Seorang Aktivis*
3 hari ago Opini 6 Comments 665 Views
(Sumber
gambar: flickr.com)
(Tanggapan untuk George Hormat)
.
Namun, bukan hanya saya saja yang mengakui adanya segregasi dan
eksploitasi kelas dalam masyarakat NTT, khusus dalam kaitannya dengan
masyarakat pertanian. Penelitian-penelitian terdahulu dari ilmuwan sosial,
politik, dan antropologi, yang merupakan penelitian ilmiah yang diuji
dalam sebuah lembaga akademis yang jelas dan bermutu. Di Timor,
misalnya, Klinken[23],seorang ilmuwan sosial dan antropologi di Belanda,
cukup banyak menjelaskan konflik kelas. Tuan tanah dan raja yang
dikatakan oleh GH adalah orang yang ramah dan adil, hampir tidak
ditemukan dalam tulisan penelitian ilmiah seorang Klinken.[24]Justru
sebaliknya, Klinken[25] yang mengutip beberapa ahli tentang Timor,
menulis bahwa sejak dulu kelompok tuan tanah dan raja-raja di Timor
mendapatkan keistimewaan dari pemerintah kolonial melalui politik
pembangunan kolonial bertaruh pada yang kuat, betting on the
strong, dan, karena itu, cenderung bertindak sewenang-wenang terhadap
masyarakat lemah. Di Flores, Klinken[26] juga menyinggung bagaimana
pembantaian PKI tahun 1965-1966 pertama-tama menyasar mereka yang
melawan feodalisme di Flores kala itu. Di Flores Timur, Liliweri (1989),
seperti dikutip dalam Eki[27],masyarakat pertanian dibagi dalam tiga
kelas tradisional dan akhirnya berubah menjadi empat kelas setelah
dipengaruhi oleh para pendatang yang lebih kemudian. Walau tak
menyinggung soal segregasi dan eksploitasi kelas, Gordon[28] dan
Prior[29] juga menulis soal bagaimana elit adat di Flores bukanlah orang
yang selalu baik dan bijaksana seperti yang GH tulis dalam artikelnya.
Namun, harus diakui, para penulis-penulis di atas tidak memetakan kelas
yang jelas dan tegas dalam konteks kapitalisme di NTT hari ini. Karena
itu, saya[30] dalam penelitian di masyarakat pertanian di persawahan
Mbay, mencoba untuk melakukan ini menggunakan pendekatan Weberian
dan Marxis, dengan membagi masyarakat pertanian di persawahan Mbay,
Flores, ke dalam lima kelas, yang diinspirasi oleh Patnaik[31], Pincus[32],
dan Zhang.[33] Saya, sejatinya, menggabungkan perspektif yang agak
Weberian dan Marxis diinspirasi oleh Wright[34], seorang Marxist analitik,
yang melihat analisis kelas Weber tak terlalu berbeda jauh dengan
analisis kelas Marx sehingga dia sering mencampuradukkan keduanya
dalam analisis kelasnya, yang terkadang berubah-ubah bergantung pada
realitas yang diamatinya.
Dalam konteks ini, dalam analisa kelas yang saya gunakan ini, saya
menemukan bahwa di persawahan Mbay, kepemilikan tanah tidak selalu
menjadi faktor penentu seseorang menduduki kelas kapitalis yang
mengeksploitasi kelas lain dalam masyarakat petani melainkan lebih
karena posisi seseorang dalam lima pasar, yakni pasar tanah, pasar
kredit, pasar tenaga kerja, pasar alat-alat produksi, dan pasar hasil
pertanian. Karena itu, misalnya, para petani sayur dari Bima, yang tidak
memiliki tanah, tetapi aktif dalam kelima pasar itu, menjadi kelas
kapitalis, yang mengeksploitasi kelas-kelas petani yang lain.
Selain itu, dengan melakukan analisis kelas seperti ini, kesimpulan saya
mengenai migrasi juga sedikit berbeda dari pandangan Marxist pada
umumnya, bahwa kapitalisme akan selalu memfasilitasi migrasi keluar.
