Anda di halaman 1dari 30

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

AKHLAQ ISLAMIYAH, TAUKID, IMAN


ISLAM, IHSAN, TEOLOGI ISLAM

MAYANG HEMA MALINA

K7614030

FKIP/ PENDIDIKAN EKONOMI BKK TATA NIAGA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


I. HADITS TENTANG IMAN, ISLAM, DAN IHSAN

Dalam sebuah hadits dikatakan :

َ‫ّللاُ عل ْي ِه‬ََّ ‫ كانَ النَّبِيَ صلَّى‬:َ‫ن أبِي هُرَيْرةَ قال‬ َْ ‫ن أبِي َُز ْرعةَ ع‬ َْ َ‫ل بْنَُ إِبْراهِيمَ أ ْخبرنا أبُو حيَّانَ التَّي ِْميَ ع‬ َُ ‫حَدَّثنا ُمسدَّدَ قالَ حدَّثنا إِسْما ِعي‬
:َ‫ قال‬،ِ‫س ِل َِه وتُؤْ ِمنَ بَِ ْالب ْعث‬ُ ‫اّلل وَمالئِكتِ َِه و ُكتُبَِ َِه وبِ ِلقائِ َِه و ُر‬ ََِّ ِ‫ن تُؤْ ِمنَ ب‬
َْ ‫اإليمانَُ أ‬ ِ َ‫اإليمانَُ قال‬ ِ ‫ ما‬:َ‫ل فقال‬ َُ ‫اس فأتاَهُ ِجب ِْري‬ ِ ‫وسلَّمَ ب‬
َ ِ َّ‫ار ًزا ي ْو ًما ِللن‬
،ُ‫اإلحْ سَان‬ ِ ‫ ما‬:َ‫ قال‬،‫صومَ رمضان‬ ُ ‫الزكاةَ ْالم ْف ُروضةَ وت‬ ََّ َ‫صالةَ وتُؤ َِدي‬ َّ ‫ّللا ولَ ت ُ ْش ِركَ بِ َِه ش ْيئًا وت ُ ِقيمَ ال‬ ََّ َ‫ن ت ْعبُد‬ َْ ‫اإلسْال َُم أ‬ِ :َ‫اإلسْال َُم قال‬ ِ ‫ما‬
‫ن‬ ُ
َْ ‫ل وسأ ْخبَِ ُركَ ع‬ َِ ِ‫ن السَّائ‬ َْ ‫ل ع ْنهَا بَِأعْلمَ ِم‬ ْ ُ
َُ ‫ ما الم ْسَئ ُو‬:َ‫ قال‬،‫ متى السَّاعَة‬:َ‫ قال‬،‫ن تراَهُ فإِنَّ َهُ يراك‬ َْ ‫ن ل َْم ت ُك‬َْ ِ ‫ّللا كأنَّكَ تراَهُ فإ‬ََّ َ‫ن ت ْعبُد‬ َْ ‫ أ‬:َ‫قال‬
ََّ ‫ّللاُ ث ََُّم تالَ النَّ ِبيَ صلَّى‬
‫ّللاُ عل ْي َِه‬ ََّ َّ‫ل‬
َ ‫ن ِإ‬ََّ ‫ فَِي خ ْمسَ لَ ي ْعل ُم ُه‬،‫ان‬ ِ ‫ل ْالبُ ْه َُم فِي ا ْلبُ ْني‬ ِ ُ ‫ت األم َةُ ربَّها وإِذا تطاولَ ُرعاَة‬
َِ ‫اإل ِب‬ َْ ‫ ِإذا ولد‬:‫اطها‬ ِ ‫أ ْشر‬
‫ل جاءَ َيُع ِل َُم النَّاسَ دِين ُه َْم‬ َُ ‫ّللا ِع ْندَهُ ِع ْل َُم السَّاع َِة اآليةَ ث ََُّم أدْبرَ فقالَ ُردوَهُ فل َْم ير ْوا ش ْيَئ ًا فقالَ هَذا ِجب ِْري‬ ََّ ‫ن‬ََّ ِ‫وسلَّمَ إ‬

Artinya :

Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Isma’il ibn Ibrahim telah
menceritakan kepada kami, Abu Hayyan al-Taimiy dari Abi Zur’ah telah menyampaikan kepada
kami dari Abu Hurairah r.a berkata:
Pada suatu hari ketika Nabi saw. sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-
laki dan bertanya, “apakah iman itu?”. Jawab Nabi saw.: “iman adalah percaya Allah swt., para
malaikat-Nya, kitab-kitabnya, dan pertemuannya dengan Allah, para Rasul-Nya dan percaya pada
hari berbangkit dari kubur. ‘Lalu laki-laki itu bertanya lagi, “apakah Islam itu? Jawab Nabi saw.,
“Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun,
mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan dan berpuasa di bulan Ramadhan.” Lalu
laki-laki itu bertanya lagi: “apakah Ihsan itu?” Jawab Nabi saw., “Ihsan ialah bahwa engkau
menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau engkau tidak mampu melihat-
Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu.
Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah hari kiamat itu? “Nabi saw. menjawab: “orang yang
ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya, tetapi saya memberitahukan kepadamu
beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan
majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun
gedung-gedung megah. Termasuk lima perkara yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah,
selanjutnya Nabi saw. membaca ayat: “Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah yang
mengetahui hari kiamat… (ayat).
Kemudian orang itu pergi. Lalu Nabi saw. bersabda kepada para sahabat: “antarkanlah orang itu.
Akan tetapi para sahabat tidak melihat sedikitpun bekas orang itu. Lalu Nabi saw.bersabda: “It u
adalah Malaikat Jibril a.s. yang datang untuk mengajarkan agama kepada manusia.” (HR. Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal).
A. PENGERTIAN IMAN, ISLAM, DAN IHSAN

1. Hakikat iman
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan
sedikitpun.[1] Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh, malaikat-
malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman
mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman
bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada
cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali
jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari
segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku
keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim
adalah mukmin[2]
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi yang
terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan
dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka
yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-
ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu)
orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan
kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)

Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang
keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah
dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan
sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka
seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara
keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.

Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya
Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:

1) Diyakini dalam hati


2) Diucapkan dengan lisan

3) Diamalkan dengan anggota tubuh.

Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun
Iman yang enam, yaitu:

1) Iman kepada Alloh

2) Iman kepada malaikatNya

3) Iman kepada kitabNya

4) Iman kepada rosulNya

5) Iman kepada Qodho dan Qodar

6) Iman kepada hari akhir

Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang
mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang
sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.

Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka
yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat Iman
kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita
karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.

Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya
Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:

“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman:
Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang
yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran
sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.”(HR.Bukhori Muslim).

2. Hakikat Islam
Islam bersal dari kata, as-salamu, as-salmu, danas-silmu yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk,
dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-
salmu, as-salamu, dan as-salamatu yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan
batin.

Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan)
seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintahNya dan menjauhi
laranganNya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat.

Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Alloh, maka ia seorang muslim, dan barang
siapa yang menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia seorang musyrik, sedangkan seorang
yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka ia seorang kafir yang sombong.[3]
Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu
Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari
pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak kita memahami Islam dari
sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan kepatuhan dan ketundukan
kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam surat al-A’rof ayat 172 yang artinya:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”[4]
Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur
pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:

1) Membaca dua kalimat Syahadat

2) Mendirikan sholat lima waktu


3) Menunaikan zakat

4) Puasa Romadhon

5) Haji ke Baitulloh jika mampu.

