Anda di halaman 1dari 125

PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS

PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR


DI PUSKESMAS

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat


ISBN 978-602-50133-1-7
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta Pusat 10310
Telp: (022) 31934379, Fax: (021) 3926603 Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
E-mail: kgm@bappenas.go.id Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas Kementerian PPN/Bappenas
Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta Pusat, 10310
2018
PENGUATAN
PELAYANAN
KESEHATAN DASAR
DI PUSKESMAS

PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


©2017 by Kementerian PPN/Bappenas

Dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Mendupikasi seluruh dan/atau


sebagian dari buku ini tanpa izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.

Penanggung Jawab : Dr. Ir. Subandi Sardjoko, M.Sc.


Tim Peneliti : Prof. dr. Ascobat Gani, M.P.H., Dr.P.H.
Zahrina, S.K.M.
Tim Penulis : Pungkas Bahjuri Ali, S.T.P., M.S., Ph.D.
Renova Glorya Montesori Siahaan, S.E., M.Sc.
Dewi Amila Solikha, S.K.M., M.Sc.
Inti Wikanestri, S.K.M., M.P.A.
Ardhiantie, S.K.M., M.P.H.
Dr. Entos, S.P., M.P.H.M.
Sidayu Ariteja, S.E., M.P.P.
Mohammad Dzulfikar Arifi, S.K.M.
Budiyono, S.K.M., M.K.M.
Ajeng Arumsari YP, S.Gz., M.K.M.
Ari Purwanto, S.Si.
Annisa Fitria, S.K.M.
Editor : Lilis Komariah, S.Gz.
Nurul Imani, S.K.M.

Cetakan I, Juli 2018


ISBN: 978-602-50133-1-7

Diterbitkan oleh
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan
Kementerian PPN/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603
Email: kgm@bappenas.go.id

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan


perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49
Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau denda pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,


atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

PENGUATAN PELAYANAN
KESEHATAN DASAR
DI PUSKESMAS

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT


KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA,
MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS
TAHUN 2018
KATA SAMBUTAN

P usat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang dikembangkan sejak


tahun 1968 merupakan fasilitas kesehatan terdepan dan ujung tombak
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar di tingkat masyarakat. Puskesmas
seharusnya menjadi salah satu kunci sukses Indonesia dalam meningkatkan
derajat kesehatan dan gizi masyarakat. Namun, sejak era desentralisasi, kinerja
Puskesmas mulai menurun. Beberapa capaian indikator utama status kesehatan
masyarakat stagnan dan penurunannya sangat lambat seperti Angka Kematian
Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Pelayanan Keluarga Berencana
(KB) juga menurun ditandai dengan contraceptive prevalence rate (CPR) yang
menurun. Fungsi utama Puskesmas yang mengedepankan upaya promotif dan
preventif, termasuk di dalamnya penjangkauan (outreach) kepada masyarakat
juga menurun di era JKN. Saat ini Puskesmas sangat fokus pada upaya kuratif.
Tantangan pembangunan kesehatan terus meningkat. Transisi demografi
yang ditunjukkan dengan meningkatnya proporsi penduduk produktif dan
penduduk lansia di masa depan, serta transisi epidemiologi dengan semakin
meningkatnya penyakit tidak menular, menuntut kesiapan Puskesmas dalam
memberikan pelayanan terdepan. Sementara itu, beberapa penyakit menular
belum teratasi dengan baik seperti tuberkulosis, malaria, dan HIV/AIDS.
Kesemuanya itu membutuhkan upaya promotif dan preventif yang merupakan
tugas utama Puskesmas.
Dengan berbagai tantangan tersebut, peran pelayanan kesehatan dasar
dan keberadaan Puskesmas sebagai provider utama masih tetap relevan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019,
meningkatkan akses pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas menjadi salah
satu arah kebijakan pembangunan kesehatan. Ke depan, peran Puskesmas
dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar harus terus diperkuat.
Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan Kajian Penguatan Pelayanan
Kesehatan Dasar di Puskesmas, K/L terkait, Pemerintah Daerah, Akademisi,
Organisasi Profesi, dan Organisasi Non-Pemerintah lainnya. Secara khusus,
apresiasi kepada Tim Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat-Bappenas

v
dan Tim Peneliti yang dipimpin oleh Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH.
Kami berharap hasil kajian ini dapat berkontribusi memecahkan masalah-
masalah operasional pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan
berguna sebagai masukan untuk RPJMN 2020-2024. Dengan demikian, upaya
peningkatan akses pelayanan kesehatan dasar berkualitas dapat tercapai.

Jakarta, Mei 2018

Subandi Sardjoko
Deputi Menteri Bidang Pembangunan,
Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan

vi
KATA PENGANTAR

P enguatan upaya kesehatan dasar (primary health care) yang berkualitas


merupakan salah satu arah kebijakan kesehatan dalam RPJMN 2015-2019.
Namun, akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar saat ini masih belum
menjangkau seluruh penduduk, terutama di daerah tertinggal, terpencil dan
kepulauan (DTPK). Sementara itu, tantangan pembangunan kesehatan terus
meningkat mencakup transisi demografi dan epidemiologi, serta perubahan
kebijakan dan tata kelola seperti desentralisasi, pelaksanaan JKN, dan
pemenuhan SPM. Pelayanan kesehatan dasar yang dilakukan oleh Puskesmas,
sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dasar, masih tetap relevan untuk
menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Oleh karena itu, perlu dirumuskan
kebijakan dan strategi penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas
melalui pelaksanaan Kajian Komprehensif Penguatan Pelayanan Kesehatan
Dasar di Puskesmas pada tahun 2017.
Buku ini disusun berdasarkan hasil kajian yang mencakup analisis kapasitas
dan kesiapan Puskesmas menjalankan peran dan fungsinya sesuai peraturan
yang berlaku dan dalam menghadapi berbagai tantangan strategis yang ada,
serta rumusan rekomendasi strategi kebijakan untuk penguatan pelayanan
kesehatan dasar ke depan. Adapun rekomendasi strategi penguatan pelayanan
kesehatan dasar di Puskesmas mencakup penegasan tugas pokok dan fungsi,
memperkuat kelembagaan, memperkuat SDM Puskesmas, meningkatkan
efektivitas pembiayaan, pengelolaan logistik obat dan alat kesehatan,
peningkatan manajemen dan mutu pelayanan Puskesmas, serta kebijakan
afirmasi bagi Puskesmas di DTPK.
Dalam jangka pendek, hasil kajian ini dapat segera memecahkan masalah-
masalah operasional pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas.
Dalam jangka menengah dan jangka panjang, hasil kajian ini berguna sebagai
masukan untuk merumuskan RPJMN 2020-2024.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah bekerja sama dan
membantu dalam penyusunan buku ini, Kementerian/Lembaga terkait,

vii
Pemerintah Daerah, lembaga non-pemerintah, para pakar dan akademisi,
mitra pembangunan, serta secara khusus kepada Prof. dr. Ascobat Gani, MPH.,
Dr.PH. sebagai principal investigator dan Sdri. Zahrina, SKM.

Jakarta, Mei 2018

Pungkas Bahjuri Ali


Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat

viii
DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v
KATA PENGANTAR. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii
DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ix
DAFTAR TABEL. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xi
DAFTAR GAMBAR. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xiii
RINGKASAN EKSEKUTIF. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xv
BAB I PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.1. Latar Belakang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.2. Tujuan.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.3. Manfaat Kajian. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.4. Ruang Lingkap. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.5. Hasil yang Diharapkan (output). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
1.6. Kerangka Kajian.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
1.7. Metodologi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
BAB II TINJAUAN LITERATUR. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11
2.1. Konsep Pelayanan Kesehatan Dasar. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.2. Pelayanan Kesehatan Dasar di Indonesia. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
2.3. Pusat Kesehatan Masyarakat.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
2.4. Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
BAB III ISU-ISU STRATEGIS. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27
3.1. Analisis Regulasi dan Hasil Studi Terdahulu. . . . . . . . . . . . . . . . 28
3.2. Tantangan Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas. . . . . . . . 30
3.3. Isu-Isu Strategis Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas. . . 37
BAB IV ANALISIS HASIL. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39
4.1. Tugas Pokok, Fungsi, dan Kewenangan Puskesmas. . . . . . . . . . . 40
4.2. Kelembagaan Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46
4.3. Sumber Daya Manusia Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 50
4.4. Pembiayaan Kesehatan di Puskesmas.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64
4.5. Logistik Farmasi dan Alat Kesehatan Puskesmas. . . . . . . . . . . . 66
4.6. Manajemen Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 69

ix
BAB V KESIMPULAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 75
5.1. Pelayanan Kesehatan Dasar.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 76
5.2. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). . . . . . . . . . . . . . . . . . 77
5.3. Saling Keterkaitan Enam Isu Strategis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 77
5.4. Tugas Pokok dan Fungsi Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 79
5.5. Kelembagaan Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 80
5.6. Sumber Daya Manusia Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 81
5.7. Farmasi dan Alat Kesehatan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 82
5.8. Pembiayaan Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 83
5.9. Manajemen Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 84
BAB VI REKOMENDASI KEBIJAKAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 85
6.1. Puskesmas sebagai Unit Strategis dalam Sistem Kesehatan
Nasional.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 86
6.2. Kebijakan Afirmasi untuk Puskesmas di Daerah Terpencil dan
Sangat Terpencil. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 86
6.3. Menegaskan Fungsi Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 87
6.4. Kelembagaan Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 91
6.5. Sumber Daya Manusia Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 92
6.6. Farmasi dan Alat Kesehatan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 94
6.7. Meningkatkan Efektivitas Pembiayaan.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 94
6.8. Peningkatan Manajemen dan Mutu Pelayanan Puskesmas. . . . 94
6.9.Pelatihan Puskesmas. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 95
DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 97

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Rincian Kegiatan PKM dan PKP.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16


Tabel 2.2. Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. . . . . . . . . . 17
Tabel 2.3. Jumlah Puskesmas Per Provinsi Tahun 2016. . . . . . . . . . . . . 21
Tabel 4.1. Situasi Ketenagaan Puskesmas di 7 Kabupaten, 2016. . . . . 50
Tabel 4.2. Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten
Situbondo. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57
Tabel 4.3. Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten
Toba Samosir. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 58
Tabel 4.4. Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten
Jeneponto. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59
Tabel 4.5. Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten
Maluku Tengah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 60
Tabel 4.6. Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten
Ngada. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 61
Tabel 4.7. Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten
Aceh Utara. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 62
Tabel 4.8. Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten
Majalengka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 63
Tabel 4.9. Perkembangan Besaran BOK untuk UKM di Puskesmas.. 65
Tabel 4.10.Kekosongan Tenaga Farmasi di Puskesmas 6 Kabupaten
(2016).. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 67
Tabel 4.11.Tahapan Kegiatan Siklus Manajemen Puskesmas. . . . . . . . 69
Tabel 6.1. Persamaan dan Perbedaan antara UKM dan UKP.. . . . . . . 89

xi
xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Bagan Kerangka Analisis Kajian. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7


Gambar 3.1. Ringkasan Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang
Puskesmas.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
Gambar 3.2. Bagan Isu Strategis Pelayanan Kesehatan Dasar di
Puskesmas.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37
Gambar 4.1. Laporan Pertanggungjawaban Administrasi Puskesmas.. 54
Gambar 4.2. Tim Nusantara Sehat di Puskesmas Waer, Kecamatan
Banda. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 56
Gambar 4.3. Cold Chain Minyak Tanah di Puskesmas Waer,
Kecamatan Banda.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 68
Gambar 5.1. Diagram Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar. . . . . . . 78

xiii
xiv
RINGKASAN EKSEKUTIF

P enguatan upaya kesehatan dasar (primary health care) yang berkualitas


merupakan salah satu arah kebijakan kesehatan dalam RPJMN 2015-
2019. Namun, akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar saat ini masih belum
menjangkau seluruh penduduk, terutama di daerah tertinggal, terpencil, dan
kepulauan. Pelayanan kesehatan dasar sangat diperlukan untuk pencapaian
target MDGs yang belum tercapai, Sustainable Development Goals (SDGs) 2030
dan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Keberhasilan pelayanan kesehatan
dasar yang utamanya promotif dan preventif akan mengurangi beban pelayanan
lanjutan.
Pelayanan kesehatan dasar yang juga disebut basic health services
terdiri dari beberapa jenis pelayanan kesehatan yang dianggap esensial
(sangat penting) untuk menjaga kesehatan seseorang, keluarga dan
masyarakat agar hidup produktif secara sosial dan ekonomi. World Health
Organization (WHO) (Technical Brief, 2008) menyatakan bahwa jenis-jenis
pelayanan tersebut ditetapkan atas dasar kondisi epidemiologi suatu negara.
WHO juga menyarankan bahwa jenis pelayanan tersebut harus sudah terbukti
cost effective, affordable, dan praktis untuk dilaksanakan. Di Indonesia, jenis
pelayanan dalam pelayanan kesehatan dasar mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan masalah kesehatan. Terdapat dua ketentuan yang
menetapkan jenis-jenis pelayanan dasar, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
43/2014 tentang Standar Pelayanan Minimum dan Peraturan Menteri
Kesehatan 75/2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jenis-jenis pelayanan
kesehatan dasar tersebut memerlukan pelayanan promotif, preventif, skrining,
kuratif, dan rehabilitatif yang harus diberikan secara komprehensif dan holistik
baik kepada kelompok masyarakat maupun individu, tidak bisa parsial (upaya
kesehatan masyarakat/UKM saja atau upaya kesehatan perorangan/UKP saja).
Puskesmas yang dikembangkan sejak tahun 1968 merupakan fasilitas
kesehatan terdepan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar.
Sampai tahun 2000, Puskesmas berada langsung di bawah pembinaan
Departemen Kesehatan pada saat itu. Puskesmas bersama Posyandu adalah
kunci sukses Indonesia dalam Program KB, imunisasi, perbaikan gizi balita
dan pemberantasan diare. Sejak era desentralisasi tahun 2000, Puskesmas

xv
diserahkan kepada pemerintah daerah. Pengembangan dan pembinaan
Puskesmas bervariasi dan tergantung pada komitmen dan kapasitas daerah.
Sejak itu, kinerja Puskesmas mulai menurun yang ditandai dengan contraceptive
prevalence rate (CPR) yang menurun, maternal mortality ratio (MMR) dan kurang
gizi balita yang stagnan. Sejak itu pula banyak Puskesmas tidak mempunyai SDM
sesuai standar. Kemudian, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan
pada tahun 2014 dan Puskesmas ditetapkan menjadi provider (FKTP) BPJS.
Sejak itu pula tenaga dan waktu staf Puskesmas tersita untuk melaksanakan
UKP bagi peserta BPJS, sedangkan kegiatan UKM terabaikan. Padahal banyak
jenis pelayanan kesehatan dasar merupakan UKM, diselenggarakan di tengah
masyarakat atau di luar gedung (Posyandu, pemberantasan vektor, sanitasi
lingkungan, dan promosi kesehatan).
Sementara itu, tantangan pembangunan kesehatan terus meningkat,
ditandai dengan transisi epidemiologi yaitu meningkatnya penyakit tidak
menular, sementara beberapa penyakit menular belum teratasi dengan baik
seperti tuberkulosis, malaria, HIV/AIDS, DBD, filariasis, diare, ISPA, dan kusta.
Pelayanan kesehatan dasar masih tetap relevan untuk menghadapi tantangan-
tantangan tersebut. Jumlah Puskesmas sampai dengan tahun 2017 adalah 9.767
Puskesmas, 2.277 Puskesmas terletak di daerah terpencil dan sangat terpencil.
Satu-satunya fasilitas pelayanan primer yang menyelenggarakan sekaligus
pelayanan kesehatan masyarakat (PKM) dan pelayanan kesehatan perorangan
(PKP) adalah Puskesmas. Uraian tersebut menunjukkan urgensi penguatan
pelayanan kesehatan dasar dan sekaligus Puskesmas sebagai penyedia
pelayanan kesehatan dasar tersebut.
Oleh sebab itu, Kajian Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar di
Puskesmas bertujuan untuk 1) menganalisis kapasitas dan kesiapan
Puskesmas menjalankan peran dan fungsinya sesuai regulasi/NSPK yang
berlaku dan menghadapi berbagai tantangan strategis yang ada; dan 2)
merumuskan strategi untuk penguatan pelayanan kesehatan dasar di
Puskesmas. Dalam jangka pendek, hasil kajian ini dapat segera memecahkan
masalah-masalah operasional pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar di
Puskesmas. Dalam jangka menengah dan panjang, hasil kajian berguna sebagai
masukan untuk merumuskan RPJMN 2020-2024. Metodologi kajian terdiri dari
pengumpulan data dan informasi melalui diskusi mendalam dan pertemuan
terfokus di pusat maupun daerah, studi literatur, publikasi, serta kunjungan
lapangan.

xvi
Hasil kajian menyimpulkan bahwa Puskesmas adalah “unit pelayanan
kesehatan” paling strategis dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
Puskesmas merupakan 1) satu-satunya unit pelayanan kesehatan yang output
kegiatannya sekaligus berkaitan dengan indikator-indikator program prioritas
seperti tercantum dalam SPM, PISPK dan SDGs; 2) pelayanan kesehatan
terdepan yang melakukan kebijakan paradigma sehat secara riil di lapangan;
3) instrumen pemerataan pelayanan kesehatan untuk seluruh penduduk; 4)
instrumen untuk mengurangi disparitas derajat kesehatan antara wilayah
dan instrumen untuk mewujudkan keadilan di bidang kesehatan; dan 5)
berperan besar mengurangi atau mencegah eskalasi biaya kesehatan, karena
pelayanan Puskesmas bersifat “intervensi hulu” dalam proses epidemiologi dan
patofisiologi gangguan kesehatan penduduk.
Puskesmas memiliki tugas pokok dan fungsi utama yaitu membina
kesehatan wilayah, melaksanakan UKM dan UKP, serta manajemen
Puskesmas. Sebagai pembina kesehatan wilayah, Puskesmas berkoordinasi
dengan klinik swasta yang melaksanakan pelayanan kesehatan dasar secara
parsial (utamanya UKP). Sejak era desentralisasi, banyak Puskemas tidak
memenuhi standar, terutama tenaga UKM. Hal ini diperparah dengan
adanya kebijakan moratorium pengangkatan PNS, kecuali dokter, perawat,
dan bidan. Kemudian, sejak JKN, beban kerja Puskesmas untuk UKP
meningkat signifikan. Fungsi Puskesmas bergeser dan tereduksi menjadi
“klinik pengobatan”. Dampak perubahan fungsi Puskesmas terhadap kinerja
UKM cukup memprihatinkan, seperti terlihat pada indikator program-program
UKM (cakupan imunisasi dan ASI ekslusif yang menurun, CPR KB dan CDR TB
stagnan, serta penurunan stunting pada balita tidak signifikan).
Di samping masalah SDM dan reduksi fungsi, masalah lainnya adalah (i)
obat dan alat kesehatan; (ii) pembiayaan; dan (iii) beban kerja administrasi
dan manajemen. Kekurangan atau kekosongan obat/alkes terutama di DTPK
disebabkan keterbatasan Puskesmas dan Dinas Kesehatan menyusun RKO
dan mengaplikasikan e-catalog atau hambatan jaringan untuk akses e-catalog.
Hambatan dari perspektif supplier adalah pengiriman yang tidak lancar,
ongkos kirim mahal, persyaratan “minimal order” yang tidak dipenuhi, obat
tidak masuk dalam e-catalog dan yang lebih fundamental adalah kekurangan
bahan baku (sebagian besar impor). Masalah pembiayaan yang utama adalah
keterlambatan realisasi DAK non-fisik dan dana kapitasi, yang di banyak daerah
baru dapat dicairkan setelah ada keputusan anggaran. Keterlambatan tersebut

xvii
cukup lama, antara April-Juli tahun berjalan (2017). Keterlambatan realisasi
DAK non-fisik merupakan salah satu faktor penyebab turunnya kinerja UKM.
Kinerja pelayanan juga dipengaruhi oleh beban administrasi, terutama laporan
kegiatan (SP2TP), SPJ DAK non-fisik dan laporan pelaksanaan JKN/BPJS
(P-Care). Pekerjaan tersebut dilaksanakaan oleh tenaga yang ada, mayoritas
adalah perawat dan bidan.
Dengan posisi Puskesmas yang sangat strategis, kebijakan penguatan
pelayanan kesehatan dasar dan Puskesmas harus menjadi prioritas ke
depan. Penguatan pelayanan kesehatan dasar masih tetap relevan untuk
meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan dasar saat ini dan di masa yang
akan datang. Penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas perlu tetap
dipertahankan dalam kebijakan pembangunan kesehatan dan menjadi prioritas
nasional dan daerah. Upaya penguatan Puskesmas harus tercantum dalam
kebijakan nasional dan daerah (RPJMN dan RPJMD).
Penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas tersebut harus
dilaksanakan secara komprehensif. Penguatan Puskesmas tidak boleh parsial
dan harus mencakup enam aspek, yaitu 1) perumusan tupoksi; 2) memperkuat
kelembagaan; 3) penguatan SDM; 4) penguatan pengelolaan obat dan alat
kesehatan; 5) penguatan pembiayaan; dan 6) penguatan manajemen Puskesmas.
(a) Penegasan tugas pokok dan fungsi Puskesmas. Fungsi Puskesmas
adalah pembina kesehatan wilayah, melaksanakan UKM dan UKP
secara komprehensif, didukung fungsi manajemen. Puskesmas adalah
perpanjangan tangan Dinas Kesehatan/Pemda untuk membina kesehatan
di wilayah kerjanya. Fungsi pembina kesehatan wilayah perlu diperjelas
dan dioperasionalkan dengan menyusun 1) konsep dan pengertian, serta
kegiatan spesifik pembinaan kesehatan wilayah; 2) petunjuk teknis/pedoman
pelaksanaan; 3) kejelasan mandat atau otoritas/kewenangan Puskesmas;
dan 4) sumber daya yang diperlukan. Perlu dicegah pemisahan atau
dikotomi antara UKM dan UKP karena keduanya secara empiris, teoretik,
dan regulasi adalah satu kesatuan pelayanan kesehatan yang komprehensif
dan holistik. Pemisahan UKM dan UKP bisa berdampak “diskriminasi”
terhadap pelaksana UKM, yang dapat menyebabkan penurunan kinerja
UKM, dan pada gilirannya akan memberikan beban besar pada UKP, dan
bahkan menggagalkan UKP.
(b) Memperkuat kelembagaan Puskesmas. Status kelembagaan Puskemas
adalah sebagai 1) UPT Dinas Kesehatan; 2) FKTP BPJS; dan 3) PPK-BLUD
(opsional). Ketiga status tersebut sudah cukup untuk pelaksanaan tupoksi
Puskesmas. Status sebagai PPK-BLUD sangat membantu meningkatkan

xviii
kinerja. Namun Puskesmas yang sudah PPK-BLUD masih sedikit dan
pertambahannya lamban karena persyaratan yang tidak mudah. Konversi
menjadi PPK-BLUD perlu dipercepat dengan dukungan komitmen Kepala
Daerah.
(c) Memperkuat SDM Puskesmas. Beberapa kebijakan untuk menjamin
kecukupan jenis dan jumlah SDM Puskesmas sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya adalah sebagai berikut:
• Mencabut moratorium pengangkatan tenaga esensial Puskesmas.
Kebijakan moratorium pengangkatan PNS perlu segera direvisi; yaitu
menambahkan pengecualian untuk (i) tenaga kesehatan masyarakat, (ii)
tenaga sanitarian, (iii) tenaga gizi, (iv) tenaga farmasi, dan (v) tenaga
lab-medis.
• Penambahan jenis tenaga Puskesmas. Permenkes-75/2014 perlu
diubah dengan menambahkan dua jenis tenaga lagi, yaitu 1) tenaga
manajemen/pelaporan keuangan; dan 2) tenaga pengelola sistem
informasi dengan latar belakang IT. Daerah dapat melengkapi kedua
jenis SDM tersebut melalui cara inovatif.
• Penyusunan rencana kebutuhan tenaga kesehatan daerah. Setiap
daerah melalui Dinas Kesehatan Kabupaten perlu menyusun rencana
kebutuhan dan pengelolaan tenaga kesehatan daerah. Dinas kesehatan
perlu diberi kemampuan untuk menyusun rencana kebutuhan tenaga
kesehatan kabupaten tersebut.
• Mengatasi maldistribusi tenaga Puskesmas. Maldistribusi tenaga
Puskesmas terjadi di semua daerah. Perbaikan masalah maldistribusi
ini perlu menjadi kebijakan di semua daerah, antara lain dengan
mengeluarkan Perbup tentang syarat-syarat pindah tempat kerja,
yang bisa dipakai oleh Kadinkes dan BKD dalam penempatan tenaga
Puskesmas.
• Kepemimpinan Puskesmas. Kepala Puskesmas adalah birokrat
pemerintah dengan kemampuan kepemimpinan spesifik, yaitu (i)
menerapkan peraturan penyelenggaraan urusan pemerintah di
bidang kesehatan di wilayah kerjanya; (ii) melaksanakan cara-cara
menggerakkan pranata atau mesin birokrasi, termasuk lintas sektor; (iii)
mampu menggerakkan pranata atau mesin sosial; dan (iv) memahami
dan melaksanakan tupoksi Puskesmas. Selain itu, pimpinan Puskesmas
perlu dibekali dengan wawasan spesifik, misalnya “wawasan bahari”
untuk daerah gugus pulau, kepemimpinan yang sesuai dengan “budaya
lokal”, dan lain-lain.

xix
• Pelatihan teknis. Pelatihan teknis pelayanan dan manajemen
dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan Puskesmas melaksanakan
tupoksinya. Dengan jumlah Puskesmas yang sangat banyak (sekitar
9.767 Puskesmas di 540 kab/kota), perlu dilaksanakan strategi pelatihan
berjenjang. Pertama, melakukan TOT untuk membentuk Tim Pelatih
Manajemen Puskesmas di setiap provinsi. Selanjutnya, Tim Pelatih
Provinsi melatih semua Dinkes kab/kota di wilayahnya untuk mampu
melatih dan memberikan bimbingan teknis kepada semua Puskesmas di
wilayah masing-masing.
(d) Meningkatkan efektivitas pembiayaan. Beberapa kebijakan dan intervensi
yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pembiayaan kesehatan
di tingkat daerah, khususnya Puskesmas, yaitu 1) peningkatan alokasi
anggaran Dinkes sebagai pembina Puskesmas, termasuk adanya sistem
remunerasi bagi staf Dinkes; 2) adanya jasa pelayanan untuk tenaga UKM
yang diintegrasikan dalam BOK; 3) sinkronisasi regulasi antara pusat dan
daerah terkait kebijakan tata kelola pembiayaan daerah; dan 4) penegasan
APBD kab/kota wajib mengalokasikan anggaran untuk pencapaian target
SPM di bidang kesehatan.
(e) Peningkatan manajemen dan mutu pelayanan Puskesmas. Cara efektif
untuk meningkatkan manajemen dan mutu pelayanan Puskesmas adalah
akreditasi Puskesmas. Pedoman pelaksanaan akreditasi Puskesmas sudah
ditetapkan. Daerah perlu memasukkan akreditasi Puskesmas dalam
Renstra Kesehatan masing-masing, dengan target akhir semua Puskesmas
di wilayah kerjanya terakreditasi.
Kebijakan afirmatif untuk SDM, obat, dan pembiayaan. Dengan posisi
yang sangat strategis dan vital, diperlukan terobosan untuk memperkuat
kapasitas Puskesmas. Tiga hal yang secara umum menghambat kinerja
Puskesmas, yaitu 1) kekurangan tenaga atau tenaga tidak sesuai standar; 2)
ketersediaan obat/vaksin/alkes dan BMHP (bahan medis habis pakai); dan
3) ketersediaan anggaran/dana secara tepat waktu. Ketiga masalah tersebut
dialami hampir oleh semua Puskesmas dan terutama Puskesmas di daerah
terpencil/sangat terpencil. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan
kebijakan afirmatif oleh Pemerintah Pusat mencakup (i) pengadaan dan
penempatan tenaga Puskesmas; (ii) pengadaan obat/alkes dan BMHP; dan
(iii) pengadaan biaya operasional Puskesmas. Kebijakan afirmatif ini paling
tidak dapat diberlakukan untuk memperkuat Puskesmas terpencil/sangat
terpencil. Untuk pengadaan tenaga, sudah dilaksanakan Program Nusantara
Sehat. Untuk pengadaan obat/alkes, dapat menggunakan model obat program

xx
nasional. Model tersebut bisa diperluas item-nya sesuai dengan kebutuhan
obat Puskesmas yang direncanakan melalui RKO dan Fornas. Untuk biaya
operasional, perlu dilakukan kajian khusus untuk menemukan cara paling tepat
untuk mencukupi biaya operasional Puskesmas, terutama dalam melaksanakan
UKM. Sebagai acuan, alokasi anggaran untuk biaya operasional Puskesmas bisa
mengacu pada penyaluran dana desa yang langsung ke desa-desa. Penyaluran
dana model dana desa tersebut perlu dilakukan untuk Puskesmas di daerah
terpencil/sangat terpencil.

xxi
xxii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak lama Indonesia sudah menerapkan strategi pelayanan kesehatan
primer dan esensial untuk mengatasi masalah kesehatan penduduk, termasuk
masalah ketidakmerataan derajat kesehatan dan akses pelayanan antarwilayah
dan antar-strata ekonomi. Strategi tersebut secara terstruktur dimulai dengan
pengenalan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1968, jauh
sebelum World Health Organization (WHO) mengeluarkan Deklarasi Alma
Ata pada tahun 1978 tentang Primary Health Care. Pada masa 1960-1980-an,
masalah kesehatan penduduk masih didominasi dengan angka fertilitas yang
tinggi (yang berkorelasi dengan kematian ibu dan bayi) serta berbagai macam
penyakit menular dan kurang gizi. Puskesmas didukung dengan Posyandu,
tercatat sebagai keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan cakupan keluarga
berencana (KB), imunisasi, dan gizi (penimbangan balita).
Sejak 1968 sampai 2000, Puskesmas dikelola dan dibina oleh pemerintah
pusat (Departemen Kesehatan). Pembangunan sarana, penempatan tenaga,
dan pengadaan obat untuk Puskesmas ditetapkan melalui Instruksi Presiden
(Inpres). Dengan sistem Inpres, distribusi Puskesmas merata hampir di setiap
kecamatan. Kebijakan berubah sejak pelaksanaan desentralisasi pada tahun
2000. Pengelolaan dan pembinaan Puskesmas diserahkan kepada pemerintah
daerah kabupaten/kota. Sejak itu, perkembangan Puskesmas bervariasi
tergantung pada komitmen dan kemampuan fiskal daerah. Permasalahan yang
menonjol adalah kekosongan atau kekurangan sumber daya manusia (SDM)
dibandingkan dengan standar SDM Puskesmas.
Sejak desentralisasi juga diamati kecilnya anggaran daerah untuk kegiatan
upaya kesehatan masyarakat (UKM). Hasil District Health Account (DHA)
menunjukkan bahwa sebagian besar belanja kesehatan daerah adalah untuk
belanja pelayanan kuratif (UKP), belanja barang modal dan belanja pegawai.
Belanja untuk pelayanan kesehatan masyarakat sangat kecil, itupun dibagi-bagi
untuk berbagai program kesehatan masyarakat termasuk imunisasi, gizi, KB,
malaria, TBC, HIV/AIDs, kesehatan lingkungan, dan lain-lain. Data tersebut
menjadi pertimbangan Kementerian Kesehatan untuk menyalurkan Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK) langsung ke Puskesmas. Kebijakan ini dimulai
pada tahun 2010 dan berlanjut sampai sekarang. Pada tahun 2016, dilakukan
modifikasi penyaluran dana BOK, yaitu melalui DAK non-fisik yang berarti
menjadi bagian dari APBD. Konsekuensinya, waktu realisasi BOK tergantung
pada mekanisme anggaran daerah.

