Anda di halaman 1dari 23

Nalar Miring dalam Artikel ‘Fiktif’

Seorang Aktivis*
3 hari ago Opini 6 Comments 665 Views

 (Sumber
gambar: flickr.com)
(Tanggapan untuk George Hormat)
.

Oleh: Emilianus Yakob Sese Tolo*


Kegembiraan saya membuncah ketika tulisan saya berjudul “Ekonomi
Politik Migrasi Internasional di NTT” di Harian Umum Flores
Pos (26/1/2019) ditanggap serentak dikritik oleh seorang aktivis, George
Hormat (selanjutnya: GH), melalui tulisannya berjudul “Kusut Nalar
dalam Artikel Ekonomi Politik Migrasi Internasional di NTT” di dua
edisi Flores Pos (2/2/2019, 4/2/2019 – yang kemudian dimuat lagi di
akun Kompasiana miliknya). Sayangnya, tulisan seorang GH lebih
merupakan sebuah ‘dongeng fiktif’ yang penuh dengan kontradiksi-
kontradiksi remeh-temeh. Akibatnya, tulisan GH yang kelihatan seolah-
olah ilmiah dan kaya fakta, ternyata hanyalah sebuah catatan seorang
aktivis yang ahistoris dan miskin analisis. Namun, meskipun tulisan GH
lebih merupakan sebuah ‘dongeng fiktif’[1] yang mengadung banyak
kontradiksi, bagi saya, tulisannya berhasil disusun dengan struktur yang
cukup jelas dan mudah dipahami. Hal ini merupakan satu-
satunya keunggulan dan kelebihan dalam tulisan GH, yang saya harus
angkat topi tinggi-tinggi.
Saya menyebut tulisan GH sebagai sebuah ‘dongeng fiktif’ karena
beberapa alasan. Pertama, GH gagal melihat masyarakat NTT sebagai
sebuah entitas sosial yang dinamis di tengah penetrasi kapitalisme hari
ini. Kedua, GH agak buta memahami konsep kelas dalam masyarakat
agraria hari ini. Ketiga, GH bukanlah seorang pemikir yang memiliki
struktur berpikir yang tegas dan ketat. Ketiga hal inilah yang membuat
tulisan GH yang kelihatan ilmiah dan kaya data itu, menjadi tak
bermakna.
Karena itu, saya ingin membalikkan sebuah analogi yang dipakai GH
dengan pongah dalam artikelnya, bahwa sejatinya tulisan GH itu ibarat
seorang pensiunan hansip yang bercita-cita ingin menjadi seorang
jenderal tentara. Sebuah cita-cita yang absurd dan tidak masuk di akal
sehat.

Sayangnya, begitulah cita-cita seorang GH dalam tulisannya. Terkesan


terlalu memaksakan diri. Namun, tidak apa-apa. Siapakah saya sampai
harus melarang sebuah tulisan hasil imajinasi GH bercita-cita macam itu?
Dari pada berpanjang kata, mungkin lebih baik, jika saya mulai
menguraikan poin-poin yang menjadikan tulisan seorang GH hanyalah
sebuah ‘dongeng fiktif.’

Membaca tulisan GH, saya seperti membaca tulisan-tulisan para


antropolog yang sempat meneliti tentang Flores di awal abad 20, seperti
Arndt[2] dan Bekkum[3]. Dalam bayangan GH, masyarakat NTT masih
bercorak seperti masyarakat pada awal abad 20, bahkan mungkin
mundur lebih jauh dari masa-masa itu. Sebab, ibarat seorang
Chayanovian[4] yang populis, GH menggambarkan masyarakat NTT
sebagai masyarakat tanpa kelas yang harmonis hidupnya, yang tak
terhempas oleh gelombang kapitalisme yang terus berpenetrasi dalam
kehidupan masyarakat NTT hari ini. Dengan cara memandang masyarakat
NTT seperti, apa yang ditulis oleh GH sulit dipercaya bagai sebuah
dongeng, bahkan mitos. Sebagai sebuah dongeng, apalagi mitos, semua
hal yang ditulis oleh GH menjadi sia-sia dan tidak bermakna.
Dalam tulisannya, pada mulanya, GH memang mengakui adanya kelas-
kelas sosial masyarakat di NTT. GH menulis demikian: “Pada poin
pertama Emil benar. Masyarakat desa berkelas-kelas adanya. Sebagian
menguasai tanah 2-3 hektare (sic), mayoritas hanya 0,25-0,5 hektare
(sic).” Namun, dalam penjelesan-penjelasan turunannya, GH tidak
mengikuti pengakuannya ini. Hanya melewati beberapa baris kalimat,
lantas seorang GH berubah rupa dari seorang Weberian atau Marxian,
yang mengakui adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat, menjadi
seorang populis atau neo-populis. Perubahan itu tampak ketika GH
menjelaskan tentang ekonomi politik agraria di Mokantarak, Semau,
Amfoang, Takari, dan Manggarai. Di semua tempat ini, menurut
penelusuran GH, masyarakatnya hidup damai dan tenang dengan seorang
pemimpin adat yang bermurah hati dan selalu memperhatikan
anggotanya. Anggotanya pun membalas kebaikan budi ketua adat itu
dengan pemberian hasil panen mereka.
Dalam gambaran itu, GH mencoba untuk meyakinkan pembaca bahwa di
NTT, terutama di kampung-kampung, tidak terjadi segregasi dan
eksploitasi kelas. Keyakinan GH ini persis keyakinan seorang populis
China, Liang Shuming (1893-1988) bahwa, setelah revolusi kebudayaan
pada tahun 1930-an, di China, sejatinya, tidak ada diferensiasi kelas,
tetapi hanya diferensiasi kerja.[5]Menurut Liang Shuming, benar bahwa
masyarakat China memiliki pemimpin (rulers), tetapi tidak ada kelas yang
eksploitatif (ruling class), seperti dalam masyarakat kapitalis. Karena itu,
pada titik ini, seperti kaum populis dan neo-populis, GH meromantisasi
kehidupan desa di NTT bagai “sepotong surga” yang jatuh di bumi.
Pandangan seperti ini, dalam konteks NTT, bukan saja dinyatakan keliru,
tetapi sesat!

