrin yang berkurang
paling rentan terhadap hipoglikemia. Hal tersebut terkait dengan hipoglikemia
yang tidak disadari karena hilangnya mekanisme kontraregulator dan gangguan
respons simpatoadrenal (EIMED PAPDI, 2011).

3.2.5. Pendekatan Diagnosis


Dalam anamnesis yang harus ditanyakan adalah adanya riwayat penyakit
diabetes atau tidak. Kemudian hal penting seperti penggunaan preparat insulin atau
obat hipoglikemik oral dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis,
waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi, riwayat jenis pengobatan dan dosis
sebelumnya, lama menderita DM, komplikasi DM penyakit penyerta: ginjal, hati,
serta penggunaan obat sistemik lainnya seperti penghambat adrenergik beta.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau
tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad
(PERKENI, 2015):

Terdapat gejala-gejala hipoglikemia


Kadar glukosa darah yang rendah
Gejala berkurang dengan pengobatan.
Pada dasarnya, keluhan maupun gejala klinis hipoglikemia terjadi oleh
karena dua penyebab utama yakni terpacunya aktivitas sistem saraf autonom
terutama simpatis dan tidak adekuatnya suplai glukosa ke jaringan serebral
(neuroglikopenik) (Tabel 1). Cukup banyak kejadian hipoglikemia luput dari
pengamatan dokter disebabkan spektrum gambaran klinis yang cukup luas serta
kurangnya pemahaman klinis yang cukup lebar serta kurangnya pemahaman
pasien terhdap hipoglikemia tersebut. Pada tahap awal hipoglikemia, respons
pertama dari tubuh adalah peningkatan hormon adrenalin/epinefrin, sehingga
menimbulkan gejala neurogenik seperti : gemetaran, kulit lembab dan pucat, rasa

46
cemas, keringat dingin berlebihan, rasa lapar, dan penglihatan kabur (Manaf,
2014).
Gejala klinis biasanya muncul pada kadar glukosa darah < 60 mg/dL,
meskipun pada orang tertentu sudah dirasakan di atas kadar tersebut (< 70 mg/dL).
Tapi pada umumnya pada kadar glukosa darah < 50 mg/dL, telah memberi dampak
pada fungsi serebral (Manaf, 2014).

Tabel 1. Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa (PERKENI, 2015).
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, Pucat, takikardia, widened
gelisah, paresthesia, palpitasi, pulse-pressure
Tremulousness
Neuroglikopenik Lemah, lesu, pusing,confusion, Cortical-blindness,
perubahan sikap, gangguan hipotermia, kejang, koma
kognitif, pandangan kabur,
diplopia

3.2.6. Tatalaksana
Tatalaksan dari hipoglikemia dibagi berdasarkan derajat hipoglikmia sebagai
berikut :
a. Hipoglikemia ringan :
• Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana).
• Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain
yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah.
• Makanan yang mangandung lemak dapat memperlambat respons kenaikan
glukosa darah.
• Glukosa 15-20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah
terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar.
• Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15
menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15
menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat
diulang kembali.
• Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal,
pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia.
b. Pada pengobatan pada hipoglikemia berat, penulis mendapatkan dua versi
penatalaksanaan (Tabel 2), yaitu bersumber dari EIMED PAPDI, 2011 dan
PERKENI, PERDICI, PERDOSSI, PERKI, 2018:

47
Tabel 2. Tatalaksana hipoglikemia berat (EIMED PAPDI, 2011; PERKENI,
PERDICI, PERDOSSI, PERKI, 2018)

Rencana tindak lanjut yang dilakukan setelah memberi terapi pada pasien
hipoglikemia adalah mencari penyebab hipoglikemia kemudian tatalaksana sesuai
penyebabnya dan mencegah timbulnya komplikasi menahun. Ancaman timbulnya
hipoglikemia merupakan faktor limitasi utama dalam kendali glukosa pada pasien
DM tipe 1 dan DM tipe 2 (EIMED PAPDI,2011).
Kerika hipoglikemia telah teratasi jang berikan injeksi insulin untuk
menstabilkan kadar gula darah. Selain itu sebaiknya jangan terburu-buru
memberikan terapi ketika terjadi lonjakan hipergikemia dengan insulin kerja cepat
maupun kerja lambat. (Stanisstreet, 2010)