2 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


Dalam era 1990, terjadi percepatan transisi epidemiologi mengikuti
transisi demografi (struktur umur penduduk semakin tua). Kemudian
pada periode 2000-2015, Indonesia turut meratifikasi target MDGs. Posisi
Puskesmas menjadi semakin penting, yaitu sebagai ujung tombak pelayanan
kesehatan menghadapi transisi epidemiologi, sarana terdepan untuk mencapai
target MDGs dan juga tetap sebagai instrumen untuk pemerataan pelayanan
kesehatan. Oleh sebab itu, dalam RPJMN 2015-2019, penguatan pelayanan
kesehatan dasar dan Puskesmas ditetapkan sebagai salah satu kebijakan dalam
pembangunan kesehatan.
Evaluasi pada tahun 2015, menunjukkan bahwa beberapa target MDGs
tidak tercapai, khususnya penurunan kematian ibu dan pengurangan stunting
pada balita. Sementara itu, penyakit tidak menular (PTM) dan cedera meningkat
signifikan, yang tidak hanya terjadi pada kelompok penduduk mampu dan
perkotaan, tetapi juga di kalangan penduduk sosio-ekonomi rendah dan di
pedesaan. Artinya, transisi epidemiologi terjadi di semua lapisan penduduk
dan semua wilayah (Riskedas 2007 dan 2013). Secara teoretis dan empiris,
baik kematian ibu, masalah gizi maupun masalah penyakit menular dan PTM,
memerlukan intervensi kesehatan masyarakat berupa pelayanan promotif
dan preventif dengan menggerakkan “mesin birokrasi” dan “mesin sosial”
(peran serta masyarakat). Peranan Puskesmas sangat sentral dan strategis
melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat tersebut.
Pada tahun 2014, Indonesia memulai pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia. JKN
menjamin pelayanan kesehatan secara komprehensif dan dikelola oleh satu
badan pengelola (single payer) yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) kesehatan. Puskesmas kemudian ditetapkan sebagai provider pelayanan
primer (FKTP) untuk BPJS dan dibayar melalui sistem kapitasi. BPJS kemudian
menetapkan beberapa kebijakan yang mempengaruhi kerja Puskesmas.
Pertama, Puskesmas diharapkan mampu melaksanakan pelayanan kesehatan
untuk 144 diagnosis penyakit. Kedua, BPJS menetapkan pembayaran kapitasi
berbasis pada komitmen kinerja (KBPK) yaitu 1) meningkatkan angka kontak
dengan peserta BPJS; 2) membatasi rujukan non-spesialistik; 3) melaksanakan
prolanis; dan 4) melakukan kunjungan rumah.
Untuk mendapat pembayaran kapitasi, Puskesmas harus mengisi
laporan Primary Care (P-care) yang menunjukkan kinerja KBPK tersebut. Dari
pengamatan dan laporan-laporan tentang kinerja Puskesmas, ternyata dengan
pelaksanan fungsi sebagai FKTP tersebut, ditambah dengan kurangnya

BAB I | PENDAHULUAN 3
tenaga Puskesmas untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat, telah
mempengaruhi kinerja upaya kesehatan masyarakat. Ini termasuk kegiatan di
Posyandu dan kegiatan promotif-preventif lainnya seperti kesling.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
• Puskesmas adalah strategi pelayanan primer (primary health care) untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan pelayanan dan disparitas derajat
kesehatan penduduk.
• Pada awalnya, pengembangan dan pengelolaan serta pembinaan Puskesmas
dilaksanakan secara sentralistis melalui Instruksi Presiden, sehingga
pemerataan Puskesmas ke setiap kecamatan dicapai dengan cepat.
• Puskesmas, bersama dengan Posyandu pernah menjadi kunci sukses
Indonesia dalam cakupan KB, imunisasi, dan gizi balita.
• Sejak desentralisasi, pengembangan Puskesmas bervariasi antara daerah,
tergantung pada komitmen, dan kemampuan fiskal daerah. Banyak
Puskesmas dengan SDM tidak sesuai standar serta kekurangan anggaran
untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat.
• Sementara itu, pembangunan kesehatan dihadapkan pada beberapa
tantangan termasuk:
(i) transisi epidemilogi ditandai dengan meningkatnya penyakit tidak
menular (PTM), sementara beberapa penyakit menular belum teratasi
dengan baik seperti TBC, malaria, HIV/AIDs, DBD, filariasis, diare, ISPA,
dan kusta (di tempat tertentu);
(ii) pelaksanaan JKN menuntut Puskesmas untuk meningkatkan kinerjanya
dalam pelayanan kuratif (UKP);
(iii) akses dan mutu pelayanan primer masih menjadi masalah di daerah
terpencil, kepulauan, dan perbatasan;
(iv) beberapa target MDGs tidak tercapai seperti penurunan kematian ibu,
stunting, dan case detection rate (CDR) TBC, sementara itu datang era
SDGs sejak 2016 dengan target-target kesehatan yang baru; dan
(v) Puskesmas tetap relevan sebagai jawaban terhadap tantangan-
tantangan tersebut.
Atas dasar tersebut, perlu disusun strategi untuk meningkatkan
kapasitas Puskesmas pada masa mendatang sehingga Puskesmas semakin
efektif berperan mengatasi berbagai masalah kesehatan, termasuk masalah
disparitas pelayanan dan derajat kesehatan. Untuk itu, dilakukan sebuah kajian
menyeluruh yang hasilnya diharapkan bisa menjadi dasar perumusan strategi
penguatan Puskesmas di masa yang akan datang, khususnya dalam kurun
waktu 2020-2024.

4 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


1.2. Tujuan
Tujuan umum kajian adalah untuk (i) menganalisis kapasitas dan kesiapan
Puskesmas dalam menjalankan peran dan fungsinya sesuai regulasi/NSPK
(norma, standar, prosedur dan kriteria) yang berlaku dan dalam menghadapi
berbagai tantangan strategis seperti transisi epidemiologi, implementasi
JKN, implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM), pendekatan keluarga,
serta gerakan masyarakat hidup sehat; dan (ii) merumuskan strategi untuk
penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas.
Secara khusus, tujuan kegiatan kajian ini antara lain
a. mengidentifikasi regulasi/NSPK yang mengatur peran dan fungsi Puskesmas
dan implikasinya;
b. mengetahui pelaksanaan peran dan fungsi Puskesmas dan jaringannya
dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar serta permasalahan yang
dihadapi;
c. menganalisis kapasitas Puskesmas berdasarkan standar Puskesmas
yang sudah ditetapkan dalam kebijakan dan peraturan yang ada (SDM,
pembiayaan, dan lain-lain);
d. mengidentifikasi isu-isu strategis berkaitan dengan kapasitas dan kesiapan
Puskesmas menghadapi berbagai tantangan pembangunan kesehatan; dan
e. merumuskan rekomendasi strategi yang komprehensif untuk penguatan
pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dalam menghadapi tantangan
dan mencapai tujuan pembangunan kesehatan.

1.3. Manfaat Kajian


Dalam jangka pendek, hasil kajian ini dapat segera memecahkan masalah-
masalah operasional pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas.
Dalam jangka menengah dan jangka panjang, hasil kajian ini berguna sebagai
masukan untuk merumuskan RPJMN 2020-2024.

1.4. Ruang Lingkup


Ruang lingkup kajian ini adalah tentang pelayanan kesehatan dasar dan
Puskesmas sebagai penyelenggaraannya. Aspek-aspek yang dikaji adalah
tentang tupoksi Puskesmas, status kelembagaannya, SDM, logistik obat, dan
alat kesehatan, pembiayaan serta manajemen Puskesmas. Secara khusus,
ruang lingkup kajian mencakup:

BAB I | PENDAHULUAN 5
a. Penyusunan desain dan kerangka kajian;
b. Identifikasi berbagai hasil penelitian terkait penguatan pelayanan kesehatan
dasar di Puskesmas yang telah ada;
c. Identifikasi dan review berbagai regulasi dan NSPK yang berlaku terkait
dengan pelayanan kesehatan dasar dan Puskesmas;
d. Identifikasi peran Puskesmas dan jaringannya dalam upaya pelayanan
kesehatan dasar;
e. Tahapan lain sesuai dengan kerangka kajian yang akan disusun;
f. Pendalaman substansi dan studi kasus di beberapa daerah, dengan
kriteria (1) daerah yang memiliki Puskesmas di wilayah daerah tertinggal
dan perbatasan; (2) daerah yang memiliki Puskesmas di wilayah daerah
kepulauan; dan (3) daerah yang memiliki Puskesmas di wilayah maju dan
nontertinggal; dan
g. Sintesis hasil dan perumusan strategi penguatan pelayanan kesehatan dasar
di Puskesmas.

1.5. Hasil yang Diharapkan (Output)


Keluaran (output) yang diharapkan dari kegiatan kajian ini adalah
1. Analisis situasi pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas;
2. Analisis isu strategis dan tantangan pelayanan kesehatan dasar di
Puskesmas;
3. Rekomendasi kebijakan dan strategi penguatan pelayanan kesehatan dasar
di Puskesmas pada berbagai aspek reformasi pelayanan kesehatan dasar
(Primary Health Care Reform), mencakup antara lain aspek pembiayaan
kesehatan, kebijakan kesehatan, kepemimpinan dan manajemen pelayanan
kesehatan; dan
4. Ringkasan kebijakan.

1.6. Kerangka Kajian


Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar sudah menjadi
kebijakan nasional sejak lama, utamanya sejak Puskesmas diperkenalkan pada
tahun 1968 sebagai fasilitas terdepan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan dasar. Sepuluh tahun kemudian, WHO juga menyarankan strategi
tersebut untuk mengurangi disparitas derajat kesehatan dan ketidakmerataan
akses terhadap pelayanan kesehatan (Deklarasi Alma Ata, 1978). Di Indonesia,
saat ini terdapat sejumlah 9.767 Puskesmas yang telah ditetapkan tugas pokok
dan fungsinya serta standar organisasi dan tata laksananya (SOTK). Beberapa

6 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


regulasi dan kebijakan juga mengatur keberadaan dan operasional Puskesmas,
yaitu tentang status kelembagaan Puskesmas, termasuk dukungan yang perlu
diberikan oleh tingkat daerah, provinsi dan nasional.
Dalam menjalankan fungsinya, Puskesmas menghadapi berbagai
tantangan baik eksternal maupun internal, termasuk transisi epidemiologis,
ekspektasi yang semakin tinggi terhadap Puskesmas sebagai instrumen
mengatasi disparitas dan ketertinggalan dalam beberapa indikator kesehatan.
Ekspektasi yang tinggi juga diharapkan dari Puskesmas sebagai penyedia
pelayanan bagi peserta JKN/BPJS. Namun beberapa regulasi dan mekanisme
tata kelola pemerintahan bisa juga menghambat kinerja Puskesmas. Semua
hal di atas perlu menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan dan
strategi penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas. Hal-hal yang
dikemukakan di atas menggambarkan kerangka konsep kajian komprehensif
ini, seperti digambarkan dalam diagram berikut.
Gambar 1.1 Bagan Kerangka Analisis Kajian

1.7. Metodologi
Berdasarkan kerangka kajian di atas, metode kajian adalah sebagai berikut:
a. Studi Literatur
Studi literatur yang mencakup review atas regulasi dan hasil-hasil studi
berkaitan dengan Puskesmas dilakukan untuk mendapatkan gambaran

BAB I | PENDAHULUAN 7
antara lain regulasi yang berlaku, kriteria Puskesmas yang berlaku, penelitian
yang telah ada, dan lainnya. Banyak UU dan peraturan yang secara langsung
atau tidak langsung mengatur tentang Puskesmas; termasuk mengatur
tugas pokok dan fungsi Puskesmas, status kelembagaannya, standar tenaga
dan sarana, serta proses manajemen yang harus dilakukan oleh Puskesmas.
Kemudian banyak pula studi-studi atau proyek yang telah dilakukan untuk
mengkaji aspek tertentu tentang Puskesmas. Kajian terhadap regulasi dan
hasil-hasil studi/proyek tersebut membantu identifikasi isu-isu strategis
yang penting untuk merumuskan kebijakan peningkatan kinerja Puskesmas
pada masa yang datang.
b. Serial Diskusi/Workshop di Tingkat Pusat
Serial diskusi dalam rangka diskusi mendalam di tingkat pusat dilakukan
secara terfokus dengan melibatkan narasumber yang memiliki kompetensi
dan kepakaran dalam bidang pembangunan di bidang kesehatan masyarakat
dan kebijakan publik. Isu-isu strategis yang diidentifikasi dari telaahan
regulasi dan laporan studi/proyek seperti disebutkan di atas kemudian
dibahas satu per satu secara mendalam di tingkat pusat. Diskusi mendalam
di pusat melibatkan stakeholders kunci sesuai dengan isu strategis yang
dibahas. Diskusi didahului dengan pemaparan aspek regulasi dan standar
yang berlaku tentang Puskesmas. Dilanjutkan dengan diskusi tentang
adanya kesenjangan antara regulasi/standar dengan implementasi di
lapangan serta masalah-masalah yang terjadi dalam operasional Puskesmas.
c. Kunjungan Lapangan/Workshop di Tingkat Daerah
Untuk mendapatkan data yang lebih lengkap, dilakukan kunjungan ke
beberapa daerah, yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan
wilayah (Jawa, Sumatra, Sulawesi, NTT dan Maluku). Daerah yang
dikunjungi adalah 1) Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Situbondo; 2)
Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Toba Samosir; 3) Provinsi Sulawesi
Selatan dan Kabupaten Jeneponto; 4) Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
Kabupaten Ngada; dan 5) Provinsi Maluku dan Kabupaten Maluku Tengah.
Di kelima daerah tersebut dilakukan diskusi mendalam dalam tiga jenjang,
yaitu 1) diskusi mendalam dengan beberapa Puskesmas terpilih; 2) diskusi
mendalam pada tingkat kabupaten melibatkan wakil dari Dinas Kesehatan,
Bappeda, RSUD, Dinas Sosial dan dinas lain yang terkait; dan 3) diskusi
mendalam di tingkat provinsi dengan Bappeda dan Dinas Kesehatan
Provinsi.

8 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


d. Kunjungan ke Puskesmas Terpilih (Mini Survei)
Kunjungan langsung ke Puskesmas dilakukan untuk menggali data dan
informasi yang lebih komprehensif di tingkat puskemas, serta melihat
langsung kondisi Puskesmas di lapangan. Selain itu, di beberapa lokasi
dilakukan kunjungan ke Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) dan Puskesmas
Pembantu (Pustu).
e. Analisis Kajian
Semua pembicaraan dalam diskusi dibuatkan transkripnya, kemudian
dilakukan “analisis isi (content analysis)” untuk menemukan hal-hal yang
dianggap penting untuk memperkuat pelaksanaan pelayanan dasar di
Puskesmas. Selanjutnya dilakukan triangulasi hasil review regulasi dan studi
dan hasil diskusi mendalam tersebut di atas untuk merumuskan suatu
kesimpulan. Data yang digunakan dalam analisis adalah data sekunder dan
data primer yang dikumpulkan melalui diskusi mendalam di tingkat pusat
dan daerah. Data sekunder termasuk sejumlah peraturan perundangan
tentang pelayanan kesehatan dasar dan Puskesmas, laporan hasil studi dan
proyek yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dasar dan Puskesmas,
data situasi ketenagaan Puskesmas dari Badan PPSDM Kemenkes, serta
data BPS. Data primer diperoleh melalui proses diskusi mendalam di tingkat
pusat, tingkat provinsi dan kabupaten, serta Puskesmas.
f. Diseminasi Hasil Kajian
Diseminasi hasil kajian dilakukan untuk menyampaikan hasil (temuan dan
analisis) kajian kepada seluruh stakeholders terkait.

BAB I | PENDAHULUAN 9
10 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1. Konsep Pelayanan Kesehatan Dasar
Dalam rangka mengatasi ketidakmerataan derajat kesehatan dan akses
pelayanan kesehatan di dunia, World Health Organization (WHO) dalam
Deklarasi Alma Ata tahun 1978 merekomendasikan dua strategi, yaitu agar setiap
negara (i) melakukan pendekatan pelayanan primer (Primary Health Care); dan (ii)
menyusun suatu Sistem Kesehatan Nasional. Dalam deklarasi tersebut, Primary
Health Care (PHC) diterjemahkan sebagai sejumlah “pelayanan kesehatan
esensial yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, dapat diterima
secara sosial, dapat diakses oleh setiap individu/keluarga, diselenggarakan
dengan peran serta masyarakat, secara ekonomis dapat ditanggung oleh
masyarakat dan negara, disertai dengan semangat kemandirian (self reliance
and self-determintation).” Primary Health Care merupakan tingkat pertama
kontak individu, keluarga, dan masyarakat dengan sistem kesehatan nasional
sehingga membawa pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan tempat
tinggal maupun tempat kerja.
Beberapa definisi terkait pelayanan kesehatan dasar adalah sebagai
berikut (Laura K. Muldoon, William E. Hogg dan Miriam Levitt, 2006):
1. Pelayanan kesehatan dasar merupakan pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan merupakan kontak pertama penduduk dengan sistem
pelayanan kesehatan, mencakup kegiatan promotif dan preventif, penilaian
kesehatan (assessments), diagnosis dan pengobatan untuk kondisi akut dan
kronis, serta pelayanan rehabilitasi (Ontario Health Services Restructuring
Commission, Primary Health Care Strategy (OHSRC), 1999).
2. Pelayanan kesehatan dasar didefinisikan sebagai seperangkat layanan
tingkat pertama yang dapat diakses secara universal yang mempromosikan
kesehatan, pencegahan penyakit, dan memberikan layanan diagnostik,
kuratif, rehabilitatif, suportif, dan paliatif (Canadian Health Services Research
Foundation (CHSRF), 2003).
3. Pelayanan kesehatan dasar mengacu pada pendekatan terhadap kesehatan
dan spektrum layanan di luar sistem pelayanan kesehatan tradisional,
mencakup semua layanan yang berperan dalam kesehatan, seperti
pendapatan, perumahan, pendidikan, dan lingkungan (Health Canada
(HC)).
4. Pelayanan kesehatan dasar terdiri dari banyak komponen yang mencakup
1) kombinasi pelayanan kesehatan berkualitas tinggi dan layanan kesehatan
lainnya seperti pencegahan penyakit dan pendidikan kesehatan; 2) layanan
disediakan tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk masyarakat

12 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


secara keseluruhan, termasuk program kesehatan masyarakat yang
berhubungan dengan epidemi, memperbaiki kualitas air atau udara, atau
program promosi kesehatan yang dirancang untuk mengurangi risiko yang
berkaitan dengan tembakau, alkohol, dan penyalahgunaan material; 3)
layanan diatur sedemikian sehingga memenuhi kebutuhan dan karakteristik
populasi yang dilayani, baik sekelompok orang yang tinggal di wilayah
tertentu (pendekatan teritorial) atau sekelompok orang yang termasuk
dalam kelompok sosial atau budaya tertentu (pendekatan populasi); 4)
kerja sama tim dan kolaborasi antar-disiplin ilmu diharapkan dari penyedia
layanan kesehatan, baik yang bekerja di organisasi pelayanan kesehatan
primer atau berpartisipasi dalam jaringan penyedia layanan; 5) pelayanan
tersedia selama 24 jam dalam sehari dan tujuh (7) hari dalam seminggu;
dan 6) pengambilan keputusan didesentralisasikan ke organisasi berbasis
masyarakat untuk memastikan bahwa layanan disesuaikan dengan
kebutuhan dan karakteristik populasi yang dilayani dan bahwa masyarakat
dapat dimobilisasi untuk mencapai sasaran kesehatan yang secara langsung
mempengaruhi komunitas mereka. Tujuan utama pelayanan kesehatan
dasar adalah untuk secara signifikan meningkatkan pentingnya pelayanan
pertama dan mereka yang memberikan layanan tersebut (Commission on
the Future of Health Care in Canada, 2002).
Dengan banyaknya definisi terkait pelayanan kesehatan dasar, definisi
yang menjadi acuan global adalah definisi yang dikeluarkan oleh WHO.
Berdasarkan definisi tersebut, kata kunci dalam definisi pelayanan kesehatan
dasar (primary health care/PHC) adalah
(1) Ilmiah;
(2) Acceptable secara sosial;
(3) Accessible (terjangkau);
(4) Peran serta masyarakat;
(5) Affordable secara ekonomis; dan
(6) Semangat kemandirian (self reliance).
Sejumlah “pelayanan kesehatan esensial” tersebut sering juga disebut
“pelayanan dasar (juga disebut basic health services) yang terdiri dari beberapa
jenis pelayanan kesehatan yang dianggap esensial (sangat penting) untuk
menjaga kesehatan seseorang, keluarga dan masyarakat agar hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Esensial berarti (i) kalau pelayanan tersebut
disediakan akan memberikan daya ungkit maksimum meningkatkan derajat
kesehatan dan sebaliknya; dan (ii) kalau tidak disediakan akan memberikan
dampak paling negatif terhadap status kesehatan penduduk.

BAB II | TINJAUAN LITERATUR 13


World Health Organization (Technical Brief, 2008) menyatakan bahwa
jenis-jenis pelayanan tersebut ditetapkan atas dasar kondisi epidemiologi
suatu negara. WHO juga menyarankan bahwa jenis pelayanan tersebut harus
sudah terbukti cost effective, affordable, dan praktis untuk dilaksanakan. Jenis-
jenis yang disarankan termasuk sebagai berikut:
1) Pengobatan penyakit-penyakit umum dan cedera;
2) Pelayanan gigi;
3) Penyediaan obat esensial;
4) Laboratorium dasar dan radiologi;
5) Upaya kesehatan sekolah;
6) Vaksinasi: TBC, hepatitis-B, polio, difteri, tetanus, pertusis, dan campak;
7) Antenatal care (ANC);
8) Penimbangan balita dan penanganan kurang gizi;
9) Pengobatan diare pada anak;
10) Pengendalian penyakit menular;
11) Pendidikan kesehatan;
12) Kesehatan lingkungan; dan
13) Keamanan makanan (food safety).
Pelayanan kesehatan dasar dalam perkembangannya, baik di tingkat
nasional maupun global, bukanlah suatu konsep yang statis. Penetapan
pelayanan kesehatan dasar didasarkan pada kebutuhan pelayanan kesehatan
yang dipengaruhi oleh dinamika masalah kesehatan (the dynamic of health
needs). Masalah kesehatan berkembang dan berubah mengikuti perubahan
epidemiologi kesehatan penduduk. Sementara itu, epidemiologi kesehatan
penduduk berubah menurut dinamika interaksi host-agent-environment. Dari
perspektif host (penduduk), terjadi transisi epidemiologi yang dipengaruhi
struktur umur penduduk (semakin tua) dan perilaku hidup (life style). Dari
perspektif agent, terjadi perubahan terus menerus penyebab gangguan
kesehatan yaitu kuman, virus, parasit, bahan beracun atau berbahaya dan ruda-
paksa (cedera). Demikian juga, perspektif environment juga terus berubah:
perubahan iklim (climate change), lingkungan biologis (vektor penyakit) dan
lingkungan sosial budaya (ketahanan keluarga, sosial dan budaya). Oleh sebab
itu, pelayanan kesehatan dasar senantiasa perlu di-review untuk menjaga
relevansinya dengan interaksi host-agent-environment tersebut di atas.
Namun, Laevel and Clark (1968) menegaskan bahwa apapun perubahan
tersebut, pelayanan kesehatan dasar haruslah komprehensif, mulai dari (1)
pelayanan promotif; (2) pelayanan preventif; (3) pelayanan skrining (diagnosis
dini dan pengobatan segera); (4) pengobatan dan perawatan (kuratif); dan

14 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


(5) rehabilitatif, yang dilaksanakan secara holistik-eklektik (Kusumanto
Setyonegoro, 1968). Menurut Laevel & Clark, tidak ada satu penyakit pun
(gangguan kesehatan) yang tidak memerlukan kelima jenis atau jenjang pelayanan
tersebut. Tidak ada fragmentasi dan/atau dikotomi antara kelima jenjang
pelayanan tersebut dalam mengatasi masalah kesehatan.

2.2. Pelayanan Kesehatan Dasar di Indonesia


Di Indonesia, pelayanan kesehatan dasar mengalami perkembangan yang
dinamis dari waktu ke waktu. Pertama adalah “18 program pokok” yang harus
dilaksanakan oleh Puskesmas. Beberapa di antara program pokok tersebut
adalah pelayanan dasar. Kedelapan belas program pokok tersebut adalah
sebagai berikut:
(1) Program kesehatan ibu dan anak (KIA);
(2) Program keluarga berencana (KB);
(3) Program gizi;
(4) Program pengobatan;
(5) Program pemberantasan penyakit;
(6) Program kesehatan lingkungan;
(7) Program perawatan kesehatan masyarakat;
(8) Program usaha kesehatan sekolah (UKS);
(9) Program usia lanjut (Usila);
(10) Program kesehatan kerja;
(11) Program kesehatan gigi dan mulut;
(12) Program kesehatan jiwa;
(13) Program kesehatan mata;
(14) Program penyuluhan kesehatan masyarakat;
(15) Program penanganan gawat darurat;
(16) Program kesehatan olahraga;
(17) Program laboratorium sederhana; dan
(18) Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP).
Ke-18 pelayanan tersebut dikelompokkan menjadi tiga (3), yaitu (i)
pelayanan pengobatan; (ii) pelayanan kesehatan masyarakat; dan (iii) sistem
informasi untuk menunjang pelayanan.
Kedua, adalah lima jenis pelayanan yang diselenggarakan oleh Puskesmas
secara terpadu dalam mendukung kegiatan Posyandu. Lima pelayanan tersebut
adalah 1) KB; 2) KIA (antenatal care, imunisasi tetanus toksoid (TT), pil besi dan

BAB II | TINJAUAN LITERATUR 15


nasihat gizi); 3) Imunisasi bayi/balita; 4) Gizi (distribusi kartu menuju sehat
(KMS)), penimbangan, pemberian makanan tambahan (PMT) penyuluhan dan
PMT pengobatan; dan 5) pengobatan diare, utamanya pemberian oralit.
Ketiga, dalam Permenkes No.75/2014 ditetapkan 23 jenis pelayanan
yang dilakukan oleh Puskesmas, terdiri dari enam (6) pelayanan kesehatan
masyarakat (PKM) esensial, delapan (8) PKM pengembangan dan sembilan (9)
pelayanan kesehatan perorangan (PKP). Tidak semua jenis pelayanan tersebut
bersifat esensial dasar.
Tabel 2.1 Rincian Kegiatan PKM dan PKP
Pelayanan Kesehatan Masyarakat (PKM) Pelayanan Kesehatan
Perorangan (PKP)
PKM Esensial PKM Pengembangan
1. Pelayanan promosi 1. Pelayanan kesehatan jiwa 1. Pelayanan
kesehatan termasuk UKS 2. Pelayanan kesehatan gigi pemeriksaan umum
2. Pelayanan kesehatan masyarakat 2. Pelayanan kesehatan
lingkungan 3. Pelayanan kesehatan gigi dan mulut
3. Pelayanan KIA dan KB tradisional komplementer 3. Pelayanan KIA/KB
yang bersifat PKM 4. Pelayanan kesehatan yang bersifat PKP
4. Pelayanan gizi yang olahraga 4. Pelayanan Gawat
bersifat PKM 5. Pelayanan kesehatan Darurat
5. Pelayanan pencegahan indra 5. Pelayanan gizi yang
dan pengendalian 6. Pelayanan kesehatan bersifat PKP
penyakit lansia 6. Pelayanan persalinan
6. Pelayanan keperawatan 7. Pelayanan kesehatan 7. Pelayanan Rawat
kesehatan masyarakat kerja Inap (di Puskesmas
8. Pelayanan kesehatan perawatan)
lainnya sesuai kebutuhan 8. Pelayanan
kefarmasian
9. Pelayanan
laboratorium
Sumber: Permenkes No.75/2014 tentang Puskesmas

Keempat, dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan


bahwa daerah bertanggung jawab melaksanakan sejumlah pelayanan dasar
yang disebut Standar Pelayanan Minimal (SPM). Standar Pelayanan Minimal
meliputi enam bidang dan untuk bidang kesehatan ada 12 pelayanan yang
dimasukkan sebagai SPM kesehatan. Sebelum ditetapkannya Peraturan
Pemerintah (PP) No.2/2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, SPM bidang
kesehatan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.
43/2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Sebagian besar
kegiatan dalam SPM adalah upaya kesehatan masyarakat yang dilaksanakan di
luar gedung dan memerlukan keterlibatan aparat kecamatan dan desa, serta
keterlibatan masyarakat.

16 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


Tabel 2.2 Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
No Jenis Layanan Mutu Layanan Penerima Standar
Dasar Dasar Layanan
Dasar
1. Pelayanan Sesuai standar Ibu hamil Setiap ibu hamil
kesehatan ibu pelayanan mendapatkan pelayanan
hamil antenatal ANC standar
2. Pelayanan Sesuai standar Ibu bersalin Setiap ibu bersalin
kesehatan ibu pelayanan mendapatkan
bersalin persalinan pertolongan persalinan
sesuai standar
3. Pelayanan Sesuai standar Bayi baru Setiap bayi baru lahir
kesehatan bayi pelayanan bayi lahir mendapat pelayanan
baru lahir baru lahir sesuai standar
4. Pelayanan Sesuai standar Anak balita Setiap balita mendapat
kesehatan balita pelayanan pelayanan kesehatan
kesehatan balita sesuai standar
5. Pelayanan Sesuai standar Anak usia Setiap anak usia
kesehatan pada skrining pendidikan pendidikan dasar
usia pendidikan kesehatan usia dasar mendapat skrining
dasar pendidikan dasar kesehatan sesuai standar
6. Pelayanan Sesuai standar Warga Setiap WNI usia 15-59
kesehatan pada skrining Negara tahun mendapat skrining
usia produktif kesehatan usia Indonesia kesehatan sesuai standar
produktif usia 15-59
tahun
7. Pelayanan Sesuai standar WNI usia 60 Setiap WNI usia 60
kesehatan pada skrining tahun keatas tahun ke atas mendapat
usia lanjut kesehatan usia skrining kesehatan sesuai
lanjut standar
8. Pelayanan Sesuai standar Penderita Setiap penderita
kesehatan pelayanan hipertensi hipertensi mendapat
penderita penderita yankes sesuai standar
hipertensi hipertensi
9. Pelayanan Sesuai standar Penderita Setiap penderita DM
kesehatan pelayanan diabetes mendapat pelayanan
penderita penderita mellitus kesehatan sesuai standar
diabetes diabetes mellitus
mellitus
10. Pelayanan Sesuai standar Penderita Setiap ODGJ mendapat
kesehatan pelayanan ODGJ (orang pelayanan kesehatan
orang dengan kesehatan jiwa dengan sesuai standar
gangguan jiwa gangguan
jiwa) berat

BAB II | TINJAUAN LITERATUR 17


No Jenis Layanan Mutu Layanan Penerima Standar
Dasar Dasar Layanan
Dasar
11. Pelayanan Sesuai standar Penderita TB Setiap penderita TB
kesehatan orang pelayanan TB mendapat yankes sesuai
dengan TB standar
12. Pelayanan Sesuai standar Orang Setiap orang beresiko
kesehatan orang mendapatkan beresiko terinfeksi HIV mendapat
dengan risiko pemeriksaan terinfeksi pemeriksaan HIV sesuai
terinfeksi HIV HIV HIV standar
Sumber: PP No.2/2018 tentang Standar Pelayanan Minimal

Kelima, dalam rangka menerapkan paradigma pendekataan keluarga,


Kemenkes menetapkan kebijakan Program Indonesia Sehat melalui Pendekatan
Keluarga (PISPK). Bentuk pelaksanaan program ini adalah kunjungan rumah
oleh staf Puskesmas dan melakukan pencatatan tentang beberapa masalah
kesehatan penting yang terdiri dari 12 indikator sebagai berikut:
(1) PUS dalam rumah tangga tersebut sudah menjadi akseptor KB;
(2) Persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan;
(3) Balita sudah mendapat imunisasi lengkap;
(4) Bayi diberikan ASI ekslusif;
(5) Anak balita ditimbang untuk pemantauan gizi dan pertumbuhannya;
(6) Penderita TBC diobati;
(7) Penderita hipertensi diobati;
(8) Penderita gangguan jiwa dipelihara oleh keluarga tersebut;
(9) Tidak ada anggota keluarga yang merokok;
(10) Mempunyai akses terhadap air bersih;
(11) Memiliki jamban; dan
(12) Menjadi peserta JKN.
Dengan melaksanakan PISPK, Puskesmas mendapat peta masalah
kesehatan di tingkat keluarga. Informasi ini berguna bagi Puskesmas untuk
perencanaan dan pelaksanaan pelayanan kesehatan.