Namun, di Mbay, sampai batas waktu Febuari 2018, saya menemukan
yang sebaliknya. Berdasarkan data yang saya peroleh, kapitalisme
pertanian di Mbay, yang memperkenalkan mekanisasi pertanian, justru
menurunkan angka migrasi, terutama migrasi ke Malaysia. Meskipun
demikian, saya memprediksi bahwa beberapa tahun mendatang, dengan
semakin masifnya mekanisasi pertanian, yang menyebabkan menurunnya
penyerapan tenaga kerja di persawahan Mbay, migrasi keluar, seperti ke
Malaysia, Kalimantan dan Papua, akan semakin meningkat.[35]
Mekanisasi pertanian di Mbay dilakukan karena semakin meningkatnya
upah buruh dan para petani kapitalis jga petani kaya ingin
mereinvestasikan surplus pertaniannya pada alat-alat pertanian yang
dapat disewakan kepada petani lain, seperti petani kecil, semi-proletar,
dan proletar join.
Jika ayahnya GH mengaku melakukan mekanisasi pertanian akibat
kekurangan tenaga kerja, hal itu perlu dicurigai. Saya menduga
mekanisasi pertanian yang dilakukan oleh ayahnya GH adalah dengan
dua tujuan seperti para petani kapitalis dan petani kaya di Mbay itu.
Teori dualisme lahir dari karya klasik Lewis[37]. Dalam tulisannya yang
berjudul Economic Development with Unlimited Supply of Labour, dia
berbicara tentang dualisme ekonomi dalam mana migrasi memainkan
peran penting, sebab orang ingin bermigrasi dari ekonomi tradisional ke
ekonomi modern. Intinya, berdasarkan dualisme teori, yang dipengaruhi
oleh Ravenstein[38](1888/1889), orang bermigrasi karena pertimbangan
ekonomi. Apalagi, ekonomi modern yang lebih berkembang
membutuhkan lebih banyak tenaga kerja dari pada ekonomi tradisional.
Dipengaruhi oleh orang yang sama, yakni Ravenstein[39], muncul juga
varian lain, yang kurang lebih sama dengan teori dualisme, seperti yang
dijelaskan oleh Eveett Lee soal push and pull factors dalam
migrasi[40] seperti juga yang GH kemukakan dalam tulisannya untuk
membantah saya. Sementara itu, menurut teori neo-klasik, orang
bermigrasi karena alasan gaji yang lebih tinggi, formasi sumber daya
manusia, dan maksimalisasi utilitas.[41] Teori neo-klasik ini pulalah yang
dianut oleh GH, yang yang membuatnya menjadi agak congkak
mengeritik pendekatan yang saya gunakan untuk memahami realitas
migrasi internasional di NTT hari ini.
Sejatinya, saya kurang percaya pada pendekatan dua teori migrasi di
atas, yang digunakan oleh GH untuk menjelaskan realitas migrasi
internasional di NTT hari ini. Sebab, menyitir Standing[42] teori dualisme
dan teori neo-klasik tentang migrasi, seperti yang dianut oleh GH,
memang “benar (true), tetapi terlalu remeh-temeh (trivial),” sebab
mereka cenderung mengeksklusi faktor politik dan non-ekonomi dalam
analisisnya tentang migrasi. Hal inilah yang membuat saya tidak terlalu
yakin dengan dua teori migrasi ini. Maka, saya lebih percaya pada teori
migrasi yang ketiga, yakni teori ekonomi politik Marxis, yang mengeritik
kedua teori tersebut yang tidak mampu menjelaskan migrasi dalam
konteks transformasi sosio-ekonomi produksi dan distribusi dalam suatu
masyarakat.
