Anda di halaman 1dari 24

CRITICAL BOOK REVIEW

EPISTEMOLOGY
A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge

DIAJUKAN OLEH:
NAMA : Irrijal
NIM : 8196114010
DOSEN PENGAMPU : 1. Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd.
2. Dr. Yasaratodo Wau, M.Pd.
MATA KULIAH : Filsafat Lanjutan

PROGRAM STUDI S3 MANAJEMEN PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA - UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN, 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat
dan RahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas critical book riview
(CBR) untuk mata kuliah Filsafat Lanjutan.
Penulis berterima kasih kepada dosen pengampu yang bersangkutan yang sudah
memberikan bimbingannya. Penulis juga menyadari bahwa tugas ini masih banyak
kekurangan oleh karena itu penulis minta maaf jika ada kesalahan dalam penulisan
dan penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna
kesempurnaan tugas ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih semoga dapat
bermanfaat dan bisa menambah pengetahuan bagi pembaca

Medan, Oktober 2019

Penulis

Irrijal
NIM: 8196114010
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Rasionalisasi Penting CBR ........................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ........................................................................... 1
C. Manfaat CBR ............................................................................... 1
D. Identitas Buku Yang Direview ..................................................... 2
E. Identitas Buku Pembanding .......................................................... 3

BAB II RINGKASAN ISI BUKU BAGIAN III


A. Bab I Analisi Pengetahuan, Kepastian, kenyataan ................. 4
B. Bab II Pengetahuan, pembenaran, dan kebenaran .................... 5
C. Bab III Ilmiah, Moral, dan Pengetahuan Agama ............................ 7
D. Bab IV Keraguan (sesuatu yang tidak pasti) .................................. 8

BAB III PEMBAHASAN


A. Pembahasan Isi Buku
1. Pembahasan Bab I ................................................................. 10
2. Pembahasan Bab II ................................................................ 12
3. Pembahasan Bab III .............................................................. 14
4. Pembahasan Bab IV ............................................................... 16
BAB IV KEKURANGAN DAN KELEBIHAN BUKU
1. Kekurangan Buku ................................................................. 20
2. Kelebihan Buku .................................................................... 20

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 21
B. Rekomendasi ................................................................................. 21
BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR


Keterampilan membuat CBR pada penulis dapat menguji kemampuan
dalam meringkas dan menganalisi sebuah buku serta membandingkan buku
yang dianalisis dengan buku yang lain, mengenal dan memberi nilai serta
mengkritik sebuah karya tulis yang dianalisis
Sering kali kita bingung memilih buku referensi untuk kita baca dan
memahami. Terkadang kita memilih satu buku,namun kurang memuaskan hati
dan kurang memahami inti dari pembahsan buku tersebut. Misalnya dari segi
analisis bahasa dan pembahasan, oleh karena itu, penulis membuat critical
book report ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih referensi,
terkhusus pada pokok bahasa tentang ekonomi pendidikan.
B. Tujuan
Mengkritisi atau membandingkan sebuah buku tentang ekonomi
pendidikan serta membandingkan dengan dua buku yang berbeda dengan
topik yang sama. Yang dibandingkan dalam buku tersebut yaitu kelengkapan
pembahasannya, keterkaitan antar babnya, dan kelemahan dan kelebihan
pada buku-buku yang dianalisis.
C. Manfaat CBR
Adapun manfaat dari CBR anatar lain :
a. Menambah wawasan pengetahuan tentang ekonomi dan pembiayaan
pendidikan
b. Mempermudah pembaca mendapatkan inti dari sebuah buku yang telah di
lengkapi dengan ringkasan buku , pembahasan isi buku, serta kekurangan
dan kelebihan buku tersebut.
c. Melatih penulis untuk merumuskan serta mengambil kesimpulan-
kesimpulan atas buku-buku yang dianalisis tersebut
D. Identitas buku yang direview:
1. Judul : Epistemology
2. Edisi : Edisi ke - 3
3. Pengarang : Robert Audi
4. Penerbit : Routledge Taylor and Francis
Group
5. Kota terbit : Ney York and London
6. Tahun terbit : 2011
7. Tebal Buku : 427 Halaman
8. ISBN : 13: 978-0-415-87923-1

E. Identitas Buku Pembanding I


1. Judul : Filsaftat Ilmu Pengetahuan
2. Edisi : Cetakan ke-1
3. Pengarang : Prof. Jalaluddin
4. Penerbit : PT. Raja Grafindo
5. Kota terbit : Jakarta
6. Tahun terbit : 2013
7. Tebal Buku : 341 Halaman
8. ISBN : 978-979-769-537-8
Buku Pembanding II
1. Judul : Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian Ilmu Pemerintahan

2. Edisi : Cetakan ke - 1
3. Pengarang : Prof. Dr. Dra. Hj. Erliana Hasan,
M.Si
4. Penerbit : Ghalia Indonesia
5. Kota terbit : Bogor
6. Tahun terbit : 2011
7. Tebal Buku : 200 Halaman
8. ISBN : 978-979-450-632-5
Buku Pembanding III
1. Judul : Filsafat Ilmu
Ontologi, Epistimologi,
Aksiologi, dan logika
Ilmu Pengetahuan
2. Edisi : Edisi ke - 2
3. Pengarang : Drs. H. Mohammad Adib, MA
4. Penerbit : Pustaka Belajar
5. Kota terbit : Yogyakarta
6. Tahun terbit : 2011
7. Tebal Buku : 280 Halaman
8. ISBN : 978-602-8479-93-6

Buku Pembanding IV
1. Judul : Filsafat Ilmu, Perspektif Barat
dan Islam
2. Edisi : Cetakan ke - 1
3. Pengarang : Dr. Ardian Husaini, et. Al.
4. Penerbit : Gema Insani
5. Kota terbit : Jakarta
6. Tahun terbit : 2013
7. Tebal Buku : 292 Halaman
8. ISBN : 978-602-250-162-6
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU

BAGIAN III. Sifat dan ruang lingkup pembenaran dan pengetahuan


Bab I. Analisis pengetahuan Pembenaran, kepastian, dan kenyataan

Pengetahuan muncul dalam pengalaman. Itu muncul dari refleksi. Memiliki struktur
yang khas. Sama memerlukan pembenaran keyakinan. Tapi apa sebenarnya
pengetahuan? Jika muncul dan berkembang dalam cara saya telah dijelaskan,
Keyakinan palsu bukanlah pengetahuan. Sebuah keyakinan berbasis pada menebak
dan menduga duga, bahkan jika itu benar.
Dapatkah sesuatu ditambahkan ke gagasan keyakinan yang benar untuk
menghasilkan analisis propositional pengetahuan, untuk memberikan semacam
perhitungan dari apa pengetahuan?. Plato membahas pertanyaan serupa. Ia
merumuskan Perhitungan pengetahuan meskipun pada akhirnya ia tidak mendukung
itu yang terkadang telah ditafsirkan sebagai mengambil pengetahuan untuk
membenarkan kepercayaan sejati. Plato percayaan kepercayaan akan mewakili nilai
kognisi lebih rendah dari pengetahuan. karena kebanyakan penafsir Plato akan kita
pahimi, beberapa istilah terkait untuk kepercayaan dan konsepsi pengetahuan yang
berpengaruh
Apakah pengetahuan menyiratkan suatu kebenarkan yang harus dipercaya ? Jika
tidak, yang akan menjelaskan mengapa kepercayaan yang benar berdasarkan
pengetahuan. Misal dari kejauhan, saya melihat Jim berjalan terburu-buru menyusuri
lorong dan hanya menebak bahwa ia marah, aku tidak dibenarkan dalam percaya
bahwa ia marah. Jika keyakinan saya ternyata benar, itu masih tidak merupakan
pengetahuan, dan kurang pembenaran tampaknya menjelaskan mengapa tidak.
Ada dua cara di mana suatu kepercayaan mungkin bergantung pada kepalsuan.
Pertama, mungkin tergantung pada kepalsuan dalam arti bahwa hal itu tidak akan
dibenarkan kecuali atas dasar keberadaan seseorang situasional, tentang subjek yang
bersangkutan, Jane mengatakan Ini adalah semacam justifikasi ketergantungan
untuk pembenaran, kedua ketergantungan pada kepalsuan adalah ketergantungan
psikologis: sebuah keyakinan mungkin secara psikologis tergantung pada kepalsuan
dalam arti kausal bahwa yang satu memiliki keyakinan berdasarkan memegang itu
atas dasar percaya kepalsuan.
Alasan lain untuk berpikir bahwa pengetahuan memerlukan pembenaran konklusif
adalah bahwa mengetahui sering dikaitkan erat dengan kepastian. Ketika saya
bertanya-tanya apakah Aku tahu, aku mungkin bertanya pada diri sendiri bagaimana
aku bisa yakin. Saya juga terkadang bertanya-tanya apakah apa yang saya yakini
pasti. Terutama dalam kasus terakhir, saya berpikir tentang status proposisi yang
bersangkutan, bukan dari kepastian psikologis, yang kasar, kepercayaan besar dari
kebenaran dari apa yang orang percaya. Jika saya yakin cukup bahwa (beberapa
proposisi) p adalah benar, saya (secara psikologis) yakin bahwa itu dan pasti darinya;
dan jika saya yakin akan hal itu, keyakinan tersebut didasari atas kepatian. Mengingat
hubungan antara pengetahuan dan kepastian ini, seseorang mungkin bahwa
pengetahuan didasari oleh keyakinan sejati yang dibenarkan, yang berarti bahwa (1)
orang percaya bisa dibenarkan secara psikologis tertentu proposisi yang benar yang
bersangkutan dan (2) proposisi ini begitu baik-beralasan sebagai untuk dirinya
sendiri secara propositif. Pengetahuan dibentuk oleh suatu kepercayaan mungkin
atau telah dianggap sebagai kasus kepastian epistemik.
pengetahuan dapat dianalisis secara naturalistik, yaitu, hanya menggunakan jenis
ilmu, terutama ilmu alam, penggunaan konsep ini dalam memahami konsep
pengamatan," seperti warna dan bentuk, tinggi dan berat badan, jumlah dan gerak.
Sebuah naturalistik banding tidak untuk pengertian normatif "nilai-sarat" gagasan,
dalam satu terminologi-seperti itu pembenaran, tetapi sebagian besar)untuk fisik,
kimia, sifat biologis, dan psikologis, bersama dengan hubungan kausal
di antara ini. Saya ingin mempertimbangkan dua pendekatan naturalistik. Yang
pertama menekankan peran kausasi dalam memproduksi pengetahuan kita, seperti
dengan keyakinan persepsi disebabkan oleh objek yang dirasakan. Pendekatan kedua
menekankan keandalan proses, seperti melihat, melalui pengetahuan yang muncul.