Kata kerja asalnya ialah:


· Aslama yang berarti berserah diri kepada Allah artinya manusia dalam berhadapan dengan
Tuhannya mengakui akan kelemahannya dan mengakui kemutlakan kekuasaan Tuhan.
Bagaimanapun tingginya kemampuan manusia yang berujud menghasilkan ilmu pengetahuan dan
tehnologi serta kebudayaan tetapi kalau dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan tidak ada
artinya.
· Salima berarti menyelamatkan, menentramkan, mengamankan yaitu menyelamatkan,
menentramkan dan mngamankan orang lain baik dari kata-kata maupun perbuatannya.
· Salama yang berarti menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan diri sendiri
Dari pengertian Islam tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan adanya 3 aspek, yaitu:
1. Aspek vertikal
Aspek vertikal mengatur antara makhluk dengan kholiknya (manusia dengan Tuhannya). Dalam
hal ini manusia bersikap berserah diri pada Allah.
2. Aspek horisontal
Aspek horisontak mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Islam menghendaki agar
manusia yang satu menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan manusia yang lain.
3. Aspek batiniah
Aspek batiniah mengatur ke dalam orang itu sendiri, yaitu supaya dapat menimbulkan
kedamaian, ketenangan batin maupun kematapan rohani dan mental.
3. Hakikat Ihsan
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat
baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan
pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang
berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah[5]
Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal (dan
panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya mengenai Ihsan oleh
malaikat Jibril dan nabi menjawab:

َْ ‫إن ل َْم ت ُك‬


…َ‫ن تراَهُ فإنَّ َه ُ يراك‬ َْ ‫ن ت ْعبُدَ ّللاَ كأنَّكَ تراَهُ ف‬
َْ ‫…أ‬

“…Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Tapi jika engkau tidak
melihatNya, maka sesungguhnya Alloh melihatmu…..

Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan Ihsan, sebagai rumusnya adalah memposisikan
diri saat beribadah kepada Alloh seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika belum bisa memposisikan
seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat olehNya sehingga akan muncul kesadaran dalam
diri untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat Ihsan atau berbuat baik.

A.2 Korelasi Iman, Islam, dan Ihsan

Diatas telah dibahas tentang ketiga hal tersebut, disini, akan dibahas hubungan timbal balik antara
ketiganya. Iman yang merupakan landasan awal, bila diumpamakan sebagai pondasi dalam keberadaan
suatu rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang berdiri diatasnya. Maka, apabila iman seseorang
lemah, maka islamnya pun akan condong, lebih lebih akan rubuh. Dalam realitanya mungkin
pelaksanaan sholat akan tersendat-sendat, sehingga tidak dilakukan pada waktunya, atau malah
mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan, puasa tak terlaksana, dan lain sebagainya. Sebaliknya,
iman akan kokoh bila islam seseorang ditegakkan. Karena iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang
pula menjadi tipis, karena amal perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri
merupakan wadah bagi iman itu. Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin taqorrub, maka akan
semakin tebal imannya, sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam kemaksiatan, kebal akan dosa,
maka akan berdampak juga pada tipisnya iman.

Dalam hal ini, sayyidina Ali pernah berkata :


‫قال علي كرم هللا وجهه إن اإليمان ليبدو لمعة بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى يبيض القلب كله وإن النفاق ليبدو نكتة‬
‫سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى يسود القلب كله‬

Artinya : Sahabat Ali kw. Berkata : sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang putih, apabila
seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut akan tumbuh dan bertambah sehingga hati
(berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan
perkara yang diharamkan, maka titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah (warna)
hati.

Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai hiasan rumah, bagaimana rumah tersebut bisa terlihat
mewah, terlihat indah, dan megah. Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak. Sama halnya
dalam ibadah, bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari sang kholiq, sehingga dapat
diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi larangannya saja, melainkan
berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah
disebutkan diatas kedudukan kita hanyalah sebagai hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita
bekerja, menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah hakikat dari
ihsan.[6]
Iman, islam dan ihsan merupakan tiga rangkaian konsep agama islam yang sesuai dengan dalil , Iman,
Islam dan Ihsan saling berhubungan karena seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama
belumlah cukup tanpa dibarengi dengan Iman. Sebaliknya, Iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak
didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan Iman akan mencapai kesempurnaan jika
dibarengi dengan Ihsan, sebab Ihsan merupakan perwujudan dari Iman dan Islam,yang sekaligus
merupakan cerminan dari kadar Iman dan Islam itu sendiri.

A.3 Perbedaan Iman, Islam dan Ihsan


Antara iman,islam dan ihsan di samping saling berhubungan,juga terdapat perbedaan yang merupakan
ciri di antara ketiganya.
· Iman lebih menekankan pada segi keyakinan di dalam hati.
· Islam adalah sikap aktif untuk berbuat/beramal.
· Ihsan merupakan perwujudan dari iman dan islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari
kadar iman dan islam itu sendiri.
II. AQIDAH ISLAMIYAH
Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) :

Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraam
(pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah
(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga
mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan.
Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan
perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah
adalah aqa-id.
Aqidah islam itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunah, bukan dari akal atau pikiran
manusia. Akal pikiran itu hanya digunakan untuk memahami apa yang terkandung pada kedua sumber
aqidah tersebut yang mana wajib untuk diyakini dan diamalkan.

Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi)

Aqidah menurut istilah adalah perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram
karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh
keraguan dan kebimbangan.

Pengertian aqidah menurut hasan al-Banna

"Aqa'id bentuk jamak rai aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati,
mendatangkan ketentraman jiwa yang tidak bercampur sedikit dengan keraguan-raguan".

Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:

"Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal,
wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini keshahihan dan
keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.

Untuk lebih memahami definisi diatas kita perlu mengemukakan beberapa catatan tambahan sebagai
berikut:

1. Ilmu terbagi dua:

Pertama ilmu dharuri yaitu Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil. Misalnya
apabila kita melihat tali di hadapan mata, kita tidak memerlukan lagi dalil atau bukti bahwa benda itu
ada.
Kedua adalah ilmu nazhari yaitu. Ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian.
Misalnya ketiga sisi segitiga sama sisi mempunyai panjang yang sama, memerlukan dalil bagi orang-
orang yang belum mengetahui teori itu. Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat
umum dan terkenal tidak memerlukan lagi dalil. Misalnya kalau sebuah roti dipotong sepertiganya maka
yang du pertiganya tentu lebih banyak dari sepertiga, hal itu tentu sudah diketahui oleh umum bahkan
anak kecil sekalipun. Hal seperti ini disebut badihiyah. Jadi badihiyah adalah segala sesuatu yang
kebenarannya perlu dalil pemuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka
kebenaran itu tidak lagi perlu pembuktian.

2. Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari kebenaran, akal
untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang
benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan, musalnya, setiap manusia memiliki fitrah bertuhan, dengan
indera dan akal dia bisa membuktikan adanya Tuhan, tetapi hanya wahyulah yang menunjukkan
kepadanya siapa Tuhan yang sebenarnya.

3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum seseorang sampai ke tingkat
yakin dia akan mengalami beberapa tahap.

Pertama: Syak. Yaitu sama kuat antara membenarkan sesuatu atau menolaknya.
Kedua: Zhan. Salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkannya.

Ketiga: Ghalabatu al-Zhan: cenderung labih menguatkan salah satu karena sudah meyakini dalil
kebenarannya. Keyakinan yang sudah sampai ke tingkat ilmu inilah yang disebut dengan aqidah.

4. Aqidah harus mendatangkan ketentraman jiwa. Artinya lahirnya seseorang bisa saja pura-pura
meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa, karena dia harus
melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya.

5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang bertentangan
dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan.

6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahaman terhadap dalil.
Misalnya:

- Seseorang akan meyakini adanya negara Sudan bila dia mendapat informasi tentang Negara tersebut
dari seseorang yang dikenal tidak pernah bohong.

- Keyakinan itu akan bertambah apabila dia mendapatkan informasi yang sama dari beberapa orang lain,
namun tidak tertutup kemungkinan dia akan meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubhat
(dalil-dalil yang menolak informasi tersebut).
- Bila dia menyaksikan foto Sudan, bertambahlah keyakinannya, sehingga kemungkinan untuk ragu
semakin kecil.

- Apabila dia pergi menyaksikan sendiri negeri tersebut keyakinanya semakin bertambah, dan segala
keraguannya akan hilang, bahkan dia tidak mungkin ragu lagi, serta tidak akan mengubah pendiriannya
sekalipun semua orang menolaknya.