Namun, dalam konteks Indonesia, pandangan yang dianut oleh GH ini


masih lumayan dominan, yang tumbuh dan berkembang sejak lama.
Hatta[6]misalnya, percaya bahwa di desa-desa di Indonesia, tanah tidak
dimiliki secara individual, tetapi oleh pemerintah desa atau adat. Seorang
individu hanya memiliki hak untuk menggunakan, bukan untuk memiliki.
Bahkan, seorang individu dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah-
tanah itu semampu dia untuk kepentingan dirinya dan keluarganya.
Geerzt[7] juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama dengan
Hatta[8] dengan konsepnya “agrarian involution” dan “shared poverty,”
juga memiliki penjelasan yang kurang lebih sama dengan penjelasan GH
dalam konteks NTT.
Di NTT, misalnya di Flores, pandangan semacam GH ini juga turut
dihidupi oleh Forth[9] dengan konsepnya dualisme sosial dan
Tule[10] dengan konsep tanah adalah ibu yang memiliki manusia, bukan
sebaliknya. Karena itu, perbedaan kepemilikan tanah bukan hal yang
penting dalam masyarakat karena tanah tidak dimiliki oleh siapa-siapa,
sebab tanahlah yang memiliki manusia. Tulisan Tule[11] yang lebih
kemudian menjelaskan lebih jauh soal masyarakat Flores, yang mirip
dengan Liang Shuming di China bahwa di Flores memang ada pemimpin,
tetapi tidak ada kelas-kelas sosial yang terfragmentasi, saling berkonflik
dan saling mengeksploitasi satu sama lain. Poinnya adalah, seperti yang
diuraikan oleh GH, masyarakat adat atau desa di NTT memiliki ketua adat
yang bijak, yang dapat mengalokasikan sumber daya dan surplus
ekonomi di pedesaan secara adil kepada semua kelompok dalam
masyarakat NTT. Karena itu, desa adalah tempat yang indah, tanpa
konflik kelas, dan menjadi surga untuk semua masyarakat di pedesaan.
Pandangan semacam ini jelas tidak sesuai dengan fakta historis di
lapangan. Sepanjang aktif melakukan penelitian di Flores selama kurang
lebih satu dekade terakhir, pandangan kaum populis seperti GH hanyalah
sebuah ‘dongeng fiktif’, bahkan mitos. Masyarakat NTT sejatinya
terkontak-kotak dalam kelas-kelas sosial, termasuk dalam konteks
masyarakat adat. Dengan penetrasi kapitalisme, terutama sejak
masuknya penjajahan Belanda, sistem masyarakat feodal di NTT secara
perlahan berubah menjadi kapitalis.

Masyarakat NTT sebagai bagian dari bangsa Astronesia[12] sejatinya


tidak memiliki konsep tuan tanah (land lord) seperti masyarakat Eropa,
tetapi penjaga tanah (land guardian). Namun, karena logika kapitalisme
kolonial yang berkanjang cukup lama di Flores, sejak peninggalannya,
bahkan di saat penjajahan Belanda itu sendiri, konsep land guardian,
seperti yang dijelaskan oleh GH dalam tulisannya, sudah berubah
menjadi land lord. Karena itu, saya ingin tegaskan kembali bahwa
berdasarkan data ini, banyak land guardian (atau otoritas tenurial adat
dalam bahasa GH) di NTT sejak peninggalan penjajahan sudah mulai
berubah menjadi tuan tanah sebagaimana saya jelaskan dalam tulisan
saya sebelumnya, yang mana dianggap sebagai sebuah kekeliruan besar
oleh GH.
Di Timor, misalnya, Klinken[13] cukup jelas menggambarkan
bagaimana land guardian ini akhirnya menjadi tuan tanah hari ini. Di
Flores, pada tahun 1930, misalnya, Raja Sikka mendeklarasikan dirinya
sebagai pemilik semua tanah yang tidak ditempati dan digarap di Sikka,
lalu menjualnya kepada orang-orang Bugis. Konsekuensinya, pada saat
itu, “sistem kepemilikan tanah komunal hampir hilang di Sikka bagian
Tengah.”[14] Intervensi Belanda dalam sektor agraria ini menyebabkan
peralihan kepemilikan tanah dari komunal ke kepemilikan individual.
Kepemilikan individual ini kemudian menyebabkan “naiknya tingkat
kesuburan” dan nilai nominal tanah itu sendiri. Transaksi tanah mulai
dilegalkan dan, karena itu, memperparah ketimpangan agraria di Flores
hingga hari ini.[15]
Hal yang sama juga terjadi dalam konteks masyarakat Jawa.[16] Walau
demikian, bagi raja-raja di Jawa, meski tanah tetap penting, yang paling
penting bagi para raja Jawa bukanlah tanah, melainkan orang-orang yang
tinggal dan menetap di tanah di wilayah kekuasaan mereka. Seperti yang
ditulis Peluso[17], “Ketika seorang raja mendaku kontrol terhadap suatu
teritori, sejatinya, apa yang didaku adalah kontrol atas tenaga kerja dari
penduduk yang menempati tanah dan proporsi dari produk pertanian
yang mereka hasilkan dari keringat dan jerih payah mereka.” Baik di Jawa
maupun di Flores, tuan tanah dan raja yang biasanya menjadi pemimpin
religius, kultural, dan politik, dianggap sebagai makrokosmos serentak
mikrosmos yang menyatukan dunia semesta dan kerajaan itu sendiri di
dalam dirinya.[18] Jadi, baik di Jawa maupun di Flores, terdapat gelar-
gelar kebangsawanan yang memiliki arti, makna, dan fungsi yang kurang
lebih sama seperti gelar kebangsawanan yang disematkan pada para raja
Mataram seperti Paku Buwana (Paku Alam Semesta), Hemengku
Buwana (Pelindung Alam Semesta), dan Paku Alam (Paku Dunia)[19] di
Jawa[20] dan Ine Tanah Ame Watu (Ibu Tanah dan Ayah Batu) di
Flores.[21] Apalagi, Flores, yang kala itu bernama Solot, hingga abad ke-
14 berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit, Jawa.[22]Selain itu,
baik Jawa maupun Flores, sama-sama berada dalam kungkungan
kapitalisme penjajah Eropa, seperti Belanda. Dengan demikian,
konsekwensinya, baik Jawa maupun Flores, mengalami transformasi
fungsi land guardianmenjadi land lord yang kurang lebih sama.
Pemahaman historis seperti inilah yang tidak dipahami GH sehingga dia
menyamakan Jawa dan Eropa, dan mengkontraskannya dengan Flores.
Karena itu, akibat kedangkalan pengetahuan seorang GH, apa yang
dilakukannya untuk menyamakan dan mengontraskan Jawa, Eropa, dan
Flores adalah sebuah ambisi intelektual imajiner yang ahistoris dan,
karena itu, jauh dari fakta kebenaran yang pernah terjadi dalam lintas
sejarah.