Bab II. Pengetahuan, pembenaran, dan kebenaran


Bagaimana penemuan ilmiah sesuai dengan kerangka yang telah dikembangkan? Jika
kita mulai dengan gagasan bahwa persepsi adalah dasar untuk pengetahuan ilmiah,
pengetahuan dapat di representasi melalui cara berfikir induktif dan deduktif.
Titik pusat pengetahuan ilmiah tidak secara otomatis Sewaktu kita mengamati
lingkungan kita. Biasanya, kita harus terlebih dahulu mengajukan pertanyaan tentang
dunia dalam konteks pengetahuan latar belakang — yang dapat berasal dari ilmu
pengetahuan sebelumnya atau pengamatan sehari-hari atau keduanya-mereka
langsung, Pengetahuan. Beberapa ditolak, beberapa dikonfirmasi, dan beberapa yang
dikonfirmasi mungkin menjadi diketahui. Pengetahuan tentang keterangan
diperlukan untuk memperoleh pengetahuan, tetapi mantan mungkin hanya
pengetahuan persepsi biasa. Memang, pengetahuan yang merupakan hal tertentu,
tetapi berasal dari ilmiah.
imajinasi memiliki peran penting dalam mengembangkan pengetahuan ilmiah, ini
juga diilustrasikan oleh penemuan yang hasilnya tidak untuk mengetahui
generalisasi, tetapi dari penyangkalan yang jelas atas suatu proposisi dianggap telah
Dikenal. Planet Neptunus ditemukan karena orbit yang diamati Uranus (planet yang
terdekat dengan itu di sisi bumi) tidak seperti yang diharapkan Menurut hukum
gerak planet, para ahli astronomi menggunakan dalam menggambarkan gerakan dan
jalan dari planet, hipotesis bahwa penyimpangan dari Uranus dari orbit yang
diharapkan disebabkan oleh efek gravitasi dari yang lebih jauh Planet. Pengamatan
yang dibuat untuk menguji hipotesis ini mengungkapkan Neptunus pertanyaan kami.
Sekali lagi, melalui penggunaan imajinasi, sebuah hipotesis diformulasikan, dan,
melalui pengujian itu, penemuan dibuat dan pengetahuan baru diperoleh.
Dalam membahas struktur pengetahuan dan pembenaran, sebuah proposisi
menjelaskan satu atau lebih orang lain dapat diperhitungkan pembenaran, dan
bahwa titik ini dapat diperhitungkan dalam salah satu atau kedua dari dua cara.
Pertama, orang mungkin mencatat peran penjelasan dalam meningkatkan koherensi
termasuk pola yang menjelaskan dan menjelaskan proposisi. Kedua, kita mungkin
mengambil, sebagai prinsip transmisi pembenaran dari tempat yang dibenarkan
untuk sebuah kesimpulan yang diambil, dibenarkan dalam percaya premis bahwa
proposisi menjelaskan satu atau lebih orang lain, maka kita cenderung memiliki
beberapa pembenaran untuk percaya proposisi itu sendiri.
Ilmu pengetahuan adalah sering dikatakan sebagai sebuah perusahaan sosial, dan
beberapa pemikir, termasuk beberapa pendukung dari Epistemologi feminis, terus
bahwa ilmu pengetahuan sering tidak beralasan diwakili sebagai "individualistik" dan
bahkan atomistik. seorang penulis menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah adalah
"dihasilkan oleh kognitif secara fundamental "dan bahkan melangkah lebih jauh
dengan mengatakan bahwa pengetahuan merupakan proses pengamatan alam.
Tiga poin tentang karakter sosial pengetahuan ilmiah dalam sebagian Bagian
mengatakan bahwa ada komunitas ilmiah dalam hal mencari kebenaran ilmiah. Hal
ini diperdebatkan, palagi, beberapa jenis pengetahuan yang secara empiris tidak
mungkin tanpa kerja sama, seperti dalam hal pengetahuan tentang teori yang dan
konfirmasi memerlukan upaya tim. Memang, ukuran ilmiah kerja sama biasanya
diperlukan untuk menjaga pengetahuan ilmiah Setelah diperoleh. Untuk mengingat
masalah dan tantangan yang dihadapi hipotesis dan teori sebagai informasi baru
diperoleh, dasar diyang dipelihara akan sering terkikis kecuali bukti baru atau
argumen yang ditemukan untuk menjelaskan data baru atau ditemukan investigasi
baru.
Setidaknya ada dua varian utama dari pandangan bahwa penilaian moral bagaimana
didasarkan pada budaya kita. Salah satu dari mereka memungkinkan bahwa mereka
adalah benar, tetapi hanya dalam arti yang memenuhi syarat yang mencerminkan
mereka terikat pada budaya di mana mereka terjadi. Pandangan pertama, semacam
pandangan relativisme mengatakan secara kasar bahwa penilaian moraladalah benar
relatif terhadap budaya kita (atau bahkan beberapa subkultur), tetapi tidak tanpa
kualifikasi yang benar, sebagai pembenaran fakta, akan tetapi tidak ada kebenaran
moral yang sah secara universal atau Standar ukuran yang pasti bahkan jika beberapa
asas moral dipegang secara universal. Pandangan kedua bahwa dengan cara
mengambil kebenaran moral untuk menjadi budaya. Beralas pandangan sikap, juga
disebut expressivist mengatakan secara kasar bahwa
penghakiman semacam itu tidak secara harfiah benar sama sekali; Sebaliknya,
mereka adalah perwujudan dari sikap moral, biasanya, ini adalah sikap yang berakar
pada budaya orang yang menghakimi, penafsiran sikap tentang penghakiman moral
adalah pandangan yang lebih radikal.