18 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


2.3. Pusat Kesehatan Masyarakat
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah fasilitas pelayanan kesehatan
terdepan yang dibangun oleh pemerintah pada tahun 1968, yaitu 10 tahun
sebelum Deklarasi Alma Ata pada tahun 1978. Pada tahun 1975, untuk
mempercepat pemerataan pelayanan kesehatan, pembangunan Puskesmas
ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres), yaitu satu Puskesmas di setiap
kecamatan. Inpres Puskesmas diikuti dengan Inpres dokter dan SDM lainnya
dan Inpres obat. Dengan demikian, Puskesmas adalah unit pelayanan kesehatan
terdepan yang langsung di bawah koordinasi dan pembinaan pemerintah pusat,
yaitu Departemen Kesehatan (nomenklatur Kementerian Kesehatan pada saat
itu).
Puskesmas pada waktu itu juga diperkuat dengan pedoman perencanaan
dan manajemen yaitu
(1) Microplanning, yaitu pedoman penyusunan rencana 5 tahunan;
(2) Perencanaan program tahunan;
(3) Minilokakarya, yaitu penyusunan rencana kegiatan semacam plan of action;
(4) SP2TP, pedoman sistem informasi Puskesmas terpadu yang copy-nya dikirim
ke (i) Dinas Kesehatan kabupaten/kota; (ii) Dinas Kesehatan provinsi; dan
(iii) Departemen Kesehatan; dan
(5) Stratifikasi Puskesmas, pedoman untuk menilai (evaluasi) kinerja Puskesmas.
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk memperluas jangkauan
pelayanan kesehatan, dibangun Puskesmas Pembantu (Pustu) di bawah
koordinasi dan pembinaan Puskesmas. Jumlah Pustu sesuai dengan kebutuhan
wilayah kerja Puskesmas (Kecamatan). Di samping Pustu, Puskesmas juga
diperkuat dengan Puskesmas Keliling (Pusling) berupa kendaraan roda empat
(4) (di beberapa daerah berupa kapal/perahu).
Pada tahun 1984, untuk mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak,
dikembangkan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu). Posyandu adalah pos
pelayanan kesehatan yang dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat,
jadi bukan bagian dari pelayanan milik pemerintah. Akan tetapi, Puskesmas
memberikan dukungan untuk lima jenis pelayanan esensial secara terpadu,
yaitu (i) KIA; (ii) KB; (iii) imunisasi; (iv) gizi; dan (v) pengobatan diare. Sampai
akhir tahun 1999, sebelum kebijakan desentralisasi dilaksanakan, kebijakan
Puskesmas, Pustu, Pusling, dan Posyandu, ditambah dengan program KB
nasional yang intensif, berhasil meningkatkan cakupan KB, cakupan imunisasi
dan cakupan penimbangan balita. Keberhasilan tersebut mendapat apresiasi
banyak negara dan Indonesia sering menjadi tempat studi banding dan bahkan
memberikan pelatihan kepada negara lain, utamanya bagi negara-negara
berkembang.

BAB II | TINJAUAN LITERATUR 19


Pada tahun 1992, kebijakan penempatan dokter Puskesmas melalui Inpres
(wajib kerja sarjana) dihentikan dan diganti dengan pengangkatan dokter
PTT (Pegawai Tidak Tetap), disertai dengan penempatan bidan di desa (juga
sebagai PTT). Kemudian pada tahun 2000, Indonesia menerapkan kebijakan
desentralisasi. Sejak itu, Puskesmas diserahkan kepada pemerintah daerah
(kabupaten/kota) dan Puskesmas menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas
Kesehatan. Sejak itu pula, pengelolaan dan pembinaan Puskesmas sangat
tergantung pada komitmen dan kemampuan fiskal pemerintah daerah. Sejak
itu, banyak Puskesmas mengalami masalah kekurangan tenaga (khususnya
dokter).
Pada tahun 2010, studi tentang pembiayaan kesehatan daerah (District
Health Account) mengungkapkan bahwa anggaran kegiatan kesehatan untuk
program kesehatan masyarakat sangat kecil. Respons Kementerian Kesehatan
adalah menerapkan kebijakan BOK (Bantuan Operasional Kesehatan), yaitu
pengiriman anggaran pusat langsung kepada Puskesmas. Dana BOK adalah
dana khusus untuk membiayai program kesehatan masyarakat di luar gedung
(tidak untuk pelayanan pengobatan). Evaluasi tentang BOK menunjukkan
bahwa bantuan operasional tersebut hanya efektif kalau SDM Puskesmas
cukup tersedia untuk melaksanakan kegiatan luar gedung (tenaga kesehatan
masyarakat, sanitarian dan gizi). Dana BOK tidak efektif apabila Puskesmas
tidak memiliki cukup tenaga-tenaga tersebut. Pada tahun 2011, ditetapkan
keputusan bersama Menteri PAN dan RB, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Keuangan tentang moratorium pengangkatan PNS. Keputusan tersebut juga
berlaku untuk pengangkatan tenaga kesehatan, tetapi dikecualikan untuk
tenaga dokter, perawat dan bidan. Akibatnya, hampir semua Puskesmas
kekurangan atau tidak memiliki jenis tenaga yang terkena moratorium, yaitu
tenaga kesehatan masyarakat, gizi, sanitarian, farmasi dan analis (laboratorium
medis).
Selanjutnya, ada dua kebijakan yang mempengaruhi perkembangan
Puskesmas, yaitu (i) Permenkes No.71/2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada
Jaminan Kesehatan Nasional, yang menetapkan Puskesmas sebagai Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dalam pelaksanaan JKN; dan (ii) Permenkes
No.75/2014 tentang Puskesmas. Dalam Permenkes No.71/2013 ditetapkan
bahwa Puskesmas adalah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS dan “harus”
menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif yang sifatnya adalah
pelayanan perorangan. Pelayanan kesehatan komprehensif yang dimaksud
meliputi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif,
pelayanan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk

20 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


pelayanan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium sederhana
dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Selanjutnya dalam Permenkes No.75/2014, disebutkan Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perseorangan (UKP) tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif,
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di
wilayah kerjanya. Dalam Permenkes tersebut, ditetapkan tugas pokok dan
fungsi, jenis pelayanan yang harus diselenggarakan, serta standar ketenagaan
dan sarana Puskesmas. Pada prinsipnya, Puskesmas adalah pembina kesehatan
wilayah, yang melaksanakan 14 jenis pelayanan kesehatan masyarakat (PKM)
dan sembilan (9) jenis pelayanan kesehatan perorangan (PKP), seperti telah
disampaikan dimuka. Permenkes 75 juga menetapkan standar ketenagaan
Puskesmas seperti disampaikan berikut:
(1) Dokter;
(2) Dokter Gigi;
(3) Perawat;
(4) Bidan;
(5) Farmasi;
(6) Kesehatan Masyarakat;
(7) Sanitarian;
(8) Gizi;
(9) Lab. Medis; dan
(10) Tenaga non-kesehatan.
Jumlah Puskesmas per 2016 adalah 9.767 unit dan sebarannya menurut
provinsi disampaikan dalam tabel berikut. Sebanyak 2.277 Puskesmas berada di
lokasi terpencil dan sangat terpencil.
Tabel 2.3 Jumlah Puskesmas Per Provinsi Tahun 2016
No Provinsi Fasilitas Total Rasio per Puskesmas
Puskesmas 30 ribu Terpencil
NP P penduduk

1 Aceh 197 143 340 2.00 198


2 Sumatera Utara 407 164 571 1.21 87
3 Sumatera Barat 173 91 264 1.51 44
4 Riau 134 79 213 0.98 50
5 Jambi 115 68 183 1.59 84
6 Sumatera Selatan 227 95 322 1.18 50

BAB II | TINJAUAN LITERATUR 21


No Provinsi Fasilitas Total Rasio per Puskesmas
Puskesmas 30 ribu Terpencil
NP P penduduk

7 Bengkulu 134 46 180 2.83 38


8 Lampung 180 112 292 1.07 74
9 Bangka Belitung 41 21 62 1.33 20
10 Kepulauan Riau 45 28 73 1.08 33
11 DKI Jakarta 310 30 340 0.99 0
12 Jawa Barat 868 182 1050 0.66 2
13 Jawa Tengah 555 320 875 0.77 0
14 DI. Yogyakarta 78 43 121 0.98 0
15 Jawa Timur 441 519 960 0.74 16
16 Banten 177 56 233 0.57 32
17 Bali 85 35 120 0.86 2
18 Nusa Tenggara Barat 49 109 158 0.97 21
19 Nusa Tenggara Timur 234 137 371 2.14 180
20 Kalimantan Barat 143 95 238 1.47 121
21 Kalimantan Tengah 122 73 195 2.29 117
22 Kalimantan Selatan 180 50 230 1.70 93
23 Kalimantan Timur 80 95 175 1.50 48
24 Kalimantan Utara 17 32 49 2.21 21
25 Sulawesi Utara 96 92 188 2.31 84
26 Sulawesi Tengah 110 79 189 1.94 60
27 Sulawesi Selatan 221 227 448 1.56 122
28 Sulawesi Tenggara 187 82 269 3.16 136
29 Gorontalo 70 23 93 2.42 36
30 Sulawesi Barat 49 45 94 2.16 73
31 Maluku 135 64 199 3.48 92
32 Maluku Utara 101 27 128 3.24 111
33 Papua Barat 107 44 151 5.07 111
34 Papua 288 105 393 3.68 121
Total 6356 3411 9767 1.13 2277
Sumber: Kementerian Kesehatan (Profil Kesehatan 2016)
Keterangan: NP=non-perawatan; P=perawatan

22 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


2.4. Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar
Pembangunan kesehatan saat ini menghadapi tantangan pemerataan dan
disparitas terutama pelayanan kesehatan antardaerah dan antarkelompok
pendapatan. Akses terhadap pelayanan kesehatan primer masih terbatas
terutama di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Kendala
geografis menyebabkan keterbatasan akses pelayanan kesehatan di banyak
daerah di Indonesia. Kualitas pelayanan belum optimal karena banyak
fasilitas kesehatan dasar yang belum memenuhi standar kesiapan pelayanan
dan ketiadaan standar guideline pelayanan kesehatan. Puskesmas yang
merupakan fasilitas kesehatan tingkat pertama menjadi ujung tombak
dalam upaya menurunkan kesenjangan pembangunan kesehatan di seluruh
wilayah. Puskesmas didukung dengan Posyandu, pernah tercatat sebagai
keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan cakupan KB, imunisasi, dan gizi
balita. Di era desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan dan pembinaan
Puskesmas diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Sejak
itu, perkembangan Puskesmas bervariasi tergantung pada komitmen dan
kemampuan fiskal daerah. Permasalahan yang paling menonjol adalah
kekosongan atau kekurangan SDM kesehatan. Sejak desentralisasi pula,
sebagian besar belanja kesehatan daerah adalah untuk belanja pelayanan
kuratif (UKP), belanja barang modal dan belanja pegawai. Sementara, belanja
untuk pelayanan kesehatan masyarakat sangat kecil.
Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Puskesmas mengelola dana
kapitasi yang penggunaannya untuk pelayanan upaya kesehatan perseorangan
(UKP). Hal ini menyebabkan banyak Puskesmas yang orientasinya menjadi
dominan pelayanan kesehatan perorangan (pelayanan kuratif) dibandingkan
tugas utamanya sebagai motor upaya kesehatan masyarakat (UKM). Di sisi
lain, kebijakan moratorium pengangkatan pegawai negeri sipil menyebabkan
kekosongan atau kekurangan tenaga kesehatan terutama tenaga kesehatan
masyarakat hampir di seluruh wilayah. Dengan tren paradigma sehat yang
saat ini terjadi, peran Puskesmas dalam upaya promotif dan preventif perlu
diperkuat.
Penguatan pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas sendiri merupakan
arah kebijakan kesehatan dalam RPJMN 2015-2019 (Perpres No.2/2015). Namun,
perlu dirumuskan strategi yang lebih operasional. Kebijakan penguatan upaya
kesehatan dasar ini perlu diterjemahkan dalam strategi yang operasional. Di
tingkat global, pendekatan pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care)
telah diakui sebagai pendekatan yang tepat dalam mencapai kesehatan bagi
semua.

BAB II | TINJAUAN LITERATUR 23


Beberapa negara mengakui pentingnya peranan pelayanan kesehatan dasar
untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat dan telah melakukan upaya
untuk mereformasi pelayanan kesehatan dasar. Di Turki, reformasi kesehatan
mulai dilakukan pada tahun 2003 dan membawa perubahan signifikan dalam
pelayanan kesehatan primer (Cevik, Sozmen, Kilic, 2017). Negara Tiongkok
dalam Roadmap Kesehatan Nasional Tiongkok 2030 menekankan pentingnya
peranan pelayanan kesehatan primer yang harus didukung komitmen politik
untuk memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar (Xi Li dkk, 2017). Thailand
memiliki derajat kesehatan penduduk yang baik dengan biaya relatif rendah
karena cakupan pelayanan kesehatan primer yang komprehensif (Pongpisut
Jongudomsuk, dkk., 2015). Pelayanan kesehatan dasar adalah cara efektif
untuk 1) mengurangi disparitas sosial dan eksklusi dalam hal kesehatan; 2)
meningkatkan pemerataan; 3) memenuhi kebutuhan dan harapan penduduk;
4) mengurangi kemiskinan; 5) mengintegrasikan kesehatan dengan sektor-
sektor lain; 6) mendorong kepemimpinan yang mengutamakan kerja sama
dan dialog; 7) meningkatkan efektivitas anggaran kesehatan; 8) meningkatkan
akuntabilitas fasilitas pelayanan kesehatan; dan 9) meningkatkan akuntabilitas
penyelenggara Negara (WHO).
Dalam Deklarasi Alma Ata (1978), lima (5) prinsip dasar pemenuhan
pelayanan kesehatan primer mencakup 1) pemerataan upaya kesehatan; 2)
penekanan pada upaya preventif; 3) penggunaan teknologi tepat guna dalam
upaya kesehatan; 4) peran serta masyarakat dalam semangat kemandirian;
dan 5) kerjasama lintas sektoral dalam membangun kesehatan. Selain itu,
empat pilar reformasi pelayanan kesehatan dasar yang telah dicetuskan WHO
(2008) terdiri dari:
1. Reformasi pembiayaan kesehatan
Pembiayaan pemerintah lebih diarahkan pada upaya kesehatan masyarakat
(public goods) dan pelayanan kesehatan bagi orang miskin.
2. Reformasi kebijakan kesehatan
Kebijakan kesehatan harus berbasis fakta (evidence based public health
policy).
3. Reformasi kepemimpinan kesehatan
Kepemimpinan kesehatan harus bersifat inklusif, partisipatif, dan mampu
menggerakkan lintas sektor melalui kompetensi advokasi.
4. Reformasi pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan dasar harus mengembangkan sistem yang kokoh
dalam konteks Puskesmas dengan jejaringnya serta dengan suprasistemnya
(Dinkes kabupaten/kota, dan RS kabupaten/kota).

24 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


Dalam Sistem Kesehatan Nasional (Perpres No.72/2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional), pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar
(primary health care) meliputi:
1) Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata;
2) Pemberian pelayanan kesehatan berkualitas yang berpihak kepada
kepentingan dan harapan rakyat; dan
3) Kebijakan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan dan melindungi
kesehatan masyarakat, kepemimpinan, serta profesionalisme dalam
pembangunan kesehatan.

BAB II | TINJAUAN LITERATUR 25


26 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS
BAB III
ISU-ISU STRATEGIS
3.1. Analisis Regulasi dan Hasil Studi Terdahulu
Terdapat sejumlah peraturan perundangan (±36 regulasi) yang mengatur
Puskesmas secara langsung atau tidak langsung. Secara keseluruhan, peraturan
perundangan tersebut mengatur tentang 10 hal yang berkaitan dengan
Puskesmas, yaitu 1) tugas pokok dan fungsi serta kewenangan Puskesmas;
2) status kelembagaan; 3) sumber daya manusia (SDM); 4) sarana; 5) logistik
(farmasi, alat kesehatan, BMHP dan BHP); 6) pembiayaan; 7) organisasi dan
tata laksana (manajemen); 8) manajemen pelayanan klinik; 9) manajemen
akses dan mutu; dan 10) hubungan kerja. Dari seluruh peraturan yang ada,
Permenkes No.75/2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat berisi tentang
segala ketentuan dan pengaturan terkait Puskesmas secara komprehensif.
Dalam tatanan hukum yang lebih kuat, pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas
mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Walaupun banyak peraturan telah mengatur Puskesmas, terdapat beberapa
isu atau substansi yang belum sepenuhnya dicakup.
Gambar 3.1 Ringkasan Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas
Sarana Kegiatan Tujuan
1. Sistem ventilasi 1. Perencanaan
2. Sistem pencahayaan 2. Advokasi dan sosialisasi kebijakan 1. Perilaku hidup sehat
3. Sanitasi kesehatan 2. Akses pelayanan
4. Kelistrikan 3. KIE dan pemberdayaan masyarakat bermutu
5. Komunikasi 4. UKBM 3. Lingkungan sehat
6. Gas medic 5. Bimbingan teknis 4. Derajat kesehatan
7. Proteksi petir 6. Kompetensi sdm optimal
8. Proteksi kebakaran 7. Pembangunan berwawasan kesehatan
9. Pengendalian bising 8. Monev tentang akses, mutu dan
10. Transportasi vertikal cakupan
untuk Puskesmas lebih 9. Sistem kewaspadaan dini dan respon 1. Paradigma sehat
dari 2 (dua) lantai 2. Pertanggungjawaban
11. Puskesmas keliling wilayah
12. Ambulans 1. Melaksanakan UKM 3. Kemandirian
2. Melaksanakan UKP masyarakat
Tenaga Kegiatan 4. Pemerataan
5. Teknologi tepat guna
1. Dokter atau DLP 1. Pelayanan Kesehatan Dasar Bermutu
6. Keterpaduan dan
2. Dokter Gigi 2. Utamakan promotif preventif
3. Pelayanan kesehatan berorientasi indi-
kesinambungan
3. Perawat
4. Bidan vidu, keluarga, kelompok masyarakat Prinsip
5. Tenaga Kesmas 4. Utamakan keamanan dan keselamatan
6. Tenaga Kesling 5. Kerja sama dan koordinasi antar profesi Permenkes No. 75
7. Ahli Laboratorium 6. Melaksanakan rekam medis Tentang Puskesmas
Medik 7. Monev mutu dan akses pelayanan
8. Tenaga Gizi 8. Kompetensi SDM
9. Tenaga Kefarmasian 9. Koordinasi pembinaan fasilitas kesehat-
an tingkat pertama
10. Penapisan rujukan

Sumber: Permenkes 75/2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat


28 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS
Dalam Permenkes 75/2014 disebutkan bahwa tugas pokok dan fungsi
Puskesmas adalah sebagai pembina kesehatan wilayah. Namun demikian,
tidak terdapat penjelasan lebih lanjut ataupun petunjuk teknis yang mengatur
tentang pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut. Selain itu, Permenkes 75/2014
juga mengatur tentang standar ketenagaan Puskesmas. Standar ketenagaan
tersebut juga belum mencakup keseluruhan tenaga yang dibutuhkan oleh
Puskesmas karena hanya mengatur tenaga kesehatan. Sebagai organisasi
yang memiliki fungsi manajemen, Puskesmas harus dilengkapi pula dengan
tenaga di luar tenaga kesehatan, seperti tenaga administrasi dan IT. Kebijakan
moratorium pengangkatan PNS yang dimulai tahun 2011 juga tidak sejalan
dengan upaya mempercepat pembangunan kesehatan di seluruh wilayah.
Dengan keterbatasan tenaga kesehatan masyarakat, kebijakan moratorium
menghambat perekrutan tenaga baru untuk mengisi banyaknya kekosongan
tenaga di berbagai wilayah di Indonesia. Dari sisi pemenuhan logistik obat dan
alat kesehatan, belum terdapat regulasi yang memperbolehkan Puskesmas
untuk membeli obat dan alat kesehatan di luar sistem e-catalog. Untuk
pembiayaan, tidak ada klausul yang mengatur insentif bagi pelaksanaan upaya
kesehatan masyarakat dalam peraturan terkait dengan penggunaan dana
kapitasi (Permenkes 21/2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan
Kesehatan Nasional untuk jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya
Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah
Daerah).
Selain peraturan perundangan, terdapat berbagai hasil studi dan laporan
proyek terdahulu yang berkaitan dengan Puskesmas. Dari hasil analisis
content, terdapat tujuh isu utama yang dianalisis, yaitu 1) kewenangan dan
tupoksi Puskesmas; 2) kelembagaan; 3) sumber daya manusia; 4) pembiayaan;
5) organisasi dan manajemen; 6) manajemen pelayanan dan mutu; 7) logistik
obat dan alkes; dan 8) hubungan kerja. Terkait dengan tugas pokok dan fungsi,
berbagai studi menyimpulkan bahwa saat ini Puskesmas cenderung melakukan
kegiatan yang bersifat kuratif atau upaya kesehatan perorangan (UKP).
Kegiatan Puskesmas fokus pada kegiatan pelayanan di dalam gedung. Kondisi
ini muncul pada saat dilaksanakannya JKN. Tenaga promkes di Puskesmas
pada akhirnya melakukan tugas lain di luar tugas pokok dan fungsinya, antara
lain menyusun laporan administrasi penggunaan dana kapitasi BPJS. Dari sisi
ketenagaan, ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan menjadikan kendala
yang cukup serius hampir di seluruh wilayah. Ketimpangan dalam distribusi
tenaga kesehatan disebabkan oleh aspek kebijakan daerah dan minat tenaga
kesehatan itu sendiri. Dana kapitasi berdampak kecil pada penambahan

BAB III | ISU-ISU STRATEGIS 29


dokter, yang disebabkan karena Pemda tidak dapat merekrut pegawai dan
jasa pelayanan tidak bisa dibagikan kepada petugas di luar PNS, P3K dan PTT
(Permenkes 21/2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan
Nasional). Kemampuan manajemen kepala Puskesmas kurang memadai.
Dalam hal logistik obat dan alat kesehatan, terjadi kekosongan persediaan
obat dan alat kesehatan di Puskesmas. Kondisi ini menyebabkan angka rujukan
dari Puskesmas ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan meningkat. Dari sisi
pembiayaan, sistem pembayaran kapitasi belum dapat mendorong tercapainya
efisiensi pelayanan yang dilihat dari cukup tingginya rujukan spesialistik maupun
non-spesialistik. Selain itu, terdapat perbedaan pendapatan jasa pelayanan
berdasarkan tingkat pendidikan yang menyebabkan demotivasi profesi
tertentu. Jasa pelayanan juga tidak berpengaruh pada kualitas kerja karena
beban kerja yang berlipat ganda. Selain itu, muncul isu terkait dengan jasa
pelayanan yang diterima tidak berbanding lurus dengan beban kerja pelayanan
pasien. Tambahan pendapatan dari kapitasi hanya membuat petugas disiplin
dalam hal kehadiran dan jam kerja, namun tidak pada kualitas pekerjaan. Dana
operasional yang bersumber dari kapitasi juga belum dimanfaatkan dengan
maksimal. Tidak adanya pejabat pengadaan barang menyebabkan pemanfaatan
dana kapitasi tidak maksimal.
Dalam hal hubungan kerja, kurangnya partisipasi dari pemerintah
daerah dalam penyediaan fasilitas untuk kesehatan, distribusi, pemantauan,
dan evaluasi, serta belum maksimalnya integrasi pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, asosiasi profesi dan institusi pendidikan dalam pemenuhan
tenaga kesehatan terutama spesialis di DTPK. Dari sisi mutu, belum seluruh
Puskesmas terakreditasi. Syarat akreditasi sulit dipenuhi oleh daerah terutama
dari sisi ketersediaan SDM sebagaimana standar Permenkes 75/2014.

3.2. Tantangan Pelayanan Kesehatan Dasar di


Puskesmas
Pembina Kesehatan Wilayah
Sejak awal pengembangan Puskesmas didasari oleh konsep kewilayahan yaitu
sebagai unit pelayanan kesehatan untuk wilayah kecamatan. Hal tersebut
dipertegas lagi dalam Permenkes 75/2014, bahwa Puskesmas diselenggarakan
dengan prinsip “pertanggungjawaban wilayah”. Pengertian wilayah mencakup
batasan administratif, geografis, demografis, lingkungan fisik-biologis,
lingkungan sosial-budaya, lingkungan kegiatan ekonomi (industri, pasar, lalu
lintas komoditas ekonomi). Konsep kewilayahan mengandung arti bahwa yang

30 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


“disehatkan” oleh Puskesmas adalah suatu “wilayah”, yang di dalamnya ada
individu, keluarga, dan agregat penduduk (jumlah, lahir, sakit, mati, migrasi/
mobilitas) dengan nilai budayanya. Dalam wilayah tersebut juga ada unit-unit
pelayanan kesehatan pemerintah dan non-pemerintah seperti praktik dokter,
klinik, praktik paramedik, dan praktik pengobatan tradisional, yang ada dalam
pembinaan Puskesmas. Dalam konsep kewilayahan berarti Puskesmas bukan
saja berfungsi mengobati orang sakit, tetapi juga mengatasi berbagai
risiko kesehatan, melakukan upaya promosi kesehatan dan pencegahan,
dengan cara “menggerakkan mesin birokrasi” (camat, kepala desa, RT,
RW) dan juga “menggerakkan mesin sosial” (kader, tokoh masyarakat,
tokoh agama, kelompok arisan, kelompok keagamaan, dan lain-lain). Peran
seperti disebutkan di atas cukup menonjol pada masa-masa 1970-1990-an dan
memudar dengan dominannya peran Puskesmas sebagai “klinik pengobatan”.
Ini mulai tampak sejak krisis ekonomi 1998 diikuti dengan kenaikan jumlah
penduduk miskin yang kemudian disubsidi dengan program Jamkesmas. Peran
sebagai “klinik pengobatan” ini semakin dominan sejak implementasi JKN/
BPJS.

Transisi Demografi dan Epidemiologi


Dalam era sebelum tahun 1980-an, pola penyakit didominasi oleh penyakit
menular (ISPA/pneumonia, diare, infeksi kulit, dan penyakit-penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi, dan lain-lain). Intensifikasi program imunisasi
sejak awal 1980-an dan ketersediaan obat antibiotika berhasil menurunkan
jumlah penyakit menular (PM). Namun, ada penyakit menular tertentu yang
masih menjadi penyakit masyarakat yaitu frambusia, DBD, kusta (neglected
diseases), filaria, malaria, dan TBC (unfinished agenda). Sementara itu, muncul
beberapa penyakit baru/relatif baru seperti HIV, flu burung, SARS, dan lain-
lain. Selama dua-tiga dekade terakhir terjadi transisi demografi yang ditandai
dengan angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) yang stagnan sebesar 2,6
per wanita, mobilitas penduduk meningkat, dan peningkatan jumlah penduduk
lansia yang signifikan. Keadaan ini meningkatkan jumlah penyakit tidak menular
(PTM). Hipertensi dan diabetes mellitus (DM) telah masuk menjadi sepuluh
penyakit terbanyak yang diobati di Puskesmas. Puskesmas, yang langsung
berhadapan dengan masalah kesehatan masyarakat, menghadapi situasi
transisi penyakit seperti diuraikan di atas, yaitu 1) penyakit infeksi (yang belum
teratasi); 2) penyakit infeksi yang “terabaikan”; 3) penyakit infeksi baru; dan 4)
penyakit non-infeksi (PTM). Semua penyakit tersebut memerlukan intervensi
kesehatan masyarakat (UKM) dan tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan

BAB III | ISU-ISU STRATEGIS 31


kuratif semata. Untuk melaksanakan UKM (intervensi di tengah masyarakat/
di luar gedung dengan menggerakkan mesin sosial dan mesin birokrasi)
diperlukan kapasitas tertentu yang berbeda dari kapasitas untuk pelayanan
kuratif (UKP). Diperlukan kepemimpinan Puskesmas yang (1) memahami dan
mampu menerapkan prinsip-prinsip “community and social development” dan
(2) memahami tata kelola pemerintahan di tingkat kabupaten, kecamatan
dan desa. Di samping itu Puskesmas memerlukan sumber daya yang cukup
untuk melaksanakan UKM yaitu tenaga, sarana dan anggaran.

Puskesmas sebagai pelaksana urusan kesehatan dan SPM di daerah


Undang-Undang No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan
empat (4) urusan kesehatan yang menjadi tanggung jawab daerah, yaitu 1) upaya
kesehatan (UKM dan UKP) dan perizinan fasilitas kesehatan; 2) pengelolaan
SDM kesehatan tingkat daerah; 3) pengelolaan obat/alkes, makanan dan
minuman; dan 4) pemberdayaan masyarakat. Dinas Kesehatan adalah perangkat
daerah yang melaksanakan empat (4) urusan tersebut. Puskesmas sebagai UPT
Dinas Kesehatan (PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah) melaksanakan urusan
tersebut di tingkat kecamatan. Khusus untuk UKM, terdiri dari dua kelompok
pelayanan yaitu (i) 12 jenis pelayanan dasar yang wajib diselenggarakan
daerah, yang disebut sebagai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan (ii) upaya
kesehatan masyarakat lain yang tidak masuk dalam SPM seperti DBD, filaria,
sanitasi, dan lain-lain. SPM adalah pelayanan dasar yang wajib diselenggarakan
oleh pemerintah daerah (UU 23/2014). Terdapat 12 jenis pelayanan dasar yang
dimasukkan dalam SPM bidang kesehatan. Semua jenis pelayanan tersebut
pada dasarnya adalah upaya kesehatan yang diselenggarakan di tengah
masyarakat dengan menggerakkan birokrasi pemerintah kecamatan dan desa
serta menggerakkan peran serta masyarakat. Puskesmas adalah ujung tombak
pelaksana SPM. Keberhasilan pencapaian target SPM sangat ditentukan
oleh kapasitas Puskesmas, termasuk:
1) ketersediaan dan kecukupan tenaga kesehatan masyarakat (gizi, kesling,
promkes, imunisasi, dan KIA);
2) ketersediaan sarana (cold chain, alat timbang, alat fogging, kendaraan roda
dua/roda empat, dan lain-lain);
3) BMHP dan BHP untuk UKM (vaksin, obat, PMT, insektisida, kelambu, dan
lain-lain); dan
4) kecukupan anggaran operasional untuk UKM (untuk pertemuan dengan
masyarakat dan aparat kecamatan/desa, perjalanan, mobilisasi kader, dan
lain-lain).

32 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


Sifat pelayanan-pelayanan dalam SPM tersebut adalah “public goods”
dan oleh sebab itu dibiayai oleh pemerintah (APBN/APBD) seperti ditetapkan
dalam Perpres-72/2012 tentang SKN. Artinya, pelaksanaan SPM tidak bisa
dibiayai dengan dana kapitasi. Dana kapitasi (40 persen) dapat dipergunakan
untuk kegiatan promotif/preventif yang bersifat perorangan. Tidak untuk
kegiatan promotif/preventif massal yang dilakukan di tengah masyarakat.

Puskesmas sebagai FKTP BPJS


Puskesmas adalah salah satu FKTP (Permenkes 28/2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional) untuk melayani peserta
BPJS, di samping FKTP lain (praktik dokter dan dokter gigi, klinik pratama,
RS-D Pratama). Pelayanan tersebut termasuk 1) pelayanan rawat jalan; 2)
tindakan medis dalam batas kewenangan Puskesmas; 3) pelayanan rawat inap
(di Puskesmas perawatan); dan 4) melaksanakan rujukan medis dan melakukan
pelayanan “rujuk balik”. Sebagai FKTP untuk peserta BPJS, diharapkan
Puskesmas memiliki kemampuan untuk menangani 144 diagnosis penyakit.
Artinya, Puskesmas perlu memiliki tenaga, kompetensi teknis dan sarana/
prasarana untuk menangani 144 diagnosis tersebut (Permenkes 5/2014
tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer).
Hubungan Puskesmas dengan BPJS adalah hubungan kontraktual (dalam hal
ini Puskesmas diwakili oleh Dinas Kesehatan). BPJS melakukan credentialing
sebagai dasar untuk mengadakan kontrak dengan FKTP. Nilai credentialing
tersebut ditentukan oleh hasil akreditasi Puskesmas. Artinya, akreditasi
Puskesmas adalah esensial untuk hubungan kontraktual dengan BPJS.
Kemenkes telah mengeluarkan pedoman/instrumen akreditasi Puskesmas
yang baru. Banyak daerah secara bertahap melakukan akreditasi Puskesmas.
Dalam anggaran DAK non-fisik 2017, terdapat porsi anggaran yang dapat
dipergunakan oleh daerah untuk akreditasi Puskesmas. Perlu dicatat bahwa
jumlah Puskesmas di Indonesia adalah 9.767 unit sehingga diperlukan upaya
akselerasi proses akreditasi Puskesmas.