- Apabila dia jalan-jalan di negeri Sudan tersebut dan memperhatikan situasi kondisinya bertambahlah
pengalaman dan pengetahuanya tentang negeri yang diyakininya itu. [4]

Dalam pengertian lain aqidah berarti pemikiran menyeluruh tentang alam, manusia, dan kehidupan, dan
tentang apa-apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dengan
apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia.
Pemikiran menyeluruh inilah yang dapat menguraikan ‘uqdah al-kubra’ (permasalahan besar) pada diri
manusia, yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan; siapa yang menciptakan alam semesta dari
ketiadaannya? Untuk apa semua itu diciptakan? Dan ke mana semua itu akan kembali (berakhir)? [5]

B. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah

Menurut Hasan al-Banna sistematika ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:

1. Ilahiyat
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilahi seperti wujud Allah dan sifat-
sifat Allah, dan lain-lain

2. Nubuwat
Yaitu pembahasan tentang segala seuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk
pembahasan tentang Kitab-Kitab Allah, mu'jizat, dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat
Yaitu pembahsasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat,
Jin, Iblis, Syaitan, Roh dan lain sebagainya.

4. Sam'iyyat
Yaitu pembahahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam'I (dalil naqli berupa Al-
Quran dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan
lainnya.
Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu ( )‫ ْالع ْق َُد‬yang berarti ikatan, at-tautsiiqu( )‫ْق‬
َُ ‫الت َّ ْوثِي‬
yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat al-ihkaamu ( )‫اْ ِإلحْ كَا َُم‬yang artinya
َُ ‫الر ْب‬
mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah ( )َ‫ط بِقُ َّوة‬ َّ yang berarti mengikat dengan
kuat. Sedangkan menurut istilah (terminologi): 'akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang
tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.[1]
Jadi, Akidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan
segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-
malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani
seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara
yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari Salafush Shalih, serta
seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah
ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma' Salaf as-Shalih.[3]
"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang
mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya"(QS. An-
Nisa':69)
Aqidah tauhid merupakan dasar keyakinan seorang muslim yang berfungsi sebagai syarat
diterimanya ibadah kepada Allah SWT. Dalam Islam, syarat diterimanya ibadah kepada Allah ada
3, yaitu:
1. Mabda (dasarnya) adalah aqidah tauhid
2. Manhaj (metodenya) adalah syariat Nabi Muhammad
3. Ghoyah (tujuannya) adalah mendapatkan ridlo Allah di dunia dan diakhirat

Aqidah tauhid sebagai syarat diterimanya ibadah berarti walaupun metode dan tujuannya
benar tetapi tidak dilandasi aqidah tauhid maka ibadahnya sia-sia. Hanya amal yang dilandasi
dengan tauhidullah, menurut tuntunan Islam, yang akan menghantarkan manusia kepada
kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti.

B. Kedudukan Akidah yang Benar


Akidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan. Hal ini
sebagaimana ditetapkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya:
‫ك بِعِبادةَِ ربِ َِه أحدًا‬ َْ ‫ن كانَ ي ْر ُجو لِقاءَ ربِ َِه ف ْلي ْعم‬
َْ ‫ل عمال صا ِل ًحا ول يُ ْش ِر‬ َْ ‫فم‬
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal
shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-
Nya.” (QS. Al Kahfi: 110)
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila tercampuri dengan
kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat memperhatikan perbaikan akidah sebagai
prioritas pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh para Rasul kepada
kaum mereka menyembah kepada Allah saja dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya.
Hal ini telah diberitakan oleh Allah di dalam firman-Nya:
َّ ‫ّللا واجْ تنِبُوا‬
َ‫الطاغُوت‬ ََّ ‫ن ا ْعبُدُوا‬ ُ ‫ل أ ُ َّمةَ ر‬
َِ ‫سول أ‬ َِ ‫ولق َْد بعثْنا فِي ُك‬
“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyerukan ‘Sembahlah
Allah dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah)’” (QS. An Nahl: 36)

C. Sebab-Sebab Penyimpangan dari Akidah yang Benar


Penyimpangan dari akidah yang benar adalah sumber petaka dan bencana. Seseorang yang tidak
mempunyai akidah yang benar maka sangat rawan termakan oleh berbagai macam keraguan dan
kerancuan pemikiran, sampai-sampai apabila mereka telah berputus asa maka mereka pun
mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat mengenaskan yaitu dengan bunuh diri. Begitu pula
sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi akidah yang benar akan sangat rawan
terbius berbagai kotoran pemikiran materialisme (segala-galanya diukur dengan materi), sehingga
apabila mereka diajak untuk menghadiri pengajian-pengajian yang membahas ilmu agama
mereka pun malas karena menurut mereka hal itu tidak bisa menghasilkan keuntungan materi
Oleh karena peranannya yang sangat penting ini maka kita juga harus mengetahui sebab-sebab
penyimpangan dari akidah yang benar. Di antara penyebab itu adalah:
1. Bodoh terhadap prinsip-prinsip akidah yang benar. Hal ini bisa terjadi karena sikap tidak mau
mempelajarinya, tidak mau mengajarkannya, atau karena begitu sedikitnya perhatian yang
dicurahkan untuknya. Ini mengakibatkan tumbuhnya sebuah generasi yang tidak memahami
akidah yang benar dan tidak mengerti perkara-perkara yang bertentangan dengannya, sehingga
yang benar dianggap batil dan yang batil pun dianggap benar. Hal ini sebagaimana pernah
disinggung oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Jalinan agama Islam itu akan terurai
satu persatu, apabila di kalangan umat Islam tumbuh sebuah generasi yang tidak mengerti
hakikat jahiliyah.”
2. Lalai dari merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun qur’aniyah. Ini terjadi
karena terlalu mengagumi perkembangan kebudayaan materialistik yang digembar-gemborkan
orang barat. Sampai-sampai masyarakat mengira bahwa kemajuan itu diukur dengan sejauh
mana kita bisa meniru gaya hidup mereka. Mereka menyangka kecanggihan dan kekayaan materi
adalah ukuran kehebatan, sampai-sampai mereka terheran-heran atas kecerdasan mereka.
Mereka lupa akan kekuasaan dan keluasan ilmu Allah yang telah menciptakan mereka dan
memudahkan berbagai perkara untuk mencapai kemajuan fisik semacam itu. Padahal apa yang
bisa dicapai oleh manusia itu tidaklah seberapa apabila dibandingkan kebesaran alam semesta
yang diciptakan Allah Ta’ala. Allah berfirman yang artinya, “Allah lah yang menciptakan kamu dan
perbuatanmu.” (QS. Ash Shaffaat: 96)
3. Kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar. Padahal peranan
orang tua sebagai pembina putra-putrinya sangatlah besar. Hal ini sebagaimana telah digariskan
oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang
tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari). Anak-anak
telah besar di bawah asuhan televise, mereka meniru busana artis idola, padahal busana sebagian
mereka itu ketat, tipis dan menonjolkan aurat yang harusnya ditutupi. Setelah itu mereka pun
lalai dari membaca Al Qur’an, merenungkan makna-maknanya dan malas menuntut ilmu agama.

D. Pembagian Aqidah
Walaupun masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi
Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang mereka
itu senantiasa rnenempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka
qadha' dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk
ke dalam salah satu di antara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:
Pertama: Tauhid Al-Uluhiyyah, ialah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya
kepada Allah dan karenaNya semata.
Kedua: Tauhid Ar-Rububiyyah, ialah rneng esakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani
dan meyakini bahwa hanya Allah yang Mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.
Ketiga: Tauhid Al-Asma' was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya. Artinya
mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. dalam
dzat, asma maupun sifat.

G. Perkembangan Aqidah
Pada masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya
sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung
diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para sahabat yang artinya berbunyi
:"Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur'an"
Nah, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru
seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat
utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash. Timbul pula kelompok Syiah
yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir
dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih
Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena terjadinya
penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis bantahan-bantahan dalam karya mereka.
Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), As-
Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah
wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi dan berjamaah) atau terkadang menggunakan
istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari
generasi abad pertama sampai generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi SAW.
Ringkasnya : Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan ushuluddin.
Sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf.