Bab III Ilmiah, Moral, dan Pengetahuan Agama


Pengetahuan keagamaan berbeda dalam banyak cara dari pengetahuan moral yang
mungkin, tetapi juga dapat diklarifikasi dalam terang konsep dan asas yang
diperkenalkan dalam buku ini. Secara singkat dalam hal ini bahwa proposisi agama
hanya di luar lingkup pengetahuan manusia. Saya ada dalam pikiran terutama
proposisi tentang Allah, seperti bahwa Allah ada, membawa perintah keluar
kekacauan, menciptakan alam semesta, atau mencintai kita: proposisi yang tidak
hanya dalam hal tetapi juga menyiratkan atau menganggap bahwa Allah kenyataan
rohani dengan sebuah tempat terpusat dalam sebuah agama, Mengapa akan berpikir
bahwa tidak ada proposisi agama yang diketahui,? dengan menyimpulkan
keberadaan Allah dari premis bahwa Allah merancang alam semesta yang terbaik
menjelaskan urutan yang kita temukan di dalamnya.
Epistemologis Umum menyebutkan ini lebit erat kaitannya pada pengetahuan alam,
seperti dalam kasus tentang hasil aritmetik biasanya dapat diketahui hanya melalui
perhitungan panjang, maka ada beberapa alasan untuk berpikir bahwa pengetahuan
itu langsung bersumber dari Allah. Tapi misteri bukanlah suatu kemustahilan.
Mungkinkah seseorang dibenarkan secara langsung dalam mempercayai proposisi
agama seperti bahwa Allah ada? Apakah ini seseorang butuh memiliki indra keenam,
atau mistik, atau hanya melalui seseorang menemukan korelasi antara keterkiriman
dan apa yang diyakini melalui alasan atau pengalaman biasa, misalnya melalui
pandangan religius seseorang yang memungkinkan untuk memprediksi kejadian
yang dapat diamati secara publik? Secara khusus, pendekatan ini tidak perlu
menempatkan mistik, atau Wahyu Ilahi yang khusus, keyakinan agama yang sangat
penting dalam pengalaman lebih daripada kepercayaan yang tidak jelas atau
pemahaman langsung yang rasional. Orang beragama kadang mengatakan bahwa,
dalam kehidupan biasa, Allah berbicara kepada mereka, mereka menyadari Allah
dalam keindahan alam, dan mereka dapat merasakan hadirat Allah. Deskripsi
semacam ini mungkin dianggap metaforis. Tetapi Allah itu seperti banyak yang
berpikir, benar dipahami sebagai ilahi orang, dalam arti harfiah.

Bab IV Keraguan (sesuatu yang tidak pasti)


Namun, jika kita berpikir bahwa ada pengetahuan, dan tantangan keraguraguan, kami
ingin menunjukkan bahwa ada. Tapi kita tidak boleh bingung-atau membiarkan
keraguan untuk membingungkan persyaratan untuk menunjukkan bahwa ada
pengetahuan persyaratan untuk keberadaan itu. ide yang menunjukkan sesuatu yang
benar adalah setara dengan membuktikan hal itu. Tapi bahkan jika tidak dapat
ditunjukkan bahwa ada pengetahuan atau keyakinan dibenarkan, sesuatu yang
kurang sulit untuk dicapai daripada kepercayaan yang dibenarkan, meskipun
sebagian besar cara yang sama: keyakinan yang rasional. Tetapi pasti ada
pengetahuan dan keyakinan yang dibenarkan. Keyakinan ini membentuk struktur
besar kompleksitas, dengan elemen perubahan yang tak terhitung jumlahnya yang
mencerminkan pengalaman dan pikiran, tindakan dan emosi kita, kita belajar dan
melupakan, dan menerima, kami merevisi dan menolak, kami berbicara dan
mendengarkan. Struktur itu didasarkan pada kita: dalam ingatan kita, kebiasaan kita
pemikiran, kemampuan mental dan persepsi kita, sifat rasional kita. Pengetahuan
tentang kebenaran alasan muncul dalam struktur itu sendiri, sekali kita memiliki
konsep yang dibutuhkan. Melalui kesadaran kita tentang apa yang ada dalam kita, dan
keterlibatan persepsi kita dengan apa yang ada di luar kita, dengan sosial dunia, dan
juga lingkungan fisik kita, struktur muatan ini berlaku baik secara internal dan
eksternal, dan berbagai realitas sekaligus sumber utama dan objek pengetahuan
empiris kita.
BABA III
PEMBAHASAN ISI BUKU