Ketenagaan Puskesmas
Dalam Permenkes 75/2014 tentang Puskesmas ditetapkan standar tenaga
Puskesmas. Data lapangan, khususnya di daerah terpencil, banyak Puskesmas
yang belum memenuhi standar ketenagaan tersebut. Data ketenagaan
Puskesmas menunjukkan (i) disparitas distribusi tenaga antarprovinsi dan
(ii) kekurangan tenaga kesehatan masyarakat. Kemenkes menyelenggarakan
Program “Nusantara Sehat” untuk mengisi kekurangan tenaga Puskesmas di

BAB III | ISU-ISU STRATEGIS 33


daerah perbatasan, terpencil dan kepulauan. Di daerah lain, selain masalah
rendahnya motivasi SDM kesehatan untuk bekerja di Puskesmas, hambatan
lain adalah ketiadaan atau keterbatasan formasi. Daerah tertentu menerapkan
sistem “magang” yang dianggap tidak bertentangan dengan syarat adanya
formasi kepegawaian. Ada pula yang mentransformasi status Puskesmas
menjadi BLUD sehingga bisa mengangkat tenaga kontrak dengan anggaran
dari pendapatan Puskesmas.

Pembiayaan Puskesmas
Sejak menjadi FKTP BPJS, dana kapitasi menjadi dominan dalam struktur
anggaran Puskesmas. Besaran jasa pelayanan dalam kapitasi tersebut (60 persen
dari total kapitasi) cukup signifikan terutama di Puskesmas dengan jumlah
peserta yang besar. Di beberapa tempat dikemukakan adanya ketidakadilan
yang dirasakan staf Dinkes karena perbedaan pendapatan yang mencolok
antara staf Dinkes dan staf Puskesmas. Sebesar 40 persen dari dana kapitasi
dipergunakan untuk menambah biaya operasional pelayanan perorangan (obat,
bahan medis, promotif dan preventif perorangan). Bagi Puskesmas berstatus
PPK BLUD, dana operasional ini dapat langsung dipergunakan oleh Puskesmas.
Namun di Puskesmas berstatus non-PPK BLUD, dana tersebut adalah retribusi
yang harus disetor ke kas daerah dan menjadi pendapatan APBD. Hal ini
menyebabkan penggunaan anggaran “sering terlambat” karena menunggu
pengesahan anggaran di daerah. Keadaan seperti ini tidak cocok dengan sifat
operating cost pelayanan kesehatan yang tidak bisa ditunda menunggu realisasi
anggaran (orang tidak bisa menunda sakitnya sampai anggaran turun).

Kelembagaan Puskesmas
Status kelembagaan Puskesmas secara formal adalah sebagai UPT Dinas
Kesehatan (PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah). Kemudian, dalam
hubungan kontraktual dengan BPJS, status Puskesmas adalah sebagai FKTP
BPJS. Beberapa daerah menetapkan Puskesmas yang memenuhi syarat menjadi
PPK BLUD. Sebagai UPT Dinas Kesehatan, Puskesmas adalah perpanjangan
tangan Dinas Kesehatan untuk melaksanakan kewajiban kewenangan Dinas
Kesehatan, yaitu melaksanakan empat urusan pemerintah yang diserahkan
ke daerah. “Pembina wilayah” di bidang kesehatan adalah fungsi utama Dinas
Kesehatan dan oleh karenanya juga fungsi utama Puskesmas dalam wilayah
kerjanya (kecamatan). Pembinaan kesehatan wilayah pada dasarnya adalah
melaksanakan upaya-upaya kesehatan masyarakat secara komprehensif,

34 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


termasuk reduksi risiko-risiko kesehatan di suatu wilayah, peningkatan
PHBS di masyarakat, upaya pencegahan secara massal. Semuanya dilakukan
bersama dengan cara menggerakkan mesin birokrasi dan mesin sosial secara
terorganisir atau “… through organized community and bureaucratic efforts”
(definisi akademik Public Health).
Sebagai FKTP BPJS, Puskesmas berkewajiban memberikan pelayanan
kuratif perorangan kepada peserta BPJS, termasuk pelayanan medis/klinis
dan pelayanan promotif/preventif perorangan. Puskesmas juga melakukan
penapisan rujukan pasien dan melaksanakan pelayanan “rujuk balik” dari RS
(PMK-28/2014). Sebagai PPK BLUD, Puskesmas adalah unit kerja pada Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Dinkes) di lingkungan pemerintah daerah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan,
dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Pola Pengelolaan Keuangan BLUD, yang selanjutnya disingkat
PPK-BLUD adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas
berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai
pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya
(Permendagri 61/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan).
Tantangan dalam kebijakan dan penyelenggaraan Puskesmas adalah
bagaimana menjaga dan menjamin bahwa ketiga pilihan/jenis kelembagaan
tersebut tidak counter productive (berkompetisi satu sama lain). Banyak
yang mengemukakan bahwa kegiatan Puskesmas sekarang didominasi oleh
pekerjaan melayani pasien BPJS, mengelola sistem pelaporan pelayanan klinis
(P-Care) dan kekurangan waktu untuk kegiatan luar gedung (UKM). Ada insentif
cukup signifikan dalam dana kapitasi (60 persen untuk jasa pelayanan). Status
PPK BLUD memudahkan pengelolaan dana kapitasi, termasuk fleksibilitas
membelanjakan 40 persen dana kapitasi (misalnya, mengontrak tenaga).
Sementara itu, kegiatan UKM yang sekarang bertumpu pada dana BOK yang ada
dalam DAK non-fisik, jumlahnya relatif kecil, tanpa komponen jasa pelayanan di
dalamnya. Ditambah dengan kekosongan tenaga kesehatan masyarakat maka
intensitas kegiatan UKM jauh tertinggal dibandingkan dengan kegiatan UKP.
Situasi ini tidak sejalan dengan kebijakan nasional yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif serta pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.
Selain itu, 12 pelayanan dasar dalam SPM bidang kesehatan semuanya adalah

BAB III | ISU-ISU STRATEGIS 35


UKM. Keadaan ini, selain tidak mempercepat perbaikan indikator-indikator
kesehatan masyarakat (MMR, IMR, KIA, gizi/stunting, imunisasi, dan lain-lain),
juga mendorong eskalasi biaya kesehatan. Kondisi di atas menunjukkan bahwa
tantangan ke depan adalah bagaimana memperkuat status kelembagaan
Puskesmas sebagai UPT Dinas Kesehatan, secara khusus sebagai Pembina
Kesehatan Wilayah dan pelaksana kegiatan UKM.

Puskesmas di daerah perbatasan, terpencil, dan kepulauan


Sebanyak 2.277 Puskesmas saat ini berada di lokasi terpencil dan sangat
terpencil. Berbagai kebijakan telah diambil untuk mengurangi disparitas akses
dan mutu pelayanan antardaerah, khususnya daerah perbatasan, terpencil, dan
kepulauan. Beberapa inovasi kebijakan dan program tersebut antara lain adanya
sistem Inpres (era orde baru), penempatan dokter dan bidan PTT, Nusantara
Sehat, pembangunan faskes di daerah perbatasan, prioritas pembangunan di
DTPK, dan lain-lain. Di beberapa daerah dikeluarkan Peraturan Bupati tentang
distribusi dan mutasi SDMK. Banyak lesson learned dari berbagai kebijakan
tersebut yang perlu ditelaah untuk merumuskan kebijakan masa yang akan
datang, khususnya untuk memperkuat Puskesmas di daerah perbatasan,
terpencil dan kepulauan.

Inisiatif Reformasi Puskesmas


Beberapa daerah berinisiatif melakukan reformasi terhadap Puskesmas. Di
Provinsi NTT misalnya, dilakukan program “Puskesmas Reformasi” yang
antara lain membentuk Dewan Penyantun Puskesmas. Dewan Penyantun
Puskesmas terdiri dari perwakilan masyarakat, yang turut memikirkan dan
berbuat sesuatu untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan Puskesmas
(Laporan Best Practice, AIPMNH NTT, 2015). Di Kota Palu, Puskesmas diberi
status PPK BLUD, melakukan renovasi fasilitas dan dibuka sampai sore/
malam hari sebagaimana layaknya klinik swasta. Jumlah kunjungan meningkat,
kepuasan pelanggan juga meningkat dan pendapatan Puskesmas juga
meningkat. Pendapatan tersebut juga dipergunakan untuk meningkatkan
kegiatan UKM oleh petugas Puskesmas (Laporan Best Practice Proyek DHS-
1/ADB). Di Kabupaten Jembrana (awal 2000), Bupati setempat menugaskan
Camat/Kantor Kecamatan sebagai penanggung jawab dan pelaksana kegiatan
UKM. Puskesmas berfungsi melaksanakan UKP, dibantu jejaring dokter di
setiap desa (yang dikontrak oleh Pemda dan mendapat pembayaran dari
pasiennya masing-masing). Di Kota Bontang (observasi tahun 2008), Wali Kota
mengontrak sejumlah dokter keluarga untuk melaksanakan UKP dan dibayar

36 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


secara kapitasi oleh Pemda. Sementara, Puskesmas hanya melaksanakan UKM,
termasuk melakukan “bedah rumah” bagi penduduk kurang mampu. Berbagai
inisiatif reformasi tersebut perlu dikaji untuk memperoleh lesson learned bagi
kebijakan pengembangan Puskesmas di masa yang akan datang.

3.3. Isu-isu Strategis Pelayanan Kesehatan Dasar


di Puskesmas
Berdasarkan analisis content terhadap berbagai regulasi dan hasil-hasil studi
tersebut di atas, dan mempertimbangkan tantangan dan tujuan pembangunan
kesehatan di masa yang akan datang, terdapat enam isu strategis yang perlu
dikaji lebih dalam, yaitu
(1) Rumusan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Puskesmas;
(2) Kelembagaan;
(3) Kecukupan dan kelengkapan SDM Puskesmas;
(4) Pengelolaan obat dan alat kesehatan;
(5) Pembiayaan Puskesmas; dan
(6) Manajemen.
Keenam isu tersebut dianggap strategis karena
(1) Masalahnya bersifat sistemik dan ada di banyak daerah/Puskesmas;
(2) Berpengaruh besar terhadap;
a. pemerataan akses pelayanan UKM dan UKP;
b. pemerataan mutu pelayanan UKM dan UKP;
c. kinerja pelayanan UKM dan UKP; dan
d. perbaikan indikator kesehatan penduduk.

Gambar 3.2 Bagan Isu Strategis Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas

Tupoksi
Kelembagaan
Akses Pelayanan
UKM dan UKP Perbaikan
SDM Kinerja Indikator
UKM dan UKP Kesehatan
Farmasi/ Mutu Pelayanan
Alat kesehatan UKM dan UKP Penduduk

Manajemen

Pembiayaan

BAB III | ISU-ISU STRATEGIS 37


Apabila keenam isu strategis tersebut dapat berjalan, diasumsikan
berkontribusi pada peningkatan akses dan mutu pelayanan UKM dan UKP
di Puskesmas. Akses dan mutu yang lebih baik akan meningkatkan kinerja
UKM dan UKP, yang pada akhirnya menyumbang pada perbaikan indikator
kesehatan penduduk.

38 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


BAB IV
ANALISIS HASIL
B ab ini berisi tentang hasil analisis terhadap data dan informasi yang telah
dikumpulkan baik yang bersumber dari review literatur, serial diskusi/
workshop di tingkat pusat, kunjungan lapangan ke provinsi dan kabupaten
terpilih, maupun data sekunder yang bersumber dari publikasi BPS dan
Kementerian Kesehatan. Analisis pada bab ini mencakup analisis terhadap enam
isu strategis penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas sebagaimana
telah dihasilkan pada bab sebelumnya. Keenam isu strategis tersebut adalah
(1) Rumusan tugas pokok dan fungsi Puskesmas;
(2) Kelembagaan Puskesmas;
(3) Kecukupan, kelengkapan dan kompetensi SDM Puskesmas;
(4) Pengelolaan obat dan alat kesehatan;
(5) Pembiayaan Puskesmas; dan
(6) Manajemen atau tata kelola.
Kesimpulan umum hasil kajian ini adalah bahwa penguatan pelayanan
kesehatan dasar di Puskesmas harus komprehensif mencakup keenam isu
strategis tersebut (tidak boleh parsial). Isu-isu tersebut saling berkaitan dan
bila salah satu tidak berfungsi dengan baik akan menyebabkan keseluruhan
fungsi Puskesmas dan pelayanan kesehatan dasar terganggu.

4.1. Tugas Pokok, Fungsi dan Kewenangan


Puskesmas
Dalam regulasi dan kebijakan tentang Puskesmas, ditetapkan bahwa tugas
pokok dan fungsi Puskesmas mencakup empat hal, yaitu 1) sebagai pembina
kesehatan wilayah (Peraturan Menteri Kesehatan No. 75/2014 tentang
Puskesmas dan Peraturan Pemerintah No. 18/2016 tentang Perangkat Daerah);
2) menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat atau UKM (Kepmenkes
No. 128/2004 dan PMK 75/2014); 3) menyelenggarakan Upaya Kesehatan
Perorangan atau UKP (Kepmenkes No. 128/2004 dan PMK 75/2014); dan
4) melaksanakan fungsi-fungsi manajemen Puskesmas (Kepmenkes No.
128/2004).

Pembina Kesehatan Wilayah


Sejak awal dikembangkan (1968), tugas pokok Puskesmas adalah membina
kesehatan wilayah. Puskesmas adalah pembina kesehatan wilayah di wilayah
kerjanya (kecamatan dan atau kelurahan). Fungsi dan kewenangan ini adalah
perpanjangan dari fungsi dan kewenangan Dinas Kesehatan yang menjadi
pembina kesehatan wilayah kabupaten/kota. Sebagai unit pelaksana teknis

40 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


atau UPT Dinas Kesehatan, Puskesmas memegang otoritas Dinas Kesehatan/
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan urusan pemerintah di bidang
kesehatan. Dengan demikian, Puskesmas memiliki legitimasi, otoritas, dan
mandat untuk melakukan pembinaan kesehatan secara menyeluruh di
wilayah kerjanya. Hal ini termasuk pemantauan semua kegiatan ekonomi
dan sosial yang berdampak langsung atau tidak langsung terhadap kesehatan
penduduk, identifikasi determinan masalah kesehatan, menggerakkan peran
serta masyarakat, serta mengoordinir dan membina semua fasilitas kesehatan
(termasuk fasilitas kesehatan swasta). Pelaksanaan fungsi pembinaan
kesehatan wilayah ini dilakukan bekerja sama dengan Camat dan Lurah/Kepala
Desa sebagai otoritas penyelenggara kepemerintahan di tingkat kecamatan
dan kelurahan/desa. Fungsi pembinaan kesehatan wilayah ini termasuk
membina Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM), seperti pelatihan
dan pembinaan kader kesehatan, pembinaan Posyandu, Posbindu, Poskestren,
dan lain-lain. Konsekuensi dari fungsi pembina kesehatan wilayah ini adalah
perlunya kepemimpinan Puskesmas yang memiliki wawasan kewilayahan dan
memahami seluk beluk mekanisme mesin birokrasi serta mesin pranata sosial.

Pelayanan Upaya Kesehatan Masyarakat


Tugas pokok dan fungsi kedua adalah melaksanakan upaya kesehatan
masyarakat (UKM), yang merupakan pelayanan dengan sasaran penduduk
secara keseluruhan beserta lingkungan kesehatannya. Pelayanan UKM
umumnya dilakukan di luar gedung, bekerja sama dengan aparat kecamatan
dan desa, serta pranata sosial masyarakat. Dalam narasi akademik, pelayanan
UKM adalah pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan menggerakkan
mesin birokrasi dan mesin sosial. Jenis-jenis UKM tersebut diatur dalam
berbagai ketentuan yang titik beratnya adalah pada pelayanan promotif
dan preventif serta penyehatan sanitasi dan lingkungan. Kegiatan UKM juga
termasuk penyuluhan kesehatan secara massal, imunisasi dan penimbangan
di Posyandu, penyehatan sanitasi, pemberantasan vektor penyakit, serta
skrining kesehatan secara massal. Semua masalah atau gangguan kesehatan
memerlukan UKM, baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular.
Dalam Permenkes No.75/2014 ditetapkan 14 jenis UKM yang perlu dilakukan
Puskesmas, yaitu enam (6) UKM esensial dan delapan (8) UKM pengembangan/
pilihan. Pelayanan UKM esensial terdiri dari: 1) pelayanan promosi kesehatan
termasuk usaha kesehatan sekolah (UKS); 2) pelayanan kesehatan lingkungan;
3) pelayanan KIA dan KB yang bersifat UKM; 4) pelayanan gizi yang bersifat
UKM; 5) pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit; dan 6) pelayanan

BAB IV | ANALISIS HASIL


41
keperawatan kesehatan masyarakat. Sementara itu, UKM pengembangan/
pilihan adalah: 1) pelayanan kesehatan jiwa; 2) pelayanan kesehatan gigi
masyarakat; 3) pelayanan kesehatan tradisional komplementer; 4) pelayanan
kesehatan olahraga; 5) pelayanan kesehatan indra; 6) pelayanan kesehatan
lansia; 7) pelayanan kesehatan kerja; dan 8) pelayanan kesehatan lainnya sesuai
kebutuhan. Pelaksanaan UKM ini memerlukan SDM tertentu, yaitu tenaga
kesehatan masyarakat, sanitarian dan gizi masyarakat. Upaya kesehatan
masyarakat umumnya bersifat public goods (efek eksternalitas tinggi dan
bersifat non-excludable) sehingga pembiayaannya tidak bisa melalui tarif atau
asuransi kesehatan. Oleh sebab itu, UKM dibiayai melalui anggaran pemerintah
(APBN dan/atau APBD).

Pelayanan Upaya Kesehatan Perorangan


Menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan (UKP) adalah tugas pokok
dan fungsi Puskesmas berikutnya. Pelayanan UKP atau sering juga disebut
pelayanan kuratif, sasarannya adalah perorangan dan atau rumah tangga.
Orientasinya adalah penyembuhan dan rehabilitasi seseorang yang jatuh
sakit. Dalam PMK No.75/2014 ditetapkan delapan (8) jenis UKP yang perlu
diselenggarakan oleh Puskemas, yaitu: 1) pelayanan pemeriksaan umum; 2)
pelayanan kesehatan gigi dan mulut; 3) pelayanan KIA/KB yang bersifat UKP;
4) pelayanan gawat darurat; 5) pelayanan gizi yang bersifat UKP; 6) pelayanan
persalinan; 7) pelayanan rawat inap (di Puskesmas perawatan); 8) pelayanan
kefarmasian; dan 9) pelayanan laboratorium. Upaya kesehatan perorangan
diselenggarakan dengan menggerakkan “mesin institusi fasilitas kesehatan”
dengan sasaran perorangan dan keluarga. Upaya kesehatan perorangan
umumnya bersifat private goods (eksternalitasnya relatif rendah dan excludable),
sehingga pembiayaannya bisa dilakukan melalui mekanisme tarif dan asuransi.
Dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ditetapkan bahwa
pembiayaan UKP dilakukan melalui sistem asuransi, yaitu JKN dan/atau asuransi
kesehatan komersial. Dalam melaksanakan UKP, Puskesmas telah ditetapkan
menjadi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau provider BPJS sebagai
pengelola JKN. Sebagai FKTP BPJS, Puskesmas diharapkan mampu menangani
144 jenis diagnosis penyakit.

Pelayanan Tambahan/Baru
Seperti telah disampaikan di muka, pemerintah sudah menetapkan sejumlah
pelayanan kesehatan dasar yang menjadi kewajiban daerah, yaitu yang
ditetapkan dalam Standar Pelayanan Minimal atau SPM (PP No.2/2018 tentang

42 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


SPM). Standar Pelayanan Minimal berisi 12 jenis pelayanan dasar yang sebagian
besar bersifat UKM. Di lapangan, ujung tombak pelaksana SPM adalah
Puskesmas. Beberapa pelayanan dalam SPM sama dengan UKM esensial yang
disebutkan di atas. Hanya saja target-target SPM bersifat mengikat, yang
merupakan kesepakatan antara kepala daerah dengan gubernur. Tugas daerah
akan semakin berat kerena terdapat konsekuensi sanksi administrasi dengan
tidak terlaksananya SPM tersebut. Pelayanan tambahan/baru berikutnya
adalah Program Indonesia Sehat Pendekatan Keluarga (PISPK). Bentuk
pelaksanaan PISPK adalah kunjungan rumah oleh staf Puskesmas untuk
mencatat 12 indikator kesehatan keluarga. Isi PISPK juga berhimpitan dengan
UKM esensial dan pilihan yang disebutkan di atas. Tetapi, pelaksanaan PISPK
menambah beban kerja Puskesmas di luar gedung, yaitu mengunjungi setiap
rumah di wilayah kerjanya.

Fungsi manajemen Puskesmas


Tugas pokok dan fungsi berikutnya adalah melaksanakan manajemen
kesehatan, mulai dari pengelolaan sistem informasi, perencanaan, penggerakan,
dan pemantauan/evaluasi. Sudah banyak pedoman/petunjuk teknis untuk
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen tersebut, yang terus direvisi dan
disempurnakan. Tugas pokok dan fungsi tersebut dirinci sebagai berikut:
1. Perencanaan
Puskesmas harus menyusun rencana lima tahun yang prosesnya disebut
microplanning. Sebagai “pembina wilayah”, fungsi perencanaan ini
seharusnya sinkron dengan RPJMD kesehatan dan Renstra Kesehatan
daerah. Untuk rencana tahunan, Puskesmas menyusun rencana kerja
anggaran (RKA) tahunan, yang merupakan penjabaran microplanning.
Dokumen RKA memuat sasaran tahunan yang akan dicapai dan mengacu
pada sasaran tahunan Dinas Kesehatan. Selanjutnya Puskesmas juga perlu
melakukan “minilokakarya”, yang merupakan rencana kegiatan bulanan.
Minilokakarya diperlukan untuk mendapatkan dana operasional bulanan
yang sumbernya adalah dana bantuan operasional kesehatan (BOK) yang
ada dalam DAK non-fisik.

2. Pencatatan dan pelaporan


Berbagai jenis laporan yang harus disusun oleh Puskesmas, yaitu:
(1) Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) yang
saat ini terdiri dari sekitar 720 item data;
(2) Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA);

BAB IV | ANALISIS HASIL


43
(3) Aplikasi Primary Care (P-care), yang merupakan aplikasi sistem informasi
pelayanan pasien berbasis web yang dikembangkan oleh BPJS; dan
(4) Laporan keuangan:
a. Laporan surat pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan DAK non-
fisik;
b. Laporan penggunaan dana kapitasi, yaitu 60 persen untuk jasa
pelayanan dan 40 persen untuk biaya operasional Puskesmas dalam
menyelenggarakan tugasnya sebagai FKTP BPJS; dan
c. Laporan penggunaan anggaran sebagai pola pengelolaan keuangan
Badan Layanan Umum Daerah atau PPK-BLUD (khusus untuk
Puskesmas yang sudah berstatus PPK-BLUD).
3. Peningkatan mutu Puskesmas
Puskesmas melakukan manajemen mutu secara rutin dalam bentuk diskusi
dalam kegiatan “mini-lokakarya” (semacam audit medik dan audit kesehatan
masyarakat) dan melakukan proses untuk mendapat akreditasi.

Analisis Tugas, Fungsi dan Kewenangan Puskesmas


Sejak era JKN dan Puskesmas menjadi FKTP BPJS, beban kerja kuratif menjadi
sangat berat. Hal ini menyebabkan Puskesmas kekurangan waktu dan
tenaga untuk melaksanakan UKM. Untuk Puskesmas di wilayah perkotaan,
isu pemisahan UKM dan UKP dari tugas pokok dan fungsi Puskesmas
mengemuka. Fungsi UKP dapat dijalankan oleh fasilitas kesehatan/klinik
swasta, sementara Puskesmas dapat fokus pada UKM. Namun demikian,
melihat variasi dan kesenjangan ketersediaan fasilitas kesehatan antarwilayah
terutama di daerah terpencil dan gugus pulau, kebijakan pemisahan UKM dan
UKP dari tupoksi Puskesmas tidak bisa dilaksanakan, karena tidak tersedianya
fasilitas kesehatan/klinik swasta dalam jumlah yang cukup. Apabila tersedia,
dari sisi kualitas pelayanan masih jauh tertinggal. Beberapa alasan lain di mana
Puskesmas harus tetap melaksanakan UKM dan UKP sekaligus, yaitu:
(i) secara empiris semua jenis masalah kesehatan memerlukan upaya
promotif - preventif - skrining - pengobatan - rehabilitatif. Pendekatan
parsial tidak akan menuntaskan penyelesaian masalah kesehatan. Sebagai
contoh, untuk penanganan penyakit demam berdarah dengue atau DBD,
dibutuhkan pelayanan kesehatan UKP untuk perawatan dan UKM berupa
penyemprotan/fogging dan pemberantasan jentik nyamuk. Contoh lainnya
adalah, hipertensi memerlukan pengobatan (UKP) dan penyuluhan seperti
kampanye olahraga dan mengurangi konsumsi garam, gula dan lemak atau
GGL, serta skrining (UKM);

44 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


(ii) secara teoretis, penanganan masalah kesehatan-baik masalah kesehatan
masyarakat maupun masalah kesehatan perorangan-memerlukan
penanganan komprehensif yaitu promotif-preventif-skrining-pengobatan-
rehabilitatif (Laevel & Clark 1968), yang dilaksanakan secara holistik-eklektik
(Kusumanto Setyonegoro, 1968);
(iii) dari perspektif peraturan perundangan, dalam pasal 47 UU No.36/2009
tentang Kesehatan dinyatakan bahwa “Upaya kesehatan diselenggarakan
dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan”; dan
(iv) pemisahan UKM oleh Puskesmas dan UKP oleh klinik swasta saja akan
menyebabkan BPJS kehilangan legitimasi mengelola dana PBI, karena
sebagian besar penerima bantuan iuran (PBI) berobat ke Puskesmas. Selain
itu, tidak mudah memindahkan PBI segera berobat ke klinik swasta, karena
klinik swasta belum banyak tersedia di DTPK. Tanpa menangani pembiayaan
PBI maka BPJS melanggar prinsip solidaritas sosial yang ditetapkan dalam
peraturan perundangan.
Dalam hal UKP diselenggarakan oleh klinik swasta, yang layak dilakukan di
kota-kota, maka peran Puskesmas sebagai pembina kesehatan wilayah menjadi
semakin penting. Puskesmas tetap menjadi koordinator klinik-klinik swasta yang
ada di wilayah kerjanya. Dengan demikian, kasus-kasus yang diobati di klinik
swasta dan memerlukan intervensi UKM (misalnya DBD, penyakit menular
lainnya, keracunan makanan, dan lain-lain) dilaporkan kepada Puskesmas.
Selanjutnya, Puskesmas melakukan UKM yang diperlukan untuk kasus-kasus
yang dilaporkan tersebut. Penguatan Puskesmas untuk melaksanakan fungsi
pembina kesehatan wilayah dan UKM memerlukan pedoman teknis yang
jelas, khususnya berkaitan dengan fungsi pembina kesehatan wilayah, serta
kelengkapan SDM Puskesmas sesuai standar, khususnya tenaga kesehatan
masyarakat, sanitarian dan gizi.
Saat ini, pelaksanaan UKM terkendala karena kekurangan atau
kosongnya tenaga untuk UKM. Selain itu, agar tugas dan fungsi Puskesmas
dapat berjalan maksimal, Puskesmas juga perlu dilengkapi dengan tenaga
administrasi dan IT. Dengan banyaknya tugas pokok dan fungsi Puskesmas,
beban administrasi semakin meningkat. Berbagai jenis laporan dan aplikasi
yang harus diisi Puskesmas menyebabkan sebagian besar waktu habis untuk
melengkapi dokumen administrasi tersebut. Dengan tidak tersedianya tenaga
adminitrasi dan IT, tugas administrasi dibebankan kepada tenaga kesehatan.

BAB IV | ANALISIS HASIL


45
Hal ini menyebabkan tidak dapat terlaksananya fungsi UKP dan UKM dengan
maksimal. Di sisi lain, pelaksanaan UKP terhambat karena kekurangan atau
kekosongan obat, khususnya Puskesmas terpencil atau berada di gugus pulau.
Mutu pelayanan klinis juga tidak optimal karena ketidaklengkapan sarana
laboratorium dan reagensia, serta tidak adanya tenaga analis (laboratorium
medis). Uraian tentang tupoksi Puskesmas tersebut menjadi gambaran
bahwa penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas membutuhkan
rekomendasi strategi dan penyelesaian yang sifatnya holistik.

4.2. Kelembagaan Puskesmas


Berdasarkan regulasi, tiga status kelembagaan Puskemas, yaitu:
(1) Sebagai UPT Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (PP No.18/2016 dan PMK
No.75/2016);
(2) Sebagai FKTP BPJS (PMK No.71/2013, PMK No.19/2014); dan
(3) Sebagai PPK-BLUD (Permendagri No.61/2007).

Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan


Sesuai dengan ketentuan PP No. 18/2016 dan Permenkes No. 75/2014, status
kelembagaan Puskesmas secara formal adalah sebagai UPT Dinas Kesehatan,
dengan tupoksi sebagai pembina kesehatan wilayah, pelaksana UKM, dan UKP.
Sebagai UPT Dinas Kesehatan, Puskesmas adalah perpanjangan tangan Dinas
Kesehatan untuk melaksanakan kewajiban atau kewenangan Dinas Kesehatan,
yaitu melaksanakan empat (4) urusan pemerintah yang diserahkan ke daerah
(UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah). Sebagai UPT Dinas Kesehatan,
Puskesmas melaksanakan fungsi sebagai pembina kesehatan wilayah dan
melaksanakan UKM bersama perangkat pemerintah tingkat kecamatan,
desa dan masyarakat. “Pembina wilayah” di bidang kesehatan adalah fungsi
utama Dinkes dan oleh karenanya juga fungsi utama Puskesmas dalam
wilayah kerjanya (kecamatan). Pembinaan kesehatan wilayah pada dasarnya
adalah melaksanaan upaya-upaya kesehatan masyarakat secara komprehensif,
termasuk reduksi risiko-risiko kesehatan di suatu wilayah, peningkatan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) di masyarakat, serta upaya pencegahan secara
massal. Semuanya dilakukan bersama dengan cara menggerakkan mesin
birokrasi dan mesin sosial secara terorganisir. Puskesmas adalah pelaksana
kebijakan nasional dan daerah dalam bidang kesehatan dan bertanggung jawab
kepada Dinas Kesehatan/Pemerintah Daerah. Sebagai UPT Dinkes, Puskesmas
adalah organ pemerintah yang menjalankan fungsi Dinas Kesehatan di tingkat
kecamatan dan tidak terbatas pada unit pelayanan publik yang mempunyai
otoritas fungsional.