KESIMPULAN AKIDAH ISLAMIYAH


Akidah Islam adalah prinsip utama dalam pemikiran Isiami yang dapat membina setiap individu
muslim sehingga memandang alam sernesta dan kehidupan dengan kaca mata tauhid dan
melahirkan konotasi-konotasi valid baginya yang merefleksikan persfektif Islam mengenai
berbagai dimensi kehidupan serta menumbuhkan perasaan-perasaan yang murni dalam dirinya.
Atas dasar ini, akidah mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu menciptakan mu'jizat
dan merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman permulaan Islam.
Demi membina setiap individu muslim, perlu kiranya kita mengingatkannya tentang sumbangsih-
sumbangsih akidah yang telah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya dan rneyakinkannya akan
validitas akidah itu dalam setiap zaman dan keselarasannya dengan segala era.
Kita bisa menyimpulkan peranan penting akidah dalam membina manusia di berbagai sisi dan
dimensi kehidupan dalam poin-poin berikut :
1. Dalam Sisi Pemikiran.
Akidah menganggap manusia sebagai makhluk yang terhormat. Adapun kesalahan yang
terkadang menimpa manusia, adalah satu hal yang biasa dan bisa diantisipasi dengan taubat. Atas
dasar ini, akidah meyakinkannya bahwa ia mampu untuk meningkatkan diri dan ticlak
membuatnya putus asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya
Akidah juga memberikan kebebasan penuh kepadanya. Namun ia membatasi kebebasan itu
dengan hukum-hukum syariat, pengharnbaan kepada Allah supaya hal itu tidak menimbulkan
kekacauan.
Dari sisi lain, akidah mendorong manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan dan mengikat ilmu
pengetahuan itu dengan iman. Karena mernisahkan ilmu pengetahuan dan iman akan
menimbulkan akibat jelek.
Akidah juga memerintahkan akal untuk meneliti dan merenungkan dengan teliti untuk
menyimpulkan sebuah Ushuluddin dan melarangnya untuk bertaklid dalarn hati itu.
2. Dalam Sisi Sosial
Akidah telah berhasil melakukan perombakan besar dalam sisi ini. Di saat masyarakat Jahiliah
hanya mementingkan diri mereka dan kemaslahatannya, dengan mengenal akidah, mereka relah
mengorbankan segala yang mereka miliki demi agama dan kepentingan sosial.
Akidah telah berhasil menghancurkan tembok pemisah yang memisahkan antara ketamakan
manusia akan kemasiahatan-kemaslahatan pribadinya dan jiwa berkorban demi kemaslahatan
umum dengan cara menumbuhkan rasa peduli sosial dalam diri setiap individu.
Akidah telah berhasil menumbuhkan rasa peduli sosial ini dalam diri setiap individu dengan cara-
cara berikut: menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kepentingan orang lain,
menanamkan jiwa berkorban dan mengutamakan orang lain dan mendorong setiap individu
mushn untuk hidup bersama..
Akidah telah berhasil merubah kondisi pertentangan dan pergolakan yang pernah melanda
masyarakat insani menjadi kondisi salang mengenal dan tolong menolong. Dengan ini, mereka
menjadi sebuah umat bersatu yang disegani oleh bangsa lain.
3. Dalam Sisi Kejiwaan
Akidah dapat mewujudkan ketenangan dan ketentraman bagi manusia meskipun bencana sedang
menimpa.
Dalam hal ini akidah telah menggunakan berbagai cara dan metode untuk meringankan bencana-
bencana itu di mata manusia. Di antara cara-cara tersebut adalah menjelaskan kriteria
dunia;bahwa dunia ini adalah tempat derita dan ujian yang penuh dengan bencana dan derita
yang acap kali menimpa manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi manusia untuk rnencari
kesenangan dan ketentraman di dunia ini.
Atas dasar ini, hendaknya ia berusaha sekuat tenaga demi meraih kesuksesan dalam ujian Allah di
dunia.
Dan di antara cara-cara tersebut adalah akidah menegaskan bahwa setiap musibah pasti
membuahkan pahala, dan menyadarkan manusia bahwa musibah terbesar yang adalah musibah
yang menimpa agama.
Begitu juga akidah memotivasi manusia untuk mengenal dirinya. Karena tanpa itu, sulit baginya
untuk dapat menguasai jiwa dan mengekangnya, dan tidak mungkin baginya dapat mengenal
Allah secara sempurna.
Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa penyakit-penyakit jiwa yang
berbahaya seperti fanatisme, rakus dan egoisme jika tidak diobati, akan menimbulkan akibat-
akibat sosiai dan potitik yang berbahaya, seperti fitnah yang pernah menimpa muslimin di
Saqifah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ali a.s.
4. Dalam sisi Akhlak.
Akidah memiliki peranan yang besar dalam membina akhlak setiap individu muslim sesuai dengan
prinsip-prinsip agama yang pahala dan siksa disesuaikan dengannya, dan bukan hanya sekedar
wejangan yang tidak menuntut tanggung-jawab. Lain halnya dengan aliran-aliran pernikiran hasil
rekayasa manusia biasa yang memusnahkan perasaan diawasi oleh Allah dalam setiap gerak dan
rasa tanggung jawab di hadapan-Nya. Dengan demikian, musnahlah tuntunan-tuntunan akhlak di
kehidupan manusia. Karena akhlak tanpa iman tidak akan pernah teraktualkan dalam kehidupan
sehari-hari.
III. TAUHID

1. Pengertian Tauhid
Tauhid, secara bahasa berasal dari kata “wahhada – yuwahhidu” yang artinya menjadikan sesuatu
satu/tunggal/esa (menganggap sesuatu esa). Secara istilahsyar’i, tauhid berarti mengesakan Allah dalam
hal Mencipta, Menguasai, Mengatur dan mengikhlaskan (memurnikan) peribadahan hanya kepada-Nya,
meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya serta menetapkan Asma’ul Husna (Nama-nama yang
Bagus) dan Shifat Al-Ulya (sifat-sifat yang Tinggi) bagi-Nya dan mensucikan-Nya dari kekurangan dan
cacat.

A. Pembagian Tauhid

Tauhid dibagi menjadi tiga macam:

1. TAUHID AR-RUBUBIYYAH
Yaitu mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan Allah, dengan meyakini bahwasanya Dia adalah
satu-satuNya Pencipta seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman yang artinya:
Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya: “Allah”. Katakanlah: “Maka Patutkah kamu
mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, Padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan
dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?”. Katakanlah: “Adakah sama orang buta dan
yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; Apakah mereka menjadikan
beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu
serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah
Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”. (Ar-Ra’d : 16)
dan Dia adalah Pemberi Rezeki bagi seluruh binatang dan manusia, Firman-Nya yang artinya:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya”. (Hud : 6)
Dia adalah Raja segala raja, Pengatur semesta alam, … Pemberi ketentuan takdir atas segala sesuatu,
Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.

2. TAUHID AL-ULUHIYYAH
Tauhid Al-Uluhiyyah disebut juga Tauhid Ibadah, dengan kaitannya yang disandarkan kepada Allah
disebut tauhid uluhiyyah dan dengan kaitannya yang disandarkan kepada hamba disebut tauhid ibadah,
yaitu mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam peribadahan.
3. TAUHID AL-ASMA’ WA SHIFAT
Tauhid Al-Asma’ wa Shifat yaitu mengesakan Allah dalam Nama-nama dan Sifat-sifat bagi-Nya, dengan
menetapkan semua Nama-nama dan sifat-sifat yang Allah sendiri menamai dan mensifati Diri-Nya di
dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an),Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam tanpa Tahrif (menyelewengkan
makna), Ta’thil (mengingkari), Takyif (mempertanyakan/menggambarkan bagaimana-
nya)dan Tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Dan ketiga macam Tauhid ini terkumpul dalam firman-Nya yang artinya:

“ Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah
Dia dan berteguh hatiah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang
sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam : 65).

B. Aplikasi Tauhid
Pengucapan kalimat tauhid dengan lisan belaka tidaklah cukup karena ia mempunyai konsekuensi yang
harus di tunaikan. Para ulama menegaskan bahwa mengesakan Allah adalah dengan meninggalkan
perbuatan syirik baik kecil maupun besar. Di antara konsekuensi pengucapan kalimat tauhid itu adalah
mengetahui kandungan maknanya kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Allah
berfirman “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan melainkan Allah.” Kalimat Tauhid
berarti Pengingkaran kepada segala sesuatu yg disembah selain Allah SWT dan menetapkan bahwa yang
berhak disembah hanyalah Allah semata tidak kepada selain-Nya.