Bab I. Analisis pengetahuan Pembenaran, kepastian, dan kenyataan


Didalam buku yang di review, semua pengetahuan berusaha menemukan kebenaran,
apa yang dapat diketahui tentang kebenaran,? Kebenaran pengetahuan dilihat dari
asal mula atau sumber, Struktur, metode, dan sahnya pengetahuan tersebut, maka
pertanyaan yang banyak muncul dalam epistimologi, apa yang dapat saya ketahuai,?
epistimologi merupakan suatu bidang filsafat ilmu yang mempersoalkan tentang
hakikat kebenaran, Alasan lain untuk berpikir bahwa pengetahuan memerlukan
pembenaran konklusif adalah bahwa mengetahui sering dikaitkan erat dengan
kepastian. Untuk mempertegas epistimologi dengan ilmu maka logika berfikir
dinyatakan sebagai pembuka, karena kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan
ditegaskan, mustahil kita mampu membahas tentang metode dan prosedur
bekerjanya akal untuk mengungkap suatu hakitat yang diragukan oleh akal manusia.
Sebagai contoh, seorang teman berjalan terburu-buru menyusuri lorong dan saya
hanya menebak bahwa ia marah, secara epistimologi tidak dibenarkan percaya
bahwa ia marah sebelum adanya fakta secara empiris, logis dan rasional. Jika
keyakinan saya ternyata benar, itu masih tidak merupakan pengetahuan, dan kurang
pembenaran.
Menurut (Salam B, 1988:19) dalam buku Jalaluddin (pembanding I) pokok
epitimologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan pertanyan
yang mengacu pada proses, dlama pandangan epistimologi, setiap pengatahuan
merupakan hasil dari pemikiran dan penyelidikan benda hingga pada akhirnya
diketahui manusia. Sehubungan dengan itu maka proses metodie dalam rangkak
memperoleh kebenaran secara epistimologi harus ditopang dengan sistem, dengan
adanya sistem , maka akan terbentuknya hubungan yang teratur dan konsisten
diantara bagian bagian, sehingga menbenyuk suatu keseluruhan (Suparlan
Suahrtono: 120). Oleh karena itu, penyelidikan masa kini pada filsafat ilmu tidak lagi
memuat uapaya prasangka terhadap persoalan utam, yakni metode metode analisis
logis sajakah yang sah.
Sejalan dengan apa yang dikemukan diatas menurut buku pembanding II,
epistimologi dikatakan mengandung unsur logika yakni ilmu tentang proses pikiran
dan logika sebagai proses berfikir dapat dibedakan dalam dua aspek yaitu; aspek
logika minor dan aspek logika mayor, logika minor mempelajari struktur berfikir dan
dalil dalilnya, seperti silogisme, sedangkan logika mayor mempelajari pengetahuan,
kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistimologi. Menurut Lock
masalah epistimologi harus mendahului masalah masalah lain dan setiap
pengethauan mempunyai objek dan yang jadi penentu munculnya pengetahuan
dalam diri kita adalah kenyataan, sehingga pengetahuan adalah kepastian,
Menurut AR Lacey, dalam buku pembanding III disebutkan, epistimologi juga
disebut teori pengatahuan atau kajian tentang justifikasi kebenaran pengetahuan
atau kepercayaan. Untuk menemukan kebenaran tersebut dilakukan sebagai berikut:
i) menemukan kenenaran dari masalah, ii) pengamatan dan teori untuk menemukan
kebenaran, iii) pengamatan dan exsperimen untuk menemukan kebenaran, iv)
falsification atau operasionalism ( experimental operation, operation research) v)
konfirmasi kemungkinan untuk menemukan kebenaran, vi) metode hipotetic –
deduktif, vii) induksi dan presuposisi/ teori untuk menemukan kebenaran fakta.
Dalam buku pembanding IV disebutkan epistimologi dalam islam sangat lah penting
untuk dikaji, dengan segala kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia
normal sesungguhnya pada hakikatnya manusia dapat mengatahui (ilmu) dan
mengenal (ma’rifat), memilih (ikhtiyar) dan memilah (tafriq), membedakan (tamyiz)
menilai dan menentukan hukum mana yang benar dan mana yang salah, yang haq
dan batil, yang betul dan keliru, yangsehat dan saki, yang sejati dan palsu, yang
membawa kebaikan dan kerusakan.
kesimpulan
Dari beberapa teori dan pendapat yang sudah penulis kemukan diatas dapat diambil
kesimpulan epistimologi, analisis pengetahuan Pembenaran, kepastian dan
kenyataan yang dibahsa dalam bab I merupakan proses atau metode ilmiah yang
menggabungkan nalar fikir untuk untuk memperoleh pengatahuan secara faktual,
ralita, diuji kebenarannya secara rasional, proposisi dan pada akhirnya disajikan
tanpa ada kekelurian dan keraguan.
Bab II. Pengetahuan, pembenaran, dan kebenaran
Dilam bab ini diabahas titik tolak pemahaman epistimologi adalah fenomena gejala
situasi kejaian tertenu dan manusia memiliki kemampuan untuk memahmai da
menghayati pengetahuan dengan menerangkan serta memperrtanggung jawabkan
apakah pengetahuan itu benar,? Dalam arti mempunyai isi dan makna bagi kehidupan
makhluk, pada situasi demikian manusia dapat memerhatikan itu berdasar pada
penghayatan dan pemahaman terhadap situasi demikian, mencermati dan
melakukan analisis terhadap sesuatu objek sehingga terjadi pengetahuan. Ada istilah
yang lazim dilakukandalam kegiatan yang besifat pengetahuan; i) analisis, suatu
kegiatan dalam rangka memilah – milah pengertian sehingga terurai berbagai makan
dari setiap istilah, ii) sintesi, suatu kegiatan yang menggabungkan beberapa
pengertian yang satu dan yang lain sehingga diperoleh pengetahuan baru, iii) Aprioni,
adalah suatu pemahaman awal pada diri seseorang yang pada hakikatnya
mendahului pengalaman indrawi, iv) Aporterior, pengerian yang dimiliki seseorang
melalui pengalaman sebelumnya.
Menurut Bertrand Russell, 1984:76-77) dalam buku pembanding I, disebutkan
perlunya dukungan fakta dan kepercayaan dalam menentukan sebuah kebenaran
pengetahuan, fakta adalah “pembuktian” dari kepercayaan. Kebenaran adalah suatu
sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan
tersebut, kebenaran merupakan suatu hubungan antara kepercayaan dengan sesuatu
fakta atau lebih di luar kepercayaan. Sesuai dengan tujuannya, maka pengetahuan
diarahkan kepada penemuan kebenaran ilmiah. Ada teori pokok yang lazim
digunakan sebagai penentu kriteria kebenaran yakni; i) teori koheren, yaitu
kebenaran tergantung pada adanya hubungan secara tepat anatar ide ide yang
sebelumnya sudah diakui kebenarannya, ii) teori korespondensi, yaitu kebenaran
adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri diteruma
secara luas oleh kaum realis, iii) teori pragmatis, yaitu suatu pernyataan dianggap
benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia .
Dalam buku pembanding II disebutkan kebenaran dalam filsafat adalah lawan dari
kekilafan, kekeliruan, atau khayalan. Kebenaran adalah soal hubungan antara
pengetahuan dan apa yang menjadi objeknya, konsep kebenaran epistimologi terkait
erat dengan sebuah pernyataan, kebenaran adalah bersifat sematik, sehingga
kebenaran itu ada pada proposisi, bukan pada sintaksis. Kebenaran pengetahuan
dilihat dari kesesuaian antara fakta yang ada dengan putusan putusan lain yang telah
diakui kebenarannya dan tergantung kepada kemaslahatan manusia, jika seseorang
ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan , maka cara, sikap, dan sarana yang
digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar.
Apa yang kitat yakini atas adasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada
sesuatu dalam nalar kita yang salah, demikian pula apa yang kita yakini, amati belum
tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan, itulah
sebabnya ilmu pengetahuan selalu tumbuh dan berkembang.
Buku pembanding III juga menyebukan hal yang sama, untuk dapat membuktikan
suatu pengetahuan itu bernilali benar, maka seseorang harus menganalisis terlebih
dahulu sikap, cara dan sarana yang digunakan dalam rangka membangun suatu
pengetahuan. Seseorang yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indra
tentu akan berbeda cara pembuktian kebenaran dengan sesorang yang bertitik
tumpu pada akal atu rasio. Intuisi, otoritas, keyakinan dan wahyu, pada umumnya
seseorang yang memperoleh pengetahuan bukan melalui pengalaman indera
biasanya diawali oleh karaguan dan ketidak percayaan terhadap segala sesuatu
sehingga semua harus diragukan.
Lebiih jelas dikemukan dalam buku pembanding IV, banyak teori kebenaran
pengetahuan yang bisa jdi landasan yitu; i) teori idelisme oleh Plato, ii) teori
rasionalisme oleh R. Decartes, iii) Teori akal atau rasio murni oleh Reinen Vernuft, iv)
teori wahyu / revalasi oleh kaum teolog, v) teori koherence, vi) teori correspondence,
vii) teori pragmatsme, viii) teori esensialisme, ix) teori eksistensialisme, x) teori
metafisisontology, xi) teori ilmu pengetahuan, xii) teori perenialisme, xiii) teori
penomenologi, xiv) teori konstruktivisme, xv) teori post mederenisme, xvi) teori
progresivisme, xvii) teori kritik, xiii) teori nihilisme.
kesimpulan
Dari beberapa pernnyatan dan teori yang sudh di kemukan diatas dapat disimpulkan
pembahasan pada bab II adalah, kebenaran dari pengetahuan adalah bagaimana
sesorang merepresentasi kebenaran dari pengetahuan itu melalui proses penalaran,
menggunakan premis – premis yang berupa pengetetahuan yang danggapnya benar,
ini akan menggiring nalar kita pada; bagaimana cara mendapatkan pengetahuan
dengan benar,? Baik itu berdasarkan rasio dan pengalaman,