46 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


FKTP BPJS
Pada tahun 2013, Puskesmas ditetapkan sebagai FKTP BPJS, yakni dalam
rangka implementasi JKN. Sebagai FKTP, Puskesmas adalah unit pelayanan
publik yang bersifat fungsional. Puskesmas berkewajiban melayani peserta
BPJS yang didaftarkan pada Puskesmas bersangkutan. Sejumlah 144 diagnosis
penyakit diharapkan dapat ditangani oleh Puskesmas. Untuk itu, Puskesmas
berhak mendapat pembayaran secara kapitasi dan klaim (untuk pelayanan
tertentu). Pembayaran kapitasi digunakan sebagian untuk jasa pelayanan (60
persen) dan sebagian untuk biaya operasional dan penguatan UKP (40 persen).
Pembayaran kapitasi tersebut dikaitkan dengan kinerja yang telah ditetapkan
(Peraturan Bersama Sekjen Kemenkes dan BPJS No. 3/2016 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen
Pelayanan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama). Kinerja tersebut
mencakup 1) angka kontak; 2) rasio rujukan rawat jalan non-spesialistik; 3)
rasio peserta prolanis rutin berkunjung ke FKTP; dan 4) kunjungan ke rumah
peserta BPJS. Kinerja tersebut harus dilaporkan oleh Puskesmas dalam sistem
pelaporan setiap bulan. Hal ini menyebabkan Puskesmas mendapat beban
yang besar untuk melaksanakan pelayanan kuratif dan pembuatan laporan
kinerja tersebut. Ini berdampak pada kinerja Puskesmas melaksanakan UKM.
Dengan sangat terbatasnya tenaga kesehatan masyarakat, gizi dan sanitarian,
sebagian besar waktu bidan dan perawat yang selama ini melaksanakan UKM
terpakai untuk pelayanan kuratif dan pembuatan laporan.

Pola Pengelolaan Keuangan-Badan Layanan Umum Daerah


Dalam pengelolaan keuangan, hambatan yang dihadapi Puskesmas adalah
ketidakcukupan biaya operasional dan tata kelola keuangan pemerintah daerah
yang kaku dan tidak responsif terhadap kebutuhan biaya operasional. Dengan
alasan tersebut, dikeluarkan Permendagri No.61/2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, yang memberi peluang
kepada Puskesmas untuk mengelola keuangannya dengan pola BLUD (PPK-
BLUD atau Pola Pengelolaan Keuangan seperti BLUD). Sebagai PPK BLUD,
Puskesmas adalah Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (Dinkes) di
lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola Pengelolaan Keuangan
seperti BLUD (PPK-BLUD) memberi otonomi dan fleksibilitas pengelolaan
keuangan oleh Puskesmas. Status PPK-BLUD ini sangat membantu kelancaran

BAB IV | ANALISIS HASIL


47
pengelolaan keuangan oleh Puskesmas. Dengan status sebagai PPK-BLUD,
Puskesmas bisa langsung memanfaatkan dana operasional 40 persen dari
kapitasi, antara lain untuk mengontrak tenaga sesuai kebutuhan atau
membelanjakan dana tersebut untuk kebutuhan operasional Puskesmas.

Analisis Kelembagaan Puskesmas


Kelembagaan Puskesmas adalah “Suatu entitas UPT Dinas Kesehatan daerah
yang melaksanakan fungsi UKM dan sebagai FKTP-BPJS melaksanakan fungsi
UKP, serta mengelola keuangannya sesuai dengan PPK-BLUD.” Tantangannya
adalah bagaimana menjaga dan menjamin bahwa ketiga pilihan/jenis
kelembagaan tersebut tidak counter productive (berkompetisi satu sama
lain). Dengan ketiga status kelembagaan tersebut, muncul potensi persoalan
terjadinya “kompetisi internal” dalam hal sumber daya (terutama tenaga) di
antara ketiga jenis status tersebut. Puskesmas saat ini fokus pada statusnya
sebagai FKTP BPJS. Status sebagai provider BPJS melemahkan upaya kesehatan
masyarakat (promotif-preventif) yang merupakan peran utama Puskesmas
sebagai UPT Dinkes. Jaminan Kesehatan Nasional seharusnya memberi
ruang kepada Kementerian Kesehatan untuk mengoptimalkan UKM. Namun,
implementasi di lapangan memperlihatkan UKM terbengkalai dan Puskesmas
cenderung pada pengobatan. Puskesmas berpacu dengan JKN dan mengejar
target sebagai FKTP BPJS.
Sementara itu, kegiatan UKM yang sekarang bertumpu pada dana BOK
(DAK non-fisik), jumlahnya relatif kecil, tanpa komponen jasa pelayanan di
dalamnya. Ditambah dengan kekosongan tenaga kesehatan masyarakat maka
intensitas kegiatan UKM jauh tertinggal dibanding dengan UKP. Situasi ini
tidak sejalan dengan kebijakan nasional yang mengutamakan upaya promotif
dan preventif serta pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan. Selain itu,
12 pelayanan dasar dalam SPM bidang kesehatan semuanya adalah kegiatan
UKM. Keadaan ini, selain tidak mempercepat perbaikan indikator-indikator
kesehatan masyarakat (MMR, IMR, KIA, gizi/stunting, imunisasi, dan lain-lain),
juga mendorong eskalasi biaya kesehatan. Defisit anggaran BPJS selama 3 tahun
pelaksanaan JKN sangat besar, yaitu Rp3,3 T (2014), Rp5,85 T (2015), dan sekitar
Rp7 T (2016). Beban pengeluaran tersebut sebenarnya dapat direduksi dengan
penguatan UKM. Oleh sebab itu, tantangan ke depan adalah bagaimana
memperkuat status kelembagaan Puskesmas sebagai UPT Dinas Kesehatan
yang berfungsi sebagai pembina kesehatan wilayah dan pelaksana UKM.
Dengan adanya insentif finansial, Puskesmas terkesan “bersaing
memperebutkan” dana BPJS. Persaingan ini terutama terjadi antara Puskesmas
dan FKTP swasta. Kondisi ini menjadi tantangan dalam penguatan pelayanan

48 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


kesehatan dasar karena dalam pelayanan kesehatan, Puskesmas seharusnya
berjejaring dengan FKTP swasta. Peran Puskesmas seharusnya dapat “dibagi”
kepada FKTP swasta sehingga Puskesmas dapat fokus dengan fungsi utamanya
sebagai pembina kesehatan wilayah. Di samping itu, temuan lapangan
memperlihatkan terjadi “kebingungan” dalam mendefinisikan tugas Puskesmas
dengan statusnya sebagai UPT Dinkes. Tidak adanya pedoman dan petunjuk
teknis menyebabkan status Puskesmas sebagai UPT Dinkes tidak berjalan
maksimal. Bahkan Puskesmas dengan cakupan wilayah kerja yang cukup
luas beranggapan bahwa statusnya sebagai UPT Dinkes dinilai cukup berat,
terutama dengan keterbatasan sumber daya yang ada. Pada intinya, ketiga
status kelembagaan yang dimiliki oleh Puskesmas perlu didukung dengan
sumber daya yang memadai, terutama SDM.
Status PPK-BLUD dilihat sebagai peluang meningkatkan kinerja
Puskesmas. Puskesmas didorong menjadi PPK-BLUD untuk mempercepat
pengelolaan keuangan. Namun, persyaratan untuk menjadi PPK-BLUD tidak
mudah, yaitu harus memenuhi (i) syarat substantif; (ii) syarat administratif;
dan (iii) syarat teknis. Syarat substantif artinya Puskesmasmenghasilkan
pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat. Syarat ini secara otomatis
terpenuhi oleh Puskesmas karena pelayanan kesehatan dasar pada dasarnya
adalah pelayanan publik. Syarat administratif adalah permintaan dan izin
dari “pemilik Puskesmas”, yaitu kepala daerah. Untuk menjadi PPK-BLUD,
inisiatif atau usulannya berasal dari kepala daerah. Di beberapa kabupaten,
kepala daerah telah menetapkan untuk mengusahakan status PPK-BLUD bagi
Puskesmas di wilayahnya, misalnya kabupaten Bandung, Bondowoso, dan
Situbondo. Dari ketiga persyaratan tersebut, yang menjadi hambatan adalah
syarat teknis. Puskesmas harus mengajukan Rencana Bisnis Strategis (RBS)
dan menyampaikan accounting balance keuangan dan kekayaan atau asetnya.
Selain itu, Puskesmas juga harus sudah mencapai tingkat cost recovery tertentu.
Apabila Puskesmas menjadi PPK-BLUD, maka pengelolaan keuangannya harus
mengikuti akuntansi akrual dan akuntansi kas (accrual accounting dan cash
basis accounting). Dengan syarat yang tidak mudah tersebut, khususnya syarat
teknis maka belum banyak Puskesmas yang sudah mendapat status sebagai
PPK-BLUD. Dari 9.767 Puskesmas (2017), hanya 689 (6,9 persen) yang sudah
berstatus PPK-BLUD.
Selain ketersediaan sumber daya terutama tenaga, dalam menjalankan
ketiga status Puskesmas tersebut, diperlukan pembinaan dan peningkatan
kapasitas Puskesmas. Dinas Kesehatan berperan besar untuk membina
Puskesmas sebagai UPT-nya. Namun, temuan lapangan memperlihatkan peran

BAB IV | ANALISIS HASIL


49
Dinkes yang cukup kecil dirasakan oleh Puskesmas. Keterbatasan anggaran
dan kurangnya insentif Dinas Kesehatan menyebabkan perannya tidak dapat
berjalan maksimal.

4.3. Sumber Daya Manusia Puskesmas


Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, ditetapkan standar
ketenagaan Puskesmas yang terdiri dari 10 jenis tenaga (Permenkes No.
75/2016), yaitu 1) dokter; 2) dokter gigi; 3) perawat; 4) bidan; 5) farmasi; 6)
kesehatan masyarakat; 7) sanitarian; 8) gizi; 9) laboratorium medis; dan 10)
tenaga umum. Hasil asesmen SDM Puskesmas di 5 kabupaten ditambah
dengan Kabupaten Aceh Utara di Provinsi Aceh dan Kabupaten Majalengka
di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa hampir semua Puskesmas belum
memenuhi standar tersebut.
Tabel 4.1 Situasi Ketenagaan Puskesmas di 7 Kabupaten, 2016
Situ- Toba Jenepon- Maluku Aceh Maja-
Ngada
Jumlah Puskesmas bondo Samosir to Tengah Utara lengka
17 19 18 14 33 31 32
Dokter Jumlah 27 33 24 16 10 98 69
Standar 29 21 27 17 47 44 41
Maldis- 7 13 1 3 0 59 8
tribusi
Kurang 9 1 4 4 37 5 0
Drg Jumlah 19 9 19 6 1 14 14
Standar 17 19 18 14 33 31 32
Maldis- 2 0 2 0 0 1 0
tribusi
Kurang 0 10 1 8 32 18 18
Perawat Jumlah 367 147 133 284 379 322 357
Standar 121 101 117 79 207 194 187
Maldis- 246 64 34 209 187 158 173
tribusi
Kurang 0 18 18 4 15 30 1
Bidan Jumlah 496 425 156 312 312 581 510
Standar 104 82 99 65 174 163 155
Maldis- 392 343 59 250 170 430 355
tribusi
Kurang 0 0 2 3 32 12 0

50 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


Situ- Toba Jenepon- Maluku Aceh Maja-
Ngada
Jumlah Puskesmas bondo Samosir to Tengah Utara lengka
17 19 18 14 33 31 32
Farmasi Jumlah 16 18 18 22 2 48 28
Standar 17 19 18 14 33 31 32
Maldis- 4 4 3 10 1 29 2
tribusi
Kurang 5 5 3 2 32 12 6
Kesmas Jumlah 13 11 20 49 6 201 32
Standar 17 19 18 14 33 31 32
Maldis- 1 2 7 35 0 173 9
tribusi
Kurang 5 10 5 0 27 3 8
Sanitarian Jumlah 14 10 21 23 33 27 39
Standar 17 19 18 14 33 31 32
Maldis- 0 3 11 11 14 11 9
tribusi
Kurang 3 12 8 2 14 15 2
Gizi Jumlah 25 17 21 15 34 6 27
Standar 29 21 27 17 47 44 41
Maldis- 3 7 1 3 11 1 1
tribusi
Kurang 7 11 7 5 24 39 15
Lab Media Jumlah 12 6 5 21 0 30 15
Standar 17 19 18 14 33 31 32
Maldis- 1 2 0 10 0 9 1
tribusi
Kurang 6 15 13 3 33 10 18
Sumber: Diolah dari data BPPSDMK

Pada tabel di atas, terdapat tiga masalah utama yang dialami Puskesmas,
yaitu 1) kekurangan tenaga; 2) maldistribusi tenaga; dan 3) melebihi standar.
Jenis tenaga yang kurang adalah (i) lab-medis; (ii) gizi; (iii) sanitarian; (iv)
kesehatan masyarakat; dan (v) dokter gigi. Keadaan ini disebabkan kebijakan
moratorium pengangkatan PNS. Untuk tenaga kesehatan, kebijakan tersebut
dikecualikan untuk dokter, perawat dan bidan, tetapi berlaku untuk dokter gigi,
farmasi, kesmas, sanitarian, gizi dan lab-medis. Pada tabel tersebut juga terlihat
maldistribusi yang sangat signifikan, terutama tenaga perawat dan bidan.

BAB IV | ANALISIS HASIL


51
Kurangnya tenaga perawat dan bidan di beberapa Puskesmas, dapat diatasi
apabila dilakukan redistribusi tenaga. Selain itu, di banyak Puskesmas tenaga
perawat dan bidan melebihi standar kebutuhan. Di Kabupaten Maluku Tengah
(dengan 33 Puskesmas), kekurangan tenaga tersebut cukup besar, termasuk
tenaga 1) dokter (kurang 37 orang); 2) dokter gigi (kurang 32 orang); 3) farmasi
(kurang 31 orang); 4) kesmas (kurang 27 orang); 5) gizi (kurang 13 orang); dan
6) lab-medis (kurang 33 orang). Kabupaten Maluku Tengah adalah kabupaten
dengan wilayah kepulauan. Puskesmas di kabupaten tersebut terletak di
beberapa gugus pulau yang hanya dapat dijangkau melalui transportasi laut
(boat dan/atau speed boat). Pola tenaga seperti di atas berdampak pada kinerja
UKM dan mutu UKP. Kurangnya tenaga kesehatan masyarakat, sanitarian dan
gizi menyebabkan kinerja pelayanan di luar gedung (imunisasi, penimbangan,
kunjungan rumah, dan lain-lain) menurun. Kurangnya tenaga farmasi dan
lab-medis berdampak pada mutu pelayanan. Sebagai contoh adalah mutu
pemeriksaan dahak (TB), pemeriksaan laboratorium, dan lain-lain.

Analisis Sumber Daya Manusia Puskesmas


Dari analisis data SDM Puskesmas (PPSDM, 2016) dan temuan lapangan,
terdapat beberapa masalah terkait SDM Puskesmas, yaitu:
(1) Kekurangan dan kelebihan tenaga secara umum;
(2) Maldistribusi tenaga antar-Puskesmas di suatu daerah;
(3) Kekosongan dan kekurangan tenaga, yaitu tenaga (1) kesehatan masyarakat;
(2) sanitarian; (3) gizi; (4) farmasi; dan (5) laboratorium medis;
(4) Adanya kebutuhan untuk tenaga pengelola sistem informasi;
(5) Adanya kebutuhan untuk tenaga pengelola keuangan; dan
(6) Rencana kebutuhan SDM kesehatan belum disusun oleh daerah.

Dampak kebijakan moratorium pengangkatan CPNS


Kekurangan dan kelebihan tenaga dilihat dengan membandingkan tenaga yang
ada di Puskesmas dengan kebutuhan tenaga menurut standar. Kekurangan
tenaga dokter ditemukan di Situbondo, Jeneponto, Ngada, dan Maluku Tengah.
Sebaliknya kelebihan tenaga dokter ditemukan di Toba Samosir, Aceh Utara,
dan Majalengka. Sementara itu, tenaga dokter gigi pada umumnya kurang di
semua kabupaten. Jenis tenaga yang kurang dan ditemukan hampir di semua
daerah adalah tenaga (i) farmasi; (ii) kesehatan masyarakat; (iii) sanitarian;
(iv) gizi; dan (v) laboratorium medis. Walaupun tersedia, daerah tidak dapat
merekrut karena tidak ada formasi. Ketiadaan formasi ini berkaitan dengan
kebijakan nasional tentang moratorium pengangkatan CPNS (Keputusan

52 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


Bersama Menteri PAN/RB, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan
tahun 2011). Keputusan tersebut dikecualikan (tidak berlaku) untuk tenaga
(i) dokter; (ii) bidan; dan (iii) perawat. Kebijakan moratorium ini sangat
besar dampaknya terhadap ketersediaan tenaga pelaksana UKM (kesehatan
masyarakat, sanitarian dan gizi) dan terhadap tenaga penunjang pelayanan
medis (farmasi dan laboratorium medis).

Kelebihan dan maldistribusi tenaga perawat dan bidan


Di hampir semua kabupaten yang dikunjungi, ditemukan maldistribusi perawat
dan bidan. Di banyak Puskesmas ditemukan jumlah perawat dan bidan yang
melebihi standar kebutuhan. Kelebihan tersebut cukup signifikan. Di Kabupaten
Situbondo ditemukan kelebihan perawat sebanyak 246 orang dan kelebihan
bidan sebanyak 392 orang. Di Maluku Tengah, kelebihan perawat mencapai 187
orang dan kelebihan bidan sebanyak 170 orang.

Kekurangan tenaga pelaksana fungsi UKM


Tenaga kesehatan masyarakat, sanitarian dan gizi adalah tenaga pelaksana
untuk fungsi UKM. Kekurangan tenaga UKM di 6 kabupaten lokasi kajian
menjadi faktor menurunnya kinerja UKM. Menurunnya kinerja UKM ini
diperburuk dengan bertambahnya beban kerja bidan dan perawat untuk
melayani pengobatan peserta JKN/BPJS dan beban penyusunan laporan
administrasi.

Kekurangan tenaga penunjang untuk pelayanan UKP


Tenaga farmasi dan laboratorium medis sangat penting untuk menjamin mutu
pelayanan klinik di Puskesmas. Ketiadaan tenaga farmasi juga menghambat
kelancaran penyusunan kebutuhan obat oleh Puskesmas. Ketiadaan
laboratorium medis berpengaruh pada diagnosis laboratorium. Sebagai contoh,
rendahnya temuan kasus TB (+) atau CDR (Case Detection Rate) antara lain
karena kurangnya kemahiran tenaga yang bukan laboratorium medis untuk
mendapatkan dan memeriksa dahak suspect TB.

Kebutuhan mendesak untuk tenaga pengelola sistem informasi dan keuangan


Semua daerah menyatakan kebutuhan mendesak untuk tenaga pengelola
sistem informasi Puskesmas dengan jenjang pendidikan D-3 Informatika.
Puskesmas menyatakan bahwa beban mengelola sistem informasi ini sangat
berat, termasuk laporan SP2TP (dengan 720-an item data), SIKDA Generik (di
NTT) dan P-Care. Tenaga informatika ini-selain dibutuhan oleh Puskesmas-juga

BAB IV | ANALISIS HASIL


53
membantu pengembangan sistem informasi elektronik oleh Dinas Kesehatan
dengan jejaring Puskesmas. Selain itu, dibutuhkan pula tenaga pengelola
keuangan Puskesmas (misalnya D-3 akuntansi). Staf Puskesmas mengeluhkan
banyaknya waktu tersita untuk menyusun laporan keuangan (DAK non-
fisik, kapitasi, dan dana lain). Di Situbondo, Jeneponto, dan Ngada misalnya,
perawat dan bidan bekerja sampai “jam 3 pagi” untuk menyelesaikan SPJ dana
DAK nonfisik dan penggunaan dana kapitasi. Karena tenaga informatika dan
pengelolaan keuangan adalah kebutuhan nyata di tingkat Puskesmas maka
perlu dilakukan revisi PMK-75/2016 yaitu menambahkan dua jenis tenaga
tersebut dalam standar tenaga Puskesmas.
Gambar 4.1 Laporan Pertanggungjawaban Administrasi Puskesmas

Banyaknya laporan pertanggungjawaban yang harus disiapkan oleh Puskesmas


menyita banyak waktu dan tenaga

Sumber: Dokumentasi Tim Kajian (Puskesmas Walang, Kecamatan Banda,


Kabupaten Maluku Tengah)

Rencana kebutuhan dan pengelolaan SDM Kesehatan


Tidak satu pun kabupaten yang dikunjungi telah menyusun rencana kebutuhan
dan pengelolaan SDM kesehatan. Pengelolaan tenaga lebih bersifat reaktif-
inovatif untuk mengatasi masalah secara jangka pendek. Rencana kebutuhan
SDM kesehatan perlu disusun oleh daerah, sesuai dengan ketetapan UU No.
23/2014 tentang pembagian urusan kesehatan, di mana urusan pengelolaan
SDM kesehatan adalah salah satu dari empat urusan kesehatan yang diserahkan
kepada daerah. Rencana tersebut meliputi (i) rencana kebutuhan; (ii) rencana
pengadaan; (iii) rencana pengangkatan; (iv) rencana penempatan; dan (v)
rencana pembinaan. Kemenpan-RB telah mengembangkan satu metode untuk
merencanakan kebutuhan tenaga, yaitu ABK (Analisis Beban Kerja). Tidak
disusunnya rencana kebutuhan SDM kesehatan tersebut disebabkan karena:

54 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


(i) belum tersosialisasinya keharusan menyusun rencana tersebut seperti
ditetapkan dalam UU-23/2014; (ii) tidak adanya kemampuan menyusun
rencana tersebut; dan (iii) persepsi dan attitude bahwa rencana kebutuhan
SDM kesehatan percuma disusun karena adanya kebijakan moratorium.

Solusi inovatif
Berdasarkan UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, Pemerintah dan
Pemda wajib memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan baik dalam jumlah,
jenis dan kompetensinya (Pasal 13). Pada pasal 27 ayat 3, dalam hal terjadi
kekosongan pemerintah dan pemda wajib menyediakan tenaga kesehatan
pengganti. Masalah kekurangan tenaga Puskesmas sudah coba diatasi dengan
berbagai cara. Walaupun terdapat kebijakan moratorium pengangkatan PNS,
beberapa daerah melakukan solusi inovatif untuk mengatasi kekurangan
tenaga kesehatan di Puskesmas. Pertama, pengangkatan tenaga sukarela.
Di Kabupaten Situbondo dan Jeneponto, dilakukan pengangkatan tenaga
“sukarela” untuk mengisi pos tenaga yang kosong. Tenaga sukarela tersebut
diberikan honor yang berasal dari penyisihan “jasa pelayanan” kapitasi masing-
masing staf Puskesmas. Di Kabupaten Ngada, tenaga sukarelawan tersebut
dibayar dengan menggunakan Dana Desa. Penggunaan dana desa tersebut
dilakukan setelah ada kesepakatan dan persetujuan masyarakat dan kepala
desa. Kedua, di tingkat nasional, Kemenkes melaksanakan program “Nusantara
Sehat” (NS) untuk memenuhi kebutuhan tenaga SDM di Puskesmas yang
terletak di DTPK dan DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan). Program NS dimulai
sejak tahun 2014 dan sampai tahun 2017 sudah ditempatkan sekitar 2.500
tenaga dalam program tersebut, dengan durasi penugasan selama 2 tahun dan
gaji sebesar Rp7.850.000,00/bulan untuk tenaga dokter dan dokter gigi serta
Rp4.400.000,00 untuk tenaga lulusan D-3. Kebijakan afirmatif ini mendukung
percepatan pemerataan ketersediaan tenaga di Puskesmas terpencil. Hanya
saja, penempatan NS perlu dilengkapi dengan ketersediaan sarana dan prasana
yang memadai. Di Puskesmas gugus pulau yang terpencil di Kabupaten
Maluku Tengah, efektivitas tim NS tidak optimal karena (i) sarana kerja yang
tidak lengkap terutama untuk tenaga laboratorium medis; (ii) terlambatnya
realisasi dana DAK non-fisik yang diperlukan untuk melaksanakan UKM; dan
(iii) kekosongan/kekurangan obat karena sistem RKO dan e-purchasing tidak
berjalan lancar. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan kinerja pelayanan
kesehatan dasar di Puskesmas tidak dapat dilakukan secara parsial.

BAB IV | ANALISIS HASIL


55
Gambar 4.2 Tim Nusantara Sehat di Puskesmas Waer, Kecamatan Banda

Program Nusantara Sehat sebagai solusi inovatif mengatasi kekurangan tenaga


kesehatan di Puskesmas

Sumber: Dokumentasi Tim Kajian

Pencabutan moratorium pengangkatan tenaga kesehatan


Moratorium pengangkatan tenaga kesehatan bukanlah kebijakan yang tepat,
karena dimanapun kebutuhan kesehatan selalu meningkat dan tidak bisa
dihentikan; sejalan dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya “need”
dan “demand” akan UKM dan UKP. Penanganan masalah kesehatan bukan
suatu kegiatan yang bisa ditunda. Oleh sebab itu, moratorium pengangkatan
tenaga kesehatan seperti ditetapkan dalam Keputusan Bersama Menpan/
RB, Kemendagri, dan Kemenkeu perlu direvisi secepatnya; yaitu menghapus
moratorium pengangkatan tenaga kesehatan masyarakat, sanitarian, gizi,
farmasi, dan laboratorium medis.

56 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


Tabel 4.2 Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten Situbondo
Dokter Drg Perawat Bidan Farmasi Kesmas Sanitarian Gizi Lab medis
No Nama Puskesmas NP, P
Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg
1 Arjasa P 1 2 0 1 1 1 0 0 29 8 21 0 32 7 25 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0
2 Asembagus NP 1 2 0 1 1 1 0 0 19 8 11 0 33 7 26 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 2 0 1 0 1 0 1
3 Banyuglugur P 2 2 0 0 1 1 0 0 12 8 4 0 26 7 19 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0
4 Banyuputih NP 1 1 0 0 1 1 0 0 26 5 21 0 36 4 32 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
5 Besuki NP 7 1 6 0 1 1 0 0 22 5 17 0 34 4 30 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 2 1 1 0 2 1 1 0
6 Bungatan P 1 2 0 1 1 1 0 0 15 8 7 0 22 7 15 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 2 2 0 0 1 1 0 0
7 Jangkar P 1 2 0 1 1 1 0 0 28 8 20 0 31 7 24 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0
8 Jatibanteng NP 1 1 0 0 1 1 0 0 16 5 11 0 20 4 16 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0
9 Kapongan P 1 2 0 1 1 1 0 0 23 8 15 0 38 7 31 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 2 2 0 0 0 1 0 1
10 Kendit P 2 2 0 0 1 1 0 0 19 8 11 0 33 7 26 0 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 2 2 0 0 0 1 0 1
11 Mangaran P 2 2 0 0 1 1 0 0 21 8 13 0 23 7 16 0 2 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 3 2 1 0 1 1 0 0
12 Mlandingan P 1 2 0 1 1 1 0 0 23 8 15 0 26 7 19 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 1 0 1 0 1
13 Panarukan P 3 2 1 0 3 1 2 0 22 8 14 0 33 7 26 0 3 1 2 0 1 1 0 0 1 1 0 0 2 2 0 0 1 1 0 0
14 Panji NP 0 1 0 1 1 1 0 0 36 5 31 0 41 4 37 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 2 1 1 0 1 1 0 0
15 Situbondo NP 1 1 0 0 1 1 0 0 19 5 14 0 25 4 21 0 1 1 0 0 2 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
16 Suboh P 1 2 0 1 1 1 0 0 20 8 12 0 25 7 18 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0
17 Sumber Malang P 1 2 0 1 1 1 0 0 17 8 9 0 18 7 11 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0
Jumlah 27 29 7 9 19 17 2 0 367 121 246 0 496 104 392 0 16 17 4 5 13 17 1 5 14 17 0 3 25 29 3 7 12 17 1 6
Sumber: Diolah dari data BPPSDMK

BAB IV | ANALISIS HASIL


57
58
Tabel 4.3 Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten Toba Samosir
Dokter Drg Perawat Bidan Farmasi Kesmas Sanitarian Gizi Lab-medis
No Nama Puskesmas P, NP
Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std MaldKrg Jml Std MaldKrg Jml Std Mald Krg Jml Std MaldKrg Jml Std MaldKrg
1 Aek Natolu NP 1 1 0 0 0 1 0 1 2 5 0 3 10 4 6 0 2 1 1 0 1 1 0 0 4 1 3 0 1 1 0 0 0 1 0 1
2 Ajibata P 3 2 1 0 1 1 0 0 8 8 0 0 27 7 20 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 2 0 2 1 1 0 0
3 Balige NP 4 1 3 0 1 1 0 0 14 5 9 0 44 4 40 0 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 2 1 1 0 2 1 1 0
4 Bor Bor NP 1 1 0 0 0 1 0 1 5 5 0 0 20 4 16 0 0 1 0 1 2 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
5 Janji Matogu NP 1 1 0 0 0 1 0 1 1 5 0 4 12 4 8 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
6 Laguboti NP 2 1 1 0 0 1 0 1 10 5 5 0 9 4 5 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 2 1 1 0 1 1 0 0
7 Liumban Julu NP 0 1 0 1 0 1 0 1 0 5 0 5 16 4 12 0 0 1 0 1 2 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 2 1 1 0
8 Lumban Lobu NP 1 1 0 0 1 1 0 0 7 5 2 0 13 4 9 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
9 Narumonda NP 2 1 1 0 0 1 0 1 1 5 0 4 22 4 18 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
10 Nassau NP 2 1 1 0 0 1 0 1 8 5 3 0 18 4 14 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
11 Parmaksian NP 1 1 0 0 0 1 0 1 5 5 0 0 24 4 20 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1
12 Parsoburan P 3 2 1 0 1 1 0 0 18 8 10 0 28 7 21 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 1 0 1 0 1
13 Pintu Pohan Maranti NP 2 1 1 0 0 1 0 1 6 5 1 0 23 4 19 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1
14 Porsea NP 2 1 1 0 1 1 0 0 9 5 4 0 28 4 24 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 2 1 1 0 0 1 0 1
15 Sigumpar NP 1 1 0 0 1 1 0 0 15 5 10 0 38 4 34 0 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 3 1 2 0 0 1 0 1
16 Silaen NP 3 1 2 0 1 1 0 0 14 5 9 0 28 4 24 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1
17 Soposurung NP 1 1 0 0 1 1 0 0 15 5 10 0 25 4 21 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 3 1 2 0 0 1 0 1
18 Tampahan NP 2 1 1 0 0 1 0 1 6 5 1 0 20 4 16 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1
19 Uluan NP 1 1 0 0 1 1 0 0 3 5 0 2 20 4 16 0 2 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1

PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


Jumlah 33 21 13 1 9 19 0 10 147 101 64 18 425 82 343 0 18 19 4 5 11 19 2 10 10 19 3 12 17 21 7 11 6 19 2 15

Sumber: Diolah dari data BPPSDMK


Tabel 4.4 Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten Jeneponto
Dokter Drg Perawat Bidan Farmasi Kesmas Sanitarian Gizi Lab. Medis
No Nama Puskesmas NP/P
Jml Std MaldKrg Jml Std MaldKrg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std MaldKrg Jml Std Mald Krg
1 Arungkeke NP 1 1 0 0 1 1 0 0 6 5 1 0 10 4 6 0 1 1 0 0 0 1 0 1 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1
2 Bangkala P 2 2 0 0 1 1 0 0 17 8 9 0 13 7 6 0 1 1 0 0 1 1 0 0 5 1 4 0 2 2 0 0 0 1 0 1
3 Barana NP 1 1 0 0 1 1 0 0 9 5 4 0 7 4 3 0 1 1 0 0 2 1 1 0 0 1 0 1 2 1 1 0 1 1 0 0
4 Binamu P 2 2 0 0 1 1 0 0 4 8 0 4 7 7 0 0 2 1 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0 2 2 0 0 0 1 0 1
5 Binamu Kota NP 1 1 0 0 2 1 1 0 7 5 2 0 7 4 3 0 3 1 2 0 3 1 2 0 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1
6 Bontomatene NP 1 1 0 0 1 1 0 0 5 5 0 0 11 4 7 0 1 1 0 0 2 1 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1
7 Bontoramba P 1 2 0 1 2 1 1 0 8 8 0 0 13 7 6 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0
8 Bontosungu Kota NP 1 1 0 0 1 1 0 0 10 5 5 0 8 4 4 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
9 Buludoang NP 3 2 1 0 1 1 0 0 8 8 0 0 7 7 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 2 1 1 0 2 2 0 0 1 1 0 0
10 Bululoe NP 1 1 0 0 1 1 0 0 8 5 3 0 6 4 2 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1
11 Kapita NP 1 1 0 0 0 1 0 1 4 5 0 1 7 4 3 0 0 1 0 1 0 1 0 1 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1
12 Rumbia P 1 2 0 1 1 1 0 0 6 8 0 2 7 7 0 0 1 1 0 0 2 1 1 0 0 1 0 1 1 2 0 1 0 1 0 1
13 Tamalatea P 2 2 0 0 1 1 0 0 17 8 9 0 10 7 3 0 1 1 0 0 3 1 2 0 4 1 3 0 1 2 0 1 1 1 0 0
14 Tarowang NP 1 1 0 0 1 1 0 0 2 5 0 3 7 4 3 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1
15 Tino P 2 2 0 0 1 1 0 0 3 8 0 5 5 7 0 2 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 2 0 1 0 1 0 1
16 Togo Togo P 1 2 0 1 1 1 0 0 5 8 0 3 10 7 3 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 2 0 1 1 1 0 0
17 Tolo P 1 2 0 1 1 1 0 0 9 8 1 0 11 7 4 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 2 0 1 0 1 0 1
18 Tompobulu NP 1 1 0 0 1 1 0 0 5 5 0 0 10 4 6 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1
Jumlah 24 27 1 4 19 18 2 1 133 117 34 18 156 99 59 2 18 18 3 3 20 18 7 5 21 18 11 8 21 27 1 7 5 18 0 13

