1 Mahasiswa/i
Gambaran pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Angkatan 2016 mengenai Penyakit dan Vaksinasi Difteri
Pengetahuan Sikap
Aries Soesanto
Difteri merupakan penyakit saluran pernapasan atas yang gejalanya ialah nyeri tenggorok, adanya
membran putih keabu-abuan dan juga bisa disertai dengan demam yang ringan hingga berat. Difteri
merupakan suatu penyakit yang menular dengan cepat. Penyakit Difteri disebabkan oleh bakteri
Corynebackterium diphtheriae. Penularan difteri dapat ditularkan melalui percikan ludah, kontak
langsung dengan penderita difteri kulit ataupun melalui udara. Karena penularan Difteri yang sangat
cepat, difteri merupakan masalah kesehatan yang harus diperhatikan.1,2
Penyakit difteri sebenarnya sudah lama dikenal, mulai tahun 1921, kasus difteri ini dilaporkan
telah banyak merenggut nyawa. Pada tahun 1983, World Health Organisation(WHO) melaporkan 92.000
kasus difteri yang terjadi di Asia, Afrika ,Amerika Tengah dan juga Amerika Selatan. Sehingga Menteri
Kesehatan Republik Indonesia sangat menitikberatkan penyakit difteri sehingga belbagai program
pengembangan imunisasi difteri dilaksanakan.3
Program pengembangan imunisasi merupakan salah satu kegiatan yang mendapat prioritas dalam
sistem kesehatan nasional. Program yang dilaksanakan ini bertujuan untuk melindungi balita yang rentan
terhadap PD3I (penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi) yang terdiri dari penyakit seperti TBC,
Difteri, Pertusis, Tetanus dan Campak. Data dari Kementerian Kesehatan Indonesia bahwa pada bulan
November 2017, terdapat 95 kota dari 20 provinsi melaporkan kasus difteri. Sementara pada bulan
Oktober 2017 terdapat 11 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB Difteri di wilayah DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, Banten, Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan , Sulawesi Selatan ,Sumatera
Barat , Jawa Tengah dan Aceh.4
Gejala yang sering timbul ialah deman yang tidak tinggi yaitu 38C, timbulnya selaput
putih/keabu-abuan yang khas seperti pseudomembran di tenggorokan yang mudah berdarah apabila
diangkat, disertai sesak napas dan suara menggorok, nyeri apabila menelan dan terkadang disertai dengan
pembesaran kelenjar getah bening di leher dan jaringan lunak di leher yang disebut sebagai bullneck.
Pencegahan yang dapat dilakukan ialah dengan vaksinasi. Terdapat 3 jenis vaksin yang diberikan yaitu,
vaksin DPT-HB-Hib, Vaksin DT dan vaksin Td yang diberikan tergantung usia. Vaksinasi Difteri
diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi (di bawah 1 tahun) sebanyak 3 dosis vaksin DPT-HB-Hib
dengan jarak 1 bulan. Selanjutnya, diberikan Imunisasi Lanjutan (booster) pada anak umur 18 bulan
sebanyak 1 dosis vaksin DPT-HB-Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas-1 diberikan 1 dosis vaksin
DT, lalu pada murid kelas-2 diberikan 1 dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas-5 diberikan 1 dosis
vaksin Td.2,4
4
Masalah:
Belum diketahui gambaran pengetahuan dan sikap Penyakit dan Vaksinasi Difteri di kalangan mahasiswa
Hipotesis:
Pengetahuan dan sikap pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana Angkatan 2016 mengenai Penyakit dan Vaksinasi Difteri adalah baik
Hipotesis Nol:
Pengetahuan dan sikap pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana Angkatan 2016 mengenai Penyakit dan Vaksinasi Difteri adalah belum baik
Tujuan Umum:
Mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa tentang penyakit dan vaksinasi Difteri.
Tujuan Khusus:
Diketahuinya gambaran pengetahuan dan sikap mengenai penyakit difteri pada mahasiswa
Fakultas Kedokteran Ukrida angkatan 2016
Diketahuinya gambaran pengetahuan dan sikap mengenai vaksinasi Difteri pada mahasiswa
Fakultas Kedokteran Ukrida angkatan 2016
Manfaat Penelitian :
1. Bagi Peneliti
Sebagai salah satu persyaratan kelulusan dalam menyelesaikan program sarjana kedokteran
Memperoleh pengetahuan dan pengalaman belajar serta wawasan dalam membuat suatu
penelitian
Meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai penyakit dan vaksinasi difteri
Mengaplikasikan ilmu kedokteran dan metodologi penelitian yang didapatkan selama kuliah di
Fakultas Kedokteran Ukrida
Sebagai sarana dalam meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai vaksinasi
Difteri dan penyakit difteri
Mengetahui faktor resiko pada masyarakat yang berhubungan dengan penyakit dan vaksinasi
difteri
Sebagai bahan pertimbangan serta referensi bagi penelitian selanjutnya
a. Definisi
Penyakit difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
Infeksi difteri pada umumnya terjadi pada faring, laring, hidung dan terkadang pada kulit,
konjungtiva, genitilia dan telinga. Infeksi ini dapat menyebabkan gejala-gejala lokal dan
sistemik karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada tempat infeksi. Di Indonesia,
difteri banyak terjadi di daerah penduduk padat dengan angka kematian yang cukup tinggi.