Menurut teori ekonomi politik Marxis, orang bermigrasi bukan karena
pilihan mereka tetapi lebih merupakan respons mereka terhadap kondisi
keterbatasan dan ketertindasan sebagai akibat dari kerja kapitalisme hari
ini.[43] Dalam konteks ini, migrasi terjadi karena penetrasi kapitalisme
lokal dan kapitalisme global. Apalagi, banyak negara berkembang saat ini
mengalami apa yang D’Costa[44] sebut sebagai compressed capitalism,
yakni kapitalisme yang mana akumulasi primitif berkoeksistensi dengan
bentuk-bentuk akumulasi yang lebih canggih seperti pelbagai inovasi
yang dapat mendorong ekonomi nasional untuk bertarung dalam ekonomi
global. Namun, akibatnya, dalam compressed capitalism ini, negara-
negara berkembang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan
merealisasikan peningkatan upah, yang menyebabkan orang bermigrasi
ke luar dari negaranya sendiri.[45]
Dengan demikian, saya dan GH memiliki pandangan yang kurang lebih
berbeda dalam memahami migrasi di NTT. Hanya saja, seorang GH
bukanlah seorang pemikir yang memiliki perangkat konsep yang jelas dan
tegas dalam memahami realitas migrasi di NTT hari ini. Dia lebih tepat
adalah seorang aktivis eklektik, yang dengan mudah berpindah-pindah
pandangan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Orang
semacam GH adalah orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri. GH
tampak tidak konsisten dan tidak jelas keberpihakan politik dan pendirian
intelektualnya. Karena itu, dalam tulisannya, GH kerap setuju dengan
saya dan, dalam waktu bersamaan, berseberang dengan saya.
Akibat lebih lanjut, GH tidak memiliki solusi yang jelas dan tegas
terhadap persoalan yang dibahas, yakni persoalan migrasi internasional di
NTT hari ini. Pemikir dan aktivis seperti ini biasanya lebih banyak
menciptakan problem daripada memberikan solusi dari persoalan yang
sedang didiskusikan. Alasan paling utama adalah dia mengetahui banyak
hal, tetapi pengetahuannya hanya setengah-setengah, yang membuat dia
kerap melompat-lompat dari satu teori ke teori lain tanpa memahami
secara tegas dan mendalam teori yang sedang ia bicarakan. Dengan
demikian, ketika membaca tulisannya, saya menjadi bingung tentang
solusi apa yang GH tawarkan untuk persoalan migrasi internasional di
NTT hari ini. Seorang pembaca yang baik tentu akan tersesat dalam
tulisan seorang GH, sebab ia ibarat masuk dalam hutan belantara tanpa
mengetahui jalan mana yang harus diambil untuk menyelamatkan diri
dengan segera keluar dari hutan rimba itu.
Dengan ini, menurut saya, NTT dapat memutuskan persoalan migrasi bila
surplus dari pertanian yang dapat didorong melalui reforma agraria dapat
dinvestasikan dalam pengembangan industrialisasi di NTT agar dapat
menampung migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian dan sekaligus
dapat mengembangkan ekonomi yang mandiri di NTT itu sendiri. Dalam
kaitan dengan politik, saya percaya bahwa untuk mengorganisasi
dukungan politik masyarakat dapat dilakukan melalui pengembangan
pendidikan. Saya menggunakan pendidikan sebagai jalan menuju gerakan
politik sebenarnya diinspirir oleh Wright[47] yang menegaskan bahwa
perlawanan terhadap kapitalisme, termasuk upaya memperjuangan
reforma agraria, tidak harus dengan cara lama, yang membuat GH sudah
patah semangat duluan.
Menurut Wright[48] ada empat cara untuk melawan kapitalisme, yakni
menghantam kapitalisme secara frontal (smeshing capitalism),
menjinakan kapitalisme (taming capitalism), menghindari kapitalisme
(escaping capitalism), dan mengerosikan kapitalisme (eroding
capitalism). Dalam konteks ini, menurut saya, melalui kerja intelektual
membangun wacara alternatif, termasuk mewacanakan reforma
agraria, adalah upaya saya untuk menjinakan dan semoga bisa secara
perlahan mengerosi (feodalisme dan) kapitalisme dalam masyarakat
agraria di NTT hari ini.
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin membahas satu soal penting
tentang GH, yang dalam tulisannya seolah-orang tampil sebagai seorang
Marxis. Sebab, di dalam tulisannya terdapat banyak term-term Marxis,
yang saya pastikan hanya dikuasai secara setengah-setengah. Jika
memang GH kuasai secara baik, dia pasti adalah seorang text
booker yang ideologis dan dogmatis, yang kadang-kadang terperangkap
dalam jerat pemikiran kaum ekonom neo-klasik. Misalnya, dalam
tulisannya, GH menulis demikian: “…[k]apitalisme adalah keniscayaan,
dan yang bisa kita lakukan hanyalah mempercepat kematangannya agar
luluh hancur, dan diatasnya (sic) sistem masyarakat baru ditegakkan.”