Sumber: Diolah dari data BPPSDMK

BAB IV | ANALISIS HASIL


59
60
Tabel 4.5 Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten Maluku Tengah
Dokter Drg Perawat Bidan Farmasi Kesmas Sanitarian Gizi Lab medis
No Nama Puskesmas N/P
Jml Std Mald Kurg Jml Std MaldKurg Jml Std MaldKurg Jml Std MaldKurg Jml Std MaldKurg Jml Std MaldKurg Jml Std MaldKurg Jml Std MaldKurg Jml Std Mald Kurg
1 Allang P 1 2 0 1 0 1 0 1 14 8 6 0 23 7 16 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 2 0 2 0 1 0 1
2 Amahai P 1 2 0 1 0 1 0 1 22 8 14 0 7 7 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 2 2 0 0 0 1 0 1
3 Ameth P 0 2 0 2 0 1 0 1 9 8 1 0 3 7 0 4 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 2 0 2 0 1 0 1
4 Booi Paperu NP 1 1 0 0 0 1 0 1 6 5 1 0 2 4 0 2 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1
5 Haruku Samet P 0 2 0 2 0 1 0 1 4 8 0 4 6 7 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 2 0 2 0 1 0 1
6 Hatamano NP 0 1 0 1 0 1 0 1 7 5 2 0 8 4 4 0 0 1 0 1 0 1 0 1 2 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1
7 Hila P 0 2 0 2 0 1 0 1 13 8 5 0 14 7 7 0 0 1 0 1 0 1 0 1 3 1 2 0 2 2 0 0 0 1 0 1
8 Hitu P 0 2 0 2 0 1 0 1 19 8 11 0 18 7 11 0 0 1 0 1 1 1 0 0 2 1 1 0 1 2 0 1 0 1 0 1
9 Jasirah Tenggara NP 0 1 0 1 0 1 0 1 8 5 3 0 6 4 2 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
10 Laimu P 0 2 0 2 0 1 0 1 6 8 0 2 0 7 0 7 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 2 0 2 0 1 0 1
11 Layeni P 0 2 0 2 0 1 0 1 13 8 5 0 10 7 3 0 0 1 0 1 0 1 0 1 2 1 1 0 1 2 0 1 0 1 0 1
12 Letwaru NP 0 1 0 1 0 1 0 1 36 5 31 0 25 4 21 0 0 1 0 1 0 1 0 1 3 1 2 0 2 1 1 0 0 1 0 1
13 Masohi NP 1 1 0 0 0 1 0 1 15 5 10 0 16 4 12 0 2 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
14 Morokay NP 0 1 0 1 0 1 0 1 6 5 1 0 3 4 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1
15 Negeri Lima NP 1 1 0 0 0 1 0 1 9 5 4 0 6 4 2 0 0 1 0 1 0 1 0 1 4 1 3 0 5 1 4 0 0 1 0 1
16 Pasahari A P 1 2 0 1 0 1 0 1 7 8 0 1 3 7 0 4 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 2 0 1 0 1 0 1
17 Pasahari B NP 0 1 0 1 0 1 0 1 9 5 4 0 4 4 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1
18 Pasanea NP 0 1 0 1 0 1 0 1 13 5 8 0 5 4 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 2 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1
19 Pelauw P 0 2 0 2 0 1 0 1 19 8 11 0 6 7 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 3 2 1 0 0 1 0 1
20 Porto Haria NP 1 1 0 0 0 1 0 1 2 5 0 3 9 4 5 0 0 1 0 1 0 1 0 1 2 1 1 0 2 1 1 0 0 1 0 1
21 Rumday NP 1 1 0 0 0 1 0 1 6 5 1 0 7 4 3 0 0 1 0 1 0 1 0 1 2 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1
22 Sahulauw NP 0 1 0 1 0 1 0 1 12 5 7 0 14 4 10 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1

PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


23 Saleman NP 0 1 0 1 0 1 0 1 7 5 2 0 2 4 0 2 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1
24 Saparua NP 0 1 0 1 0 1 0 1 6 5 1 0 5 4 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
25 Suli P 1 2 0 1 0 1 0 1 13 8 5 0 26 7 19 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 2 0 1 0 1 0 1
26 Tamilouw NP 0 1 0 1 0 1 0 1 10 5 5 0 1 4 0 3 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
27 Tehoru P 0 2 0 2 0 1 0 1 17 8 9 0 9 7 2 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 2 0 1 0 1 0 1
28 Tehua NP 0 1 0 1 0 1 0 1 4 5 0 1 2 4 0 2 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
29 Tulehu NP 1 1 0 0 0 1 0 1 17 5 12 0 17 4 13 0 0 1 0 1 0 1 0 1 2 1 1 0 4 1 3 0 0 1 0 1
30 Waai P 0 2 0 2 0 1 0 1 27 8 19 0 33 7 26 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 2 0 1 0 1 0 1
31 Waer NP 0 1 0 1 0 1 0 1 2 5 0 3 2 4 0 2 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 2 1 1 0 0 1 0 1
32 Wahai P 0 2 0 2 1 1 0 0 17 8 9 0 19 7 12 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 2 0 1 0 1 0 1
33 Walang NP 0 1 0 1 0 1 0 1 4 5 0 1 1 4 0 3 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1
Jumlah 10 47 0 37 1 33 0 32 379 207 187 15 312 174 170 32 2 33 1 32 6 33 0 27 33 33 14 14 34 47 11 24 0 33 0 33

Sumber: Diolah dari data BPPSDMK


Tabel 4.6 Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten Ngada
Dokter Drg Perawat Bidan Farmasi Kesmas Sanitarian Gizi Analis
No Nama Puskesmas N/NP
Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg Jml Std Mald Krg
1 Aimere P 1 2 0 1 1 1 0 0 27 8 19 0 19 7 12 0 3 1 2 0 3 1 2 0 1 1 0 0 3 2 1 0 2 1 1 0
2 Inerie NP 1 1 0 0 0 1 0 1 13 5 8 0 25 4 21 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0
3 Koeloda NP 1 1 0 0 0 1 0 1 37 5 32 0 19 4 15 0 1 1 0 0 5 1 4 0 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1
4 Kota NP 3 1 2 0 1 1 0 0 21 5 16 0 40 4 36 0 1 1 0 0 6 1 5 0 3 1 2 0 1 1 0 0 3 1 2 0
5 Ladja NP 1 1 0 0 1 1 0 0 24 5 19 0 28 4 24 0 3 1 2 0 3 1 2 0 2 1 1 0 1 1 0 0 2 1 1 0
6 Mangulewa NP 1 1 0 0 0 1 0 1 28 5 23 0 26 4 22 0 1 1 0 0 5 1 4 0 3 1 2 0 2 1 1 0 0 1 0 1
7 Maronggela NP 2 1 1 0 0 1 0 1 1 5 0 4 1 4 0 3 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
8 Nata Randang NP 0 1 0 1 0 1 0 1 15 5 10 0 18 4 14 0 2 1 1 0 4 1 3 0 0 1 0 1 1 1 0 0 2 1 1 0
9 Rawangkalo NP 0 1 0 1 0 1 0 1 9 5 4 0 16 4 12 0 1 1 0 0 5 1 4 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0
10 Riung P 2 2 0 0 1 1 0 0 16 8 8 0 19 7 12 0 2 1 1 0 6 1 5 0 1 1 0 0 1 2 0 1 5 1 4 0
11 Surisina NP 1 1 0 0 0 1 0 1 26 5 21 0 36 4 32 0 3 1 2 0 1 1 0 0 3 1 2 0 2 1 1 0 1 1 0 0
12 Waepana P 2 2 0 0 1 1 0 0 35 8 27 0 27 7 20 0 3 1 2 0 6 1 5 0 2 1 1 0 1 2 0 1 2 1 1 0
13 Watu Kapu NP 0 1 0 1 0 1 0 1 15 5 10 0 20 4 16 0 1 1 0 0 2 1 1 0 2 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0
14 Watumanu NP 1 1 0 0 1 1 0 0 17 5 12 0 18 4 14 0 1 1 0 0 1 1 0 0 2 1 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0
Jumlah 16 17 3 4 6 14 0 8 284 79 209 4 312 65 250 3 22 14 10 2 49 14 35 0 23 14 11 2 15 17 3 5 21 14 10 3
Sumber: Diolah dari data BPPSDMK

BAB IV | ANALISIS HASIL


61
62
Tabel 4.7 Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten Aceh Utara
Dokter Drg Perawat Bidan Farmasi Kesmas Sanitarian Gizi Lab medis
No Nama Puskesmas P/NP
Jml Std Mald Kurg Jml Std Mald Kurg Jml Std Mald Kurg Jml Std Mald Kurg Jml Std Mald Kurg Jml Std Mald Kurg Jml Std Mald Kurg Jml Std Mald Kurg Jml Std Mald Kurg
1 Baktiya P 2 2 0 - - 1 0 1 10 8 2 - 20 7 13 - 2 1 1 - 5 1 4 - - 1 0 1 - 2 0 2 1 1 0 0
2 Banda Baro NP 3 1 2 - - 1 0 1 4 5 0 1 7 4 3 - 2 1 1 - 8 1 7 - - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1
3 Blang Geulumpang NP 13 1 12 - - 1 0 1 1 5 0 4 9 4 5 - 2 1 1 - 6 1 5 - 2 1 1 - - 1 0 1 - 1 0 1
4 Buket Hagu NP 2 1 1 - - 1 0 1 4 5 0 1 13 4 9 - 2 1 1 - 4 1 3 - - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1
5 Cot Girek NP 3 1 2 - - 1 0 1 4 5 0 1 17 4 13 - - 1 0 1 7 1 6 - 1 1 0 - - 1 0 1 1 1 0 0
6 Dewantara NP 4 1 3 - 1 1 0 - 14 5 9 - 21 4 17 - 2 1 1 - 19 1 18 - - 1 0 1 2 1 1 - 4 1 3 0
7 Geureudong Pase NP 3 1 2 - 1 1 0 - 7 5 2 - 10 4 6 - - 1 0 1 2 1 1 - 1 1 0 - - 1 0 1 2 1 1 0
8 Kuta Makmur P 3 2 1 - 1 1 0 - 11 8 3 - 51 7 44 - - 1 0 1 11 1 10 - 1 1 0 - - 2 0 2 - 1 0 1
9 Langkahan NP 5 1 4 - - 1 0 1 4 5 0 1 15 4 11 - - 1 0 1 7 1 6 - 2 1 1 - - 1 0 1 1 1 0 0
10 Lapang NP - 1 0 1 1 1 0 - 6 5 1 - 10 4 6 - 4 1 3 - 5 1 4 - 1 1 0 - - 1 0 1 1 1 0 0
11 Lhok Beuringen NP - 1 0 1 - 1 0 1 - 5 0 5 - 4 0 4 - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1
12 Lhoksukon P 4 2 2 - 1 1 0 - 18 8 10 - 16 7 9 - 2 1 1 - 18 1 17 - - 1 0 1 2 2 0 - 2 1 1 0
13 Matangkuli P 4 2 2 - 1 1 0 - 3 8 0 5 62 7 55 - - 1 0 1 10 1 9 - 1 1 0 - 2 2 0 - 2 1 1 0
14 Meurah Mulia P 3 2 1 - - 1 0 1 19 8 11 - 30 7 23 - - 1 0 1 2 1 1 - - 1 0 1 - 2 0 2 - 1 0 1
15 Muara Batu P 3 2 1 - 1 1 0 - 24 8 16 - 17 7 10 - 3 1 2 - 18 1 17 - 3 1 2 - - 2 0 2 1 1 0 0
16 Nibong NP 2 1 1 - - 1 0 1 6 5 1 - 16 4 12 - 2 1 1 - 3 1 2 - 1 1 0 - - 1 0 1 - 1 0 1
17 Nisam P 6 2 4 - 1 1 0 - 22 8 14 - 15 7 8 - 3 1 2 - 10 1 9 - 1 1 0 - - 2 0 2 1 1 0 0
18 Nisam Antara NP 2 1 1 - - 1 0 1 3 5 0 2 7 4 3 - - 1 0 1 2 1 1 - - 1 0 1 - 1 0 1 1 1 0 0
19 Paya Bakong NP 5 1 4 - 1 1 0 - 6 5 1 - 23 4 19 - 2 1 1 - 5 1 4 - 2 1 1 - - 1 0 1 1 1 0 0
20 Pirak Timu NP - 1 0 1 - 1 0 1 - 5 0 5 - 4 0 4 - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1
21 Sampoiniet NP 1 1 0 - - 1 0 1 7 5 2 - 12 4 8 - 4 1 3 - 3 1 2 - - 1 0 1 - 1 0 1 1 1 0 0

PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


22 Samudera NP 3 1 2 - 1 1 0 - 14 5 9 - 35 4 31 - 2 1 1 - 7 1 6 - 2 1 1 - - 1 0 1 3 1 2 0
23 Sawang P 5 2 3 - 2 1 1 - 28 8 20 - 22 7 15 - 2 1 1 - 9 1 8 - 5 1 4 - - 2 0 2 1 1 0 0
24 Seunudon P 4 2 2 - - 1 0 1 9 8 1 - 14 7 7 - 2 1 1 - 7 1 6 - - 1 0 1 - 2 0 2 1 1 0 0
25 Simpang Kramat NP 4 1 3 - - 1 0 1 9 5 4 - 23 4 19 - - 1 0 1 5 1 4 - - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1
26 Simpang Tiga NP - 1 0 1 - 1 0 1 - 5 0 5 - 4 0 4 - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1 - 1 0 1
27 Syamtalira Aron NP 3 1 2 - - 1 0 1 18 5 13 - 17 4 13 - 2 1 1 - 14 1 13 - 2 1 1 - - 1 0 1 2 1 1 0
28 Syamtalira Bayu P 5 2 3 - 1 1 0 - 21 8 13 - 35 7 28 - 2 1 1 - 4 1 3 - 1 1 0 - - 2 0 2 1 1 0 0
29 Tanah Jambo Aye P 3 2 1 - - 1 0 1 16 8 8 - 26 7 19 - 4 1 3 - 4 1 3 - 1 1 0 - - 2 0 2 1 1 0 0
30 Tanah Luas P 2 2 0 - - 1 0 1 19 8 11 - 22 7 15 - - 1 0 1 4 1 3 - - 1 0 1 - 2 0 2 1 1 0 0
31 Tanah Pasir P 1 2 0 1 1 1 0 0 15 8 7 0 16 7 9 0 4 1 3 0 2 1 1 0 0 1 0 1 0 2 0 2 1 1 0 0
Jumlah 98 44 59 5 14 31 1 18 322 194 158 30 581 163 430 12 48 31 29 12 201 31 173 3 27 31 11 15 6 44 1 39 30 31 9 10

Sumber: Diolah dari data BPPSDMK


Tabel 4.8 Gambaran Situasi Ketenagaan Puskesmas di Kabupaten Majalengka
Dokter Drg Perawat Bidan Farmasi Kesmas Sanitarian Gizi Lab medis
NO Nama Puskesmas P/NP
Jml Std Mald Krg Jml Std MaldKrg Jml Std MaldKrg Jml Std MaldKrg Jml Std Mald Krg Jml Std MaldKrg Jml Std MaldKrg Jml Std MaldKrg Jml Std MaldKrg
1 Argapura NP 2 1 1 0 0 1 0 1 10 5 5 0 24 4 20 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1
2 Balida NP 2 1 1 0 0 1 0 1 7 5 2 0 18 4 14 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 2 1 1 0 0 1 0 1
3 Banjaran NP 2 1 1 0 0 1 0 1 8 5 3 0 14 4 10 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
4 Bantarujeg P 2 2 0 0 0 1 0 1 17 8 9 0 14 7 7 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 2 0 2 1 1 0 0
5 Cigasong NP 2 1 1 0 1 1 0 0 10 5 5 0 19 4 15 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0
6 Cikijing P 3 2 1 0 0 1 0 1 21 8 13 0 22 7 15 0 2 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0
7 Cingambul NP 2 1 1 0 0 1 0 1 15 5 10 0 18 4 14 0 1 1 0 0 3 1 2 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
8 Jatitujuh P 2 2 0 0 1 1 0 0 19 8 11 0 15 7 8 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 1 2 1 1 0
9 Jatiwangi P 3 2 1 0 1 1 0 0 16 8 8 0 17 7 10 0 1 1 0 0 1 1 0 0 2 1 1 0 1 2 0 1 1 1 0 0
10 Kadipaten NP 2 1 1 0 1 1 0 0 13 5 8 0 14 4 10 0 1 1 0 0 1 1 0 0 2 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1
11 Kasokandel NP 2 1 1 0 1 1 0 0 12 5 7 0 19 4 15 0 1 1 0 0 2 1 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1
12 Kertajati NP 2 1 1 0 0 1 0 1 9 5 4 0 9 4 5 0 1 1 0 0 0 1 0 1 2 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0
13 Lemahsugih NP 2 1 1 0 0 1 0 1 6 5 1 0 9 4 5 0 0 1 0 1 2 1 1 0 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1
14 Leuwimunding NP 3 1 2 0 1 1 0 0 10 5 5 0 21 4 17 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0
15 Ligung P 2 2 0 0 1 1 0 0 14 8 6 0 27 7 20 0 1 1 0 0 1 1 0 0 2 1 1 0 1 2 0 1 1 1 0 0
16 Loji NP 2 1 1 0 0 1 0 1 16 5 11 0 13 4 9 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
17 Maja P 3 2 1 0 1 1 0 0 18 8 10 0 26 7 19 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0
18 Majalengka NP 2 1 1 0 1 1 0 0 7 5 2 0 13 4 9 0 1 1 0 0 4 1 3 0 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1
19 Malausma NP 2 1 1 0 0 1 0 1 11 5 6 0 10 4 6 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
20 Margajaya NP 2 1 1 0 0 1 0 1 6 5 1 0 11 4 7 0 0 1 0 1 0 1 0 1 2 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1
21 Munjul NP 2 1 1 0 1 1 0 0 9 5 4 0 15 4 11 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
22 Panongan NP 2 1 1 0 0 1 0 1 6 5 1 0 9 4 5 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
23 Panyingkiran NP 2 1 1 0 0 1 0 1 10 5 5 0 13 4 9 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1
24 Rajagaluh P 3 2 1 0 1 1 0 0 11 8 3 0 22 7 15 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0
25 Salagedang NP 2 1 1 0 0 1 0 1 7 5 2 0 9 4 5 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1
26 Sindang NP 2 1 1 0 0 1 0 1 4 5 0 1 8 4 4 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1
27 Sindangwangi NP 2 1 1 0 0 1 0 1 11 5 6 0 17 4 13 0 1 1 0 0 0 1 0 1 2 1 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1
28 Sukahaji NP 2 1 1 0 0 1 0 1 10 5 5 0 16 4 12 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0
29 Sukamulya NP 2 1 1 0 0 1 0 1 6 5 1 0 5 4 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1

BAB IV | ANALISIS HASIL


30 Sumberjaya P 2 2 0 0 1 1 0 0 9 8 1 0 22 7 15 0 1 1 0 0 2 1 1 0 1 1 0 0 1 2 0 1 1 1 0 0
31 Talaga P 2 2 0 0 1 1 0 0 25 8 17 0 23 7 16 0 1 1 0 0 2 1 1 0 2 1 1 0 2 2 0 0 1 1 0 0
32 Waringin NP 2 1 1 0 1 1 0 0 6 5 1 0 18 4 14 0 2 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0
Jumlah 69 41 28 0 14 32 0 18 359 187 173 1 510 155 355 0 28 32 2 6 33 32 9 8 39 32 9 2 27 41 1 15 15 32 1 18

Sumber: Diolah dari data BPPSDMK

63
4.4. Pembiayaan Kesehatan di Puskesmas
Tujuan pembiayaan kesehatan adalah tersedianya dana kesehatan yang
mencukupi, berkesinambungan, teralokasi adil, dan merata, serta termanfaatkan
secara berhasil guna. Sumber pembiayaan Puskesmas meliputi dana APBD,
dana desa, corporate social responsibility (CSR), dana kapitasi JKN, DAK fisik
dan non-fisik, serta dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) dan pajak
rokok. Puskesmas mendapat pembiayaan dari beberapa sumber, yaitu:
(i) APBD untuk belanja pegawai dan tambahan biaya operasional.
(ii) APBN antara lain untuk gaji tenaga Nusantara Sehat (hanya di Puskesmas
yang mendapat tenaga Nusantara Sehat) yaitu sebesar Rp7.850.000,00
untuk dokter dan dokter gigi, dan Rp4.400.000,00 untuk tenaga
berpendidikan D-3 (per 2017).
(iii) DAK non-fisik yang terdiri dari:
a. Bantuan Operasional Kesehatan (BOK):
b. Jampersal; dan
c. Biaya akreditasi.
(iv) Kapitasi yang penggunaanya untuk:
a. Jasa pelayanan (60 persen); dan
b. Biaya operasional (40 persen).
(v) Klaim untuk pelayanan UKP di luar kapitasi.
(vi) Dana Desa, untuk honor tenaga “sukarelawan” (di daerah tertentu saja).

Analisis Pembiayaan Puskesmas


Semenjak JKN diberlakukan, pembiayaan utama dari Puskesmas adalah dana
kapitasi. Besaran dana kapitasi bervariasi antar-Puskesmas, tergantung pada
jumlah peserta yang terdaftar di Puskesmas bersangkutan. Selain jumlah
peserta, BPJS juga menetapkan besaran kapitasi atas dasar:
(i) pencapaian kinerja yang ditetapkan dalam KBK:
a. Angka contact rate (jumlah peserta yang dilayani);
b. Angka rujukan non-spesialistik (tidak boleh lebih dari 5 persen);
c. Angka pencapaian prolanis; dan
d. Jumlah kunjungan rumah.
(ii) Skor akreditasi Puskesmas (makin tinggi skor akreditasi, makin besar
pembayaran kapitasi).
Kriteria penentuan besaran kapitasi seperti di atas dianggap “tidak adil”
bagi Puskesmas yang berada di daerah terpencil. Peserta BPJS yang terdaftar di
daerah terpencil akan jauh lebih sedikit. Oleh sebab itu, sulit mencapai target

64 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


contact rate dan sulit untuk melakukan kunjungan rumah dan melaksanakan
prolanis. Sementara itu, untuk kegiatan UKM, selama ini Puskesmas hampir
sepenuhnya tergantung pada dana BOK. Alokasi dana BOK dimulai pada
tahun 2010. Hanya saja, penggunaan dana kapitasi dianggap lebih fleksibel
dibandingkan dana BOK (berdasarkan menu). Besaran alokasi dana BOK
berturut-turut adalah:
Tabel 4.9. Perkembangan Besaran BOK untuk UKM di Puskesmas
Tahun Jumlah BOK (Rp) Channeling
Puskesmas
2010 8.737 226.000.000.000 TP
2011 8.737 904.500.000.000 TP
2012 1.065.000.000.000 TP
2016 1.160.000.000.000 TP
2014 1.227.497.441.000 TP
2015 2.621.000.000.000 TP
2016 4.351.301.684.900 DAK non-fisik
2017 9.752 4.820.000.000.000 DAK non-fisik
Sumber: Permenkes tentang Petunjuk Teknis BOK berbagai tahun

Masalah besar yang dihadapi di daerah adalah keterlambatan realisasi


BOK (DAK non-fisik) dan dana kapitasi. Rata-rata dana DAK non-fisik
baru terealisir pada bulan Mei-Juni. Hal ini disebabkan pemerintah daerah
memperlakukan DAK non-fisik dan dana kapitasi sebagai bagian dari APBD.
Akibatnya, dana DAK non-fisik dan kapitasi tersebut baru dapat digunakan
setelah ada ketetapan RAB yang telah disetujui oleh DPRD. Terlambatnya
realisasi menyebabkan terjadinya penumpukan dana kapitasi di kas daerah. Di
Majalengka misalnya, sampai Oktober 2017 dana kapitasi yang “parkir” di kas
daerah mencapai Rp8 miliar.
Selain dana kapitasi, Puskesmas juga mendapatkan pembiayaan dari
BPJS berdasarkan klaim. Namun, Puskesmas enggan untuk menggunakan
kesempatan ini dikarenakan proses atau mekanisme keuangan di daerah yang
menyulitkan, termasuk beban pelaporan yang cukup banyak. Fleksibilitas
pemanfaatan dana kapitasi dimiliki oleh Puskesmas yang telah menjadi PPK-
BLUD. Dana Kapitasi untuk Puskesmas berstatus PPK-BLUD dibayarkan
langsung ke Puskesmas dan pengelolaannya mengacu pada ketentuan BLUD.
Dengan status PPK-BLUD, Puskesmas dengan lebih leluasa dan fleksibel
menggunakan dana yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhannya. Bagi
Puskesmas yang berstatus non-PPK BLUD, dana tersebut adalah retribusi yang

BAB IV | ANALISIS HASIL


65
harus disetor ke kas daerah dan menjadi pendapatan APBD. Keadaan seperti
ini tidak cocok dengan sifat operating cost pelayanan kesehatan yang tidak
bisa ditunda menunggu realisasi anggaran (orang tidak bisa menunda sakitnya
sampai anggaran turun). Potensi lain untuk pembiayaan kesehatan daerah
adalah dana desa. Di Kabupaten Ngada, dana desa digunakan untuk membiayai
honorarium tenaga “sukarelawan” yang bekerja di Puskesmas (sanitarian, gizi,
dan perawat). Jumlah pemanfaatan dana desa bervariasi antar-Puskesmas,
tergantung pada kesepakatan masing-masing di tingkat desa antara kepala
desa dan masyarakatnya.
Dengan banyaknya sumber pembiayaan, Puskesmas terbebani dengan
kewajiban untuk menyusun banyaknya laporan pertanggungjawaban anggaran.
Dengan keterbatasan tenaga, beban administrasi pelaporan seringkali
dibebankan kepada tenaga kesehatan seperti bidan dan perawat. Hal ini
menyebabkan tidak maksimalnya pelayanan kesehatan terutama kegiatan
UKM. Dasar hukum untuk setiap sumber pembiayaan berbeda-beda, yang
menyebabkan metode atau mekanisme pertanggungjawaban anggaran pun
berbeda. Pemanfaatan APBD mengacu pada Permendagri 13/2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri 31/2016 tentang
Penyusunan APBD TA 2017 (tahun menyesuaikan), sementara pemanfaatan
dana kapitasi didasarkan pada Perpres 32/2014 tentang Pengelolaan dan
Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN pada FKTP Milik Pemerintah Daerah dan
Permenkes 21/2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi JKN pada FKTP milik
Pemda. Pemanfaatan dana BOK mengacu pada Permenkes 71/2016 tentang
Penggunaan DAK Non-fisik TA 2017 dan pemanfaatan dana desa mengacu
PP 60/2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN dan Permendes
21/2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Banyaknya aturan dan
minimnya sosialisasi serta petunjuk teknis menjadi kendala dalam penggunaan
anggaran. Rendahnya realisasi anggaran disebabkan karena ketidakpahaman
dalam pelaporan keuangan.

4.5. Logistik Farmasi dan Alat Kesehatan


Puskesmas
Puskesmas mendapat obat/alat kesehatan (alkes) melalui dua cara. Pertama,
obat program yang dikirim dari pusat, termasuk obat TB, vaksin, obat malaria,
obat filariasis, dan ARV untuk HIV/AIDS. Kedua, obat yang direncanakan
dengan penyusunan Rencana Kebutuhan Obat (RKO). Puskesmas menyusun
RKO untuk jangka waktu setahun, dengan patokan penggunaan rata-rata/

66 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


bulan selama satu (1) tahun yang lalu, lalu dikalikan 18. Rencana kebutuhan
obat yang disusun oleh Puskesmas di kompilasi oleh Dinas Kesehatan.
Pengadaannya dilakukan dengan menggunakan e-purchasing dengan standar
Fornas. Kondisi wilayah dan pola penyakit yang berbeda-beda antar-daerah
menyebabkan kebutuhan obat akan berbeda-beda. Oleh sebab itu, daerah
(Puskesmas dan Dinkes) harus menyusun RKO-nya dengan akurat.

Analisis Logistik Puskesmas


Permasalahan utama terkait penyusunan RKO, yaitu 1) lemahnya kemampuan
Puskesmas dan Dinas Kesehatan dalam menyusun RKO; 2) keterbatasan
tenaga farmasi di Puskesmas; 3) tidak ada akses jaringan internet untuk
aplikasi e-catalog, khususnya di daerah terpencil; 4) kurangnya kapasitas
tenaga dalam mengoperasikan komputer; maupun 5) ketidakpahaman staf
Puskesmas/Dinkes dalam menggunakan e-catalog. Tabel berikut menunjukkan
banyaknya Puskesmas yang tidak mempunyai tenaga farmasi. Di Kabupaten
Maluku Tengah, sebanyak 97 persen Puskesmas tidak memiliki tenaga farmasi.
Bahkan Kabupaten Bogor yang berbatasan langsung dengan Provinsi DKI
Jakarta, sebanyak 79 Puskesmas (41,4 persen) tidak memiliki tenaga farmasi.
Keterbatasan tenaga apoteker atau farmasi di Puskesmas akan menghambat
perencanaan obat. Perencanaan obat menjadi tidak akurat karena didasarkan
pada data-data tren, tanpa melihat kebutuhan atau pola penyakit di daerah.
Selain itu, minimnya peningkatan kapasitas atau pelatihan penyusunan RKO
menjadi tantangan bagi perencanaan obat di Puskesmas. Selain perencanaan
obat, kemampuan manajemen tata kelola logistik Puskesmas juga harus
diperkuat. Peran Dinas Kesehatan dalam penyusunan RKO sangat strategis.
Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas Dinkes dalam penyusunan RKO juga
harus dilakukan.
Tabel 4.10 Kekosongan Tenaga Farmasi di Puskesmas 6 Kabupaten (2016)
No Kabupaten Jumlah Tidak ada %
Puskesmas Apoteker
1 Situbondo 17 5 29,4%
2 Toba Samosir 19 5 26,3%
3 Jeneponto 18 3 16,7%
4 Ngada 14 2 14,3%
5 Maluku Tengah 33 32 97,0%
6 Bogor 191 79 41,4%
Total 292 126 43,2%
Sumber: Diolah dari data BPPSDMK

BAB IV | ANALISIS HASIL


67
Rencana kebutuhan obat yang tidak akurat dan manajemen tata kelola
logistik yang lemah menyumbang pada kekurangan atau kekosongan obat di
Puskesmas. Selain itu, kekosongan obat juga disebabkan karena persyaratan
administrasi pemesan tidak lengkap, pemesanan mendadak dan tidak
terencana, serta pembayaran oleh pemesan belum dilaksanakan. Kekosongan
atau kekurangan tersebut juga disebabkan oleh keterlambatan supplier dalam
mengirimkan obat atau ketidaklancaran pengiriman oleh rekanan dengan
berbagai alasan antara lain ongkos kirim yang mahal, jumlah yang dipesan
dibawah “minimal order”, keterbatasan stok karena masalah bahan baku, dan
lain-lain. Keluhan banyak disampaikan oleh Puskesmas yang berada di DTPK.
Di samping masalah obat, Puskesmas di DTPK mengalami masalah dengan
“cold chain” pada saat suplai listrik terganggu. Cold chain minyak tanah juga
tidak dapat dimanfaatkan karena kelangkaan minyak tanah. Oleh sebab itu,
dibutuhkan kebijakan afirmasi untuk Puskesmas yang berada di DTPK.
Gambar 4.3 Cold Chain Minyak Tanah di Puskesmas Waer, Kecamatan Banda

Kelangkaan minyak tanah menyebabkan tidak berfungsinya cold chain di


Puskesmas Waer, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah
Sumber: Dokumentasi Tim Kajian

Kekurangan atau kekosongan obat di Puskesmas di atasi dengan


cara membeli obat di apotek atau supplier terdekat, antara lain dengan
menggunakan sebagian dari dana kapitasi. Hanya saja, beberapa Puskesmas
tidak memanfaatkan dana kapitasi untuk melakukan pengadaan dan pembelian
dikarenakan ketidakpahaman dan ketidaktahuan akan mekanisme dan aturan
penggunaan dana kapitasi. Selain itu, dana kapitasi terlambat turun (sampai

68 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


bulan Juni/Juli), sehingga beberapa Puskesmas melakukan pembelian obat
dengan “dana khusus”. Obat tersebut diberikan kepada pasien dengan tarif
tertentu. Di Puskesmas Banda, pembelian obat dilakukan di ibukota kabupaten
dengan menggunakan kapal/boat selama 6 jam perjalanan. Pembelian obat
juga dilakukan langsung oleh pasien (dengan resep dokter). Dari temuan
tersebut, terdapat usulan untuk menerbitkan peraturan yang membolehkan
pembelian obat di luar mekanisme e-catalog.
Sementara itu, permasalahan terkait dengan obat program adalah
terjadinya penumpukan obat dalam jumlah besar. Di Kabupaten Majalengka,
penumpukan obat program terjadi karena pengiriman obat dalam jumlah
besar. Pada akhirnya, banyak obat program yang tidak digunakan dan menjadi
kedaluwarsa atau expired. Keluhan lainnya adalah kualitas alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai (BMHP) seperti tensi meter dan timbangan. Alat
kesehatan yang diterima cepat rusak atau tidak dapat berfungsi dengan baik.
Timbangan tidak pernah dikalibrasi sehingga timbangan tidak akurat.