Tetapi akhir-akhir ini karena adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI), maka angka
kejadian dan kematian menurun secara drastis. Penderita mempunyai beberapa gejala, yaitu:1,2
1. Nyeri tengorokan, susah menelan, masalah penapasan, dan meneteskan air liur
2. Selaput membran yang berwarna putih/keabu-abuan pada lidah tengorokan dan
hidung(tonsil, faring)
3. Salah satu gejala seperti: edem pada leher (bullneck), stridor, submukosa atau petechial
dan paralisis motorik 1 hingga 6 minggu daripada mulainya gejala.
b. Etiologi
Penyakit difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria. Bakteri ini bersifat gram
positif polimorikf serta tidak membentuk spora dan tidak bergerak. Bakteri ini dapat diperiksa
menggunakan pewarna sediaan langsung yaitu biru metilen dan biru toluidine. Basil ini
biasanya ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Corynebacterium diphtheria bisa
dilihat dalam susunan palisade, bentuk L dan V atau formasi huruf cina dengan perwanaan.
Bakteri ini bisa tumbuh secara aerob, media sederhana tetapi lebih baik dalam media yang
mengandungi media k-tellurit dan Loeffler. Terdapat 3 jenis basil yang dapat memproduksi
toksin yang mempunyai bentuk, ukuran dan warna koloni, yaitu:6
1. Gravis: koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis eritrosit.
2. Mitis: koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis
eritrosit.
3. Intermediate: koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
10
11
Difteri Hidung
Difteri hidung terjadi kurang lebih 2 – 3% dari kasus difteri. Difteri hidung merupakan
gejala difteri yang paling ringan. Gejala difteri hidung sulit dibedakan dengan pilek, karena
difteri hidung pada umumnya timbul sekret hidung yang tidak khas yang diawali dengan
serous kemudian menjadi serosanguineus, serta panas yang ringan. 10,11,12
Dalam beberapa kasus, pada difteri hidung dapat terjadi epitaksis. Sekret dapat terjadi pada
satu atau kedua belah hidung, dan dapat menjadi mukopurulen disertai ekscoriasi hidung
anterior, serta pada bibir atas dapat tampak gambaran seperti impetigo. Sekret ini biasanya
melekat pada septum nasi. Difteri hidung tergolong ringan karena absorbsi toksin dari tempat
ini terlalu ringan. Difteri hidung sangat mudah diobati, dengan pemberian antitoksin saja
sudah cukup. Pemberian antitoksin biasanya akan menyembuhkan pasien dengan cepat. Tetapi
apabila tidak diberi obat, sekret akan muncul selama berminggu-minggu dan dapat menjadi
sumber penularan. 10,11,12
12
13
Stadium 2 dan 3 merupakan indikasi untuk dilakukan trakeostomi. Gambaran klinis difteri
laring, terutama karena obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh membrane, kongesti dan
udema. Pada difteri laring murni, gejala toksemia minimal dapat terjadi, karena absorbsi toksin
pasa mukosa laring buruk. Kurang lebih 35% dari difteri laring merupakan difteri
murni/primer. Difteri laring pada umumnya (65%) merupakan kelanjutan dari difteri tonsil dan
faring, sehingga gejalanya akan terdapat toksemia dan obstruksi.
Difteri Lain
Difteri ini biasanya terkena di luar saluran napas seperti vulvovaginal, telinga, konjungtiva dan
kulit.11
a) Difteri kulit
Ditandai ulkus berbatas jelas dengan dasar membrane putih/abu-abu. Infeksi pertama
biasanya terjadi pada bagian luka, seperti dermatosis, laserasi, luka bakar, gigitan
seranga dan impetigo. Gejala awalnya ialah, adanya pustula yang dapat berkembang
menjadi lesi disertai dengan membran dan oedema.
b) Difteri konjungtiva
mengenai konjungtiva palpebral yang ditandai dengan edema dan terdapatnya
membrane pada konjungtiva palpebral.
c) Difteri telinga
ditandai dengan adanya cairan mukopurulen yang persisten
d) Difteri vulvovaginal
Difteri vulvovaginal mempunyai gejala seperti ulkus dengan batas yang jelas.