Namun, bukan hanya saya saja yang mengakui adanya segregasi dan
eksploitasi kelas dalam masyarakat NTT, khusus dalam kaitannya dengan
masyarakat pertanian. Penelitian-penelitian terdahulu dari ilmuwan sosial,
politik, dan antropologi, yang merupakan penelitian ilmiah yang diuji
dalam sebuah lembaga akademis yang jelas dan bermutu. Di Timor,
misalnya, Klinken[23],seorang ilmuwan sosial dan antropologi di Belanda,
cukup banyak menjelaskan konflik kelas. Tuan tanah dan raja yang
dikatakan oleh GH adalah orang yang ramah dan adil, hampir tidak
ditemukan dalam tulisan penelitian ilmiah seorang Klinken.[24]Justru
sebaliknya, Klinken[25] yang mengutip beberapa ahli tentang Timor,
menulis bahwa sejak dulu kelompok tuan tanah dan raja-raja di Timor
mendapatkan keistimewaan dari pemerintah kolonial melalui politik
pembangunan kolonial bertaruh pada yang kuat, betting on the
strong, dan, karena itu, cenderung bertindak sewenang-wenang terhadap
masyarakat lemah. Di Flores, Klinken[26] juga menyinggung bagaimana
pembantaian PKI tahun 1965-1966 pertama-tama menyasar mereka yang
melawan feodalisme di Flores kala itu. Di Flores Timur, Liliweri (1989),
seperti dikutip dalam Eki[27],masyarakat pertanian dibagi dalam tiga
kelas tradisional dan akhirnya berubah menjadi empat kelas setelah
dipengaruhi oleh para pendatang yang lebih kemudian. Walau tak
menyinggung soal segregasi dan eksploitasi kelas, Gordon[28] dan
Prior[29] juga menulis soal bagaimana elit adat di Flores bukanlah orang
yang selalu baik dan bijaksana seperti yang GH tulis dalam artikelnya.
Namun, harus diakui, para penulis-penulis di atas tidak memetakan kelas
yang jelas dan tegas dalam konteks kapitalisme di NTT hari ini. Karena
itu, saya[30] dalam penelitian di masyarakat pertanian di persawahan
Mbay, mencoba untuk melakukan ini menggunakan pendekatan Weberian
dan Marxis, dengan membagi masyarakat pertanian di persawahan Mbay,
Flores, ke dalam lima kelas, yang diinspirasi oleh Patnaik[31], Pincus[32],
dan Zhang.[33] Saya, sejatinya, menggabungkan perspektif yang agak
Weberian dan Marxis diinspirasi oleh Wright[34], seorang Marxist analitik,
yang melihat analisis kelas Weber tak terlalu berbeda jauh dengan
analisis kelas Marx sehingga dia sering mencampuradukkan keduanya
dalam analisis kelasnya, yang terkadang berubah-ubah bergantung pada
realitas yang diamatinya.
Dalam konteks ini, dalam analisa kelas yang saya gunakan ini, saya
menemukan bahwa di persawahan Mbay, kepemilikan tanah tidak selalu
menjadi faktor penentu seseorang menduduki kelas kapitalis yang
mengeksploitasi kelas lain dalam masyarakat petani melainkan lebih
karena posisi seseorang dalam lima pasar, yakni pasar tanah, pasar
kredit, pasar tenaga kerja, pasar alat-alat produksi, dan pasar hasil
pertanian. Karena itu, misalnya, para petani sayur dari Bima, yang tidak
memiliki tanah, tetapi aktif dalam kelima pasar itu, menjadi kelas
kapitalis, yang mengeksploitasi kelas-kelas petani yang lain.

Selain itu, dengan melakukan analisis kelas seperti ini, kesimpulan saya
mengenai migrasi juga sedikit berbeda dari pandangan Marxist pada
umumnya, bahwa kapitalisme akan selalu memfasilitasi migrasi keluar.
Namun, di Mbay, sampai batas waktu Febuari 2018, saya menemukan
yang sebaliknya. Berdasarkan data yang saya peroleh, kapitalisme
pertanian di Mbay, yang memperkenalkan mekanisasi pertanian, justru
menurunkan angka migrasi, terutama migrasi ke Malaysia. Meskipun
demikian, saya memprediksi bahwa beberapa tahun mendatang, dengan
semakin masifnya mekanisasi pertanian, yang menyebabkan menurunnya
penyerapan tenaga kerja di persawahan Mbay, migrasi keluar, seperti ke
Malaysia, Kalimantan dan Papua, akan semakin meningkat.[35]
Mekanisasi pertanian di Mbay dilakukan karena semakin meningkatnya
upah buruh dan para petani kapitalis jga petani kaya ingin
mereinvestasikan surplus pertaniannya pada alat-alat pertanian yang
dapat disewakan kepada petani lain, seperti petani kecil, semi-proletar,
dan proletar join.
Jika ayahnya GH mengaku melakukan mekanisasi pertanian akibat
kekurangan tenaga kerja, hal itu perlu dicurigai. Saya menduga
mekanisasi pertanian yang dilakukan oleh ayahnya GH adalah dengan
dua tujuan seperti para petani kapitalis dan petani kaya di Mbay itu.

Apalagi, berdasarkan data BPS NTT, pada tahun 2018, tingkat


pengangguran di NTT masih tinggi, yakni 74,7 ribu orang, yang tentu
akan bersedia jika dipekerjakan oleh ayahnya GH dengan upah yang baik
dan adil.

Dengan melakukan analisis kelas secara kreatif dan menarik kesimpulan


yang tidak dogmatis seperti beberapa pemikir Marxis, saya jelas bukanlah
seorang text booker, seperti tuduhan GH. Saya mempelajari Marxisme
sebagai ilmu, bukan sebagai ideologi, apalagi dogma.
Namun, saya adalah orang yang lebih percaya pada buku, apalagi jika
buku itu ditulis oleh pakar di bidangnya, daripada mempercayai analisis
seorang blogger seperti GH, yang ingin menjadi ahli di hampir semua
bidang ilmu. Sebuah ambisi yang tidak pernah akan terealisasi, kecuali
orang itu adalah superman. Sayangnya, superman hanyalah dongeng
dan mitos.