48
Algoritma Penatalaksanaan Hipoglikemia

Sumber: Buku Panduan Praktik Klinik: Penatalaksanaan dibidang ilmu penyakit


dalam. (Alwi, Salim, & Hidayat, 2015)

49
BAB 4

PEMBAHASAN

4.1. Anamnesis
Fakta Teori
Keluhan badan terasa lemas sejak 6 Hipoglikemia berat dapat
jam sebelum masuk rumah sakit ditemui pada berbagai keadaan,
antara lain (PERKENI, 2015):
Keluhan ini dirasakan setelah a. Kendali glikemik terlalu ketat
pingsan dirumah 7 jam sebelum b. Hipoglikemia berulang
masuk rumah sakit c. Hilangnya respons glukagon
terhadap hipoglikemia setelah 5
Keluhan yang menyertai sebelum tahun terdiagnosis DMT 2
pingsan, badan terasa lemas, d. Attenuation of epinephrine,
norepinephrine, growth hormone,
gemetar, kepala pusing dan
cortisol responses
pandangan berkunang-kunang lalu e. Neuropati autonom
tiba-tiba gelap f. Tidak menyadari hipoglikemia
g. End Stage Renal Disease (ESRD)
Keluhan yang menyertai saat ini h. Penyakit/gangguan fungsi hati
penurunan nafsu makan dan nyeri i. Malnutrisi konsumsi alkohol
perut kanan bawah terkadang tanpa makanan yang tepat.
tembus ke belakang rasanya seperti
tertusuk dan hilang timbul  Autonomik : Rasa lapar,
berkeringat, gelisah, paresthesia,
Tungkai terasa tebal dan kesemutan palpitasi, Tremulousness
yang hilang timbul  Neuroglikopenik : Lemah, lesu,
pusing,confusion, perubahan
Riwayat DM sejak 7 tahun yang sikap, gangguan kognitif,
lalu dan suntik insulin namun pandangan kabur, diplopia
pernah menghentikan suntik Pada tahap awal
insulinnya sekitar 2 tahun terakhir
karena dirasakan sudah tidak ada hipoglikemia, respons pertama dari
gejala dan keluhan apapun. tubuh adalah peningkatan hormon
adrenalin/epinefrin, sehingga
Namun sekitar 3 bulan belakangan
badan terasa lemas, mudah capek menimbulkan gejala neurogenik

50
terkadang pusing dan gemetar, seperti : gemetaran, kulit lembab dan
BAK lebih sering mulai dirasakan pucat, rasa cemas, keringat dingin
lagi oleh pasien dan lebih
berlebihan, rasa lapar, dan
memberat.
penglihatan kabur (Manaf, 2014).

Dari anamnesis sudah sesuai dengan teori bahwa jika dilihat dari data
yang diperoleh terdapat keluhan yang mengarah ke penurunan kesadaran
oleh karena hipoglikemia. Kemudian ditemukan adanya faktor risiko untuk
mencetus terjadinya hipoglikemia, yaitu berupa riwayat penyakit DM,
riwayat mengalami keluhan yang sama sebelumnya, kurangnya intake
kalori, dan penggunaan obat antidiabetes terutama insulin.
Gejala klinis biasanya muncul pada kadar glukosa darah < 60 mg/dL,
meskipun pada orang tertentu sudah dirasakan di atas kadar tersebut (< 70
mg/dL). Tapi pada umumnya pada kadar glukosa darah < 50 mg/dL, telah
memberi dampak pada fungsi serebral. Pada pasien ini saat dilakukan
pemeriksaan glukosa darah didapatkan hasil 58 mg/dL.

