Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL SKRIPSI

PROGRAM SARJANA KEDOKTERAN FK UKRIDA

UNTUK KEPERLUAN SEKRETARIAT

1 Mahasiswa/i

Nama Ng Chor Yao NIM : 102015204

2 Pembimbing Tim pembimbing skripsi tidak boleh melebihi dua orang

Nama : Bernhard Banggas Yosafat Gelar : Dr,Sp THT

Nama : Aries Soesanto Gelar : DR,Dr, MS,SpOK

3 Judul Skripsi Harus informatif dan singkat jangan. melebihi 20 kata

Gambaran pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Angkatan 2016 mengenai Penyakit dan Vaksinasi Difteri

4 Kata Kunci 3-5 kata kunci (key words)

Pengetahuan Sikap

Vaksinasi Difteri Penyakit Difteri

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


5 Persetujuan Pembimbing

Nama Tanda Tangan Tanggal

Bernhard Banggas Yosafat

Nama Tanda Tangan Tanggal

Aries Soesanto

6 Persetujuan Penilai Proposal

Nama Penilai & Gelar Institusi

Tanggal dan Tanda tangan Penilaian (mohon diberi tanda  )

 Diterima tanpa perbaikan


 Diterima dengan perbaikan
( mohon diberikan komentar)
 Tidak diterima
(mohon diberikan komentar)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


7 Komentar Penilai (apabila tidak mencukupi dapat dituliskan di lembar tambahan)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


8 Latar Belakang Jangan melebihi 2 halaman yang disediakan. Gunakan spasi tunggal (12 pts Font )

Difteri merupakan penyakit saluran pernapasan atas yang gejalanya ialah nyeri tenggorok, adanya
membran putih keabu-abuan dan juga bisa disertai dengan demam yang ringan hingga berat. Difteri
merupakan suatu penyakit yang menular dengan cepat. Penyakit Difteri disebabkan oleh bakteri
Corynebackterium diphtheriae. Penularan difteri dapat ditularkan melalui percikan ludah, kontak
langsung dengan penderita difteri kulit ataupun melalui udara. Karena penularan Difteri yang sangat
cepat, difteri merupakan masalah kesehatan yang harus diperhatikan.1,2
Penyakit difteri sebenarnya sudah lama dikenal, mulai tahun 1921, kasus difteri ini dilaporkan
telah banyak merenggut nyawa. Pada tahun 1983, World Health Organisation(WHO) melaporkan 92.000
kasus difteri yang terjadi di Asia, Afrika ,Amerika Tengah dan juga Amerika Selatan. Sehingga Menteri
Kesehatan Republik Indonesia sangat menitikberatkan penyakit difteri sehingga belbagai program
pengembangan imunisasi difteri dilaksanakan.3
Program pengembangan imunisasi merupakan salah satu kegiatan yang mendapat prioritas dalam
sistem kesehatan nasional. Program yang dilaksanakan ini bertujuan untuk melindungi balita yang rentan
terhadap PD3I (penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi) yang terdiri dari penyakit seperti TBC,
Difteri, Pertusis, Tetanus dan Campak. Data dari Kementerian Kesehatan Indonesia bahwa pada bulan
November 2017, terdapat 95 kota dari 20 provinsi melaporkan kasus difteri. Sementara pada bulan
Oktober 2017 terdapat 11 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB Difteri di wilayah DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, Banten, Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan , Sulawesi Selatan ,Sumatera
Barat , Jawa Tengah dan Aceh.4
Gejala yang sering timbul ialah deman yang tidak tinggi yaitu 38C, timbulnya selaput
putih/keabu-abuan yang khas seperti pseudomembran di tenggorokan yang mudah berdarah apabila
diangkat, disertai sesak napas dan suara menggorok, nyeri apabila menelan dan terkadang disertai dengan
pembesaran kelenjar getah bening di leher dan jaringan lunak di leher yang disebut sebagai bullneck.
Pencegahan yang dapat dilakukan ialah dengan vaksinasi. Terdapat 3 jenis vaksin yang diberikan yaitu,
vaksin DPT-HB-Hib, Vaksin DT dan vaksin Td yang diberikan tergantung usia. Vaksinasi Difteri
diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi (di bawah 1 tahun) sebanyak 3 dosis vaksin DPT-HB-Hib
dengan jarak 1 bulan. Selanjutnya, diberikan Imunisasi Lanjutan (booster) pada anak umur 18 bulan
sebanyak 1 dosis vaksin DPT-HB-Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas-1 diberikan 1 dosis vaksin
DT, lalu pada murid kelas-2 diberikan 1 dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas-5 diberikan 1 dosis
vaksin Td.2,4
4