Pertanyaannya, apakah kapitalisme sebuah keniscayaan? Bagi kaum neo-
klasik, ya! Pernyataan GH benar. Namun, sayangnya ahistoris. Sebab,
kesimpulan ini hanya dideduksi dari imajinasi para ekonom neo-klasik
sendiri, termasuk GH, yang terlepas dari realitas historis.
Sejatinya, kapitalisme itu bukan sebuah keniscayaan, sebab dia adalah
ciptaan manusia dalam sejarah. Sebagai sebuah ciptaan dalam sejarah,
dia bukanlah sebuah keniscayaan seperti yang dipercayai oleh GH.
Kapitalisme bisa diubah dan dilenyapkan. Namun, cara melenyapkan tidak
harus seperti yang diserukan oleh GH bahwa kita harus menunggu
sampai kematangannya kelar. Jika kita mengikuti pemikiran GH ini secara
kaku, hal itu bertentangan dengan apa yang terjadi dalam sejarah.
Sebab, seharusnya sosialisme itu lahir di Eropa Barat yang kapitalisme
lebih matang dari Eropa Timur, seperti Rusia. Namun, semua orang tahu
bahwa negara sosialisme pertama di dunia lahir bukan di daerah di mana
kapitalisme itu sudah lebih matang, melainkan di Rusia, yang
kapitalismenya belum matang dan perkembangan ekonominya cukup
terbelakang kala itu. Adalah cukup aneh bagi saya, seorang aktivis
memiliki pemikiran seperti ini.[49]
Jika harus menunggu saja kehancuran kapitalisme seperti ini, lalu apalah
gunanya kerja aktivisme-mu?
Jangan-jangan tuduhan Amandus Klau dalam kolom Bentara Flores
Pos (5/1/2019), benar, bahwa para aktivis migrasi dan human
trafficking di NTT, seperti GH, hanya menjadikan kerja aktivisme-nya
sebagai ladang untuk memanen uang dan menumpuk kekayaan di tengah
penderitaan orang-orang yang sedang dibelanya. ***
.
.
(*) Tulisan ini adalah tanggapan untuk tulisan George Hormat atas artikel
saya berjudul “Ekonomi Politik Migrasi Internasional di NTT” di Flores Pos.
Sejatinya, saya telah mengirimkan artikel yang sama ini ke Flores
Pos pada tanggal 6 Februari 2019. Namun, karena satu dan lain hal, yang
tidak bisa saya ketahui, artikel tanggapan ini tidak diterbitkan oleh Flores
Pos. Sebagai bentuk penghormatan terhadap penanggap dan pembaca
yang terus menanyakan serentak menantikan balasan saya, saya mencari
jalan untuk mempublikasikan tulisan saya ini. Karena itu, saya patut
mengucapkan terima kasih banyak kepada Saudara Reinard L. Meo yang
bersedia mempublikasikan tulisan sederhana ini di Horizon Dipantara.
Tulisan ini sejatinya tidak banyak berbeda dengan tulisan yang saya
kirimkan ke Flores Pos. Namun, saya mengakui ada sedikit penambahan
beberapa kalimat di salah satu paragraf. Selain itu, dalam tulisan yang
diterbitkan oleh Horizon Dipantara ini, untuk tujuan pendidikan, saya
memasukan juga catatan kaki untuk semua sumber bacaan yang saya
pakai untuk tulisan ini agar pembaca yang ingin mempelajari apa yang
saya tulis lebih lanjut bisa langsung menengok ke sumber-sumber yang
dirujuk itu.
.
Tags AGENDA EKONOMI-POLITIK AKTIVISME HUMAN TRAFFICKINGKAPITALISME NALAR MIRING REFORMA
AGRARIA
PreviousMengetahui dan Memahami
NextCerpen: SURAT
Related Articles
6 comments
1.