14
Schick Tes
Uji Shick dilakukan untuk skrining kekebalan. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan
toksin yang lemah dalam kadar yang sangat sedikit. Toksin tersebut akan menyebabkan
nekrosis pada kulit. Apabila toksin berinteraksi dengan anitbodi pasien, tes tersebut akan
memberikan hasil yang negatif. Hasil tes akan menjadi positif apabila pasien tidak mempunyai
antibodyi dan menandakan dirinya rentan terhadap difteri. Tes ini tidak berguna untuk
diagnosis dini karena hasil dapat dibaca beberapa hari kemudian.13
Caranya:
0.1ml(1/50MLD) cairan toksin difteri disuntikkan intradermal .
Bila dalam tubuh penderita tidak ada antitoksin, terjadi pembengkakan eritema dan
sakit yang terjadi 3-5 hari setelah suntikan.
Bila pada tubuh penderita terdapat antitoksi,n maka toksin akan dinetralisir sehingga
tidak terjadi reaksi kulit.
f. Penatalaksanaan diagnostic
Pengobatan pada pasien karier
Pasien karier merupakan individu yang tidak mempunyai keluhan, tetapi mempunyai hasil
Shick tes yang negatif, serta mengandung basil difteri dalam nasofaring. Pengobatan Karier
menggunakan Penicillin 100mg/kgBB/hari, diberikan oral atau suntikan. Dapat pula diberikan
15
g. Pencegahan
Mengisolasikan pasien
Pasien yang menghidap penyakit difteri harus diisolasi hingga sembuh total. Pasien
dianggap sembuh apabila pemeriksaan kuman difteri dilakukan 2 kali berturut-turut.
Pencegahan terhadap kontak
Anak-anak yang terkena kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Apabila terlihat
adanya gejala difteri, maka penderita harus diobati dengan kadar segera. Apabila gejala difteri
tidak timbul, maka anak tersebut harus diberikan imunisasi terhadap difteri.15,16
16
Vaksin DT 2,4,18
1. Deskripsi:
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu mengandung toksoid tetanus dan
toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat. Anak sekolah dasar
kelas-1 diberikan 1 dosis vaksin DT
2. Cara pemberian:
o Suntikan vaksin harus dilakukan secara intramuscular atau subkutan dalam.
o Dosis yang diberikan kepada anak adalah 0.5 ml.
o Anak usia di bawah 8 tahun dianjurkan untuk mendapatkan vaksin ini.
Vaksin Td 2,4,18
1. Deskripsi:
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu mengandung toksoid tetanus dan
toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat. Vaksin ini diberikan
kepada murid kelas-2 diberikan 1 dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas-5
diberikan 1 dosis vaksin Td
2. Cara pemberian:
o Suntikan vaksin harus dilakukan secara intramuscular atau subkutan dalam.
o Dosis yang diberikan kepada anak adalah 0.5 ml.
17
18
Kejadian Ikutan Pasca Imunisai ini merupakan kejadian medik yang berhubungan dengan
imunisasi. Secara umumnya, reaksi KIPI ini dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan dari
program , reaksi dari suntikan dan reaksi vaksin.5,16
1. Kesalahan Program
Terdapat banyak kasus KIPI yang berhubungan dengan kesalahan akibat teknik
pelaksanaan vaksin . Antaranya adalah kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi, cara
menyuntik yang salah sterilitas dan penyimpanan vaksin. Apabila pengelolaan vaksin ,
pengetahuan dan keterampilan petugas pemberi vaksinasi semakin membaik, maka kesalahan
program KIPI ini dapat diminimalisasi.
2. Reaksi suntikan
Reaksi suntikan tidak mempunyai hubungan dengan kandungan vaksin, tetapi trauma
akibat suntikan jarum, Reaksinya termasuk bengkak,nyeri dan kemerahan pada tempat yang
disuntik. Reaksi suntikan dapt dihindari dengan melakukan teknik suntikan secaran benar dan
mendapat kerjasama dari pasien.