4.2. Pemeriksaan Fisik


Fakta Teori
 GCS E3V5M6 Terdapat manifestasi dari autonomik
 Pucat dan neurogenik:
 Nadi 109 x/menit  Pucat
 TD 110/70 mmHg  Takikardia
 RR 22 x/menit  Widened pulse-pressure
 Suhu 37 derajad celcius  Hipotermia
 Koma

Dari pemeriksaan fisik sudah sesuai dengan teori. Meskipun saat di


IGD RSUD AWS pasien tingkat kesadarannya sudah membaik namun
sebelumnya memiliki riwayat penurunan kesadaran, jika melihat dari
kelainan yang berhubungan dengan hipoglikemia terlihat yang didapatkan
hanya berupa penurunan kesadaran (neuroglikopenik). Selain itu pada
pasien diadapatkan manifestasi dari autonomik seperti pucat dan takikardi.
Hal ini dikarenakan pada pasien yang cenderung mengalami hipoglikemia
akibat penyakit DM yang menyebabkan respons terhadap penurunan kadar
glukosa darah menjadi tumpul. Dimana ada tahap awal biasanya pada orang
yang normal didahului oleh respons autonomik seperti penjelasan yang ada
di tinjauan pustaka. gejala neurogenik seperti : gemetaran, kulit lembab dan

51
pucat, rasa cemas, keringat dingin berlebihan, rasa lapar, dan penglihatan
kabur

4.3. Pemeriksaan Penunjang


Fakta Teori
 Glukosa darah saat di klinik: 58 Hipoglikemia ditandai dengan
mg/dL menurunnya kadar glukosa darah <
 Glukosa darah saat di RSUD 70 mg/dL. Hipoglikemia dapat
AWS: 294 mg/dL diklasifikasikan ke dalam beberapa
bagian terkait dengan derajat
keparahannya, yaitu (PERKENI,
2015):
a. Hipoglikemia berat :pasien
membutuhkan bantuan orang
lain untuk pemberian
karbohidrat, glukagon, atau
resusitasi lainnya.
b. Hipoglikemia simtomatik
apabila GDS < 70 mg/dL disertai
gejala hipoglikemia.
c. Hipoglikemia asimtomatik
apabila GDS < 70 mg/dL tanpa
gejala hipoglikemia.
d. Hipoglikemia relatif apabila
GDS > 70 mg/dL dengan gejala
hipoglikemia.
e. Probable hipoglikemia apabila
gejala hipoglikemia tanpa
pemeriksaan GDS

• Berdasarkan hasil lab glukosa darah sudah sesuai dengan teori yaitu
dimana dikatakan seseoran mengalami hipoglikemia jika kadar glukosa
darah < 70 mg/dL.
• Jika dilihat dari manifestasi yang timbul (terlihat pada data anamnesis)
pasien ini juga bisa lebih spesifik diklasifikasikan menjadi hipoglikemia
berat dengan manfaat klinis untuk penatalaksanaan yang akan
diberikan.
• Saat di IGD RSUD AWS gula darah psaien sudah meningkat karena
sebelumnya sudah ada penanganan awal saat di klinik.

4.4. Tatalaksana

52
Fakta Teori
Penatalaksanaan awal diklinik: Pengobatan pada hipoglikemia berat
IVFD D10% 300 cc, selanjutnya (EIMED PAPDI, 2011):
20 tpm  Diberikan larutan dekstrose 40%
sebanyak 2 flash (50 mL) bolus
Penatalaksanaan IGD
intra vena.
IVFD RL 20 tpm  Diberikan cairan dekstrose 10%
per infus 6 jam perkolf.
Injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam  Periksa GDS setiap satu jam
Injeksi Metoclopramid 1 amp setelah pemberian dekstrose 40%
- Bila GDS < 50 mg/dL 
Konsul dr Sp.PD bolus dekstrose 40% 50 mL
IV.
IVFD RL 20 tpm
- Bila GDS < 100 mg/dL 
Bila hipoglikemia kembali ganti bolus dekstrose 40 % 25 mL/
infus dengan D10%. Apabila GDS - Bila GDS 100-200 mg/dL 
<100 mg/dl bolus D40% 1 fls, bila tanpa bolus dekstrose 40%.
GDS <70 mg/dl bolus D40%. - Bila GDS > 200 mg/dL 
pertimbangan menurunkan
Injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam kecepatan drip dekstrose
10%.
Insulit stop
 Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak
Cek GDS tiap 2 jam 3 kali berturut-turut, pemantauan
GDS setiap 2 jam, dengan
protokol sesuai di atas, bila GDS
> 200 mg/dL, pertimbangkan
mengganti infus dengan
dekstrose 5% atau NaCL 0,9%.
 Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak
3 kali berturut-turut, protokol
hipoglikemia dihentikan.