George Hormat
Februari 16, 2019 at 4:46 pm
Saya tidak akan membuat artikel baru untuk merespon ini. Artikel ini hanya
kelihatan canggih karena meminjam banyak text dari luar. Pembaca
silakan memeriksa kembali rangkaian perdebatan sejak awal, dan dengan
mudah menangkap beta plin-plan dan sulit dipegang apa yang sedang
Emil bahas.
Yang Emil lakukan dalam artikel kedua ini hanya tiga: membubui dengan
banyak tuduhan aneh; mengutip pendapat para pakar yang ia anggap
benar dengan sendirinya tanpa terlebih dahulu ia uji; dan mengujinya
namun pada konteks masyarakat yang berbeda yaitu masyarakat di
kawasan persawahan yang sejak artikel tanggapan saya sudah saya kasih
warning agar waspada menjadikan masyarakat persawahan sebagai lensa
peneropong seluruh NTT. Dalam masyarakat persawahan, tanah sudah
benar-benar aset produktif; tanah bukan lagi milik kolektif suku.
Cara paling tepat bagi pembaca untuk memahami kondisi yang benar
adalah memetakan sendiri problem di desa masing-masing. Sila periksa
apakah yang menyebabkan orang-orang desa memilih merantau, lalu
pikirkan apakah redistribusi tanah bisa menjadi obat mujarab, panacea
yang mengakhiri problem-problem dalam masyarakat?
Emil
Februari 18, 2019 at 8:00 pm
Jika saya harus jujur, maka saya harus katakan bahwa tanggapan
GH di atas sangat miskin. Alangkah lebih baik jika tulisan di atas
dibalas dengan tulisan lain oleh GH. Kalau hanya menulis seperti
ini di kolom komentar, GH memalukan dirinya sendiri saya pikir.
Julukan penulis hebat pun runtuh seketika. Kasihan juga jika
demikian, hehe.
Balas
2.
Sipri Kantus
Februari 16, 2019 at 6:08 pm
Om Emil, terima kasih utk ulasan ini. Tulisan ini sangat bernas dan penuh
dedikasi utk msyarakat awam dlm problem agraria dan juga migrasi akibat
penetrasi kapitalisme dalam berupa wajah. Apresiasi utk geliat
kemanusiaan ini. Salam.
Balas
Emil
Februari 18, 2019 at 8:02 pm
3.
Yeris Meka
Februari 16, 2019 at 8:11 pm
Emil
Februari 18, 2019 at 8:04 pm
Tinggalkan Balasan
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Komentar
Nama *
Email *
Situs Web
Recent
Popular
Comments
Tags
Ande Folo: dari ‘Pesawat Tempur Inggris’ sampai ‘Kiri itu Tangan Cebok
Pantat’
April 18, 2018 6
Nalar Miring dalam Artikel ‘Fiktif’ Seorang Aktivis*
3 hari ago 6
Puisi-puisi Bruno Rey Pantola*
3 minggu ago 4
MC di Pesta-pesta Nikah (Panduan Bagi Para Pemula)
Juli 15, 2018 3
Suara Rakyat adalah Suara Medsos
Maret 12, 2018 3
Login
Remember Me
Popular Posts
Ande Folo: dari ‘Pesawat Tempur Inggris’ sampai ‘Kiri itu Tangan Cebok
Pantat’
April 18, 2018 6
Nalar Miring dalam Artikel ‘Fiktif’ Seorang Aktivis*
3 hari ago 6
Puisi-puisi Bruno Rey Pantola*
3 minggu ago 4
MC di Pesta-pesta Nikah (Panduan Bagi Para Pemula)
Juli 15, 2018 3
Suara Rakyat adalah Suara Medsos
Maret 12, 2018 3
Random Posts
‘Melegitimasi’ Politik Uang
Juli 2, 2018
Menantikan Debat yang Berkelas
Januari 17, 2019
Messi dan Tendangan Penalti
Juni 18, 2018
Perempuan dan Ketahanan Pangan
Maret 13, 2018
Puisi-puisi Theresia Avila*
1 hari ago
Cerpen: SURAT
1 hari ago
Nalar Miring dalam Artikel ‘Fiktif’ Seorang Aktivis*
3 hari ago
Mengetahui dan Memahami
5 hari ago
Cerpen: Dendam Musim Panen
1 minggu ago