Kengawuran semakin tampak, ketika GH mencampurbaurkan tanah


sebagai milik perorangan dalam masyarakat agraris dan hutan
sebagai the commons. Karena itu, GH bicara mengenai teori akses.
Sebagai the commons, siapa saja dalam masyarakat atau klan tertentu
bisa mengaksesnya tergantung pada kesepakatan adat atau anggota
masyarakatnya. Soal tata kelola the commons, seperti yang dijelaskan
oleh GH dalam tulisannya, bukanlah sesuatu yang khas NTT.
Ostorm[36] dalam bukunya Governing the Commons, banyak
menceritakan contoh-contoh tata kelola the commons seperti air, hutan,
dan laut yang lebih berhasil di tangan masyarakat dari pada dikelola oleh
swasta dan pemerintah. Karena itu, GH tak perlu terlalu membesar-
besarkan bahwa seolah-olah hal itu merupakan kekhasan NTT, yang jika
saya tidak mengetahuinya, hal itu merupakan sebuah kedunguan dan
kecelakaan sejarah. Apalagi, GH keliru bila mengira bahwa ekonomi
masyarakat di desa-desa di NTT diatur dan dikendalikan oleh
pemanfaatkan atas the commonsini. Ini merupakan kesimpulan yang
sesat. Sebab, biar pun masyarakat pantai saja di NTT, yang mata
pencahariannya bergantung pada aksesnya pada the commons, yakni
laut, tetap menjadikan tanah pertanian, yang merupakan hak milik
pribadi, sebagai sumber ekonomi yang penting dalam melakukan
reproduksi sosial. Begitu pun masyarakat desa yang tinggal di sekitar
hutan, sebagai the commons, seperti penjelasan GH dalam tulisannya.
Namun, adalah keliru besar, menurut GH, bahwa pemanfaatan the
commons tidak bisa atau tidak cocok diteliti dengan menggunakan
analisis kelas, baik melalui kacamata Weberian atau Marxis. Dalam teori
Marxis, akses terhadap the commons, misalnya hutan dan laut, sangat
bergantung pada kepemilikan faktor produksi seperti modal, alat potong,
dan kapal laut. Di Seram Maluku, saya menemukan bahwa orang yang
memiliki faktor produksi seperti sensor, alat angkut, dan uang dapat
mempekerjakan orang lain untuk mengakses hutan sebagai, the
commons. Begitu juga halnya dengan hasil laut di Seram, Maluku,
mekanisme yang sama juga berlaku. Para nelayan kaya yang memiliki
kapal ikan dan peralatan penanggkapan modern dapat mempekerjakan
kelas nelayan yang miskin untuk mengakses laut, yang adalah the
commons-nya. Saya pikir hal yang sama juga dapat dilakukan untuk
menganalisis pemanfaatan hutan atau laut sebagai the commons dalam
konteks masyarkat NTT hari ini. Saya menduga, GH memang tidak
memahami apa itu analisis kelas. Karena itu, GH cenderung menarik
kesimpulan-kesimpulan yang sesat dan kontradiktif.
Sampai di sini, berdasarkan apa yang saya tunjukkan di muka, semua
argumen yang dibangun oleh GH rupanya hanyalah sebuah ‘dongeng
fiktif’. Sebab, pengamatan GH terhadap realitas di NTT tidak
menggunakan pendekatan ilmiah yang jelas dan tegas. Saya menduga
GH hanya mengunjungi kampung-kampung adat, berbicara hanya dengan
beberapa kepala adat sambil menyeruput segelas kopi sang kepala adat,
yang merupakan hasil pemerasan terhadap para anggota klannya.
Dengan demikian, perspektif yang dipakai GH dalam melihat realitas NTT
adalah perspektif yang dicangkokan oleh para kepala adat itu kepadanya.
Padahal, perspektif kepala adat itu, yang diceritakan kepada GH,
bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan ekonomi politiknya dalam
mengeksploitasi anggota sukunya yang lain. Inilah akibatnya jika seorang
aktivis yang ingin membebaskan para petani dan orang miskin mudah
terjebak dalam kepentingan licik para penindasnya sendiri.
Namun, saya kira saya tidak perlu memperpanjang kata terhadap
kekeliruan remeh-temeh yang telah dibuat GH dalam artikelnya. Lagi
pula, melalui tulisan ini, saya tidak pernah ingin menjadi guru bagi
seorang aktivis yang sudah bersikap congkak sejak dalam pikirannya.
Karena itu, saya akan melanjutkan pembahasannya pada persoalan lain
yang lebih substansial, yang GH tuduhkan kepada saya.

Dalam tulisannya, GH benar bahwa banyak faktor yang memeengaruhi


orang bermigrasi. Kurang lebih ada tiga teori migrasi, yang menjelaskan
migrasi dengan beberapa variannya, yakni teori dualisme, teori neo-
klasik, dan teori ekonomi politik Marxis.