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Kejadian luar biasa difteri dihubungkan dengan adanya kelompok masyarakat yang tidak
mendapatkan vaksinasi difteri ataupun vaksinasi dilakukan namun tidak lengkap. Terdapat juga beberapa
daerah di Indonesia yang menolak vaksinasi karena khawatir dengan Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi(KIPI) dari vaksin difteri. Diantaranya ialah kesalahan program, reaksi suntikan dan juga reaksi
vaksin.5

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


9 Permasalahan Cantumkan juga hipotesis (bila ada) atau pertanyaan penelitian.

Masalah:
Belum diketahui gambaran pengetahuan dan sikap Penyakit dan Vaksinasi Difteri di kalangan mahasiswa

Hipotesis:
Pengetahuan dan sikap pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana Angkatan 2016 mengenai Penyakit dan Vaksinasi Difteri adalah baik

Hipotesis Nol:
Pengetahuan dan sikap pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana Angkatan 2016 mengenai Penyakit dan Vaksinasi Difteri adalah belum baik

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


10 Tujuan Penelitian Uraikan tujuan khusus dan makna penelitian harus diuraikan dengan jelas.

Tujuan Umum:
 Mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa tentang penyakit dan vaksinasi Difteri.

Tujuan Khusus:
 Diketahuinya gambaran pengetahuan dan sikap mengenai penyakit difteri pada mahasiswa
Fakultas Kedokteran Ukrida angkatan 2016
 Diketahuinya gambaran pengetahuan dan sikap mengenai vaksinasi Difteri pada mahasiswa
Fakultas Kedokteran Ukrida angkatan 2016

Manfaat Penelitian :

1. Bagi Peneliti
 Sebagai salah satu persyaratan kelulusan dalam menyelesaikan program sarjana kedokteran
 Memperoleh pengetahuan dan pengalaman belajar serta wawasan dalam membuat suatu
penelitian
 Meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai penyakit dan vaksinasi difteri
 Mengaplikasikan ilmu kedokteran dan metodologi penelitian yang didapatkan selama kuliah di
Fakultas Kedokteran Ukrida

2. Bagi Perguruan Tinggi

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


 Mewujudkan tridarma perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
 Menambah referensi kepustakaan di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
 Dapat menjadi informasi tambahan untuk instansi dan mahasiswa yang akan melakukan
penelitian sejenis.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


3. Bagi Masyarakat

 Sebagai sarana dalam meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai vaksinasi
Difteri dan penyakit difteri
 Mengetahui faktor resiko pada masyarakat yang berhubungan dengan penyakit dan vaksinasi
difteri
 Sebagai bahan pertimbangan serta referensi bagi penelitian selanjutnya

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


11 Landasan Teori

a. Definisi
Penyakit difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
Infeksi difteri pada umumnya terjadi pada faring, laring, hidung dan terkadang pada kulit,
konjungtiva, genitilia dan telinga. Infeksi ini dapat menyebabkan gejala-gejala lokal dan
sistemik karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada tempat infeksi. Di Indonesia,
difteri banyak terjadi di daerah penduduk padat dengan angka kematian yang cukup tinggi.
Tetapi akhir-akhir ini karena adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI), maka angka
kejadian dan kematian menurun secara drastis. Penderita mempunyai beberapa gejala, yaitu:1,2

1. Nyeri tengorokan, susah menelan, masalah penapasan, dan meneteskan air liur
2. Selaput membran yang berwarna putih/keabu-abuan pada lidah tengorokan dan
hidung(tonsil, faring)
3. Salah satu gejala seperti: edem pada leher (bullneck), stridor, submukosa atau petechial
dan paralisis motorik 1 hingga 6 minggu daripada mulainya gejala.

b. Etiologi
Penyakit difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria. Bakteri ini bersifat gram
positif polimorikf serta tidak membentuk spora dan tidak bergerak. Bakteri ini dapat diperiksa
menggunakan pewarna sediaan langsung yaitu biru metilen dan biru toluidine. Basil ini
biasanya ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Corynebacterium diphtheria bisa
dilihat dalam susunan palisade, bentuk L dan V atau formasi huruf cina dengan perwanaan.
Bakteri ini bisa tumbuh secara aerob, media sederhana tetapi lebih baik dalam media yang
mengandungi media k-tellurit dan Loeffler. Terdapat 3 jenis basil yang dapat memproduksi
toksin yang mempunyai bentuk, ukuran dan warna koloni, yaitu:6
1. Gravis: koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis eritrosit.
2. Mitis: koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis
eritrosit.
3. Intermediate: koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