Aplikasi secara sederhana dari kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” adalah keyakinan yang mutlak yang
patut kita tanamkan dalam jiwa bahwa Allah Maha Esa dalam hal mencipta dalam penyembahan tanpa
ada sesuatu pun yang mencampuri dan tanpa ada sesuatu pun yang sepadan dengan-Nya kemudian
menerima dengan Ikhlas akan apa-apa yang berasal dari-Nya baik berupa perintah yang mesti
dilaksanakan ataupun larangan yang mesti di tinggalkan semua itu akan mudah ketika hati ikhlas
mengakui bahwa Allah SWT itu Maha Esa.
Sesungguhnya wajib bagi kita untuk mengenal Allah ( tauhid ) sebelum kita beribadah & beramal karena
suatu ibadah itu diterima jika Tauhid kita benar & tidak tercampur dengan kesyirikan (
menyekutukannya dalam peribadatan ) , maka tegaknya ibadah & amalan kita harus didasari terlebih
dahulu dengan At Tauhid sebagaimana akan kita jelaskan dibawah ini :
” Ketahuilah ( ya Muhammad ) sesungguhnya tidak ada sembahan yang haq kecuali Allah, & mohonlah
ampun bagi dosa-dosamu, dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. ( QS.
Muhammad : 19 ).
Ketahuilah semoga Allah merohmatimu- sesungguhnya Allah menegaskan & mendahulukan
serta mengutamakan untuk mengetahui dan berilmu tentang At tauhid dari pada beribadah yaitu
beristifghfar, dikarenakan ” mengenal tauhid menunjukkan ilmu ‘usul ( dasar pokok & pondasinya
agama ), adapun beristighfar menunjukkan ilmu furu’ ( cabang dan aplikasi dari ilmu usul tersebut ).

Dan tidak ada perselisihan sedikitpun dikalangan para ulama salaf dan khalaf serta umat islam
seluruhnya bahwasanya : paling afdal & utamanya para nabi & rasul adalah ke empat nabi tersebut (
Muhammad, Musa, Isa, & Ibrahim ) , tatkala Allah menetapkan & memerintahkan kepada empat rasul
yang mulia ini untuk ma’rifah ( berilmu & mengetahui ) ilmu usul dan dasar serta pondasi agama yaitu
Tauhid sebelum ilmu furu’ ( sebagai aplikasi dari ilmu usul ).

Inti dari pembahasan diatas : jadi telah tetap (syabit) dan benar (haq) bahwasanya berilmu dan
mengetahui serta mengenal at tauhid itu adalah kewajiban yang paling pokok & utama sebelum
mengenal yang lainya serta beramal ( karena suatu amalan itu akan di terima jika tauhidnya benar

KESIMPULAN TAUHID

Tauhid dari segi bahasa ‘mentauhidkan sesuatu’ berarti ‘menjadikan sesuatu itu esa’. Dari segi
syari’ tauhid ialah ‘mengesakan Allah didalam perkara-perkara yang Allah sendiri tetapkan melalui Nabi-
Nabi Nya yaitu dari segi Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ Was Sifat’.
Tauhid di bagi menjadi tiga yaitu: (1) Tauhid Ar-Rububiyyah Yaitu mengesakan Allah dalam hal
perbuatan-perbuatan Allah, dengan meyakini bahwasanya Dia adalah satu-satuNya Pencipta
seluruh makhluk-Nya, (2) Tauhid Al-Uluhiyyahdisebut juga Tauhid Ibadah, dengan kaitannya yang
disandarkan kepada Allah disebut tauhid uluhiyyah dan dengan kaitannya yang disandarkan kepada
hamba disebut tauhid ibadah, yaitu mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam peribadahan, (3) Tauhid Al-
Asma’ wa Shifat yaitu mengesakan Allah dalam Nama-nama dan Sifat-sifat bagi-Nya, dengan
menetapkan semua Nama-nama dan sifat-sifat yang Allah sendiri menamai dan mensifati Diri-Nya di
dalamKitab-Nya (Al-Qur’an), Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam tanpaTahrif (menyelewengkan
makna), Ta’thil (mengingkari), Takyif(mempertanyakan/menggambarkan bagaimana-
nya)dan Tamtsil(menyerupakan dengan makhluk).
Aplikasi Tauhid bahwasanya berilmu dan mengetahui serta mengenal at tauhid itu adalah kewajiban
yang paling pokok & utama sebelum mengenal yang lainya serta beramal ( karena suatu amalan itu
akan di terima jika tauhidnya benar ).
IV. KONSEP KETUHANAN
Dalam sejarah kepercayaan umat manusia, hanya tercatat beberapa perkembangan sistem
kepercayaan. Yaitu dinamisme, animisme, politeisme, henoteisme dan monoteisme. Ada dua teori
tentang perkembangan kepercayaan manusia. Teori pertama mengatakan bahwa kepercayaan manusia
pada awalnya sangat sederhana dan bersahaja menuju pada kepercayaan yang lebih tinggi sesuai
dengan perkembangan kemajuan peradabannya. Teori ini dipelopori oleh E.B. Tylor, yang lebih mirip
dengan teori evolusi Darwin. Menurutnya, perkembangan alam dan sosial bergerak dari bentuk yang
rendah menuju bentuk yang lebih tinggi dan sempurna; dari yang sederhana menjadi yang lebih
kompleks. Sistem kepercayaan manusia yang paling primitive, menurut Tylor, adalah dinamisme dan
yang paling tinggi adalah monoteisme.

Untuk menjembatani dua teori tersebut perlu diambil jalan tengah, yaitu mengakui adanya evolusi
kepercayaan, tetapi juga kepercayaan itu kadangkala mengalami perubahan-perubahan tertentu, baik
perubahan menuju kesempurnaan maupun penurunan. Karena itu, garis perubahan yang cocok untuk
menggambarkan teori ini, bukan menaik, seperti teori evolusi, juga bukan menurun, seperti teori
termodinamika. Namun, bisa berbentuk spiral dan juga bisa berbentuk lingkaran. Arahnya bisa vertikal
dan bisa juga horizontal. Yang jelas bahwa semua teori itu mengakui adanya perubahan dalam sistem
kepercayaan umat manusia.

A.Dinamisme Dan Animisme

Masyarakat primitive hidup dengan kesederhanaan dalam berbagai aspek, baik aspek materi maupun
aspek kepercayaan. Pada dasarnya, hidup mereka tergantung pada alam yang ada disekitar mereka
sebab alamlah satu-satunya sumber kehidupan. Oleh karena itu bagi mereka alam merupakan faktor
yang sangat dominan namun alam yang mereka dambakan itu kadang-kadang tidak bersahabat. Air yang
selama ini mereka anggap sangat bermanfaat bagi kehidupan, tiba-tiba mendatangkan bencana seperti
banjir dan melongsorkan tanah. Tanah yang selama ini menyuburkan tanaman tiba-tiba bergoyang dan
menghancurkan harta benda.

Hal seperti itulah yang menimbulkan suatu kepercayaan dalam diri mereka bahwa alam inilah yang
memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia. Kekuatan itu tidak tampak dan liar, tetapi
mempunyai pengaruh dalam kehidupan mereka. Dalam masyarakat tertentu kekuatan itu ditanggulangi
dengan berbagai cara. Pada zaman Mesir kuno sungai Nil yang banjir dianggap roh sungai marah. Untuk
membujuk agar roh tersebut tidak marah, maka dikorbankan seorang anak gadis yang paling cantik. Dari
sinilah muncul kepercayaan bahwa setiap benda yang ada disekeliling kita mempunyai kekuatan mistis.
Masyarakat yang menganut ajaran ini memberi berbagai nama pada kekuatan gaib tersebut.
B.Politeisme

Kepercayaan pada kekuatan gaib yang meningkat menjadi kepercayaan pada roh disebut animisme.
Animisme mengalami beberapa tahap perkembangan. Pada awalnya para penganut animisme
mempercayai semua benda mempunyai roh. Kemudian dari sekian banyak benda yang mempunyai roh.
Ada yang kuat sehingga menimbulkan pengaruh pada alam. Benda yang paling kuat itu kemudian
dijadikan symbol penyembahan dan peribadatan.