Bab III Ilmiah, Moral, dan Pengetahuan Agama


Bab ini banyak membahas tentang ilmu itu mendorong manuasia untuk berfikir,
bertindak secara moral atau beradab dengan tidak keluar daro koredor agama, pada
dasarnya ilmu itu sudah terkait dengan moral dalam perspektif pengetahuan agama,
seperti yang di kemukanan Copernicus(1473-1543) dia mengajukan teori tentang
kesemestaan alam dan menemukan bahwa “ bumi yang berputar mengelilingi
matahari “ dan bukan sebaliknya seperti apa yang diajarkan dalam agama, maka
timbullah interaksi antara ilmu dan moral yang bersumber pada ajaran agama yang
berkonotasi pada metafisika. Secara metafisika ilmu ingin mempelajarai alam
sebagaimana adanya, sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada pernyataan – pernyataan ( nilai nilai) yang terdapat didalam
ajaran diluar bidang keilmuan agama. Dalam tahap kontemplasi masalah moral
berkaitan dengan metafisikakeilmuan maka dalam tahap manipulasi ini masalah
moral berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Atau secara
filsafat dapat dikatakan, dalam tahap pengembanga konsep terhadap masalah moral
yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep
terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.
Dalam buku pembanding I juga disebutkan, masalah moral juga tidak bisa
dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk
menemukan kebenaran dan terlebih lagi untuk mempertahankan kebenaran,
diperlukan keberanian moraal, tanpa moral maka ilmuan sangat mudah sekali
tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional telah
membawa manusia mencapai harkatnyaseperti sekarang ini berganti dengan proses
rasionalisasi yang besifat mendustakan kebenaran. “ semuanya punya moral” kata
Alice dalam pertualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya”
Di kalangan barat modern sert kontemporer mempertahankan pendapat bahwa
agama berada dalam sejarah dan karenanya agama berada dalam sejarah, maka
pengetahuan agama berada dibawah juga, pengetahuan sejarah bahkan melingkupi
segala macam disiplin ilmu, termasuk pengetahuan agama tanpa terkecuali.
Hal senada juga disebutkan dalam buku pembanding II ilmiah dalam arti bahwa
sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggung jawabkan secara terbuka dan siap diuji
oleh siapapun, sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuan , disini tetak tanggung
jawab moral dan akhlaq amat diperlukan sebagi orang yang profesional dalam bidang
keilmuan tentu perlu memiliki visi moral khusus, moral inilah dalam filsafat ilmu
disebut sikap ilmiah (Abbas Hamami.,1996), sikap ilmiah yang perlu dimiliki para
ilmuan menurut Abbas Hamami.,(1996) ada enam hal; i) tidak ada rasa pamrih, ii)
bersifat selektif, iii) ada rasa percaya yang layak budi (mind), iv) adanya sikap yang
berdasar pada teori terdahulu, v) adanya kegitana rutin untuk aktifitas riset, vi)
memiliki sikap etis( Akhlak).
Dalam hal agama buku pembanding III lebih rinci dijelaskan Agama memerintahkan
manusia untuk mempelajari alam, menggali hukum-hukumnya agar manusia hidup
secara alamiah sesuai dengan tujuan dan asas moral yang diridhai Tuhan. Ilmu
sebagai alat harus diarahkan oleh agama, supaya memperoleh kebaikan dan
kebahagiaan, sebaliknya ilmu tanpa agama, maka akan membawa bencana dan
kesengsaraan. Maka benar kata Einstein, science without religion is blind, religion
without science is lame. Secara rinci Franz Magnis Suseso (1991:20) menjelaskan,
bahwa filsafat membantu agama dalam empat hal: pertama, filsafat dapat
menginterpretasikan teks-teks sucinya secara objektif; kedua, filsafat membantu
memberikan metode-metode pemikiran bagi teologi; ketiga, filsafat membantu agama
dalam menghadapi problema dan tantangan zaman, misalnya soal hubungan IPTEK
dengan agama; keempat, filsafat membantu agama dalam menghadapi tantangan
ideologi-ideologi baru.
Lebih lanjut di jelaskan dalam buku pembanding IV Proses menemukan kebenaran
secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuan. Karakteristik
proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang
ilmuan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya
mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral. Kebenaran berfungsi
bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha
masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan
terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi
kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe moral yang baik (Suriasumantri,
2000: 244) , Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi
memberikan informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan
bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima
pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau
perlu berani mengakui kesalahan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan
kekuatan yang akan memberinya keberanian. Demikian juga dalam masyarakat
yang sedang membangun maka dia harus bersikap sebagai seorang pendidik
dengan memberikan suri teladan.
Kesimpulan
Dari beberapa penjelas diatas maka dapat disimpulkan, Ilmu dan Moral adalah sistem
nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham
(ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik, . Jadi hubungan
antara ilmu dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi
harus berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi dalam bersikap dan
bertindak. Sementara itu tanggung jawab ilmuwan di masyarakat adalah suatu
kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara
penyelesaian permasalahan sosial tersebut.