4.6. Manajemen Puskesmas


Secara umum, fungsi manajemen yang dilakukan oleh Puskesmas adalah (i)
perencanaan; (ii) penggerakan pelaksanaan; dan (iii) pemantauan, pengawasan
dan penilaian. Ketiga fungsi tersebut dikenal dengan “P1-P2-P3”. Beberapa
pedoman sudah disusun untuk ketiga fungsi manajemen tersebut. Dalam
fungsi perencanaan (P-1), terdapat pedoman penyusunan rencana 5 tahun
yang disebut microplanning, pedoman penyusunan rencana kerja tahunan
(Renja) yang mengikuti pedoman Renja sesuai dengan Keputusan Mendagri,
dan pedoman penyusunan rencana operasional yang disebut “Minilokarya
Puskesmas” atau “Minilok”. Minilok sangat penting bagi Puskesmas untuk
mendapat anggaran BOK (DAK non-fisik), yang berisi kinerja bulan lalu, target
bulan mendatang, kegiatan yang akan dilakukan dan jumlah anggaran yang
diperlukan.
Tabel 4.11 Tahapan Kegiatan Siklus Manajemen Puskesmas
No Tahapan Waktu Pelaksana Pihak Terkait Keluaran
Pelaksanaan
1 Evaluasi Desember 2015 Puskesmas Dinas Hasil Penilaian
kinerja kesehatan Kinerja
Puskesmas Kab/Kota Puskesmas
tahun 2015 tahun 2015
melalui
Penilaian
Kinerja
Puskesmas
(PKP)
BAB IV | ANALISIS HASIL
69
No Tahapan Waktu Pelaksana Pihak Terkait Keluaran
Pelaksanaan
2 Persiapan Desember 2015 Puskesmas Draf RPK tahun
penyusunan 2016
Rencana
Pelaksanaan
Kegiatan (RPK)
tahun 2016
berdasarkan
Rencana
Usulan
Kegiatan
(RUK)
yang telah
disetujui dan
dibandingkan
dengan
hasil kinerja
Puskesmas
2015
3 Analisa Awal Januari Desa/ Pemangku - Hasil analisa
situasi dan 2016 Kelurahan kepentingan situasi
pelaksanaan Tk.Desa/ - Hasil SMD
Survei Mawas Kelurahan dan MMD
Diri (SMD), - Usulan
Musyawarah kebutuhan
Masyarakat pelayanan
Desa (MMD) kesehatan
sebagai bahan masyarakat
penyusunan desa/
RUK tahun kelurahan
2017 dan sesuai
Rencana harapan
5 tahunan rasional
periode 2017 masyarakat
s.d.. 2021, desa/
pendekatan kelurahan
Top-Down dan
Bottom-Up.

70 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


No Tahapan Waktu Pelaksana Pihak Terkait Keluaran
Pelaksanaan
4 Lokakarya Minggu Kedua Puskesmas - Kesiapan
Mini (Lokmin) Januari 2016 pelaksanaan
Bulanan kegiatan
Pertama bulan Januari
tahun 2016
- Bahan Mus-
renbangdes
2016
- Draft RUK
tahun 2017
- Draft Ren-
cana Lima
Tahunan 2017
s.d. 2021
5 Musyawarah Minggu Desa/ Pemangku - Penyesuaian
Perencanaan keempat Kelurahan kepentingan draf RUK
Pembangunan Januari 2016 Tk. Desa/ tahun 2017
Desa (Musren- Kelurahan dengan hasil
bangdes) Musrenbang-
des
- Penyesuaian
draf Rencana
Lima Tahunan
2017 s.d. 2021
dengan hasil
Musrenbang-
des
6 Lokmin Awal Minggu Puskesmas - Kesiapan
Bulanan Kedua pertama pelaksanaan
Februari 2016 kegiatan
bulan Februari
tahun 2016
- Bahan Lokmin
Triwulan Per-
tama
7 Lokmin Akhir Minggu Puskesmas LS terkait Bahan Musren-
Triwulan Pertama dan tokoh bangmat bidang
Pertama Februari 2016 masyarakat kesehatan
di Kec. Tahun 2016

BAB IV | ANALISIS HASIL


71
No Tahapan Waktu Pelaksana Pihak Terkait Keluaran
Pelaksanaan
8 Musyawarah Minggu kedua Kecamatan Pemangku - Penyesuaian
Perencanaan Februari 2016 kepentingan draf RUK
Pembangunan Tk. tahun 2017
Kecamatan Kecamatan dengan hasil
(Musrenbang- Musrenbang-
mat) mat
- Penyesuaian
draf Rencana
Lima Tahunan
2017 s.d. 2021
dengan hasil
Musrenbang-
mat
9 Musyawarah Maret 2016 Kabupaten/ Pemangku - Penyesuaian
Perencanaan Kota kepentingan Draf RUK
Pembangunan Tk. Kab/kota tahun 2017
Kabupaten/ dengan hasil
Kota (Musren- Musrenbangk-
bangkab/kota) ab
- Penyesuaian
draf Rencana
Lima Tahunan
2017 s.d. 2021
dengan hasil
Musrenbangk-
ab
Sumber:Permenkes 44/2016 tentang Pedoman Manajemen Puskesmas
Keterangan: tabel di atas Tahapan kegiatan siklus manajemen Puskesmas (contoh
untuk siklus tahun 2015, 2016, dan 2017)

Untuk mendukung fungsi-fungsi manajemen tersebut, Puskesmas


melaksanakan Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP).
Di samping itu, terdapat beberapa kegiatan pelaporan lain yang menjadi tugas
Puskesmas, yaitu P-Care untuk melaporkan kinerja Puskesmas sebagai FKTP
BPJS, laporan SPJ untuk pemanfaatan DAK non-fisik. Kegiatan manajemen
lainnya yang penting adalah meningkatkan jangkauan pelayanan Puskesmas
melalui kegiatan Puskesmas Keliling dan kunjungan ke Posyandu (1 x sebulan
untuk masing-masing Posyandu). Sesuai dengan Permenkes No. 46/2016
tentang Akreditasi Puskesmas, Puskesmas juga harus melaksanakan proses
akreditasi sesuai pedoman. Kegiatan akreditasi ini didukung oleh tingkat
pusat/provinsi dalam bentuk tenaga pendamping dan surveyor.

72 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


Analisis Manajemen Puskesmas
Walaupun pedoman telah disusun, berdasarkan temuan di Puskesmas di
6 kabupaten, pedoman teknis untuk semua fungsi manajemen tersebut
tidak tersedia di Puskesmas. Walaupun ada, pedoman-pedoman tersebut
tidak tersimpan dalam sistem inventory yang baik. Pelatihan tentang fungsi-
fungsi manajemen tersebut juga jarang dilakukan. Pelatihan yang jarang
menyebabkan microplanning sudah jarang dilakukan. Perencanaan Puskesmas
banyak mengacu pada Renstra Dinkes. Rendahnya kemampuan manajemen
Puskesmas terlihat dari beberapa hal. Dari seluruh Puskesmas yang dikunjungi,
tidak satupun menyusun perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan. Rencana
kebutuhan obat juga tidak disusun dengan akurat (tidak evidence based). Temuan
di lapangan, terdapat cold chain yang tidak berfungsi. Fungsi monitoring dari
Dinas Kesehatan terhadap Puskesmas dan dari Puskesmas terhadap jejaringnya
juga tidak berjalan. Sebagai contoh, banyak ditemukan obat kedaluwarsa
di Pustu maupun Puksesmas. Salah satu Puskesmas menyampaikan bahwa
Puskesmas tersebut menerima kiriman obat dari Dinas Kesehatan kabupaten
dengan kondisi dua (2) bulan lagi obat tersebut akan kedaluwarsa. Kondisi ini
menunjukkan lemahnya fungsi manajemen baik Puskesmas maupun Dinas
Kesehatan. Pemantauan ataupun pengawasan dari Puskesmas terhadap
jejaringnya dan fasilitas kesehatan swasta hanya berdasarkan laporan yang
disampaikan oleh jejaring dan faskes swasta ke Puskesmas. Fungsi pembinaan
untuk faskes swasta (termasuk apotek) tidak berjalan. Keterbatasan SDM
yang dimiliki juga menyebabkan fungsi penggerakan pelaksanaan kegiatan di
tingkat lapangan tidak dapat berjalan. Oleh sebab itu, penguatan manajemen
Puskesmas diperlukan karena menentukan kualitas pelayanan yang akan
dilakukan oleh Puskesmas.

BAB IV | ANALISIS HASIL


73
74 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS
BAB V
KESIMPULAN
D alam bab-bab sebelumnya telah disampaikan analisis terhadap 6 isu
strategis Puskesmas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan dasar. Bab
ini berisi tentang kesimpulan dari hasil analisis kajian tersebut.

5.1. Pelayanan Kesehatan Dasar


Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dalam perkembangannya, baik di tingkat
nasional maupun global, bukan suatu konsep yang statis. Penetapan PKD
didasarkan pada kebutuhan pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh
dinamika masalah kesehatan (the dynamic of health needs). Masalah kesehatan
berkembang dan berubah mengikuti perubahan epidemiologi kesehatan
penduduk. Sementara itu, epidemiologi kesehatan penduduk berubah
menurut dinamika interaksi host-agent-environment. Dari perspektif host
(penduduk), terjadi transisi epidemiologi yang dipengaruhi struktur umur
penduduk (semakin tua) dan perilaku hidup (life style). Dari perspektif agent,
terjadi perubahan terus menerus penyebab gangguan kesehatan: kuman, virus,
parasit, bahan beracun/berbahaya, dan ruda-paksa (cedera). Demikian juga,
perspektif environment juga terus berubah: perubahan iklim (climate change),
lingkungan biologis (vektor penyakit), dan lingkungan sosial budaya (ketahanan
keluarga, ketahanan sosial, dan budaya).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jenis PKD senantiasa perlu
di-review untuk menjaga relevansinya dengan interaksi host-agent-environment
tersebut di atas. Di Indonesia, isi PKD juga mengalami perubahan dinamis, mulai
dari “18 program pokok”, “5 pelayanan terpadu”, “23 pelayanan Puskesmas”, dan
“12 pelayanan kesehatan dasar kewajiban daerah (SPM)”. Bukan tidak mungkin
dalam perjalanan waktu, jenis-jenis pelayanan dalam PKD terus mengalami
perubahan, mengikuti perubahan health needs penduduk. Namun, Laevel &
Clark (1968) menegaskan bahwa apapun perubahan tersebut, isi PKD haruslah
komprehensif, mulai dari: (1) pelayanan promotif; (2) pelayanan preventif; (3)
pelayanan skrining (diagnosis dini dan pengobatan segera); (4) pengobatan
dan perawatan (kuratif); dan (5) rehabilitatif. Menurut Laevel & Clark, tidak
ada satu penyakitpun (gangguan kesehatan) yang tidak memerlukan kelima jenis
atau jenjang pelayanan tersebut. Tidak ada fragmentasi dan/atau dikotomi
antara kelima jenjang pelayanan tersebut dalam mengatasi masalah kesehatan.
Argumentasi ini menjadi alasan mengapa dalam fungsi Puskesmas tidak bisa
dipisahkan antara fungsi melakukan UKM dan UKP.

76 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


5.2. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
Puskesmas dalam tatanan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia adalah
pelaksana pelayanan tingkat pertama atau primer, yang dilaksanakan oleh
tenaga-tenaga kesehatan non-spesialistik. Puskesmas adalah sarana terdepan
melaksanakan PKD. Sewaktu Puskesmas diperkenalkan dalam Sistem
Kesehatan di Indonesia pada tahun 1968, tujuan utamanya adalah untuk
mempercepat pemerataan pelayanan kesehatan yang pada waktu itu menjadi
masalah besar dalam membangun kesehatan penduduk Indonesia. Sampai
dengan sekarang, Puskesmas, yang sudah mencapai 9.767 unit, adalah ujung
tombak pelayanan kesehatan di Indonesia yang paling menentukan baik-
tidaknya indikator kesehatan penduduk.

5.3. Saling Keterkaitan Enam Isu Strategis


Keenam isu strategis yang ditelaah dalam kajian ini adalah elemen-elemen
sebuah sistem yang disebut Puskesmas. Sebagai elemen sistem maka keenam
isu strategis tersebut saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi.
Tugas pokok dan fungsi akan menentukan struktur kelembagaan dan organisasi
Puskesmas (structure follow functions). Tugas pokok dan fungsi tersebut juga
menentukan jenis dan jumlah kebutuhan sumber daya yaitu sumber daya
manusia (SDM), obat/alat kesehatan, sarana, biaya dan informasi. Saling
keterkaitan tersebut digambarkan dalam diagram berikut ini.

BAB V | KESIMPULAN
77
78
Gambar 5.1 Diagram Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar

FUNGSI • UKM dalam SPM


• UKM non-SPM
UKM
• Germas
Manajemen 1. Tupoksi
Keuangan 2. Kelembagaan

Manajemen BOK
Umum UPTD*
Kapitasi Pembina
FUNGSI PPK
Kesehatan Bukan
Bukan
Akreditasi BLUD Wilayah
Manajemen Dikotomi
Dikotomi
APBD 6. Pembiayaan
Manajemen FKTP
Pelayanan Dan BPJS K
lainnya

3. SDM

PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


4. Obat/ Alkes
5. Sarana • Rujukan
FUNGSI • Rujukan Lanjutan
UKP tingkat 1
* FKTP dan PPK BLUD dalam entititas SOTK UPTD • Rujuk balik
5.4. Tugas Pokok dan Fungsi Puskesmas
Fungsi utama Puskesmas adalah membina kesehatan wilayah dalam arti luas
yaitu menyehatkan wilayah kerjanya dan menyehatkan penduduk dalam
wilayah tersebut. Untuk melaksanakan fungsi utama tersebut, Puskesmas
melaksanakan tiga sub-fungsi sebagai berikut:
(1) Mengobati penduduk yang sakit secara perorangan yang disebut Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP);
(2) Mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan orang
sakit yang disebut Upaya Kesehatan Masyarakat; dan
(3) Melaksanakan fungsi manajemen untuk mendukung butir (1) dan (2).
Walaupun UKM dan UKP tidak dapat dipisahkan dalam menangani
masalah kesehatan, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa perbedaan
sebagai berikut:
1. Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
(1) Dilaksanakan dengan cara (i) menggerakkan mesin birokrasi (pemerintah
daerah, kecamatan, dan desa); dan (ii) menggerakkan mesin sosial (kader,
tokoh masyarakat, tokoh agama, pranata/sistem sosial setempat).
(2) Mengutamakan upaya promotif dan preventif.
(3) Sasaran UKM adalah penduduk beserta lingkungannya.
(4) Dari perspektif komoditas ekonomi, UKM adalah public goods.
2. Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)
(1) Dilaksanakan dengan mengoperasikan unit atau institusi pelayanan
kesehatan (klinik Puskesmas, Rumah Sakit, dan lain-lain).
(2) Mengutamakan penyembuhan orang sakit.
(3) Sasaran UKP adalah perorangan dan keluarganya.
(4) Dari perspektif komoditas ekonomi, UKP adalah private goods.
Deskripsi perbedaan antara UKM dan UKP perlu dipahami karena membawa
konsekuensi perbedaan dalam hal jenis tenaga yang melakukannya dan
dalam hal cara pembiayaannya. Namun perlu ditegaskan bahwa dalam
pelaksanaan pelayanan atau upaya kesehatan bagi masyarakat, UKM dan
UKP tidak dapat dipisahkan. Jadi, tidak ada dikotomi antara UKM dan UKP.
Misalnya, penderita DBD perlu diobati (UKP), tetapi nyamuk Aedes Aegypti
perlu diberantas dengan kegiatan fogging dan pembasmian jentik (UKM).
Penderita hipertensi perlu diobati (UKP), tetapi untuk menghilangkan atau
menurunkan kejadian hipertensi perlu dilakukan skrining dan penyuluhan
tentang gaya hidup sehat (UKM).

BAB V | KESIMPULAN
79
3. Fungsi Manajemen
Untuk mendukung fungsi UKM dan UKP, Puskesmas juga melaksanakan
fungsi manajemen. Untuk Puskesmas di Indonesia, fungsi manajemen
Puskesmas sudah dikembangkan dan terstandar, yaitu
(1) Fungsi perencanaan;
a. Perencanaan lima (5) tahun yang disebut micro-planning;
b. Perencanaan tahunan;
(2) Fungsi pengorganisasian;
a. Penyusunan SOTK Puskesmas;
b. Pembagian tugas dalam struktur organisasi Puskesmas;
(3) Fungsi penggerakkan;
a. Minilokakarya untuk menyusun PoA;
(4) Fungsi monitoring dan evaluasi;
a. Pelaksanaan Sistem Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas Terpadu
(SP2TP);
b. Akreditasi Puskesmas.

5.5. Kelembagaan Puskesmas


Dari hasil review regulasi dan diskusi di lapangan, dapat diambil kesimpulan
bahwa status kelembagaan Puskesmas adalah “suatu entitas UPTD yang
di dalamnya ada status sebagai FKTP dan PPK-BLUD.” Sebagai UPTD,
Puskesmas adalah perpanjangan tangan Dinas Kesehatan untuk membina
kesehatan di wilayah kerjanya (kecamatan atau kelurahan). Puskesmas
mempunyai otoritas struktural sebagai “pemerintah” di bidang kesehatan
di tingkat kecamatan. Ini membawa konsekuensi bahwa Kepala Puskesmas
haruslah pegawai pemerintah yang diangkat oleh pemerintah. Artinya, kepala
Puskesmas tidak boleh seorang berstatus swasta (bukan PNS). Dengan
demikian, Puskesmas mempunyai otoritas menggerakkan masyarakat dan
menggunakan sumber daya milik pemerintah.
Sebagai FKTP, Puskesmas adalah juga sebuah klinik pengobatan, yang
sifatnya adalah fungsional (bukan struktural). Sebagaimana sebuah lembaga
“pengobatan”, Puskesmas harus memenuhi persyaratan standar kompetensi
klinis dan mempunyai lisensi klinis. Fungsi-fungsi di bawah payung FKTP
tetap dalam koordinasi dan pengawasan payung UPTD. Sementara itu, status
sebagai PPK-BLUD sebetulnya adalah status kelembagaan opsional, bukan
wajib. Kebutuhan menjadi PPK-BLUD muncul karena pelayanan kesehatan

80 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


memerlukan pengelolaan keuangan yang fleksibel mengikuti kebutuhan
kesehatan yang dinamis, sedangkan pengelolaan keuangan daerah sering
terperangkap pada keputusan politis yang tidak pasti, terutama ketidakpastian
kapan keputusan anggaran ditetapkan.
Sebagai kesimpulan:
(1) Status sebagai UPT Dinas Kesehatan memberikan otoritas kepada Puskesmas
untuk melakukan pembinaan kesehatan wilayah dan melaksanakan UKM
dengan cara “menggerakkan mesin birokrasi dan mesin sosial”.
(2) Status sebagai FKTP BPJS memungkinkan Puskesmas mengembangkan
kapasitasnya sebagai klinik pengobatan yang dibutuhkan masyarakat/
peserta JKN.
(3) Status sebagai PPK-BLUD memungkinkan Puskesmas melakukan
pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel dan lebih responsif terhadap
kebutuhan biaya operasional UKM dan UKP yang umumnya tidak bisa
ditunda.
Namun, untuk mendapatkan status PPK-BLUD, harus dipenuhi
persyaratan yang cukup ketat, yaitu (i) syarat substantif (memproduksi
pelayanan publik); (ii) syarat administratif (izin dan diusulkan oleh Pemda); dan
(iii) syarat teknis (memenuhi kriteria kinerja dan keuangan seperti diperlihatkan
dalam dokumen RBS atau “Rencana Bisnis Strategis”). Tidak mudah bagi
Puskesmas untuk memenuhi syarat tersebut di atas, khususnya syarat ke-3.
Oleh sebab itu, sampai dengan tahun 2017, dari total 9.767 Puskesmas hanya
680 Puskesmas (6,9 persen) yang mendapat status PPK-BLUD.

5.6. Sumber Daya Manusia Puskesmas


Salah satu temuan penting dalam kajian ini adalah tentang perencanaan
kebutuhan SDM tingkat kabupaten. Tidak satu pun dari kabupaten terpilih
yang menyusun kebutuhan tenaga sesuai dengan metode yang lazim, yaitu 1)
atas dasar standar kebutuhan SDM institusi kesehatan termasuk Puskesmas,
RSUD, dan Dinas Kesehatan; dan 2) atas dasar analisis beban kerja (ABK)
seperti ditetapkan oleh Kementerian PAN dan RB. Selain itu, terdapat tiga
permasalahan sebagai berikut:
(1) kesesuaian SDM yang ada dengan standar (kekosongan tenaga tertentu);
(2) maldistribusi tenaga antara Puskesmas dalam satu kabupaten; dan
(3) kebutuhan akan jenis tenaga lain di luar jenis tenaga dalam Permenkes
No.75/2014.

BAB V | KESIMPULAN
81
Pertama, hampir semua Puskesmas di daerah sampel tidak memilliki SDM
sempurna seperti yang ditetapkan dalam Permenkes No.75/2014. Sebagai
contoh, di Maluku Tengah, beberapa Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter.
Jenis tenaga yang paling banyak kosong adalah tenaga
(1) Kesehatan masyarakat;
(2) Sanitarian;
(3) Gizi;
(4) Analis (lab-medis);
(5) Farmasi; dan
(6) Dokter gigi.
Penyebab utama dari keadaan tersebut adalah kebijakan moratorium
pengangkatan PNS yang juga diberlakukan untuk tujuh jenis tenaga kesehatan
tersebut di atas, kecuali tenaga dokter, perawat, dan bidan. Kurangnya tenaga-
tenaga tersebut, khususnya tenaga kesehatan masyarakat, sanitarian, dan gizi,
berdampak besar terhadap kinerja kegiatan lapangan seperti kunjungan ke
Posyandu, kesehatan lingkungan, pengamatan tempat-tempat umum (TTU),
dan lain-lain.
Kedua adalah masalah “maldistribusi” tenaga kesehatan. Hampir semua
kabupaten sampel terjadi maldistribusi tenaga kesehatan. Terdapat Puskesmas
yang kekurangan tenaga perawat, sementara menurut perhitungan jumlah
perawat di kabupaten bersangkutan lebih dari cukup dan bahkan berlebihan.
Ketiga, ada dua jenis tenaga yang sangat diperlukan dan perlu diusulkan untuk
menjadi standar ketenagaan Puskesmas. Jenis tenaga tersebut adalah 1) tenaga
keuangan dengan jenjang pendidikan D-3 akuntansi; dan 2) tenaga IT untuk
mengelola SIK Puskesmas seperti SP2TP dan P-Care dan laporan-laporan lain
tentang pelaksanaan program. Kebutuhan D3 akuntansi sangat mendesak
terutama bagi Puskesmas yang sudah berstatus PPK-BLUD. Hal ini disebabkan
karena laporan keuangan PPK-BLUD harus mengikuti akuntansi akrual (accrual
basis), di samping tetap membuat laporan keuangan cash basis. Hal penting
lainnya adalah leadership Puskesmas.

5.7. Farmasi dan Alat Kesehatan


Obat dan alat kesehatan adalah elemen esensial dalam PKD dan harus tetap
dijamin ketersediaan serta mutunya. Kekosongan atau kekurangan obat yang
terjadi di Puskesmas terjadi karena kelemahan sisi permintaan (demand) dan
sisi pengadaan oleh supplier (supply). Dari sisi demand, sudah ada ketentuan
dan pedoman untuk menyusun RKO dan untuk proses pengadaan melalui

82 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


e-catalog. Secara umum, kapasitas Puskesmas dan Dinas Kesehatan untuk
menyusun RKO dan aplikasi e-catalog masih lemah. Aplikasi e-catalog tidak
lancar juga karena tidak adanya atau terganggunya jaringan internet, terutama
di daerah terpencil/gugus pulau. Kekurangan dan kekosongan obat di atasi
oleh Puskesmas dan Dinkes dengan cara pengadaan langsung, yaitu membeli
ke apotek atau supplier terdekat. Sebagai konsekuensinya, obat tersebut harus
“dibayar” oleh pasien. Praktik semacam ini memang tidak didukung dalam
peraturan, tetapi tetap dilakukan karena Puskesmas tidak mungkin beroperasi
tanpa obat. Beberapa usulan untuk membenahi masalah obat di Puskesmas
adalah pelatihan Dinkes dan Puskesmas untuk penyusunan RKO serta adanya
regulasi untuk membolehkan pengadaan/pembelian obat di luar sistem
e-catalog pada keadaan darurat (misalnya, terputusnya jaringan internet).

5.8. Pembiayaan Puskesmas


Dari segi jumlah, Puskesmas relatif tidak kekurangan anggaran. Masalah
utamanya adalah keterlambatan realisasi. Hal ini terjadi dengan dana DAK
non-fisik yang diperlakukan sebagai bagian dari APBD sehingga realisasinya
harus menunggu keputusan anggaran (RAPBD). Keterlambatan realisasi ini
(di beberapa daerah baru bulan Juli tahun berjalan) mengganggu kelancaran
kegiatan UKM. Hal yang sama terjadi dengan dana kapitasi, yang diharuskan
masuk kas daerah terlebih dahulu. Dengan demikian, realisasinya juga harus
menunggu pengesahan RAPBD oleh DPRD. Ketika realisasi dilaksanakan, telah
terjadi akumulasi dana kapitasi, khususnya dana 40 persen untuk operasional
Puskesmas, dengan jumlah yang besar. Sebagai contoh, di Kabupaten
Majalengka, pada bulan Juli 2017, sudah terdapat Rp8 miliar dana kapitasi
“parkir di kas daerah”. Apabila dana tersebut dicairkan, Puskesmas menghadapi
kendala untuk menghabiskannya secara benar.
Isu pembiayaan lainnya adalah isu “ketidakadilan” insentif antara staf
Dinas Kesehatan dan Puskesmas, disebabkan oleh kesenjangan yang tinggi
antara remunerasi jasa pelayanan yang diterima Puskesmas dengan Dinas
Kesehatan. Pada masa yang lalu, dalam alokasi dana BOK dan Jamkesmas
terdapat insentif untuk Dinas Kesehatan yang membina Puskesmas dalam
menyusun dan realisasi dana BOK dan Jamkesmas tersebut. Oleh sebab itu,
diharapkan agar insentif untuk “jasa pembinaan” yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan dan “jasa pelayanan UKM” yang dilakukan Puskesmas masuk dalam
komponen alokasi BOK. Jasa UKM untuk staf Puskesmas tersebut identik
dengan jasa pelayanan UKP dalam kapitasi. Kedua jasa pelayanan tersebut
diintegrasikan dan pembagiannya diatur melalui keputusan daerah.

BAB V | KESIMPULAN
83
5.9. Manajemen Puskesmas
Fungsi manajemen Puskesmas sudah dikembangkan sejak lama, yang terdiri
dari perencanaan, penggerakkan dan monitoring/evaluasi, didukung dengan
manajemen informasi. Masing-masing fungsi manajemen tersebut sudah
dikembangkan pedoman atau petunjuk teknisnya. Untuk perencanaan,
Puskesmas menyusun rencana sebagai berikut:
1) Microplanning, yaitu rencana lima tahun yang mengacu pada Renstra Dinas
Kesehatan.
2) Rencana tahunan, yang berisi Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Puskesmas
selama satu tahun. Renja tersebut disusun setelah mendapat arahan dari
Dinas Kesehatan.
3) Plan of Action (PoA), yaitu rencana kerja bulanan, yang disusun dengan
proses microplanning. Saat ini, microplanning disusun untuk mengusulkan
anggaran dari DAK non-fisik.
Untuk fungsi penggerakan, Dinas Kesehatan melakukan supervisi
terhadap kegiatan Puskesmas, termasuk kegiatan UKM dan UKP. Kemudian,
Puskesmas melakukan manajemen untuk pengelolaan (i) SDM; (ii) logistik:
obat dan alat kesehatan; dan (iii) keuangan. Yang terakhir adalah manajemen
sistem informasi, yaitu mengelola Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu
Puskesmas (SP2TP), laporan keuangan (SPJ DAK non-fisik dan penggunaan
dana kapitasi), P-Care dan SIKDA (di Provinsi NTT). Seluruh Puskesmas yang
dikunjungi mengeluh akan beban kerja untuk mengelola sistem informasi
tersebut. Sebagai contoh, Puskesmas harus mengisi sekitar 720 item data
setiap bulan untuk SP2TP. Di Provinsi NTT, SIKDA banyak berisi item yang
sama dengan SP2TP, akan tetapi menggunakan form berbeda. Laporan SPJ
DAK non-fisik diisi setiap bulan dan menjadi syarat untuk mendapatkan dana
DAK non-fisik bulan berikutnya. Pengisian SPJ DAK non-fisik memakan tenaga
dan waktu yang lama.

84 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


BAB VI
REKOMENDASI
KEBIJAKAN
B ab ini berisi tentang rekomendasi kebijakan untuk penguatan pelayanan
kesehatan dasar di Puskesmas. Dalam jangka pendek, rekomendasi
hasil kajian ini dapat segera memecahkan masalah-masalah operasional
pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas. Sementara itu, dalam
jangka menengah dan jangka panjang, hasil kajian ini berguna sebagai masukan
untuk merumuskan RPJMN 2020-2024.