c. Manisfestasi klinis
Difteri merupakan penyakit yang melibatkan saluran napas atas dengan gejala klinis
seperti sakit tenggorokan, panas, dan adanya pseudomembran pada tonsil rongga hidung dan
faring yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria. Masa inkubasi difteri antara 2
hingga 5 hari, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa inkubasi penyakit difteri dapat terjadi
1 hingga 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Toksin yang dilepaskan oleh Corynebacterium
diphtheria dapat menyebabkan polyneuritis, miocarditis dan efek sistemik yang lain. Pada
umumnya, serangan penyakit tidak terlalu berat, seperti sakit tenggorok yang ringan, panas
yang tidak tinggi, berkisar antara 37,9C-38,9C, munculnya membran putih atau keabu-abuan
di tenggorok setelah hiperemis.7
Dalam 24 jam, membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum mole, serta uvula.
Pada awalnya, membrane timbul di sekitar tenggorokan, membrane tersebut tipis, putih dan
berselaput dan segera menjadi abu-abu/hitam dan tebal, tergantung jumlah kapiler yang
berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Batas pada membran yang terbentuk
terlihat jelas dan akan tampak melekat dengan jaringan di bawahnya, sehingga sukar diangkat.
Apabila membran diangkat, akan menimbulkan pendarahan. Jaringan tersebut biasanya
tidak membengkak karena tidak mempunyai membran. Difteri pada umumnya merupakan
penyakit fatal yang harus diperhatikan karena case fatality rate (CFR) adalah 5-10%. Pada
usia kurang dari 5 tahun dan dewasa 40 tahun keatas, case fatality ratenya bisa mencapai 20%.
Pada hari ke 5-6, gejala yang terjadi akan menurun, serta gejala lokal dan sistemik serta
membran akan hilan, walaupun antitoksin tidak diberikan. Bagaimanapun, penyembuhan akan
menjadi lebih cepat apabila antitoksin diberikan .7,8
Usia muda mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita difteri berat. Bentuk
bullneck dan malignant difteri merupakan bentuk difteri yang lebih kronik dengan gejala yang
lebih berat, sehingga membran dapat menyebar dengan cepat dan akan menutupi faring dan
dapat menjalar sehingga ke bagian hidung. Oedema tonsil dan uvula yang disertai nekrosis
dapat timbul pada difteri jenis bullneck dan malignant ini. Bullneck dapat terjadi karena
adanya pembengkakan kelenjar leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu
ke telinga yang lain dan mengisi di bawah mandibular.9

10

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


d. Patofisiologi
Corynebacterium diphtheria pada umumnya tidak menyerang jaringan bawah atau daerah
di sekitar infeksi local. Bakteri ini akan memproduksi toksin yang akan diserap dan disebarkan
melalui pembuluh limfe dan melalui darah ke jaringan. Corynebacterium diphtheria pada
umumnya masuk melalui hidung atau mulut dimana basil akan menempel di mukosa saluran
napas bagian atas. Namun tidak menolak kemungkinan dapat terjadi melalui kulit, mata atau
mukosa genital. Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari tetapi dapat mencapai waktu 1 hingga 10
hari. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria awalnya akan diabsorbsi
oleh membran sel, sehingga penetrasi dan interferensi dengan produksi protein bersama-sama
dan akan mengeluarkan suatu enzim yang akan merusakkan Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD) sehingga transferase adenosine difosforilase tidak aktif. 10
Produksi protein akan terhenti karena enzim diperlukan untuk mentranslokasi asam amino
dari RNA dengan memanjangkan rantai polipeptida sebagai konsekuensi terjadilah nekrose sel
yang bergabung dengan nekrosis jaringan untuk membentuk eksudat yang awalnya bisa
dilepaskan. Produksi toksin yang semakin cepat akan menyebabkan infeksi semakin kronik
dan dalam, sehingga menjadi eksudat fibrin. Eksudat fibrin ini akan melekat dan membentuk
membran berwarna keabu-abuan. Produksi toksin yang semakin cepat sehingga infeksi
semakin kronik dan dalam sehingga menjadi eksudat fibrin, eksudat fibrin ini akan menjadi
penempelan dan membentuk membran yang berwarna keabu-abuan. Lama kelamaan akan
terjadi oedema di laring atau trakeobronkial pada jaringan dan akan menyebabkan sesak
napas.10
Toksin ini dapat menyebar melalui darah dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan
organ tubuh seperti jantung, ginjal dan juga saraf. Antitoksin dapat menetralisir toksin yang
beredar dalam darah, tetapi tidak dapat menetralisir toksin yang sudah masuk ke dalam sel.
Setelah toksin masuk dalam jaringan, maka terjadi variasi periode laten sebelum tumbulnya
manifestasi klinis. Kerusakan jantung (miokarditis) dapat terjadi kapan saja selama 10-14 hari
dan bersifat ringan. Namun akan tampak sebagai kelainan, apabila dilakukan pemeriksaan
EKG. Apabila dibiarkan, kerusakan jantung dapat menjadi kronik sehingga dapat
menyebabkan kematian mendadak. Pada minggu ke 3-7, dapat terjadi peradangan pada saraf
lengan dan tungkai yang berupa neuritis perifer . Pada ginjal dapat terjadi tubular nekrosis
akut.10