(PERKENI, PERDICI,
PERDOSSI, PERKI 2018)

Apabila terjadi hipoglikemia, atasi


hipoglikemia menggunakan
dekstrose 40% intravena bolus
melalui rumus 321 :

53
 Glukosa darah <30 mg/dL, bolus
75 ml (3 flash) dekstrose 40%.
 Glukosa darah 30 – 60 mg/dL,
bolus 50 ml (2 flash) dekstrose
40%.
 Glukosa darah 60 – 70 mg/dL,
bolus 25 ml (1 flash) dekstrose
40%.

Setelah 15 menit pemberian bolus


dekstrose 40% evaluasi ulang
glukosa darah. Sasaran penanganan
hipoglikemia adalah glukosa darah >
100 mg/dL dan gejala klinis akibat
hipoglikemia hilang.

 Tatalaksana awal hipoglikemia pada kasus ini kurang sesuai dengan


kedua pedoman yang penulis sudah paparkan di tinjauan pustaka. Dimana
saat hasil GDS kapiler : 58 mg/dL pasien diberikan bolus IVFD D10%
300 cc, selanjutnya 20 tpm. Sedangkan pada teori dengan kadar glukosa
58 mg/dl seharusnya pasien mendapat bolus dextrose 40% sesuai dengan
pedoman PERKENI, PERDICI, PERDOSSI, PERKI 2018 dan EIMED
PAPDI, 2011.
 Setelah dikonsulkan dengan Sp.PD di lakukan perencanaan terapi bila
hipoglikemia kembali ganti infus dengan D10%. Apabila GDS <100
mg/dl bolus D40% 1 fls, bila GDS <70 mg/dl bolus D40%. Sehingga hal
ini bisa dikatakan sudah sesuai dengan pedoman EIMED PAPDI, 2011
 Saat di IGD RSUD AWS pasien tidak diberikan lagi bolus D40% dan
infus diganti dengan IVFD NaCL 0,9% karena saat itu GDS pasien sudah
meningkat sekitar 294 mg/dl. Sehingga hanya dilakukan pengecekkan
GDS tiap 2 jam. Hal ini sudah sesuai dengan pedoman EIMED PAPDI,
2011

54
BAB 5
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Ny. IA, 23 tahun datang dengan keluhan badan lemas sejak 6 jam sebelum
masuk rumah sakit. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang serta riwayat pengobatan pasien sesuai dengan Wipple Triad yang
mendukung diagnosis pada pasien. Secara umum, penegakan diagnosis, beberapa
alur penatalaksanaan telah sesuai dengan literatur yang ada.

5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan edukasi pada pasien mengenai pentingnya kepatuhan
pengobatan pada pasien dalam membantu kontrol gula darah pasien serta
komplikasi apabila gula darahya tidak terkontrol dengan baik.

55
DAFTAR PUSTAKA

Balijepalli, C., Druyts, E., Siliman, G., Joffres, M., Throlund, K., & Mills, E.
(2017). Hypoglycemia: a review of definitions used in clincal trials
evaluating antihyperglycemic drugs for diabetes. Dovepress, 9, 291-296.

Clayton, D., Woo, V., & Yale, J.-F. (2013). Hypoglycemia: Canadian Diabetes
Association Clinical Practice Guidelines Expert Commitee. Canadian
Journal of Diabetes, 37, 69-71.

Cryer, P., & Davis, S. (2018). Hypoglycemia. Dalam J. Jameson, D. Kasper, D.