Teori dualisme lahir dari karya klasik Lewis[37]. Dalam tulisannya yang
berjudul Economic Development with Unlimited Supply of Labour, dia
berbicara tentang dualisme ekonomi dalam mana migrasi memainkan
peran penting, sebab orang ingin bermigrasi dari ekonomi tradisional ke
ekonomi modern. Intinya, berdasarkan dualisme teori, yang dipengaruhi
oleh Ravenstein[38](1888/1889), orang bermigrasi karena pertimbangan
ekonomi. Apalagi, ekonomi modern yang lebih berkembang
membutuhkan lebih banyak tenaga kerja dari pada ekonomi tradisional.
Dipengaruhi oleh orang yang sama, yakni Ravenstein[39], muncul juga
varian lain, yang kurang lebih sama dengan teori dualisme, seperti yang
dijelaskan oleh Eveett Lee soal push and pull factors dalam
migrasi[40] seperti juga yang GH kemukakan dalam tulisannya untuk
membantah saya. Sementara itu, menurut teori neo-klasik, orang
bermigrasi karena alasan gaji yang lebih tinggi, formasi sumber daya
manusia, dan maksimalisasi utilitas.[41] Teori neo-klasik ini pulalah yang
dianut oleh GH, yang yang membuatnya menjadi agak congkak
mengeritik pendekatan yang saya gunakan untuk memahami realitas
migrasi internasional di NTT hari ini.
Sejatinya, saya kurang percaya pada pendekatan dua teori migrasi di
atas, yang digunakan oleh GH untuk menjelaskan realitas migrasi
internasional di NTT hari ini. Sebab, menyitir Standing[42] teori dualisme
dan teori neo-klasik tentang migrasi, seperti yang dianut oleh GH,
memang “benar (true), tetapi terlalu remeh-temeh (trivial),” sebab
mereka cenderung mengeksklusi faktor politik dan non-ekonomi dalam
analisisnya tentang migrasi. Hal inilah yang membuat saya tidak terlalu
yakin dengan dua teori migrasi ini. Maka, saya lebih percaya pada teori
migrasi yang ketiga, yakni teori ekonomi politik Marxis, yang mengeritik
kedua teori tersebut yang tidak mampu menjelaskan migrasi dalam
konteks transformasi sosio-ekonomi produksi dan distribusi dalam suatu
masyarakat.
Menurut teori ekonomi politik Marxis, orang bermigrasi bukan karena
pilihan mereka tetapi lebih merupakan respons mereka terhadap kondisi
keterbatasan dan ketertindasan sebagai akibat dari kerja kapitalisme hari
ini.[43] Dalam konteks ini, migrasi terjadi karena penetrasi kapitalisme
lokal dan kapitalisme global. Apalagi, banyak negara berkembang saat ini
mengalami apa yang D’Costa[44] sebut sebagai compressed capitalism,
yakni kapitalisme yang mana akumulasi primitif berkoeksistensi dengan
bentuk-bentuk akumulasi yang lebih canggih seperti pelbagai inovasi
yang dapat mendorong ekonomi nasional untuk bertarung dalam ekonomi
global. Namun, akibatnya, dalam compressed capitalism ini, negara-
negara berkembang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan
merealisasikan peningkatan upah, yang menyebabkan orang bermigrasi
ke luar dari negaranya sendiri.[45]
Dengan demikian, saya dan GH memiliki pandangan yang kurang lebih
berbeda dalam memahami migrasi di NTT. Hanya saja, seorang GH
bukanlah seorang pemikir yang memiliki perangkat konsep yang jelas dan
tegas dalam memahami realitas migrasi di NTT hari ini. Dia lebih tepat
adalah seorang aktivis eklektik, yang dengan mudah berpindah-pindah
pandangan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Orang
semacam GH adalah orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri. GH
tampak tidak konsisten dan tidak jelas keberpihakan politik dan pendirian
intelektualnya. Karena itu, dalam tulisannya, GH kerap setuju dengan
saya dan, dalam waktu bersamaan, berseberang dengan saya.
Akibat lebih lanjut, GH tidak memiliki solusi yang jelas dan tegas
terhadap persoalan yang dibahas, yakni persoalan migrasi internasional di
NTT hari ini. Pemikir dan aktivis seperti ini biasanya lebih banyak
menciptakan problem daripada memberikan solusi dari persoalan yang
sedang didiskusikan. Alasan paling utama adalah dia mengetahui banyak
hal, tetapi pengetahuannya hanya setengah-setengah, yang membuat dia
kerap melompat-lompat dari satu teori ke teori lain tanpa memahami
secara tegas dan mendalam teori yang sedang ia bicarakan. Dengan
demikian, ketika membaca tulisannya, saya menjadi bingung tentang
solusi apa yang GH tawarkan untuk persoalan migrasi internasional di
NTT hari ini. Seorang pembaca yang baik tentu akan tersesat dalam
tulisan seorang GH, sebab ia ibarat masuk dalam hutan belantara tanpa
mengetahui jalan mana yang harus diambil untuk menyelamatkan diri
dengan segera keluar dari hutan rimba itu.

Namun, sebaliknya, saya menawarkan reforma agraria, pengembangan


industrialisasi dan pengembangan pendidikan atau membuka akses
pendidikan, terutama bagi mereka yang lemah. Solusi ini sebenarnya
diinspirasi oleh konsep pertanyaan agraria yang dipopulerkan oleh Karl
Kautsky[46] sebagai Die Agrarfrage yang dipublikasikan pertama kali
tahun 1899. Dalam perspektif pertanyaan agraria terdapat tiga dimensi
penting dalam kaitan dengan transformasi agraria, yakni produksi,
akumulasi dan politik.
Dalam konteks pertanyaan agraria ini, dalam kaitan dengan produksi,
saya menyarankan reforma agraria; dalam kaitannya dengan
akumulasi, saya menganjurkan pengembangan industrialisasi; dan
dalam hubungannya dengan politik, saya sarankan pengembangan
pendidikan.