11

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Difteri Tonsil Dan Faring
Difteri tonsil dan faring mempunyai gejala yang tidak jelas seperti, malaise, anoreksia,
panas subfebris dan sakit pada tenggorokan. Eksudat dapat timbul di daerah fausial dalam 24
jam. Faring, kedua tonsil, uvula dan palatum mole akan ditutupi oleh membran.
Difteri tonsil dan faring dibagi menjadi 3 stadium, yaitu,11
 Infeksi ringan: Pseudomembran akan mencapai ke batas hidung atau parsial dan
terdapat keluhan nyeri menelan
 Infeksi sedang: Pseudomembran telah menyebar pada lebih luas sampai dinding
posterior faring disertai edema ringan laring yang bisa diatasi dengan pengobatan
konservatif
 Infeksi berat: terdapat gejala sumbatan jalan nafas yang kronik dan dapat diatasi
dengan menggunakan tracheostomy. Endokarditiss dan nefritis juga dapat terjadi pada
stadium ini.

Difteri Hidung
Difteri hidung terjadi kurang lebih 2 – 3% dari kasus difteri. Difteri hidung merupakan
gejala difteri yang paling ringan. Gejala difteri hidung sulit dibedakan dengan pilek, karena
difteri hidung pada umumnya timbul sekret hidung yang tidak khas yang diawali dengan
serous kemudian menjadi serosanguineus, serta panas yang ringan. 10,11,12
Dalam beberapa kasus, pada difteri hidung dapat terjadi epitaksis. Sekret dapat terjadi pada
satu atau kedua belah hidung, dan dapat menjadi mukopurulen disertai ekscoriasi hidung
anterior, serta pada bibir atas dapat tampak gambaran seperti impetigo. Sekret ini biasanya
melekat pada septum nasi. Difteri hidung tergolong ringan karena absorbsi toksin dari tempat
ini terlalu ringan. Difteri hidung sangat mudah diobati, dengan pemberian antitoksin saja
sudah cukup. Pemberian antitoksin biasanya akan menyembuhkan pasien dengan cepat. Tetapi
apabila tidak diberi obat, sekret akan muncul selama berminggu-minggu dan dapat menjadi
sumber penularan. 10,11,12

12

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


`
Difteri Laring
Mayoritas difteri merupakan penjalaran dari difteri faring. Tetapi terkadang dapat berdiri
sendiri. Gambaran klinis pada difteri laring akan sulit dibedakan dengan obstruksi, karena
laringitis akut yang disebabkan oleh infeksi lain. Penyakit ini disertai panas dan batuk serta
suara serak. 11,12
Gejala obstuksi dapat berupa stridor inpirasi, retraksi suprasternal, supraclavicular dan
subcostal. Perjalanan penyakit bergantung beratnya penyakit dan derajat obstruksi. Pada kasus
ringan, dengan pemberian antitoksin, gejala obstruksi akan hilang dan membrane juga akan
hilang pada hari ke 6-10. Pada kasus yang sangat berat, penyumbatan akan diikuti dengan
anoksemia yang ditandai dengan gelisah, sianosis, lemah, koma dan bahkan meninggal. Suatu
obstruksi akut dan kematian mendadak dapat terjadi pada kasus ringan di mana sebagian
membrane akan terlepas dan menyumbat saluran napas. 11,12

 Jackson membagi derajat dyspnea laring progresif menjadi 4 stadium:


Stadium 1  Terdapat cekungan ringan
suprasternal
 Keadaan ini tidak menggangu dan
penderita tetap tenang

Stadium 2  Cekungan suprasternal menjadi lebih


dalam ditambah cekungan di
epigastrium.
 penderita mulai Nampak gelisah

Stadium 3  Tampak cekungan suprasternal,


supraclavicular , infraclavicular ,
epigastrium dan intercostal
 Penderita sangat gelisah dan tampak
sukar untuk bernapas

13

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Stadium 4  Gejala di atas semakin berat
 Penderita sangat gelisah dan berusaha
sekuat tenaga untuk bernapas
 Tampak seperti ketakutan dan
pucat/sianosis

Stadium 2 dan 3 merupakan indikasi untuk dilakukan trakeostomi. Gambaran klinis difteri
laring, terutama karena obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh membrane, kongesti dan
udema. Pada difteri laring murni, gejala toksemia minimal dapat terjadi, karena absorbsi toksin
pasa mukosa laring buruk. Kurang lebih 35% dari difteri laring merupakan difteri
murni/primer. Difteri laring pada umumnya (65%) merupakan kelanjutan dari difteri tonsil dan
faring, sehingga gejalanya akan terdapat toksemia dan obstruksi.