Bab IV Keraguan (sesuatu yang tidak pasti)


Ada empat Dimensi: (1) materi subjek, katakanlah masa lalu atau masa depan atau
benda fisik atau pikiran lainnya; (2) sikap epistemik, seperti pengetahuan,
kepercayaan yang dibenarkan, dan ditangguhkan penghakiman; (3) modalitas, di atas
semua kontinjensi atau keharusan, atau empiris versus apriori; dan (4) jenis yang
dimaksudkan untuk membatasi, mengatakan manusia, subhuman, atau manusia
super. Adapun poin 2-4 keprihatinan saya adalah dengan manusia dan terutama
dengan pengetahuan dan pembenaran mengenai kontingen empiris Proposisi.
Manusia selalu bertanya-tanya apakah mereka pernah berhak dapat melepaskan diri
dari keraguan atau mencapai kepastian tentang kepercayaan mereka. Namun, paham
skeptis ini mulai dicetuskan pada zaman modern oleh Rene Descartes dalam
metode ilmiahnya. Skeptis berarti meragukan semua hal dalam bentuk apa
pun, untuk mencapai tujuan akhir yang tak tergoyahkan. Skeptis dalam
konteks filsafat, yaitu metode untuk mencari kebenaran. Jadi, keraguan dalam
filsafat adalah menangguhkansuatu hal hingga mencapai sebuah kepastian.

Sedangkan menurut buku pembanding I, Sikap skeptis adalah sebuah pendirian di


dalam epistemologi filsafat pengetahuan yang menyangsikan kenyataan yang
diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Para skeptikus sudah ada sejak
zaman yunani kuno, tetapi di dalam filsafat modern, René Descartes adalah perintis
sikap ini dalam metode ilmiah. Kesangsian descartes dalam metode kesangsiannya
adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptisisme macam itu bersifat metodis, karena
tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan kepastian yang tak tergoyangkan, yaitu:
cogito atau subjectum sebagai instansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat
D.Hume kita menjumpai skeptisme radikal, karena ia tidak hanya menyangsikan
hubungan-hubungan kausal, melainkan juga adanya substansi atau realitas akhir
yang bersifat tetap. Dalam filsafat klasik, mempertanyakan merujuk kepada ajaran
mengenai "Skeptikoi". Dalam ilmu filsafat, dari yang dikatakan bahwa mereka "Tidak
menyatakan apa-apa selain pandangan sendiri saja." (Liddell and Scott). Dalam hal
ini, keraguan filsafati, atau Pyrrhonisme adalah posisi filsafat yang harus
menangguhkan satu keputusan dalam penyelidikan. Sextus Empiricus, Outlines Of
Pyrrhonism, Terjemahan R.G. Bury, Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts, (1933, 21)
Sejalan dengan penjelasan diatas buku II, juga Skeptis juga bisa dianggap sebagai
sifat. Kadang kita juga melakukannya tanpa kita sadari. Ketika kita mendengar bahwa
ada cerita kita diculik pocong tentu saja kita mengerutkan kening. Kemudian kita
tidak mempercayai dengan mudah, kita anggap isapan jempol, urban legend
(dongeng), palsu. Orang skeptis bisa memberikan argumen-argumen keberatan
terhadap cerita tersebut. Mereka meminta bukti, menyodorkan fakta kenapa cerita
itu tak mungkin dan lain sebagainya. Dengan kata lain meragukan. Sifat skeptis
artinya sifat meragukan sesuatu. Tidak mau menerima dengan mudah apa adanya.
Selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti yang benar-benar jelas. Jika ada cerita
maka tidak langsung mempercayainya. Sifat semacam ini penting bagi ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu kepastian yang seakurat mungkin
karena itu ilmuwan diharapkan skeptis. Ilmuwan tidak boleh langsung percaya begitu
saja terhadap berita, percobaan dan lain sebagainya. Ini karena metode dalam ilmu
pengetahuan yang ketat. Jika seseorang menyatakan sebuah teori misalnya “Naga itu
ada!” Ilmuan kemudian bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu mempertanyakan bukti.
Ini karena ilmu tidak boleh mudah percaya. Ini karena di dunia banyak penipu dan
pembohong, ada mereka yang menyatakan melihat sesuatu padahal tidak ada di sana.
Ada juga mereka yang merasa melihat sesuatu padahal sebenarnya tidak. Jika
komunitas ilmuwan hendak mempercayai hal semacam ini tanpa bukti dan meminta
yang lain supaya percaya, maka ilmu pengetahuan akan dipenuhi hal-hal yang tidak
bisa dipercaya kebenarannya.
Dikemukan oleh Josef dalam buku III, memberikan pandangan, ada tiga keraguan
dalam filsafat yang pada akhirnya dapat memberikan kepastian, yakni :
Pertama, keraguan psikologis dengan kepastian psikologi. Keraguan ini merupakan
keadaan mental yang berbeda, paling tidak yang secara nominal relevan terhadap
suatu proposisi yang berlaku dalam pengertian bahwa jika p merupakan suatu
proposisi yang berlaku, maka seseorang jelas ada dalam keadaan ketidak pastian
bahwa yaitu benar, atau dalam suatu kedaan kepercayaan yang berbeda diantara
kedua ekstrem tersebut
kedua, keraguan logis dengan kepastian logis. Secara kontral merupakan apa yang
disebut keadaan logis atau fungsional, dalam pengertian dimana keadaan itu tidak
perlu secara psikologis diwujudkan menjadi yang relevan secara kognitif terhadap
kepercayaan bahwa benar.
ketiga, keraguan empiris dengan kepastian empiris. Paham ini memaknakan bahwa
kebenaran dari suatu proposisi aritmetik, sebagai contoh 8+7=15 yang kita kira pasti
benar, juga tidak untuk mengatakan bahwa teori kognitif hanya berhubungan dengan
menghilangkan keraguan empiris atau mencapai kepastian empiris.
Ditinjau dari segi agama dalam buku IV, dalam agama, mempertanyakan merujuk
kepada "Keraguan tentang prinsip-prinsip dasar agama seperti keabadian,
pemeliharaan, dan wahyu. Secara singkat membahas empat pemikiran Haught
tentang hubungan sains dan agama, sebagai berikut: Pendekatan Konflik, suatu
keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dipadukan. Kaum
skeptis ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori
atau “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu
sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada
imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati.
Pendekatan Kontras, suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-
sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat
berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan teolog tidak menemukan adanya
pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains”
sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara
keduanya. Agama dan sains sama-sama absah/ valid meskipun hanya dalam batas
ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama
dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya. Pendekatan Kontak, suatu
pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya
”penyesuaian” antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara
bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk
menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini
terpilah-pilah menjadi dua ranah dikotomik. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju
bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia
nyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak,. Individu yang
menyatakan memiliki pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis.
Kesimpulan
Skeptisisme merupakan sikap berfilsafat yang meragukan tercapainya kepastian
dalam kebenaran, sehingga menganggap tidak ada yang dapat mencapai kepastian
yang objektif. Konsekuensinya semua kepastian dalam kebenaran tersebut bersifat
relatif. Di lain pihak, skeptisisme yang meragukan secara positif setiap klaim atau
bukti, mengondisikan sikap kritis yang berkembang dan tidak langsung percaya pada
apa saja. Sikap itulah yang menjadi ciri khas dalam rana filsafat, senantiasa
mempertanyakan sesuatu tentang segala sesuatu. Sebuah pandangan skeptis yang
secara gampangnya berujar bahwa“tidak ada yang bisa kita ketahui”, merupakan
sebuah pernyataan yang paradoksal. Jika memang tidak ada yang bisa diketahui, dari
mana diketahui bahwa sesuatu itu tidak bisa diketahui.
BAB IV
KEKURANGAN DAN KELEBIHAN BUKU