Dengan ini, menurut saya, NTT dapat memutuskan persoalan migrasi bila
surplus dari pertanian yang dapat didorong melalui reforma agraria dapat
dinvestasikan dalam pengembangan industrialisasi di NTT agar dapat
menampung migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian dan sekaligus
dapat mengembangkan ekonomi yang mandiri di NTT itu sendiri. Dalam
kaitan dengan politik, saya percaya bahwa untuk mengorganisasi
dukungan politik masyarakat dapat dilakukan melalui pengembangan
pendidikan. Saya menggunakan pendidikan sebagai jalan menuju gerakan
politik sebenarnya diinspirir oleh Wright[47] yang menegaskan bahwa
perlawanan terhadap kapitalisme, termasuk upaya memperjuangan
reforma agraria, tidak harus dengan cara lama, yang membuat GH sudah
patah semangat duluan.
Menurut Wright[48] ada empat cara untuk melawan kapitalisme, yakni
menghantam kapitalisme secara frontal (smeshing capitalism),
menjinakan kapitalisme (taming capitalism), menghindari kapitalisme
(escaping capitalism), dan mengerosikan kapitalisme (eroding
capitalism). Dalam konteks ini, menurut saya, melalui kerja intelektual
membangun wacara alternatif, termasuk mewacanakan reforma
agraria, adalah upaya saya untuk menjinakan dan semoga bisa secara
perlahan mengerosi (feodalisme dan) kapitalisme dalam masyarakat
agraria di NTT hari ini.
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin membahas satu soal penting
tentang GH, yang dalam tulisannya seolah-orang tampil sebagai seorang
Marxis. Sebab, di dalam tulisannya terdapat banyak term-term Marxis,
yang saya pastikan hanya dikuasai secara setengah-setengah. Jika
memang GH kuasai secara baik, dia pasti adalah seorang text
booker yang ideologis dan dogmatis, yang kadang-kadang terperangkap
dalam jerat pemikiran kaum ekonom neo-klasik. Misalnya, dalam
tulisannya, GH menulis demikian: “…[k]apitalisme adalah keniscayaan,
dan yang bisa kita lakukan hanyalah mempercepat kematangannya agar
luluh hancur, dan diatasnya (sic) sistem masyarakat baru ditegakkan.”
Pertanyaannya, apakah kapitalisme sebuah keniscayaan? Bagi kaum neo-
klasik, ya! Pernyataan GH benar. Namun, sayangnya ahistoris. Sebab,
kesimpulan ini hanya dideduksi dari imajinasi para ekonom neo-klasik
sendiri, termasuk GH, yang terlepas dari realitas historis.
Sejatinya, kapitalisme itu bukan sebuah keniscayaan, sebab dia adalah
ciptaan manusia dalam sejarah. Sebagai sebuah ciptaan dalam sejarah,
dia bukanlah sebuah keniscayaan seperti yang dipercayai oleh GH.
Kapitalisme bisa diubah dan dilenyapkan. Namun, cara melenyapkan tidak
harus seperti yang diserukan oleh GH bahwa kita harus menunggu
sampai kematangannya kelar. Jika kita mengikuti pemikiran GH ini secara
kaku, hal itu bertentangan dengan apa yang terjadi dalam sejarah.
Sebab, seharusnya sosialisme itu lahir di Eropa Barat yang kapitalisme
lebih matang dari Eropa Timur, seperti Rusia. Namun, semua orang tahu
bahwa negara sosialisme pertama di dunia lahir bukan di daerah di mana
kapitalisme itu sudah lebih matang, melainkan di Rusia, yang
kapitalismenya belum matang dan perkembangan ekonominya cukup
terbelakang kala itu. Adalah cukup aneh bagi saya, seorang aktivis
memiliki pemikiran seperti ini.[49]
Jika harus menunggu saja kehancuran kapitalisme seperti ini, lalu apalah
gunanya kerja aktivisme-mu?
Jangan-jangan tuduhan Amandus Klau dalam kolom Bentara Flores
Pos (5/1/2019), benar, bahwa para aktivis migrasi dan human
trafficking di NTT, seperti GH, hanya menjadikan kerja aktivisme-nya
sebagai ladang untuk memanen uang dan menumpuk kekayaan di tengah
penderitaan orang-orang yang sedang dibelanya. ***
.

.
(*) Tulisan ini adalah tanggapan untuk tulisan George Hormat atas artikel
saya berjudul “Ekonomi Politik Migrasi Internasional di NTT” di Flores Pos.
Sejatinya, saya telah mengirimkan artikel yang sama ini ke Flores
Pos pada tanggal 6 Februari 2019. Namun, karena satu dan lain hal, yang
tidak bisa saya ketahui, artikel tanggapan ini tidak diterbitkan oleh Flores
Pos. Sebagai bentuk penghormatan terhadap penanggap dan pembaca
yang terus menanyakan serentak menantikan balasan saya, saya mencari
jalan untuk mempublikasikan tulisan saya ini. Karena itu, saya patut
mengucapkan terima kasih banyak kepada Saudara Reinard L. Meo yang
bersedia mempublikasikan tulisan sederhana ini di Horizon Dipantara.
Tulisan ini sejatinya tidak banyak berbeda dengan tulisan yang saya
kirimkan ke Flores Pos. Namun, saya mengakui ada sedikit penambahan
beberapa kalimat di salah satu paragraf. Selain itu, dalam tulisan yang
diterbitkan oleh Horizon Dipantara ini, untuk tujuan pendidikan, saya
memasukan juga catatan kaki untuk semua sumber bacaan yang saya
pakai untuk tulisan ini agar pembaca yang ingin mempelajari apa yang
saya tulis lebih lanjut bisa langsung menengok ke sumber-sumber yang
dirujuk itu.
.