Difteri Lain
Difteri ini biasanya terkena di luar saluran napas seperti vulvovaginal, telinga, konjungtiva dan
kulit.11
a) Difteri kulit
Ditandai ulkus berbatas jelas dengan dasar membrane putih/abu-abu. Infeksi pertama
biasanya terjadi pada bagian luka, seperti dermatosis, laserasi, luka bakar, gigitan
seranga dan impetigo. Gejala awalnya ialah, adanya pustula yang dapat berkembang
menjadi lesi disertai dengan membran dan oedema.
b) Difteri konjungtiva
mengenai konjungtiva palpebral yang ditandai dengan edema dan terdapatnya
membrane pada konjungtiva palpebral.
c) Difteri telinga
ditandai dengan adanya cairan mukopurulen yang persisten
d) Difteri vulvovaginal
Difteri vulvovaginal mempunyai gejala seperti ulkus dengan batas yang jelas.

14

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


e. Pemeriksaan diagnostik
Mendiagnostik difteri dengan dini adalah hal penting yang perlu dilakukan, karena
apabila terlambat, prognosa penderita akan buruk. Diagnosa difteri ditegakkan berdasakan
gejala-gejala klinik saja, tanpa menggunakan hasil laboratorium.Terbentuknya membran pada
tenggorokan tidak dapat menjadi patokan, karena terdapatnya membrane dapat ditemui pada
penyakit lainnya. Namun, membran yang terbentuk pada difteri sedikit berbeda karena warna
pada membran lebih keabu-abuan dan gelap, serta terdapat fibrin yang melekat pada mukosa
di bawahnya. Apabila membrane, diangkat akan terjadi perdarahan. Pemeriksaan bakteri saja
tidak cukup apabila hanya dilakukan berdasarkan pada hasil pewarnaan Neisser. Walaupun
gambaran bakteri difteri cukup khas pada pewarnaan Neisser, diagnosa pasti sebaiknya
dilakukan dengan pemeriksaan kultur, yaitu dengan telurit, Loeffler dan Amies13

Schick Tes
Uji Shick dilakukan untuk skrining kekebalan. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan
toksin yang lemah dalam kadar yang sangat sedikit. Toksin tersebut akan menyebabkan
nekrosis pada kulit. Apabila toksin berinteraksi dengan anitbodi pasien, tes tersebut akan
memberikan hasil yang negatif. Hasil tes akan menjadi positif apabila pasien tidak mempunyai
antibodyi dan menandakan dirinya rentan terhadap difteri. Tes ini tidak berguna untuk
diagnosis dini karena hasil dapat dibaca beberapa hari kemudian.13
Caranya:
 0.1ml(1/50MLD) cairan toksin difteri disuntikkan intradermal .
 Bila dalam tubuh penderita tidak ada antitoksin, terjadi pembengkakan eritema dan
sakit yang terjadi 3-5 hari setelah suntikan.
 Bila pada tubuh penderita terdapat antitoksi,n maka toksin akan dinetralisir sehingga
tidak terjadi reaksi kulit.

f. Penatalaksanaan diagnostic
Pengobatan pada pasien karier
Pasien karier merupakan individu yang tidak mempunyai keluhan, tetapi mempunyai hasil
Shick tes yang negatif, serta mengandung basil difteri dalam nasofaring. Pengobatan Karier
menggunakan Penicillin 100mg/kgBB/hari, diberikan oral atau suntikan. Dapat pula diberikan

15

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


eritromisin 40mg/kgBB/hari selama 1 minggu. Tonsilektomi/adenoidektomi dilakukan apabila
diperlukan saja.14

Biakan Uji Shick Tindakan


(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu
minggu.
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40
mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas

g. Pencegahan
 Mengisolasikan pasien
Pasien yang menghidap penyakit difteri harus diisolasi hingga sembuh total. Pasien
dianggap sembuh apabila pemeriksaan kuman difteri dilakukan 2 kali berturut-turut.
 Pencegahan terhadap kontak
Anak-anak yang terkena kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Apabila terlihat
adanya gejala difteri, maka penderita harus diobati dengan kadar segera. Apabila gejala difteri
tidak timbul, maka anak tersebut harus diberikan imunisasi terhadap difteri.15,16