Longo, A. Fauci, S. Hauser, & J. Loscalzo, Harrison's Principles of Internal
Medicine (hal. 2883 - 2889). New York: MC Graw Hill Education.

Emergency in Internal Medicine Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam


Indonesia (2011). Kegawatdaruratan Penyakit Dalam (Emergency in
Internal Medicine. PB PAPDI

IDF (2017). Internasional Diabetes Federation: Diabetes Atlas Eight Edition 2017.
ACW.uk.com

Kahn, S., Cooper, M., & Del, P. (2014). Pathophysiology and treatment of type 2
diabetes: perspectives on the past, present, and future. Lancet, 382(9922),
1068-1083.

Manaf, A. (2014). Hipoglikemi: Pendekatan Klinis dan Penatalaksanaan. In S.


Setiati, I. Alwi, A. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi, & A. Syam,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 2355-2358). Jakarta:
InternaPublishing.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2015). Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta : PB.
PERKENI

Perkumpulan Endrokinologi Indonesia, Perhimpunan Dokter Intensif Care


Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2018). Penatalaksanaan
Hiperglikemia Di Ruang Rawat Intensif. Jakarta : Perhimpunan Dokter
Intensive Care Indonesia (PERDICI).

56
Punthakee, Z., Goldenberg, R., & Katz, P. (2018). 2018 Clinical Practice
Guidelines. Definition, Classificaation and Diagnosis of Diabetes,
Prediabetes and Metabolic Syndrome. Canadian Journal of Diabetes(42),
10-15.

Schutta, M. (2007). Diabetes and Hypertension: Epidemiology of the Relationship


and Pathophysiology of Factors Associated with These Comorbid
Conditions. LE JACQ, June.

Adam, J. M., & Purnamasari, D. (2015). Diabetes Melltius Gestasional. In S.


Setiati, I. Alwi, A. S. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi, & A. F. Syam,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 2428-2433). Jakarta: InternaPublishing.
American Diabetes Association. (2010). Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care , 33, 62-69.
Aristanti, P. A. (2015). Efektivitas Terapi Antibiotik Pada Pasien Rawat Inap
Penderita Infeksi Saluran Kemih Di RSD Dr. Soebandi Jember Periode
Januari-Desember 2014.http://bit.ly/1sXcn39.Diakses tanggal 22 Mei 2018.

Bilous, R., & Donelly, R. (2014). Buku Pegangan Diabetes Edisi 4. Jakarta: Bumi
Medika.
Desalu, O. O., Salawu, F. K., Jimoh, A. K., Adekoya, A. O., Busari, O. A., &
Olokoba, A. B. (2011). Diabetic Foot Care: Self Reported Knowledge and
Practice Among Patients Attending Three Tertiary Hospital in Nigeria.
Ghana Medical Journal , 45(2), 60-65.
Fauci AS, Kasper DL, Longo DL (2008). Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th edition. USA: The McGraw-Hill Companies.
http://bit.ly/1WtNcAY. Di akses tanggal 13 April 2019.

Gradwohl Steven E., (2011). Urinary Tract Infection Guideline, May 2011

Guyton AC, H. (2011). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Hanafi, M. (2003). Penyakit Pembuluh Darah Perifer. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Haryono, Rudi. (2012). Keperawatan Medical Bedah: Sistem Perkemihan. Rapha
Publishing: Yogyakarta

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), (2011). Unit Kerja Koordinasi (UKK).
Nefrologi, Jakarta.

57
Ikatan Dokter Indonesia. (2014). Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.
Infodatin. (2014, November 14). Situasi dan Analisis Diabetes. Infodatin Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI .
International Diabetes Federation. (2015). Diabetes Atlas, Sevent Edition.
Retrieved Februari 2018, from http://www.diabetesatlas.org/
IWGDF. (2004). Diabetic Foot Ulcer Classification System for Reasearc purposes:
a progress report on criteria for including patients in research studies.
Diabetes/Metabolism Research and Reviews , 20, S90-S95.
Jain, A. K. (2012). A New Classification of Diabetic Foot Complications: A Simple
and Effective Teaching Tool. The Journal of Diabetic Foot Complications ,
4 (1), 1-5.
Karjono, B. J., Susilaningsih, N., & Purnawati, R. D. (2016). Pola kuman pada
penderita Infeksi Saluran Kemihdi RSUP Dr Kariadi Semarang.YARSI
Medical Journal, 17(2), 119-124. http://bit.ly/2oTBpko. Diakses tanggal 22
Maret 2019 (15:05).