Roh yang menjadi symbol penyembahan tersebut akhirnya diambil fungsinya dan diberi nama sesuai
dengan fungsi tersebut. Nama dari fungsi itu disebut dewa, seperti Agni adalah dewa api dan Adad
adalah dewa hujan dalam kepercayaan masyarakat babilonia. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan
bahwa kepercayaan kepercayaan dari dewa-dewa berasal dari animisme.

Kemudian, mereka juga percaya pada roh manusia. Roh nenek moyang yang dianggap berkuasa mereka
hormati agar mereka selamat dalam bekerja. Roh nenek moyang bertingkat-tingkat, ada roh kepala
keluarga dan roh kepala suku. Roh kepala suku lebih tinggi dari pada roh-roh yang lain. Karena itu, roh
tersebut sangat dihormati dan sekaligus tempat tumpuan minta keselamatan.

Dalam agama veda ada tiga dewa yang dimuliakan, yaitu Indra (dewa kekuatan ganas dialam, seperti
petir dan hujan), mithra (dewa cahaya) dan variouna (dewa ketertiban alam). Dalam agama feodal
mereka diannggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi ketimbang dewa prithivi (dewa bumi),
surya,( dewa matahari), dan agni ( dewa api). Dalam agama hindu ada tiga dewa yang dihormati yaitu
brahmana (dewa pencipta), wisnu (dewa pemelihara), siwa (dewa perusak). Brahaman adalah dewa
tertinggi menurut agama hindu.

Anggapan adanya dewa yang tertingi ini juga ada dalam kepercayaan orang-orang yunani kuno. Mereka
menganggap Zeus adalah dewa yang paling tinggi. Zeus tinggal digunung Olympus. Menurut mitologi
Yunani, sebelum dewa Zeus lahir sudah ada dewa-dewa di Yunani, tetapi tidak memiliki identitas yang
jelas dan masih dalam masa kekacauan serta tidak memiliki tempat tinggal yang tetap Zeus adalah dewa
yang mengubah keadaan yang kacau menjadi tenang. Zeus menurut masyarakat yunani pada waktu itu
dianggap raja para dewa dan manusia. Kekuasaannya sangat besar, kalau dia menggerakan kepalanya,
alam jagat raya akan bergetar.

Dalam politeisme terdapat pertentangan tugas antara satu dewa dengan dewa yang lain. Dewa-dewa
yang demikian tidak selamanya mengerjakan kerja sama. Umpamanya, dewa kemarau dapat
bertentangan dengan dewa hujan. Oleh karena itu penganut politeisme kalau dia meminta hujan tidak
cukup hanya berdoa kepada dewa hujan tetapi harus berdoa kepada dewa kemarau agar ia tidak
menghalangi dewa hujan. Bagi seseorang yang tidak terbiasa dengan sistem kepercayaan ini terkesan
merepotkan.
Tuhan, dalam paham politeisme dapat bertambah dan berkurang seorang politeisme ketika melihat
sesuatu yang aneh ia akan berkata,” Oh Tuhan baru sudah muncul !” . Dalam masyarakat politeisme
segala sesuatu yang misterius segera didewakan. Penganut politeisme yang bekerja dipabrik bisa saja
menyembah mesin-mesin atau alat-alat yang dipakai di laboratorium dan ketika kejadian itu tidak aneh
lagi dan tidak berpengaruh lagi pada kehidupan maka tuhan sudah pergi dan digantikan dengan yang
lain, pelangi, dalam masyarakat yunani kuno dianggap sebagai bidadari (dewi yang sedang mandi).
Kemudian tidak dianggap lagi bidadari, tetapi hanya dianggap sebagai gejala alam biasa. Hal-hal serupa
ini menakjubkan sekaligus merepotkan bagi orang-orang yang tidak biasa hidup dalam suasana
politeisme.

C.Henoteisme Dan Monoteisme

Henoteisme adalah kepercayan yang tidak meyangkal tuhan yang banyak tetapi hanya mengakui satu
Tuhan tunggal sebagai tuhan yang disembah. Orang-orang yang berfikir lebih mendalam sistem
kepercayaan politeisme tidak memuaskan karena itu mereka mencari sistem kepercayaan yang lebih
masuk akal dan sekaligus lebih memuaskan. Kepercayaan kepada satu tuhan lebih mendatangkan
kepuasan dan dapat diterima akal sehat. Dan dari sini, timbullah aliran yang mengutamakan satu dewa
dari beberapa dewa untuk disembah. Dewa atau tuhan ini dianggap sebagai kepala atau bapak dari
tuhan-tuhan yang lain. Zeus dalam agama Yunani kuno atau brahmanadalam agama hindu.

Dalam Al-Qur’an bangsa yahudi (bani Israel) adalah bangsa yang selalu memprotes para nabi. Namun,
perlu juga diakui bahwa mayoritas nabi setelah nabi ibrahim dari keturunan bani Israel. Hal ini karena
ada dua kemungkinan:
 Karena bani Israel sombong dan nakal, sehingga perlu diberi nabi lebih banyak.
 Karena bani Israel disayang, ini sesuai dengan pengakuan mereka.

Yang kedua ini tidak cocok karena tuhan selalu menimpakan bencana kepada mereka berupa azab.
Dengan demikian pilihan tinggal pada yang pertama.

Aliran-Aliran Dalam Konsep Ketuhanan

Dalam konsep ketuhanan ini terdapat beberapa aliran yang berbeda, diantaranya:

A.Teisme
Menurut penganut Teisme alam diciptakan oleh Tuhan yang tidak terbatas, antara Tuhan dan makhluk
sangat berbeda. Disamping berbeda dari alam (imanen), Tuhan juga jauh dari alam (transenden).
Teisme juga menegaskan bahwa tuhan setelah menciptakan alam tetap aktif dan memelihara alam.
Karena itu dalam teisme mu’jizat yang menyalahi hukum alam diyakini kebenarannya, begitu juga do'a
seseorang akan didengar dan dikabulkan. Agama-agama besar pada dasarnya menganut paham teisme,
seperti yahudi, Kristen, dan islam.
Ada beberapa tipe tentang teisme:
 Teisme Rasional; Teisme rasional dipelopori oleh Rene Decartes dan Leitniz.
 Teisme Eksistensial; Teisme Eksistensial dipelopori oleh Soren Kierkegaard
 Teisme Fenomonologi; Teisme fenomonologi dipelopori oleh Peter Khoestenbaum
 Teisme Empiris; Teisme empiris dipelopori oleh Thomas Reid.
Semua tipe tersebut berbeda pandangan dalam mendekati tuhan.

B.Deisme
Deisme berasal dari bahasa latin yaitu Deus yang berarti Tuhan. Dari akar kata ini kemudia menjadi
dewa, bahkan kata Tuhan sendiri masih dianggap Deus. Menurut paham deisme Tuhan berada jauh
diluar alam. Tuhan menciptakan alam dan sesudah alam diciptakan, ia tidak memperhatikan dan tidak
memelihara lagi alam berjalan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan setelah proses
penciptaan.

Peraturan-peraturan tersebut tidak berubah dan sangat sempurna. Dalam paham deisme, Tuhan
diibaratkan dengan tukang jam yang sangat ahli sehingga setelah jam itu selesai maka tidak dibutuhkan
lagi si pembuatnya. Jam itu berjalan sesuai dengan mekanisme yang telah tersusun dengan rapih.

Para penganut deisme sepakat bahwa tuhan esa dan jauh dari alam, serta maha sempurna. Mereka juga
sepakat bahwa tuhan tidak melakukan intervensi pada alam melalui kekuatan supranatural
bagaimanapun, tidak semua penganut deisme setuju tentang keterlibatan tuhan dalam alam dan
kehidupan sesudah mati.

C.Panteisme
Panteisme terdiri dari tiga kata, yaitu: pan yang berarti seluruh, teo yang berarti tuhan, isme berarti
paham. Jadi panteisme adalah paham yang meyakini bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan
adalah seluruh alam (God is all and all is one).

Benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera adalah bagian dari Tuhan. Manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, dan benda mati adalah bagian dari Tuhan. Tuhan dalam panteisme, ini sangat dekat
dengan alam (imanen). Paham ini bertolak belakang dengan deisme.
V. TEOLOGI DALAM ISLAM

1. Isme adalah sistem kepercayaan berdasarkan politik, ekonomi maupun sosial. Juga bisa berarti
aliran.
2. Islam adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW berpedoman pada Kitab Suci Al-
Qur`an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
3. Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW sebagai
hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan
hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi (Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah).
4. Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dimulai sejak 17 Ramadhan bertepatan 6
Agustus 610 Masehi. Islam lahir di bumi Jazirah Arab (Mekkah) dengan bahasa Arab, tetapi
diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di segala penjuru bumi dan sepanjang sejarah
bumi. Sejenak kita merenung tentang masa dan tempat di mana Islam dilahirkan itu. Yaitu suatu
masa dan tempat yang berudara panas (padang pasir), berkendaraan onta, penduduknya maju
dalam perniagaan, ahli perbintangan, mempunyai sumber air zam zam, berada di area religius
Ka’bah dan berada dalam kegelapan hati.
5. Ketika Islam berkembang ke segala pelosok penjuru bumi ini yang sangat berbeda: warna kulit,
udara, mata pencaharian penduduk, jauh dekatnya dengan sumber air, dll, maka apa yang kita
bayangkan ?
6. Kita bisa melihat dua imam madzhab dalam bidang fikih-ushul fikih, yaitu Imam Malik di
Madinah, dan imam Hanafi yang bertempat tingal di Baghdad. Kedua daerah ini meskipun masih
berbahasa Arab, tetapi mempunyai karakteristik yang berbeda, sehingga melahirkan
pemahaman Islam yang berbeda pula.
7. Oleh karena itu wajar lahir adanya aliran, perselisihan, perbedaan, dalam pemahaman terhadap
Islam, bukan pada Islam itu sendiri. Kalau terhadap Islam itu sendiri, maka sudah sangat jelas
bahwa akan ada dua agama yang satu nama tetapi dua ajaran. Perbedaan dalam pemahaman
terhadap Islam juga tidak sebebas-bebasnya, karena tentunya ada patokan, pedoman, ukuran
yang shahih, sebagai alat penilaian dan pengukuran terhadap hakikat Islam itu sendiri.
8. Dalam perjalanan sejarah Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW ada beberapa kenyataan
sejarah yang membuktikan bahwa ada aliran dalam Islam yang pernah hidup dan berkembang.
9. Dalam bidang fikih-ushul fikih dikenal beberapa madzhab yang berkembang hingga kini sampai
di Indonesia.

a. Imam Abu Hanifah (Hanafi) lahir di Kufah tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada 150 H.
b. Imam Malik bin Anas (Maliki) lahir di Madinah tahun 93 H dan wafat di Madinah pada tahun 179
H.
c. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (Syafi’i) lahir di Mekkah pada tahun 150 H dan wafat di
Mesir tahun 204 H.
d. Imam Ahmad bin Hanbal (Hanbali) lahir di Baghdad pada tahun 164 H dan wafat di Baghdad
pada tahun 241 H.

10. Dalam masalah teologi atau dasar-dasar agama :

1. Khawarij (Hururiyah).
2. Murjiah.
3. Jabariyah.
4. Qadariyah
5. Muktazilah
6. Asy’ariyah.
7. Syi’ah

KETERANGAN

1. Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata َ‫( سلف‬Salaf) yang berarti mengikuti jejak,
manhaj dan jalanSalaf. Dan secara istilah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para
shahabat, Tabi’in (murid murid para Shahabat), Tabi'ut Tabi’in (murid-muridparaTabi’in).

2. Khawarij merupakan golongan yang keluar dari barisan khalifah Ali bin abi thalib karena
tidak setuju dengan tahkim/arbitrase pada perang siffin. Secara harfiah khawarij berarti
"mereka yang keluar" atau umumnya khawarij yaitu keluar. Pertama sekali airan khawarij
muncul pada pertengahan abad ke 7 terpusat di daerah yang kini ada di irak selatan.
3. Syiah menurut bahasa adalah pendukung/pembela. Kelompok syiah adalah kelompok yang
menyanjung Ali bin abi thalib dan keturunannya secara berlebihan. Aliran syiah muncul setelah
peristiwa tahkim yang hasilnya sangat merugikan khalifah Ali bin abi thalib.

4. Murjiah diambil dari kata Irja’, yang memiliki dua pengertian. Pertama, dalam arti
pengunduran, dan kedua memberi harapan. Pengertian pertama merujuk pada surat Al-A’raf
ayat 111: “arjih wa-akhohu”, tahanlah dia dan saudaraya-menunjukan bahwa perbuatan bersifat
sekunder dibandingkan dengan niat. Demikian pula dalam pengertian yang kedua untuk
menunjukan bahwa ketidakpatuhan atas keyakinan bukan suatu dosa, sebagaimana ketaatan
atas suatu keyakinan lain tidak berguna.

5. Aliran mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat
dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam. Aliran ini muncul sekitar abad pertama hijriyah, di
kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam.

6. Asy-‘ariyah, Perkembangan aliran-aliran dalam kehidupan beragama banyak menimbulkan


faham yang saling berlawanan satu sama lain, ada aliran yang sangat meninggikan akal pikiran
(golongan rasionalis) dan ada juga yang meninggikan dalil/nas (golongan tekstualis). Dalam
menyikapi hal tersebut maka lahirlah aliran asy'ariyah yang mengambil jalan tengah yang
menghubungkan antara golongan rasionalis dan golongan texstualis. Sedangkan Matudiriyah
Aliran maturidiyah lahir di samarkhand pertengahan kedua dari abad IX masehi. Pendirinya
adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Riwayat hidupnya
tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut abu hanifah sehingga paham teologinya memiliki
banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifah. Sistem pemikiran aliran
maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.

7. Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Sifat jabariyah dari Allah
adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah
segala aktivitas manusia digerakan atau dijalankan oleh Allah atau Menolak adanya perbuatan
dari manusia. Dalam artian manusia berbuat sesuatu secara terpaksa.

8. Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna
kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi adalah suatu aliran yang percaya bahwa
segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-
tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya.

Rasulullah SAW mengungkapkan dalam sabdanya tentang banyaknya aliran :

َِ ‫ل ْالكِتا‬
‫ب اَْفترقُوا على‬ َْ ِ‫ن قبْل ُك َْم م‬
َِ ‫ن أ ْه‬ ََّ ‫ّللاُ عل ْي َِه وسَلَّمَ قامَ فَِينا فقالَ ألَ ِإ‬
َْ ‫ن م‬ ََّ ‫ّللا صلَّى‬ ََِّ َ‫سول‬
ُ ‫نر‬ََّ ‫س ْفيانَ أنَّ َهُ قامَ فِينا فقالَ ألَ ِإ‬ ُ ‫ْن أ ِبي‬ َِ ‫ن ُمعا ِويةَ ب‬ َْ ‫ع‬
‫ار وَواحِ دةَ فِي ْالجَنَّ َِة وهِيَ ْالجماع َةُ (رواه أبو داود وقال‬ َِ َّ‫ان وس ْبعُونَ َِفي الن‬ َِ ‫ق على ثالثَ وس ْبعِينَ ِث ْنت‬ َُ ‫ن ه ِذَِه ْالمِ لَّةَ ست ْفت ِر‬
ََّ ‫ْن وس ْبعِينَ مِ لَّ َةً و ِإ‬ َِ ‫ِث ْنتي‬
.)‫ حسن‬: ‫الشيخ األلباني‬
Artinya :
Diriwayatkan dari sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan yang berkata : Ingatlah sesungguhnya Rasulullah
SAW berdiri di tengah-tengah kami, lalu beliau SAW bersabda :“Ketahuilah ! Sesungguhnya golongan
sebelum kalian dari kalangan Ahli Kitab terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya golongan
umat Islam ini akan terpecah menjadi 73 golongan. 72 golongan ini di dalam neraka dan satu golongan
di dalam surga, yaitu Al-Jama’ah” (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Al-Albani).