16

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Vaksinasi Difteri
Terdapat 3 jenis vaksin Difteri yang akan diberikan yaitu,
 DPT-HB-Hib2,4,18
1. Deskripsi:
Vaksin DTP-HB-Hib biasanya dipakai untuk mencegahan seseorang terhadap difteri,
tetanus, pertusis, hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin ini
diberikan kepada bayi (di bawah 1 tahun) sebanyak 3 dosis dengan jarak 1 bulan.
Kemudian pada anak umur 19 bulan diberikan 1 dosis booster.
2. Cara pemberian:
o Suntikan vaksin harus dilakukan secara intramuscular pada anterolateral paha atas.
o Dosis yang diberikan kepada anak adalah 0.5 ml

 Vaksin DT 2,4,18
1. Deskripsi:
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu mengandung toksoid tetanus dan
toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat. Anak sekolah dasar
kelas-1 diberikan 1 dosis vaksin DT
2. Cara pemberian:
o Suntikan vaksin harus dilakukan secara intramuscular atau subkutan dalam.
o Dosis yang diberikan kepada anak adalah 0.5 ml.
o Anak usia di bawah 8 tahun dianjurkan untuk mendapatkan vaksin ini.

 Vaksin Td 2,4,18
1. Deskripsi:
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu mengandung toksoid tetanus dan
toksoid difteri murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat. Vaksin ini diberikan
kepada murid kelas-2 diberikan 1 dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas-5
diberikan 1 dosis vaksin Td
2. Cara pemberian:
o Suntikan vaksin harus dilakukan secara intramuscular atau subkutan dalam.
o Dosis yang diberikan kepada anak adalah 0.5 ml.

17

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES)4

18

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Kejadian Ikutan pasca Imunisasi(KIPI)

Kejadian Ikutan Pasca Imunisai ini merupakan kejadian medik yang berhubungan dengan
imunisasi. Secara umumnya, reaksi KIPI ini dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan dari
program , reaksi dari suntikan dan reaksi vaksin.5,16

1. Kesalahan Program
Terdapat banyak kasus KIPI yang berhubungan dengan kesalahan akibat teknik
pelaksanaan vaksin . Antaranya adalah kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi, cara
menyuntik yang salah sterilitas dan penyimpanan vaksin. Apabila pengelolaan vaksin ,
pengetahuan dan keterampilan petugas pemberi vaksinasi semakin membaik, maka kesalahan
program KIPI ini dapat diminimalisasi.

2. Reaksi suntikan
Reaksi suntikan tidak mempunyai hubungan dengan kandungan vaksin, tetapi trauma
akibat suntikan jarum, Reaksinya termasuk bengkak,nyeri dan kemerahan pada tempat yang
disuntik. Reaksi suntikan dapt dihindari dengan melakukan teknik suntikan secaran benar dan
mendapat kerjasama dari pasien.

3. Reaksi vaksin
Reaksi vaksin merupakan gejala yang timbul selepas mendapatkan imunisasi . Reaksin
vaksin yang mungkin terjadi adalah demam ringan, pembengkakan, kemerahan dan nyeri di
tempat suntikan selama 1-2 hari

19

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


4. Komplikasi
Penyakit difteri dapat menyebabkan imun tubuh menurun, sehingga dapat terjadi tumpeng
tindih dengan infeksi penyakit lainnya. Gejala lokal yang bisa ditemui ialah obstruksi jalan
napas akibat membran atau oedema jalan napas, dan gejala sistemik yang dapat terjadi adalah
miokarditis, neuritis dan nefritis akibat efek eksotoksin,yaitu: 9,19
1. Infeksi tumpeng tindih oleh kuman lain pada anak yang mempunyai penyakit difteri
seringkali mempengaruhi gejala klinik, sehingga akan menimbulkan masalah pada diagnosa
maupun pengobatan.
2. Obstruksi jalan napas
Obstruksi dapat terjadi akibat membran atau edema jalan napas.
3. Sistemik
 Miokarditis
 Neuritis
 Paresis/paralisis palatum molle
 Ocular/Palsy
 Paralisis diafragma
 Paresis/paralisis anggota gerak

20

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Kerangka Teori Penelitian

Pencegahan

Definisi Manifestasi
Klinis

Pemeriksaan
Vaksinasi diagnostik
Difteri Difteri

Etiologi Penatalaksanaan
diagnostic

Patofisiologi
Komplikasi Penyakit
Difteri

Kerangka Konsep Penelitian

Pengetahuan

Penyakit
dan
Vaksinasi
Difteri

Sikap

21

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


12 Rencana Penelitian Uraikan dengan jelas tetapi ringkas strategi umum dari penelitian yang diusulkan
serta pendekatan khusus dan metode yang akan digunakan. Apabila diperlukan fasilitas di institusi lain, tunjukan
bahwa lembaga yang bersangkutan telah dihubungi dan memberikan persetujuan. Jangan melebihi 3 halaman spasi tunggal
(12 pts Font)
12.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan descriptive approach yaitu pendekatan secara deskriptif. Tujuan
pendekatan secara deskriptif ini dilakukan adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap
mahasiswa Ukrida tentang penyakit dan vaksinasi difteri.