[1] Sejatinya, dongeng selalu bersifat fiktif. Namun, saya menggunakan


kata fiktif di sini dengan sengaja untuk sekadar menunjukkan keparahan
kefiktifan artikel seorang GH.
[2] Arndt, P .1924. Nama, Paulus Sabon (Penerj., 2005). Agama Orang
Ngada: Dewa, Roh-roh Manusia dan Dunia. Maumere: Candraditya.
[3] Bekkum WV. 1946. M. Agus (Penerj., 1974). Sejarah
Manggarai (Warloka-Todo-Pongkor). Unpublished manuscript.
[4] Chayanov, A.V. (1991). The Theory of Peasant Co-
operatives (translated by David Wedgwood Benn, introduction by Viktor
Danilov). London and New York: I. B. Tauris
[5] Hairong, Y., & Yiyuan, C. (2013). Debating the rural cooperative
movement in China, the past and the present. Journal of Peasant
Studies, 40(6), 955-981.
[6] Hatta, M. (1936). Persoalan eknomi Sosialis Indonesia. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
[7] Geertz, C. (1963). Agricultural Involution. Berkeley: University of
California Press.
[8] Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis…
[9] Forth, G. (2001). Dualism and Hierarchy: Processes of Binary
Combination in Keo Society. Oxford: Oxford University Press.
[10 ]Tule, P. (2004). Longing for the House of God, Dwelling in the House
of Ancestors: Local Belief, Christianity, and Islam among the Keo of
Central Flores. Freiberg, Switzerland: Studia Instituti Anthropos 50,
Academic Press.
[11]Tule, P. (2006) “We are Children of the Land: A Keo Perspective”,
dalam Sharing the Earth, Dividing the Land: Land and Territory in the
Austronesian World, diedit oleh Thomas Reuter, Australia: ANU Press.
[12]Tule, P. (2013). “Comunal Land Tenure in Flores”, paper
dipresentasikan kepada mahasiswa University of Agder Norwegia di
Maumere, Ledalero, Januari 2013.
[13]Klinken, VG. (2015). The Making of Middle Indonesia: Kelas
Menengah di Kota Kupang, 1930an-1980an. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.
[14] Metzner, J.K. (1982). Agriculture and Population Pressure in Sikka,
Isle of Flores: A contribution to the study of the stability of agricultural
systems in the wet and dry tropics, Development Studies Centre
Monograph No. 28, the Australian University. p., 225
[15]Ibid., p. 227.
[16]Anderson, B. (1991). Language and Power – Exploring Political
Culture in Indonesia. New York: Cornell University Press; Moertono, S.
(2009). State and Statecraft in Old Java – A Study of the Lather Mataram
Period, 16th to 19th Century. Kualalumpur: Equinox.
[17] Kutipan aslinya demikian: “when a king claimed control over a
particular expanse of territory, in fact what he claimed was the control of
the labor of the land’s residents and a portion of the product of their
labor.” Lihat, Peluso, N. L. (1994). Poor People: Resource Control and
Resistance in Java. California: University of California Press.p., 34.
[18]Moertoeno, State and Statecraft in…
[19]Benedict, Language and Power…
[20] Anderson, Language and Powe…; Tule, P. (2004). Longing for
the…; Emmerson, Donald K. (1976). Indonesia’s Elite –Political Culture
and Cultural Politcs. United Kingdom: Cornell University Press.
[21] Tule, We are Children of the Land…, hal. 211-236; Wawancara
dengan Pater Philipus Tule dan Pater Lukas Jua, Ende, 11 Oktober 2013.
[22] Metzner, Agriculture and Population…; Orinbao, S. (1992). Tata
Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku-Bangsa Lio. Maumere:
Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.
[23]Klinken, VG. 2015a. The Making of Middle…
[24]Ibid.
[25]Ibid.
[26]Ibid.
[27] Eki, A.T. (2002). International Labour Migration from East Flores to
Sabah Malaysia: Study of Patterns, Causes and Consequences.
Unpublished PhD Thesis, Department of Geographical and Environmental
Studies, Adelaide University.
[28] Gordon, J.L. (1975). The Manggarai: Economic and Social
Transformation in an Eastern Indonesia Society. Unpublished PhD Thesis,
Cambridge, Massachusetts: Harvard University.
[29] Prior, J. M. (2013). “Land Disputes and the Church: Sobering
Thoughts from Flores.” Dalam Land for the People: The State and
Agrarian Conflict in Indonesia, diedit oleh Anton Lucas & Carol Warren,
Athens, GA: Ohio University Press. 215–242.
[30] Tolo, E.Y.S. (2018). Agrarian Change in Rural Flores, Indonesia:
Class Dynamics, the Dynamics of Accumulation and International labour
Mingration. Master Thesis, School of Social & Political Scinces and
Melbourne School of Government, the University of Melbourne, Australia.
[31] Patnaik, U. (1976). Class Differentiation within the Peasantry: An
Approach to Analysis of Indian Agriculture. Economic and Political Weekly,
A82-A101.
[32] Pincus, J. (1996). Class Power and Agrarian Change: Land and
Labour in Rural West Java. London: MacMillan Press.
[33] Zhang, Q. F. (2015). Class differentiation in rural China: Dynamics of
accumulation, commodification and state intervention. Journal of Agrarian
Change, 15(3), 338-365.
[34] Wright, E.O (2018), Why Class Matters (transkrip wawancara oleh
Mike Beggs), diakes 5 Februari 2018,
dari https://www.jacobinmag.com/2015/12/socialism-marxism-
democracy-inequality-erik-olin-wright/.
[35] Tolo, Agrarian Change in…
[36] Ostorm, E. (1990). Governing the Commons: The Evolution of
Institutions for Collective Action. New York: Cambridge University Press.
[37] Lewis, W. A. (1954). Economic Development with Unlimited Supplies
of Labour. The Manchester School of Economic and Social Studies, 22(2),
139-191.
[38] Ravenstein, E. G. (1885–1889). The Laws of Migration. Journalof the
Royal Statistical Society, 48: 167–227 and 52: 241–301.
[39]Ibid.
[40] Parnwell, M. (1993). Population Movement and the Third
World. London & New York: Routledge.
[41] Todaro, M. P. (1969). A model of labor migration and urban
unemployment in less developed countries. American Economic Review,
March.
[42] Standing, G. (1979). Migration and Mode of Exploitation: The Social
Origin of Immobility and Mobility. Population and Employment (Working
Paper No. 72). International Labour Organization. p. 1.
[43] Wise, R.D. & Veltmeyer, H. (2016). Agrarian Change, Migration and
Development. The UK and Canada: Practical Action Publishing Ltd and
Fernwood Publishing.
[44] D’Costa, A. P. (2014). Compressed capitalism and development:
primitive accumulation, petty commodity production, and capitalist
maturity in India and China. Critical Asian Studies, 46(2), p. 317-344.
[45]Ibid.
[46] Kautsky, K. (1988). The Agrarian Question in Two Volumes. London:
Zwan Publications.
[47] Wright, Why Class Matters…
[48]Ibid.
[49] Bdk. Gramsci, A. (1971). Selection from the Prison Notebooks. New
York: International Publisher.
.

*) Penulis adalah dosen Politeknik St. Wilhelmus, Boawae, Flores,


NTT







Tags AGENDA EKONOMI-POLITIK AKTIVISME HUMAN TRAFFICKINGKAPITALISME NALAR MIRING REFORMA
AGRARIA
PreviousMengetahui dan Memahami
NextCerpen: SURAT
Related Articles

Gizi Tidak Selebar Daun Kelor


3 minggu ago

Dua Dasar Menjadi Guru Tangguh


4 minggu ago

The Insider: Bagaimana Korporasi Mengendalikan Media


4 minggu ago

6 comments

1.

George Hormat
Februari 16, 2019 at 4:46 pm

Saya tidak akan membuat artikel baru untuk merespon ini. Artikel ini hanya
kelihatan canggih karena meminjam banyak text dari luar. Pembaca
silakan memeriksa kembali rangkaian perdebatan sejak awal, dan dengan
mudah menangkap beta plin-plan dan sulit dipegang apa yang sedang
Emil bahas.

Dalam artikel sebelumnya ia biacaraa tentang para tuan tanah sebagai


sebuah kelas sosial yang karenanya menjadi akar masalah migrasi di
NTT.

Saya membantah itu. Yang pertama bahwa tindakannya menyamakan


otoritas adat dengan tuan tanah sebagai suatu kelas tidak selalu benar
sebab hubungan antara otoritas tenurial dalam masyarakat adat dengan
para petani (rakyatnya) TIDAK SELALU eksploitatif. Kedua, bahwa
ketimpangan penguasaan tanah bukan satu-satunya penyebab migrasi
sehingga redistribusi lahan tidak menjamin orang-orang NTT keluar
daerah.