Kartika, R. W. (2017). Pengelolaan Gangren Kaki Diabetik. Cermin Dunia


Kedokteran , 44.
Kurniawan, H.Y. (2005). Evaluasi Pola Penggunaan Antibiotik Pada Pengobatan
Infeksi saluran kemih Pasien Rawat Inap RS Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun
2003-2004.Tesis. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Liwang, F., & Wijaya, I. P. (2014). Penyakit Jantung Koroner. In C. Tanto, F.


Liwang, S. Hanifati, & E. A. Pradipta, Kapita Selekta Kdokteran Edisi Ke-4.
Jakarta: Media Aesculapius.
M. Grabe (Chair), R.Bartoletti, T.E. Bjerklund johansen, T.Cai, M. Cek, B.Koves,
K.G.Nabe, R.S. Pickard, P. Tenke, F. Wagenlehner, B.Wult, (2015).
Guideline on urological infection. Europian Association of Urology.

Misnadiarly. (2006). Diabetes Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi. Mengenal gejala,


Menanggulangi, dan Mencegah Komplikasi. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
National Kidney ad Urologic Diease Information Clearinghouse (NKUDIC).
(2012). Urinary Tract Infection In Adult.
http:kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/utiadult. Di akses tanggal 01
Februari 2019.

Ndraha, S. (2014, Agustus). Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini.


Medicinus , 27, pp. 9-16.
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia, (2011). Nomor
2406/MENKES/PER/XII/2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik.

58
http://bit.ly/2pPSf3W. Diakses 15 Mei 2018.

PERKENI. (2006). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus


Tipe 2 di Indonesia 2006. PERKENI.
PERKENI. (2011). Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI.
Priantono, D., & Sulistianingsih, D. P. (2014). Kaki Diabetik. In C. Tanto, F.
Liwang, S. Hanifati, & E. A. Pradipta, Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke-
4 (p. 792). Jakarta: Media Aesculapius.
Priyanto (2010). Farmakologi dasar. Edisi II November 2008 dan April 2010.

Purnomo, B. B. (2014). Dasar-dasar urologi.Edisi Ketiga. Malang: penerbitCV


Sagung seto.

Purwanti, O. (2013). Analisis Faktor-faktor Risiko Terjadi Ulkus Kaki pada Pasien
Diabetes Mellitus di RSUD DE. Moewardi. Universitas Indonesia. Depok:
Universitas Indonesia.
RNAO. (2011). Assesment and Management of Foot Ulcers for People with
Diabetes, Second Edition. Ontario, Ontario: RNAO.
Rudijanto, A., Yuwono, A., Shahab, A., Manaf, A., Pramono, B., Lindarto, D., et
al. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pengendalian Diabetes Melitus Tipe
2 di Indonesia 2015.
Stamm, W. E., Counts, G. W., Running, K. R., Fihn, S., Turck, M., & Holmes, K.
K. (2001). Diagnosis of coliform infection in acutely dysuric women. New
England Journal of Medicine, 307(8), 463-468.

Suyono, S. (2015). Diabetes Melitus di Indonesia. In S. Setiati, I. Alwi, A. W.


Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi, & A. F. Syam, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (pp. 2317-2329). Jakarta: InternaPublishing.
Waspadji, S. (2015). Kaki Diabetes. In S. Setiati, I. Alwi, A. Sudoyo, M.
Simadibrata K, B. Setiyohadi, & A. F. Syam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
(p. 2369). Jakarta: InternaPublishing.
World Diabetes Foundation. (2009). Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe 1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
World Health Organization. (2017). Diabetes Mellitus. Retrieved Februari 2018,
from http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/

59

Anda mungkin juga menyukai