12.2 Tempat dan Waktu Pengumpulan Data


Penelitian ini dilakukan di kampus II Universitas Kristen Krida Wacana:
Tempat:Jalan Arjuna Utara No6, RT.5/RW.2, Duri Kepa, Kebon Jeruk,Jakarta Barat, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta
Waktu: pengumpulan data akan dilakukan pada bulan Jun tahun 2018

12.3 Subjek Penelitian


Subjek penelitian adalah mahasiswa angkatan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
Wacana.

12.4 Sampling (menyebutkan teknik sampling dan menghitung besar sampel dengan rumus yang
sesuai)

Pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan ialah voluntary sampling yaitu teknik dimana
sampel diambil berdasarkan kerelaan untuk berpatisipasi dalam penelitian.. metode ini paling umum
digunakan dalam jejak pendapat. Jumlah sampel minimum didapatkan melalui perhitungan rumus
sebagai berikut:
n= Zα2 x p x q
d2
Keterangan:
n = jumlah sampel minimum
Za = nilai Z pada tabel sesuai dengan nilai  dimana untuk  = 0.05 (5%) didapatkan Za = 1.96
p = proporsi/prevalensi masalah yang diteliti (P = 0.5)
q = 1 – P (1 – 0.5 = 0.5)
d = presisi (10% = 0.1)
22

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


Dikarenakan belum adanya penelitian mengenai penyakit difteri dan vaksinasi Difteri pada mahasiswa
Fakultas Kedokteran Ukrida Angkatan 2016 sebelumnya, maka diambil estimasi maksimal dengan
menetapkan nilai p = 0.5 (50%). Sehingga nilai q = 1 – 0.5 = 0.5. Dengan demikian maka besar sampel
minimum yang digunakan yaitu:
n1 = Zα2 x p x q = (1.96)2 x 0.5 x 0.5 = 96.04 dibulatkan menjadi 97 sampel

d2 0.12
Jadi jumlah sampel minimum yang dibutuhkan ialah 97 sampel.
n2 = n1 + 10%
=97 + 9.7=106.7 dibulatkan menjadi 107 sampel

12.5 Bahan, alat dan cara pengambilan data

12.5.1 Bahan Penelitian


Kertas

12.5.2 Alat Penelitian


Kuesioner, Komputer, Powerpoint, Stopwatch, Pulpen

12.5.3 Cara
Mendatangi langsung responden, meminta izin, menjelaskan etik yang digunakan pada
pengisian kuisionerdan tujuan dari penelitian. Memberitahu dan menjelaskan prosedur
pengisian kepada responden, lalu responden mengembalikan kuisioner yang talanh diisi
kepada peneliti.
12.6 Parameter yang diperiksa :
Mengetahui pengetahuan dan sikap mahasiswa Ukrida tentang penyakit dan vaksinasi difteri.

12.8 Dana Penelitian


Perkiraan dana penelitian
- Fotokopi kertas kuesioner: 120 x 5 x Rp.500,00 = Rp.300.000,00
- Pulpen 1 lusin : 1 x Rp.25.000,00= Rp.25.000,00
- Gift (permen) 2 box :2 x Rp50.000,00= Rp100.000,00

23

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


12.9 Analisis Data
Data yang didapat dari data pasien akan dimasukkan ke dalam Microsoft Excel dan dianalisis
menggunakan SPSS versi 16.0 software statistik.

12.10 Definisi Operasional:

No Variabel Definisi Oprasional Cara Ukur Alat Hasil Ukur Skala


Ukur Ukur
1 Umur Rentang usia mulai dari Mengajukan Kuesioner 1. 17-19 ordinal
lahir hingga saat pertanyaan 2. 20-22
pengambilan data melalui 3. 23-25
kuesioner
2 Pengetahuan kemampuan menghafal, Menjawab Kuesioner 1.Kurang ordinal
meniru, dan pertanyaan 2.Cukup
mengungkapkan kembali dalam 3.Baik
yang merupakan hasil kuesioner
pengindraan manusia atau
hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui
indra yang dimilikinya.
3 Sikap pernyataan evaluatif Menjawab Kuesioner 1.Kurang ordinal
terhadap objek, orang atau pertanyaan 2.Cukup
peristiwa. Hal ini dalam 3.Baik
mencerminkan perasaan kuesioner
seseorang terhadap sesuatu.