Yang Emil lakukan dalam artikel kedua ini hanya tiga: membubui dengan
banyak tuduhan aneh; mengutip pendapat para pakar yang ia anggap
benar dengan sendirinya tanpa terlebih dahulu ia uji; dan mengujinya
namun pada konteks masyarakat yang berbeda yaitu masyarakat di
kawasan persawahan yang sejak artikel tanggapan saya sudah saya kasih
warning agar waspada menjadikan masyarakat persawahan sebagai lensa
peneropong seluruh NTT. Dalam masyarakat persawahan, tanah sudah
benar-benar aset produktif; tanah bukan lagi milik kolektif suku.

Lalu, mengapa tiba-tiba pembahasan Emil tentang kelas-kelas sosial


berubah dari tuan tanah menjadi beragam elit ekonomi yang tidak ia
jelaskan bagaimana relasi penghisapannya dengan rakyat tani, selain
cukup diberi label itu pemetaan ala Weberian. Heh.

Emil terlalu memaksaan redistribusi lahan sebagai satu-satunya solusi.


Karena itu baginya melakukan banyak langkah sekaligus bukan solusi. Ini
penyakit lazim dalam diri orang-orang yang berpura-pura ilmiah.
Kenyataannya yang mereka lakukan adalah mencocok-cocokan teori agar
mengabdi kepada solusi yang sudah mereka tentukan terlebih dahulu.

Cara paling tepat bagi pembaca untuk memahami kondisi yang benar
adalah memetakan sendiri problem di desa masing-masing. Sila periksa
apakah yang menyebabkan orang-orang desa memilih merantau, lalu
pikirkan apakah redistribusi tanah bisa menjadi obat mujarab, panacea
yang mengakhiri problem-problem dalam masyarakat?

Saya kira cukup begitu tanggapan saya. Selebihnya sila pembaca


memeriksa sendiri kondisi yang terjadi di masing-masing desa.
Balas

Emil
Februari 18, 2019 at 8:00 pm

Jika saya harus jujur, maka saya harus katakan bahwa tanggapan
GH di atas sangat miskin. Alangkah lebih baik jika tulisan di atas
dibalas dengan tulisan lain oleh GH. Kalau hanya menulis seperti
ini di kolom komentar, GH memalukan dirinya sendiri saya pikir.
Julukan penulis hebat pun runtuh seketika. Kasihan juga jika
demikian, hehe.
Balas

2.

Sipri Kantus
Februari 16, 2019 at 6:08 pm

Om Emil, terima kasih utk ulasan ini. Tulisan ini sangat bernas dan penuh
dedikasi utk msyarakat awam dlm problem agraria dan juga migrasi akibat
penetrasi kapitalisme dalam berupa wajah. Apresiasi utk geliat
kemanusiaan ini. Salam.
Balas

Emil
Februari 18, 2019 at 8:02 pm

Terima kasih untuk apresiasinya. Semoga kita bisa bermanfaat


bagi orang lain dengan tugas dan karya kita masing-masing hari
ini. Salam dari kampung ke Manggarai.
Balas

3.

Yeris Meka
Februari 16, 2019 at 8:11 pm

Saya sudah baca tulisan EYST sebelum dikuliti GH.


Saya anggap imbanglah. 1-1 Tapi balasan dari EYST untuk GH ini bikin
kedudukan jadi 2 -1.
Mantap salam hormat. Ini mencerahkan
Bung Emanuel Yakob Sese Tolo.
Balas

Emil
Februari 18, 2019 at 8:04 pm

Terima kasih banyak om Yeris Meka. Wah, saya senang karena


om mengikuti perdebatan ini sejak awal. Semoga semua yang
ditulis berkenan di hati. Dalam kaitan dengan skor, saya serahkan
itu semua kepada pembaca. Saya sendiri tak bisa menilai hal-hal
seperti itu. Juga tak adil jika saya memberi kemenangan ataupun
kekalahan pada tulisan saya, hehe. Salam hormat.
Balas

Tinggalkan Balasan
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Komentar
Nama *
Email *
Situs Web

 Recent

 Popular

 Comments

 Tags


Ande Folo: dari ‘Pesawat Tempur Inggris’ sampai ‘Kiri itu Tangan Cebok
Pantat’
April 18, 2018 6


Nalar Miring dalam Artikel ‘Fiktif’ Seorang Aktivis*
3 hari ago 6


Puisi-puisi Bruno Rey Pantola*
3 minggu ago 4


MC di Pesta-pesta Nikah (Panduan Bagi Para Pemula)
Juli 15, 2018 3


Suara Rakyat adalah Suara Medsos
Maret 12, 2018 3

Subscribe to our Channel

Login
Remember Me

 Lost your password?

Popular Posts


Ande Folo: dari ‘Pesawat Tempur Inggris’ sampai ‘Kiri itu Tangan Cebok
Pantat’
April 18, 2018 6


Nalar Miring dalam Artikel ‘Fiktif’ Seorang Aktivis*
3 hari ago 6


Puisi-puisi Bruno Rey Pantola*
3 minggu ago 4


MC di Pesta-pesta Nikah (Panduan Bagi Para Pemula)
Juli 15, 2018 3


Suara Rakyat adalah Suara Medsos
Maret 12, 2018 3

Random Posts


‘Melegitimasi’ Politik Uang
Juli 2, 2018


Menantikan Debat yang Berkelas
Januari 17, 2019


Messi dan Tendangan Penalti
Juni 18, 2018


Perempuan dan Ketahanan Pangan
Maret 13, 2018

 Surat Gembala Uskup Maumere Diperhadapkan dengan Delapan Etika Politik


Uskup KWI
Maret 27, 2018
Latest Posts


Puisi-puisi Theresia Avila*
1 hari ago


Cerpen: SURAT
1 hari ago


Nalar Miring dalam Artikel ‘Fiktif’ Seorang Aktivis*
3 hari ago


Mengetahui dan Memahami
5 hari ago


Cerpen: Dendam Musim Panen
1 minggu ago

Tentang kami | Kontak | Redaksi | Pedoman Media Siber

© Copyright 2019, HorizonDipantara.com

Anda mungkin juga menyukai