َ‫ق على ثِ ْنتَْي ِن‬َُ ‫ن أ ُ َّمتِي ست ْفت ِر‬


ََّ ‫ن بنِي ِإسْرَائِيلَ ا ْفترقتَْ على إِحَْدى وس ْبعِينَ ف ِْرق َةً و ِإ‬
ََّ ‫ّللاُ عل ْي َِه وسلَّمَ ِإ‬
ََّ ‫ّللا صلَّى‬ َُ ‫سو‬
ََِّ ‫ل‬ ُ ‫ْن مالِكَ قالَ قالَ ر‬ َِ ‫س ب‬ َ ِ ‫ن أن‬ َْ ‫ع‬
) ‫ في الزوائد إسناده صحيح رجاله ثقات قال الشيخ األلباني صحيح‬,‫ل واحِ دَة وهِيَ الجماع َة (رواه ابن ماجه‬
: . . ُ ْ ً َّ
َ ِ‫ار إ‬ َّ ُ ً
َِ ‫وسَ ْبعِينَ ف ِْرق َة كلها فِي الن‬

Artinya :
Diriwayatkan dari sahahat Anas bin Malik, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Bani
Israil terpecah menjadi 71 firqah (golongan), dan sesungguhnya ummatku juga akan terpecah menjadi
72 golongan, semuanya berada di neraka kecuali hanya satu, yakni Al-Jama’ah” (HR. Ibn Majah. Dalam
Az-Zawaid : sanad-sanadnya shahih dan para perawinya dapat dipercaya. Asy-Syaikh al-Albani berkata :
hadits ini shahih).
َ َ‫ق أ ُ َّمتِي على ثال‬
‫ث‬ َُ ‫ْن وسَْبعِينَ مِ َّل َةً وت ْفت ِر‬ ََّ ‫ّللاُ عل ْي َِه وس َّلمَ و ِإ‬
َِ ‫ن بَنِي ِإسْرائِيلَ تف َّرقتَْ عَلى ثِ ْنتي‬ ََّ ‫ّللاِ ص َّلى‬
ََّ ‫ل‬ َُ ‫ْن ع ْمرو قالَ قالَ رسُو‬ ََِّ ‫ن ع ْب َِد‬
َِ ‫ّللا ب‬ َْ ‫ع‬
َ‫صحا ِبي (رواه الترمذي وقالَ أبُو عِيسى هذا حدِيث‬ ْ ‫ّللاِ قالَ ما أنا عل ْي َِه وَأ‬
ََّ َ‫سول‬ ُ ‫ن هِيَ يا ر‬ َْ ‫ل مِ لَّ َةً واحِ دَة ً قالُوا وم‬ َِ َّ‫وس ْبعِينَ مِ لَّ َةً ُكل ُه َْم فِي الن‬
ََّ ‫ار ِإ‬
)‫ حسن‬: ‫قال الشيخ األلباني‬. َ‫حسنَ غ ِريب‬

Artinya :
Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Dan sesungguhnya
Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan (ajaran) dan akan terpecah juga umatku menjadi 73 golongan,
semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan saja”. Para sahabat bertanya : “Siapakah golongan itu
wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “Yaitu mereka yang berada pada apa yang aku dan sahabatku
ada di atasnya” (HR. Tirmidzi dan dihasankan Al-Albani).
‫ن وو ِجلتَْ مِ ْنها ْالقُلُوبَُ فقالَ قَائِلَ يا‬ َُ ‫ّللاُ عل ْي َِه وسلَّمَ ذاتَ ي ْومَ ث ََُّم أ ْقبلَ عليْنا فوَعظنا م ْوعِظَ َةً بلِيغ َةً ذرفَتَْ مِ ْنها ْال َعُيُو‬ ََّ ‫ّللا صلَّى‬ ََِّ ‫ل‬ َُ ‫سو‬ ُ ‫صلَّى بِنا ر‬
‫ِش مِ ْن ُك َْم بَ ْعدِي فسيرى‬ َْ ‫ن يع‬ َْ ‫ن ع ْب ًَدا حب ِشيًّا فإِنَّ َهُ م‬ َْ ‫لطاع َِة و ِإ‬ َّ ‫س ْم َع وا‬
َّ ‫ال‬‫و‬
َ ِ َ
‫ّللا‬
َّ ‫ى‬ ‫و‬ ْ
َ
‫ق‬ ‫ت‬ ‫ب‬ َ
‫م‬
ِ ْ ِ ُ
‫ك‬ ‫ي‬‫وص‬ ُ ‫أ‬ ‫ال‬
َ ‫ق‬‫ف‬ ‫ا‬ ‫ْن‬
‫ي‬ ‫ل‬‫إ‬
ِ ُ
َ
‫د‬ ‫ه‬ ‫ع‬
ْ ‫ت‬ ‫ا‬‫اذ‬ ‫م‬ ‫ف‬ ‫ِع‬
َ ‫د‬ ‫و‬‫م‬ُ ُ َ
‫ة‬ ‫ِظ‬ ‫ع‬ ‫و‬ْ ‫م‬ َ
‫ه‬
ِ ‫ذ‬
ِ ‫ه‬ َّ
َ
‫ن‬ ََِّ َ‫سول‬
‫ّللا كأ‬ ُ ‫ر‬
ِ
ََّ ُ‫ن ك‬
َ‫ل ُمحْ دثةَ ِبدْعة‬ َِ ‫ت ْاأل ُ ُم‬
ََّ ِ ‫ور فإ‬ َِ ‫اج َِذ و ِإيَّا ُك َْم و ُمحْ دثا‬ ِ ‫و‬ َّ ‫ن‬‫ال‬‫ب‬
ِ ‫ا‬‫ْه‬
‫ي‬ ‫ل‬
َ‫ع‬ ‫وا‬ ‫ض‬ ‫ع‬‫و‬
َ ‫ا‬‫ه‬‫ب‬
ِ ‫وا‬ ُ
‫ك‬ َ
‫س‬
َّ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ِين‬
َ ‫د‬ ‫ش‬ ‫ا‬‫الر‬
ِ َّ ‫ين‬
َ ‫ِي‬‫د‬
ِ ْ ‫ه‬ ‫م‬ ْ
‫ال‬ َِ‫اء‬ ‫ف‬‫ل‬‫خ‬ُ ْ
‫ال‬ َ
‫ة‬ َّ
ِ ُ ‫ن‬‫س‬ ‫و‬ ‫ِي‬ ‫ت‬َّ ‫ن‬‫س‬ ‫ب‬
ُ ِ ْ َ
‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ي‬
ْ ‫ل‬ ‫ع‬‫ف‬ ‫ا‬‫ِير‬
ً ‫ث‬ ‫ك‬ ‫ا‬ً ‫ف‬ ‫ِال‬ ‫اخت‬ْ
.)‫ل بِدْعةَ ضاللةَ (رواه أبو داود‬ ََّ ‫وك‬ُ

Artinya :
Sahabat Al-‘Irbadh bin Sariyah meriwayatkan : “Rasulullah SAW shalat bersama kami pada suatu hari,
kemudian beliau menghadap kami lalu memberikan nasehat yang dalam sekali maknanya sehingga air
mata bercucuran dan hati menjadi bergetar karena nasehat itu. Kemudian salah seorang sahabat
bertanya : Wahai Rasulullah, seolah-olah nasehat ini merupakan nasehat perpisahan, maka apa yang
baginda wasiatkan kepada kami!”. Kemudian beliau bersabda : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk
bertakwa kepada Allah, wajib bagi kalian untuk mendengar dan taat sekaipun pada seorang hamba
Habasyi (bukan Quraisy), karena sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku,
maka pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian berpegang kepada
Sunnahku dan Sunnah para Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah dengan kuat Sunnah
itu dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan janganlah sekali-kali kalian mengada-adakan
perkara-perkara baru dalam agama, sebab setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah
adalah sesat yang bersumberkan dari sahabat ‘Irbadh bin Sariyah ” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Anda mungkin juga menyukai