24

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


13 Jadwal Penelitian Cantumkan lama penelitian dan rincian jadwal secara skematis.

Bulan (Tahun 2018)


No Kegiatan Maret April Mei Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des
1 Studi pustaka
Persiapan alat
dan bahan
2 penelitian
3 Penelitian
4 Penulisan

25

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


14 Persyaratan Etik Bagian dibawah ini harus diisi apabila penelitian yang diusulkan berkaitan dengan
eksperimentasi pada manusia dan hewan. Metode yang digunakan harus memenuhi ketentuan etik penelitian pada
manusia dan hewan (Human and Animal Ethics). Persyaratan ini dianut oleh semua jurnal ilmiah berbobot.

Implikasi Etik Eksperimental pada Manusia Berikan pernyataan singkat mengenai permasalahn etik
yang dapat timbul dari eksprimentasi, dan jelaskan bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi. Permasalahan etik
termasuk (a) bahaya dan komplikasi perlakuan, (b) kerahasiaan data (confidentiality), (c) Informed consent, dan sebagainya.

Implikasi Etik Eksperimental pada Hewan

26

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


15 Daftar Pustaka Harus relevan dengan usulan.

1. Robert Kliegman, Bonita Stanton,Nelson textbook of pediatric. Elsevier Saunders.co. 20th Ed,
2016;587-611r
2. Bruce M Lo . Emergency medicine :diphtheria.2017 Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/782051-overview [sitasi 10/April/2018]
3. Dinas Kesehatan DIY. Profil Kesehatan Provinsi.DIY 2005. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY;
2006
4. Imunisasi Efektif Cegah Difteri. 03 Desember 2017 Diakses dari:
http://www.depkes.go.id/article/view/17120500001/-imunisasi-efektif-cegah-difteri.html [sitasi
9/April/2018]
5. Ranuh, IGN dkk. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Cet III: Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
6. Nuzulul Z.H.Asuhan keperawatan (askep) difteri 12 October 2011 Diakses dari http://nuzulul-
fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35518-Kep%20Respirasi-Askep%20Difteri.html#popup
[sitasi 9/April/2018]
7. N. C. Besa, M. E. Coldiron, A. Bakri,. Diphtheria outbreak with high mortality in northeastern
Nigeria ; 2014 Apr; 142(4): 797–802
8. C Cohen, L de Gouveia, M du Plessis, Diphtheria: national institute for communicable diseases
NICD recommendations for diagnosis, management and public health response;2015
9. Dwiyanti P, Erna S, Dominicus H. Gambaran klinis penderita difteri anak di RSUD dr. Soetomo
;Jurnal Ners Vol. 7 No. 2 Oktober 2012: 136–141
10. R Konrad A Berger, I Huber; Matrix-assisted laser desorption/ionisation time-of-flight
(MALDI-TOF) mass spectrometry as a tool for rapid diagnosis of potentially toxigenic
Corynebacterium species in the laboratory management of diphtheria-associated bacteria;
Volume 15, Issue 43, 28/Oct/2010
11. Rudi H.P , Kambangg S, Sunarno, Roselinda; Corynebacterium diphtheria; diagnosis
laboratorium bakteriologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia;2014
12. Ted L. Hadfield, Peter McEvoy ,Yury Polotsky, Vsevolod A. Tzinserling , Alexey A Yakovlev;
The pathology of diphteria.Armed Forced Institude of Pathology 2010
13. Stanley A.P, Walter A.O, Paul A.O, Kathryn M.E. Plotkin’s Vaccines.Kennedy Blvd.
Elsevier;2018

27

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


14. Okamoto K, Hatakeyama S, Sugita C, Ogura K, Ueda R, Kouda H, Nakata J;Nasal diphtheria
caused by nontoxigenic Corynebacterium diphtheriae; J Infect Chemother 2018
15. IDAI. Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2008
16. Arthika D. 2012. Assessment pelayanan imunisasi dpt di unit pelayanan swasta Surabaya.
Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga; Diakses dari
http://adln.fkm.unair.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=rea d&id=adlnfkm-adlndinastyart-2436
[Sitasi 18 Febuari 2018]
17. Isnaniyanti F.A, Corie I.P.Faktor yang berhubungan dengan kasus difteri anak di puskesmas
bangkalan tahun 2016 ; Volume 5 Nomor 1, Januari 2017
18. Buku Ajar Imunisasi. 01 Juni 2014 Diakses dari: http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/10/03Buku-Ajar-Imunisasi-06-10-2015-small.pdf [sitasi 9/April/2018]
19. Feranita Utama, Chatarina U.W, Santi Martin, Determinan kejadian difteri klinis pasca sub pin
difteri tahun 2012 di kabupaten bangkalan;2012

28

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Anda mungkin juga menyukai