A. Kekurangan buku
Mengingat buku yang penulis riview buku dalam bahasa inggris dan dengan
segala keterbatasan penulis, maka penuli sakan mencoba menganalisis
kekurangan buku ini. Dari tata bahasa yand digunakan banyak menggunakan
istilah ilmiah yang memiliki makna ganda dan sulit untuk dipahami secara
harfiah, sepeti “Knowing and knowing for certain” jika diartikan dalam bahasa
indonesia “Mengetahui dan mengetahui secara pasti “ terdapat pengulangan tata
bahasa mengetahui sebaganyak dua kali, semestinya “knowing for certain” yang
artinya “mengetahui secara pasti”. Dari segi isi buku tersebut juga masih ada
kekurangan yaitu kurangnya teori-teori filsafat kontemprer yang dimunculkan,
hanya bebelapa teori klasik saja, sehingga kurang relevan dengan tampilan judul
cover buku, tidak ada summery di setiap akhir pembahasan setiap bab.

B. Kelebihan Buku
Setelah kita mengetahui kelemahan buku filsafat ini ,maka disini akan diuraikan
kelebihan, isi buku ini sangat menarik karena membahasa secara spesifik dan
konprehensif tentang epistimologi pengetahuan dalam mencari kebenaran.
Perpaduan warna cover sangat bagus karena terjadi penkmbinasian beberapa
warna. Buku ini telah memenuhi kelengkapan yang merupakan syarat dari
sebuah buku misalnya daftar isi,daftar pustaka dan lain sebagainya.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
epitimologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan pertanyan
yang mengacu pada proses, dalam pandangan epistimologi, setiap pengatahuan
merupakan hasil dari pemikiran dan penyelidikan benda hingga pada akhirnya
diketahui manusia. kebenaran dari pengetahuan adalah bagaimana sesorang
merepresentasi kebenaran dari pengetahuan itu melalui proses penalaran
dengan cara yang benar. Ilmu dan Moral adalah sistem nilai yang dijunjung tinggi
yang berupa ajaran agama) dan paham ideologi sebagai pedoman untuk
bersikap dan bertindak baik. Skeptisisme merupakan sikap berfilsafat yang
meragukan tercapainya kepastian dalam kebenaran, sehingga menganggap tidak
ada yang dapat mencapai kepastian yang objektif.

B. Saran
Setelah melihat kekurangan, kelebihan dan kesimpulan dari buku yang penulis
riview, maka penulis menyarankan buku agar buku ini bisa dicetak lebih banyak
agar para pencari ilmu filsafat bisa lebih mudah mengaksesnya dan bila
dimungkinkan diterjemahkan dalam beberapa bahasa, khusunya dalam bahasa
indonesi, agar bisa jadi referensi bagi mahasiswa yang ingin mendalami filsafat
ilmu.

Anda mungkin juga menyukai