3. Reaksi vaksin
Reaksi vaksin merupakan gejala yang timbul selepas mendapatkan imunisasi . Reaksin
vaksin yang mungkin terjadi adalah demam ringan, pembengkakan, kemerahan dan nyeri di
tempat suntikan selama 1-2 hari
19
20
Pencegahan
Definisi Manifestasi
Klinis
Pemeriksaan
Vaksinasi diagnostik
Difteri Difteri
Etiologi Penatalaksanaan
diagnostic
Patofisiologi
Komplikasi Penyakit
Difteri
Pengetahuan
Penyakit
dan
Vaksinasi
Difteri
Sikap
21
12.4 Sampling (menyebutkan teknik sampling dan menghitung besar sampel dengan rumus yang
sesuai)
Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan ialah voluntary sampling yaitu teknik dimana
sampel diambil berdasarkan kerelaan untuk berpatisipasi dalam penelitian.. metode ini paling umum
digunakan dalam jejak pendapat. Jumlah sampel minimum didapatkan melalui perhitungan rumus
sebagai berikut:
n= Zα2 x p x q
d2
Keterangan:
n = jumlah sampel minimum
Za = nilai Z pada tabel sesuai dengan nilai dimana untuk = 0.05 (5%) didapatkan Za = 1.96
p = proporsi/prevalensi masalah yang diteliti (P = 0.5)
q = 1 – P (1 – 0.5 = 0.5)
d = presisi (10% = 0.1)
22
d2 0.12
Jadi jumlah sampel minimum yang dibutuhkan ialah 97 sampel.
n2 = n1 + 10%
=97 + 9.7=106.7 dibulatkan menjadi 107 sampel
12.5.3 Cara
Mendatangi langsung responden, meminta izin, menjelaskan etik yang digunakan pada
pengisian kuisionerdan tujuan dari penelitian. Memberitahu dan menjelaskan prosedur
pengisian kepada responden, lalu responden mengembalikan kuisioner yang talanh diisi
kepada peneliti.
12.6 Parameter yang diperiksa :
Mengetahui pengetahuan dan sikap mahasiswa Ukrida tentang penyakit dan vaksinasi difteri.
23
24
25
Implikasi Etik Eksperimental pada Manusia Berikan pernyataan singkat mengenai permasalahn etik
yang dapat timbul dari eksprimentasi, dan jelaskan bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi. Permasalahan etik
termasuk (a) bahaya dan komplikasi perlakuan, (b) kerahasiaan data (confidentiality), (c) Informed consent, dan sebagainya.
26
1. Robert Kliegman, Bonita Stanton,Nelson textbook of pediatric. Elsevier Saunders.co. 20th Ed,
2016;587-611r
2. Bruce M Lo . Emergency medicine :diphtheria.2017 Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/782051-overview [sitasi 10/April/2018]
3. Dinas Kesehatan DIY. Profil Kesehatan Provinsi.DIY 2005. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY;
2006
4. Imunisasi Efektif Cegah Difteri. 03 Desember 2017 Diakses dari:
http://www.depkes.go.id/article/view/17120500001/-imunisasi-efektif-cegah-difteri.html [sitasi
9/April/2018]
5. Ranuh, IGN dkk. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Cet III: Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
6. Nuzulul Z.H.Asuhan keperawatan (askep) difteri 12 October 2011 Diakses dari http://nuzulul-
fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35518-Kep%20Respirasi-Askep%20Difteri.html#popup
[sitasi 9/April/2018]
7. N. C. Besa, M. E. Coldiron, A. Bakri,. Diphtheria outbreak with high mortality in northeastern
Nigeria ; 2014 Apr; 142(4): 797–802
8. C Cohen, L de Gouveia, M du Plessis, Diphtheria: national institute for communicable diseases
NICD recommendations for diagnosis, management and public health response;2015
9. Dwiyanti P, Erna S, Dominicus H. Gambaran klinis penderita difteri anak di RSUD dr. Soetomo
;Jurnal Ners Vol. 7 No. 2 Oktober 2012: 136–141
10. R Konrad A Berger, I Huber; Matrix-assisted laser desorption/ionisation time-of-flight
(MALDI-TOF) mass spectrometry as a tool for rapid diagnosis of potentially toxigenic
Corynebacterium species in the laboratory management of diphtheria-associated bacteria;
Volume 15, Issue 43, 28/Oct/2010
11. Rudi H.P , Kambangg S, Sunarno, Roselinda; Corynebacterium diphtheria; diagnosis
laboratorium bakteriologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia;2014
12. Ted L. Hadfield, Peter McEvoy ,Yury Polotsky, Vsevolod A. Tzinserling , Alexey A Yakovlev;
The pathology of diphteria.Armed Forced Institude of Pathology 2010
13. Stanley A.P, Walter A.O, Paul A.O, Kathryn M.E. Plotkin’s Vaccines.Kennedy Blvd.
Elsevier;2018
27
28