6.1. Puskesmas sebagai Unit Strategis dalam


Sistem Kesehatan Nasional
Puskesmas, yang saat ini berjumlah 9.767 unit dan 2.277 di antaranya berada di
lokasi terpencil dan sangat terpencil, adalah “unit pelayanan kesehatan” paling
strategis dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
1. Puskesmas adalah satu-satunya unit pelayanan kesehatan yang output
kegiatannya sekaligus berkaitan dengan indikator-indikator program
prioritas seperti tercantum dalam RPJMN, SPM, PISPK, dan SDGs.
2. Puskesmas adalah pelayanan kesehatan terdepan yang melakukan (eksekusi)
kebijakan paradigma sehat secara riil di lapangan.
3. Puskesmas adalah instrumen pemerataan pelayanan kesehatan untuk
seluruh penduduk.
4. Puskesmas adalah instrumen untuk mengurangi disparitas derajat
kesehatan antarwilayah dan instrumen untuk mewujudkan keadilan di
bidang kesehatan.
5. Puskesmas berperan besar mengurangi atau mencegah eskalasi biaya
kesehatan, karena pelayanan Puskesmas bersifat “intervensi hulu” dalam
proses epidemiologi dan patofisiologi gangguan kesehatan penduduk.
Dengan posisi yang sangat strategis tersebut maka penguatan Puskesmas
harus menjadi prioritas nasional dan prioritas daerah. Upaya penguatan
Puskesmas harus tercantum dalam kebijakan nasional dan daerah, yaitu dalam
RPJMN dan RPJMD.

6.2. Kebijakan Afirmasi untuk Puskesmas di


Daerah Terpencil dan Sangat Terpencil
Dengan posisi Puskesmas yang sangat strategis dan sangat vital melaksanakan
berbagai kebijakan dan program kesehatan maka perlu terobosan-terobosan
untuk memperkuat kapasitas Puskesmas tersebut. Secara umum, tiga hal yang
menghambat kinerja Puskesmas, yaitu

86 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


(1) Kekurangan tenaga atau tenaga yang ada tidak sesuai standar;
(2) Ketersediaan obat/vaksin/alkes dan BMHP (bahan medis habis pakai); dan
(3) Ketersediaan anggaran/dana secara tepat waktu.
Ketiga masalah tersebut dialami hampir oleh semua Puskesmas, terutama
Puskesmas berlokasi di daerah terpencil/sangat terpencil yang jumlahnya
adalah 2.277 Puskesmas. Langkah terobosan berupa kebijakan afirmasi
oleh Pemerintah Pusat mencakup (i) pengadaan dan penempatan tenaga
Puskesmas; (ii) pengadaan obat/alkes dan BMHP; dan (iii) pengadaan biaya
operasional Puskesmas. Paling tidak kebijakan afirmatif ini diberlakukan
untuk memperkuat 2.277 Puskesmas terpencil/sangat terpencil. Untuk
pengadaan tenaga, sudah dilaksanakan melalui Program Nusantara Sehat.
Untuk pengadaan obat/alkes, sudah ada model obat program nasional yang
dijalankan selama ini (misalnya pengadaan obat TBC, vaksin, obat filaria, obat
malaria, dan lain-lain). Model tersebut bisa dipeluas item-nya sesuai dengan
item kebutuhan obat Puskesmas yang direncanakan melalui e-catalog dan
Fornas.
Untuk biaya operasional Puskesmas, hambatan utama yang terjadi adalah
keterlambatan realisasi RAPBD. Sebelum tahun 2016, dana operasional tersebut
diadakan oleh pusat dan disalurkan dalam bentuk BOK, yang penyalurannya
dilakukan melalui mekanisme TP (Tugas Perbantuan). Sejak tahun 2016,
penyaluran BOK dilakukan melaui DAK non-fisik. Kedua cara penyaluran
tersebut, baik sebagai TP maupun sebagai DAK non-fisik, mengandung
kelemahan yang mengakibatkan realisasinya tidak tepat waktu. Di tingkat
lapangan, keadaan ini sangat mempengaruhi kinerja Puskesmas yang pada
gilirannya memperlambat perbaikan indikator-indikator kesehatan. Oleh sebab
itu, perlu dilakukan kajian khusus untuk menemukan cara paling tepat untuk
mencukupi biaya operasional Puskesmas, terutama dalam melaksanakan UKM.
Sebagai acuan, bisa disetarakan dengan penyaluran dana desa yang langsung
ke desa-desa. Penyaluran dana model dana desa tersebut perlu dilakukan
untuk Puskesmas di daerah terpencil/sangat terpencil.

6.3. Menegaskan Fungsi Puskesmas


Fungsi Puskesmas adalah (i) membina kesehatan wilayah, (ii) melaksanakan
UKM dan UKP dan (iii) melaksanakan manajemen pelayanan kesehatan
dalam konteks wilayah kerjanya. Ketiga fungsi tersebut dijelaskan berikut ini.
Pembina kesehatan wilayah

BAB VI | REKOMENDASI KEBIJAKAN 87


Sejak mulai dikembangkan dan dimasukkan dalam sistem pelayanan kesehatan
di Indonesia (1968), Puskesmas diberikan tugas dan kewenangan sebagai
“pembina kesehatan wilayah”. Berarti Puskesmas bukan saja unit fungsional
pelayanan kesehatan, tetapi adalah juga unit struktural dalam sistem birokrasi
pemerintah. Artinya, Puskesmas adalah perpanjangan tangan Dinas Kesehatan
untuk membina kesehatan dalam wilayah kecamatan/kelurahan. Peran
sebagai pembina kesehatan wilayah tersebut dipahami dan disepakati oleh
semua stakeholder mulai dari tingkat Puskesmas, kabupaten/kota, provinsi,
dan pusat. Semua menyatakan bahwa pembinaan kesehatan wilayah adalah
peran sentral Puskesmas. Namun demikian, semua juga menyatakan bahwa
konsep “pembina kesehatan wilayah” tersebut belum jelas secara operasional.
Konsep tersebut dapat dirasakan dan dipahami urgensinya, tetapi belum
jelas bagaimana melaksanakannya secara konkret. Oleh sebab itu, langkah
segera yang perlu diambil adalah memperjelas konsep “pembina kesehatan
wilayah tersebut” dalam bentuk (i) petunjuk teknis tentang apa yang perlu
dilakukan Puskesmas; (ii) mandat atau otoritas/kewenangan Puskesmas
untuk melaksanakannya; dan (iii) sumber daya yang diperlukan untuk
melaksanakan petunjuk teknis tersebut. Selain itu, perlu penegasan
kewenangan Puskesmas sebagai koordinator dan pembina semua unit-unit
pelayanan kesehatan dalam wilayah kerjanya, termasuk unit pelayanan
swasta (klinik swasta, praktik perorangan, dan lain-lain).

Pelaksana UKM dan UKP pada tingkat dasar (primer)


Puskesmas adalah satu-satunya unit pelayanan kesehatan yang bisa melakukan
intervensi holistik dan komprehensif dalam mengatasi masalah atau gangguan
kesehatan, yaitu mulai dari (i) promosi kesehatan, (ii) pencegahan, (iii) skrining,
(iv) pengobatan, dan (vi) rehabilitasi. Konsep holistik menyatakan bahwa
dalam mengatasi gangguan kesehatan pada tingkat individu (perorangan), lima
jenjang pelayanan tersebut harus diberikan secara lengkap, tidak boleh parsial.
Pemberian pelayanan kepada perorangan ini disebut sebagai Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP). Pelayanan dalam UKP tersebut dilaksanakan berupa
pelayanan klinik dalam patron hubungan antara tenaga medis dengan pasien
dan/atau keluarga. Pelayanan holistik dan komprehensif tersebut juga harus
diterapkan dalam melayani kelompok masyarakat, yang disebut sebagai Upaya
Kesehatan Masyarakat (UKM). Pelayanan kesehatan dalam UKM dilaksanakan
dalam patron hubungan antara Puskesmas dengan masyarakat. Keberhasilan
UKM ditentukan oleh kemampuan Puskesmas untuk (i) menggerakkan mesin
birokrasi (kecamatan dan desa) serta (ii) menggerakkan mesin sosial (tokoh

88 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


masyarakat dan pranata adat). Kesimpulannya, fungsi Puskesmas adalah
melaksanakan UKP dan UKM, yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Kedua
fungsi tersebut perlu dibuat jelas dan dipahami oleh semua pelaku kesehatan.
Tabel 6.1 Persamaan dan Perbedaan antara UKM dan UKP
UKM UKP
Jenis pelayanan Promotif, preventif, Promotif, preventif,
skrining, kuratif, skrining, kuratif,
rehabilitatif rehabilitatif
Sasaran Kelompok/masyarakat Individu/keluarga
Cara pelaksanaan • Menggerakkan mesin Menggerakkan mesin
dan kompetensi yang birokrasi institusi fasilitas
diperlukan • Menggerakkan mesin kesehatan
sosial
Pola hubungan Pola hubungan Puskesmas Pola hubungan tenaga
Puskesmas dengan dengan masyarakat medis dengan pasien
sasaran

Dalam pembangunan kesehatan masyarakat, UKM dan UKP tidak bisa


dipisahkan (tidak bisa diperlakukan sebagai suatu dikotomi). Pemisahan UKM
dan UKP, memiliki konsekuensi
(1) Apabila hubungan arus informasi antara UKP dan UKM terputus (misalnya,
klinik swasta tidak melapor kepada Puskesmas) maka kegiatan perbaikan
kesehatan masyarakat akan menjadi parsial. Misalnya, masalah DBD hanya
di atasi dengan pengobatan saja tanpa melakukan fogging; hipertensi hanya
dengan pengobatan tanpa kegiatan skrining, dan penyuluhan kesehatan
secara massal.
(2) Karena pelayanan UKP dibayar melalui kapitasi dan dalam dana kapitasi ada
jasa pelayanan, akan terjadi ketidakadilan antara tenaga kesehatan yang
bekerja di klinik swasta dengan tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas.
Dengan kata lain, mengobati orang sakit dianggap lebih mempunyai nilai
ekonomi daripada mengobati masyarakat yang sakit.
Beberapa alasan lain mengapa Puskesmas harus tetap melaksanakan
UKM dan UKP sekaligus, yaitu sebagai berikut:
(i) Secara empiris semua jenis masalah kesehatan memerlukan upaya promotif-
preventif-skrining-pengobatan-rehabilitatif. Pendekatan parsial tidak akan
menuntaskan penyelesaian masalah kesehatan.
(ii) Secara teoretis, penanganan masalah kesehatan, baik masalah kesehatan
masyarakat maupun masalah kesehatan perorangan, memerlukan

BAB VI | REKOMENDASI KEBIJAKAN 89


penanganan komprehensif yaitu promotif-preventif-skrining-pengobatan-
rehabilitatif (Laevel & Clark 1968), yang dilaksanakan secara holistik-eklektik
(Kusumanto Setyonegoro, 1968).
(iii) Dari perspektif peraturan perundangan, dalam pasal 47 UU 36/2009 tentang
Kesehatan dinyatakan bahwa “Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk
kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan.”
(iv) Pemisahan UKM oleh Puskesmas dan UKP oleh klinik swasta saja akan
menyebabkan BPJS kehilangan legitimasi mengelola dana PBI karena
sekarang ini sebagian besar PBI berobat ke Puskesmas. Tidak mudah
memindahkan PBI segera berobat ke klinik swasta saja karena klinik swasta
belum banyak tersedia di banyak daerah terpencil. Tanpa menangani
pembiayaan PBI maka BPJS melanggar prinsip solidaritas sosial yang
ditetapkan dalam peraturan perundangan.
Dalam hal UKP diselenggarakan oleh klinik swasta, yang layak dilakukan
di kota-kota maka peran Puskesmas sebagai pembina kesehatan wilayah
menjadi semakin penting. Puskesmas tetap menjadi koordinator klinik-klinik
swasta yang ada di wilayah kerjanya. Dengan demikian, kasus-kasus yang
diobati di klinik swasta dan memerlukan intervensi UKM (misalnya DBD,
penyakit menular lainnya, keracunan makanan, dan lain-lain) dilaporkan kepada
Puskesmas. Selanjutnya, Puskesmas melakukan UKM yang diperlukan untuk
kasus-kasus yang dilaporkan tersebut. Argumentasi di atas menegaskan bahwa
fungsi Puskesmas adalah melaksanakan UKM dan UKP sekaligus.

Manajemen pelayanan kesehatan primer


Puskesmas juga melaksanakan beberapa fungsi manajemen kesehatan di
wilayah kerjanya yang meliputi kegiatan, sebagai berikut:
(1) Melaksanakan Sistem Informasi Kesehatan tingkat kecamatan yang sumber
datanya berasal dari
a. Kegiatan pelayanan Puskesmas sebagai FKTP BPJS;
b. Kegiatan UKM di masyarakat;
c. Kegiatan surveilans di masyarakat; dan
d. Laporan-laporan dari unit kesehatan dalam wilayah kerja Puskesmas
(bidan, Pustu, Poskesdes, Posyandu, Posbindu, klinik swasta dan lain-
lain).
(2) Melaksanakan perencanaan kesehatan yang terdiri dari
a. Rencana lima tahun (Microplanning), mengacu pada Renstra Dinkes;
dan

90 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


b. Rencana tahunan yang menghasilkan RKA (Rencana Kerja dan Anggaran)
tahunan.
(3) Melaksanakan koordinasi, monitoring dan supervisi terhadap kegiatan
Puskesmas dalam pelaksanaan UKM dan UKP.
(4) Melaksanakan manajemen unsur yang terdiri dari:
a. Manajemen SDM;
b. Manajemen obat/logistik; dan
c. Manajemen keuangan.

6.4. Kelembagaan Puskesmas


Peraturan yang ada sudah cukup jelas menetapkan status kelembagaan
Puskesmas, sebagai berikut:
(1) UPT Dinas Kesehatan (PP-18/2016 dan PMK-75/2014);
(2) FKTP BPJS (PMK-19/2014); dan
(3) PPK-BLUD (opsional) (Permendagri-61/2007).
Ketiga status kelembagaan tersebut sudah cukup untuk pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi Puskesmas. Kelembagaan Puskesmas adalah “suatu
entitas UPTD yang di dalamnya ada status sebagai FKTP dan PPK-BLUD.”
Sebagai UPTD, Puskesmas adalah perpanjangan tangan Dinas Kesehatan
untuk membina kesehatan di wilayah kerjanya (kecamatan atau kelurahan).
Dengan otoritas struktural yang dimiliki, Kepala Puskesmas haruslah pegawai
pemerintah (berstatus PNS), memiliki leadership yang baik dan wawasan
kewilayahan, serta memiliki otoritas birokrasi pemerintah. Sebagai FKTP,
Puskesmas harus memenuhi persyaratan standar kompetensi klinis dan
mempunyai lisensi klinis. Sementara itu, status sebagai PPK-BLUD sangat
membantu meningkatkan kinerja Puskesmas. Namun, jumlah Puskesmas
yang sudah menjadi PPK-BLUD masih sedikit dan pertambahannya lamban
karena persyaratan untuk menjadi PPK-BLUD tidak mudah dipenuhi. Konversi
menjadi PPK-BLUD perlu dipercepat. Disarankan agar Kepala Daerah
menyusun rencana mempercepat proses konversi Puskesmas menjadi PPK-
BLUD tersebut. Beberapa daerah yang telah mendapatkan status PPK-BLUD
bagi seluruh Puskesmas adalah Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo,
dan Kabupaten Bandung.

BAB VI | REKOMENDASI KEBIJAKAN 91


6.5. Sumber Daya Manusia Puskesmas
Beberapa kebijakan untuk menjamin kecukupan jenis dan jumlah SDM
Puskesmas sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya adalah sebagai berikut:
1. Mencabut moratorium pengangkatan tenaga esensial Puskesmas
Keputusan Bersama Kementerian PAN dan RB, Kemendagri, dan Kemenkeu
tentang moratorium pengangkatan PNS perlu segera direvisi dengan
menambahkan pengecualian untuk (i) tenaga kesehatan masyarakat;
(ii) tenaga sanitarian; (iii) tenaga gizi; (iv) tenaga farmasi; dan (v) tenaga
lab-medis. Alasan utamanya adalah tenaga tersebut sangat esensial untuk
pelaksanaan kegiatan UKM (tenaga kesehatan masyarakat, sanitarian dan
gizi) serta menjaga mutu pelayanan UKP (tenaga farmasi dan lab-medis).
Alasan lainnya adalah secara empiris tidak pernah ada “moratorium
sakit” (penduduk berhenti sakit). Namun, yang terjadi sebaliknya adalah
kebutuhan pelayanan kesehatan semakin meningkat dari waktu ke waktu.
2. Penambahan jenis tenaga Puskesmas
Permenkes No.75/2014 tentang standar jenis tenaga Puskesmas perlu
direvisi dengan menambahkan dua jenis tenaga lagi, yaitu 1) tenaga
manajemen/pelaporan keuangan; dan 2) tenaga pengelola sistem
informasi dengan latar belakang IT. Penambahan 2 jenis tenaga tersebut
bukan berarti bahwa Kemenkes yang bertanggung jawab untuk menyediakan
tenaga tersebut. Tanggung jawab pengelolaan tenaga kesehatan adalah
daerah sebagaimana amanat UU No.23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Daerah bisa mencari cara-cara inovatif untuk melengkapi SDM
Puskesmas dengan dua jenis tenaga tambahan tersebut.
3. Penyusunan rencana kebutuhan tenaga kesehatan daerah
Setiap daerah melalui Dinas Kesehatan kabupaten perlu menyusun
rencana kebutuhan dan pengelolaan tenaga kesehatan daerah, meliputi
tenaga Puskesmas, tenaga RSUD dan tenaga Dinas Kesehatan sendiri.
Seperti ditetapkan dalam UU 23/2014, salah satu urusan pemerintah di
bidang kesehatan adalah pengelolaan SDM kesehatan, termasuk menyusun
rencana kebutuhan tenaga. Dinas Kesehatan kabupaten perlu ditingkatkan
kemampuannya untuk menyusun rencana kebutuhan tenaga kesehatan
kabupaten tersebut. Salah satu metode menyusun kebutuhan tenaga
pada tingkat institusi adalah metode ABK (Analisis Beban Kerja) seperti
ditetapkan oleh Menpan dan RB. Cara lain adalah menggunakan standar
tenaga institusi (Puskesmas, RSUD dan Dinkes), melihat kekurangan
tenaganya dan menyusun rencana pengadaan/pengangkatannya dalam
kurun waktu tertentu (misalnya 5 tahun).

92 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


4. Mengatasi maldistribusi tenaga Puskesmas
Maldistribusi tenaga Puskesmas terjadi di semua daerah (hasil analisis data
PPSDM 2016 tentang situasi tenaga Puskesmas). Terjadi “penumpukan”
tenaga tertentu di Puskesmas perkotaan, terutama perawat dan bidan.
Perbaikan masalah maldistribusi ini perlu menjadi kebijakan di semua
daerah. Pertama, daerah disarankan untuk menemukan faktor penyebab
terjadinya maldistribusi tersebut. Penyebab tersebut mungkin berbeda-
beda antarwilayah. Sebagai contoh, pernah dilakukan penelitian di dua
kabupaten di Provinsi NTT (Proyek AIPMNH) dan menemukan bahwa
penyebab utama staf Puskesmas enggan tetap berada di Puskesmas
terpencil, yaitu adanya “praktik KKN”, yaitu dalam bentuk “surat sakti”
permintaan mutasi tempat kerja ke Puskesmas “empuk”. Penyebabnya
bukan hanya soal insentif dan fasilitas seperti asumsi selama ini. Kedua
kabupaten tersebut kemudian mengeluarkan Peraturan Bupati tentang
syarat-syarat pindah tempat kerja, yang dapat dipakai oleh Kadinkes dan
BKD untuk menetralisir “surat sakti” tersebut. Dasar hukum atau regulasi
di tingkat daerah yang mengatur penempatan tenaga kesehatan solusi
strategis untuk mengatasi maldistribusi tenaga kesehatan.
5. Pimpinan Puskesmas
Wawasan Kewilayahan (adaptif dengan lingkungan)
Diskusi mendalam di Provinsi Maluku membuka isu tentang pentingnya
kepemimpinan/leadership seorang kepala Puskesmas. Kepala Puskesmas
yang bekerja di daerah gugus pulau perlu memiliki “wawasan bahari”.
Di Papua, kepala Puskesmas di daerah penuh tantangan seperti Papua
perlu memiliki “jiwa kepetualangan” (dalam arti positif). Menjadi kepala
Puskesmas juga perlu memiliki pemahaman tentang “budaya lokal”. Konsep
“wawasan bahari”, “jiwa kepetualangan”, dan “memahami budaya lokal”
memang masih memerlukan rumusan konseptual dan operasional yang
jelas. Tetapi maksudnya jelas, yaitu tipologi pemimpin Puskesmas harus
sesuai dan adaptif dengan lingkungan wilayah kerjanya, yaitu lingkungan
alam dan lingkungan sosial-budaya setempat. Pengembangan wawasan
kepemimpinan seperti disebutkan harus diintegrasikan dalam pendidikan
sarjana kedokteran.
Posisi sebagai birokrat pemerintah
Pimpinan Puskesmas adalah pimpinan sebuah UPT di bawah birokrasi
pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan. Dalam menyelenggarakan
tugasnya, pimpinan Puskesmas harus mengetahui dan melaksanakan tata

BAB VI | REKOMENDASI KEBIJAKAN 93


cara/tata kerja birokrasi kepemerintahan. Konsekuensinya, pemimpin
Puskesmas perlu dibekali dengan pemahaman tentang peraturan-
perundangan, mekanisme kerja dan tata laksana birokrasi di tingkat
kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.

6.6. Farmasi dan Alat Kesehatan


Farmasi dan alat kesehatan merupakan elemen esensial dalam penguatan
pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas. Beberapa rekomendasi kebijakan
untuk penguatan logistik farmasi dan alat kesehatan di Puskesmas adalah
1. Peningkatan kapasitas Puskesmas dan Dinas Kesehatan dalam menyusun
rencana kebutuhan obat (RKO); dan
2. Diperlukan regulasi untuk pengadaan/pembelian obat di luar sistem
e-catalog pada keadaan darurat (misalnya, terputusnya jaringan internet).

6.7. Meningkatkan Efektivitas Pembiayaan


Beberapa kebijakan dan intervensi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
efektivitas pembiayaan kesehatan di tingkat daerah, khususnya di tingkat
Puskesmas, yaitu
a) Peningkatan alokasi anggaran Dinas Kesehatan sebagai pembina Puskesmas,
termasuk adanya sistem remunerasi bagi staf Dinkes;
b) Adanya jasa pelayanan untuk tenaga UKM yang diintegrasikan dalam BOK
atau DAK non-fisik. Jasa pelayanan ini diintegrasikan dengan jasa pelayanan
dari kapitasi yang kemudian diatur pembagiannya dengan SK daerah;
c) Sinkronisasi regulasi antara pusat dan daerah terkait dengan kebijakan tata
kelola pembiayaan daerah; dan
d) Penegasan bahwa APBD kabupaten/kota wajib mengalokasikan anggaran
untuk pencapaian target SPM di bidang kesehatan.

6.8. Peningkatan Manajemen dan Mutu Pelayanan


Puskesmas
Cara efektif untuk meningkatkan manajemen Puskesmas sekaligus
peningkatan mutu pelayanannya adalah akreditasi Puskesmas. Pedoman
pelaksanaan akreditasi Puskesmas sudah ditetapkan dalam PMK 46/2016
tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri Dokter,
dan Tempat Praktik Mandiri Dokter Gigi. Daerah perlu memasukkan akreditasi
Puskesmas dalam Renstra Kesehatan masing-masing, dengan target akhir

94 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


semua Puskesmas di wilayah kerjanya terakreditasi. Selain itu, diperlukan
penyederhanaan laporan Puskesmas (laporan terintegrasi P-Care, SIKDA,
SP2TP, SPJ DAK Non Fisik, SPJ PPK-BLUD) dalam rangka mengurangi beban
administrasi Puskesmas. Pelaporan juga perlu didorong dengan menggunakan
sistem online, yang divalidasi oleh Dinkes setempat.

6.9. Pelatihan Puskesmas


Salah satu hasil kajian ini adalah kurangnya pelatihan untuk memperkuat
(i) kemampuan manajemen dan (ii) kemampuan teknis pelayanan dalam
UKM dan UKP. Untuk pelatihan manajemen Puskesmas, Kemenkes sudah
menyusun pedoman/modul pelatihan manajemen tersebut. Pelatihan
sudah dilakukan untuk sejumlah Puskesmas. Mengingat jumlah Puskesmas
yang sangat banyak (9.677 unit dan tersebar di 540 kabupaten/kota), perlu
direncanakan dan dilaksanakan strategi pelatihan berjenjang. Pertama, perlu
dilatih pelatih manajemen Puskesmas di tingkat provinsi dalam bentuk training
of trainer (TOT). Hasilnya adalah sebuah Tim Pelatih Manajemen Puskesmas
di setiap provinsi. Selanjutnya, Tim Pelatih Provinsi tersebut melatih semua
Dinas Kesehatan kabupaten/kota di wilayahnya untuk mampu melatih dan
memberikan bimbingan teknis kepada semua Puskesmas di wilayah kabupaten/
kota masing-masing. Demikian juga untuk kemampuan teknis pelayanan,
sudah banyak buku pedoman teknis disusun untuk masing-masing program.
Misalnya, pedoman program imunisasi, pedoman MTBS, pedoman program
malaria, TB, KIA, dan lain-lain. Ternyata pedoman-pedoman tersebut tidak
tersedia di Puskesmas maupun Dinas Kesehatan. Rekomendasi atau solusi
untuk permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Membuat file elektronik pedoman teknis pelayanan UKM dan UKP dan
mendiseminasikannya kepada semua Dinas Kesehatan dan Puskesmas;
(2) Mencetak hardcopy pedoman-pedoman tersebut dan dibagikan kepada
semua Dinkes untuk diperbanyak sendiri oleh Dinkes dan dibagikan kepada
semua Puskesmas; dan
(3) Provinsi (Bapelkes) menyelenggarakan pelatihan teknis pelayanan
Puskesmas secara berkala dan secara bertahap mencakup semua Puskesmas.

BAB VI | REKOMENDASI KEBIJAKAN 95


96 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS
DAFTAR PUSTAKA

AIPHSS. 2013. Reformasi Puskesmas: Peningkatan Kualitas Pelayanan Puskesmas


Dengan Pelibatan Peran Serta Masyarakat. AIPMNH.
AIPHSS. 2011. Australia – Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening
2011-2016. Program Design Document
AIPMNH. 2014. Inovasi dalam Perencanaan dan Manajemen Kesehatan di NTT.
Jakarta: AIPMNH
AIPMNH. 2015. Report on Best Practice of AIPMNH supported projects in NTT.
Jakarta: AIPMNH
Arrimes. 2005. Manajemen Puskesmas (-.). Jakarta: Sagung seto.
Ascobat Gani, Isti Ratnaningsih, & Sarojini. 2008. Benefit Monitoring and
Evaluation Proyek DHS-1. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat, Departemen Kesehatan RI.
Ascobat Gani,.[et al]. 2007. Modul Advokasi. Jakarta: Nisa Rindo Jaya Abadi.
Ascobat Gani,.[et al]. 2007. Modul Pelatihan Perencanaan dan Penganggaran
Kesehatan Terpadu (P2KT). Jakarta: Nisa Rindo Jaya Abadi.
Ascobat Gani. 2007. Pedoman Reformasi Sektor Kesehatan “Health Sector
Reform” (HSR). Jakarta: Nisa Rindo Jaya Abadi.
Ascobat Gani. 2008. Best Practice and Lesson Learnt Proyek DHS-1. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan
RI.
Bank Dunia. 2014. Supply Side Readiness. (Bahan untuk Health Sector Review-
Bappenas 2014). Jakarta: World Bank
Budiyanto, A. 2011. Badan Penyantun Puskesmas (BPP): Wadah Masyarakat
Peduli Kesehatan Mitra Puskesmas. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka.
Cevik, Sozmen, Kilic. 2017. How Primary Care Reforms Influenced Health
Indicators in Manisa District in Turkey: Lessons for General Practitioners
Depkes RI. 1986. Pedoman Perencanaan Tingkat Puskesmas (Microplanning)
(Cet.1.). Jakarta: Depkes RI.
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan RI. (2011).
Prosedur Tetap Penyelenggaraan Administrasi Keuangan Bantuan Operasional
Kesehatan Tahun 2012.

DAFTAR PUSTAKA 97
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan RI. (2012).
Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan Tahun 2013
Effendy, Nasrul. 1997. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masayarakat.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 1974 tentang Penempatan Dokter sebagai
PNS di Puskesmas
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1977 tentang Program Bantuan Pembangunan
Sarana Kesehatan 1977/1978
Kabupaten Bintan. 2015. Perbandingan Pelayanan Puskesmas sebelum dan
sesudah menjadi PPK-BLUD di Kabupaten Bintan 2013-2015.
Kementerian Kesehatan. 2009. Keputusan Kemenkes RI Nomor: 857/MENKES/
SK/IX/2009 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Sumber Daya Manusia
Kesehatan di Puskesmas (-.). Jakarta: BPPSDM.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Jakarta: Bappenas
Kementerian Kesehatan. 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/
II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 99A/Menkes/SK/
III/1982 tentang Berlakunya Sistem Kesehatan Nasional
Setyonegoro, Kusumanto. 1957. Pendekatan Eklektik-Holistik di Indonesia dengan
Minat Khusus terhadap Masalah Schizofrenia. Disertasi. Jakarta: FKUI
Laevell & Clark. 1940. The Five Levels of Diseases Prevention.
Laura Chaterine Lawung dan Mahfud Sholihin. (2009). Evaluasi Kinerja Puskesms
yang menerapkan PPK-BLUD di Kota Balikpapan.
Laura K. Muldoon, William E. Hogg and Miriam Levitt. 2006. Primary Care (PC)
and Primary Health Care (PHC): What is the Difference?, Canadian Journal
of Public Health, Vol. 97, No. 5 (September/October 2006), pp. 409-411,
Canadian Public Health Association.
Li, X., Lu, J., Hu, S., Cheng, K. K., De Maeseneer, J., Meng, Q., … Hu, S. (2017,
December 9). The Primary Health-Care System in China. The Lancet. Lancet
Publishing Group. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(17)33109-4
Peraturan Bersama Menpan-RB, Kemendagri, Kemenkeu tahun 2011 tentang
Moratorium Pengangkatan PNS baru

98 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.
Peraturan Menteri Desa PDTT Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2015
tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016
Peraturan Menteri Desa PDTT Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016
tentang Dana Desa
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang
Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014
tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk
Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada FKTP
Milik Pemerintah Daerah
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2015 tentang
Penempatan Tenaga Puskesmas melalui Nusantara Sehat
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2016
tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk
Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2016
tentang Manajemen Puskesmas
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2015
tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri
Dokter, dan Tempat Praktik Mandiri Dokter Gigi
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 tentang
Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014
tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk
Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2016
tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Nonfisik Bidang
Kesehatan Tahun Anggaran 2017.

DAFTAR PUSTAKA 99
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014
tentang Pusat Kesehatan Masyarakat
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 tentang
Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan serta
Sarana dan Prasarana Penunjang Sub Bidang SARPRAS Kesehatan Tahun
Anggaran 2016.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2014 tentang Dana
Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Standar Pelayanan Minimal
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional
pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional.
Pongpisut Jongudomsuk dkk. 2015. Thailand Health System Review.
PPK-UGM. 2012. Studi Hambatan Pengeluaran dan Pembiayaan Puskesmas di
NTT dan Jawa Timur. Yogyakarta: UGM
Proyek Kesehatan Keluarga dan Gizi. 2002. ARRIME: Pedoman Manajemen
Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Ryadi, Alexander Lucas Slamet. 2016. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta:
CV. Andi Offset
SKB Sekjen Kemenkes dan Direktur BPJS Nomor 3 tahun 2016 tentang
Pembayaran Kapitasi Berbasis Komitmen Kinerja
Suryani, Nurul Dwi dan Solikhah. (2013). Sistem Pencatatan dan Pelaporan
Terpadu Puskesmas (SP2TP) di Wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten
Dompu Provinsi NTB. KESMAS.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pembagian
Urusan Pemerintah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah.

100 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS


WHO. 1978. Declaration of Alma Ata, International Conference on Primary
Health Care, Alma-Ata 6-12 September 1978. Alma Ata: WHO
WHO. 2008. The World Health Report: Primary Health Care Now More Than
Ever. Geneva: WHO Press
WHO. 2012. Good Practices in Delivery of Primary Health Care in Urban Settings.

DAFTAR PUSTAKA 101


102 PENGUATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI PUSKESMAS

Anda mungkin juga menyukai