Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Prolapsus Uteri


Prolapsus uteri adalah turunnya uterus dari tempat biasa, oleh karena
kelemahan otot atau fascia yang dalam keadaan normal menyokongnya atau
turunnya uterus melalui dasar panggul atau hiatus genitalis akan jadi longgar
dan organ pelvis akan turun ke dalamnya (Winkjosastro 2008).
Prinsip terjadinya prolapsus uteri adalah terjadinya defek pada dasar pelvis
yang disebabkan oleh proses melahirkan, akibat regangan dan robekan fasia
endopelvik, muskulus levator serta perineal body. Neuropati perineal dan
parsial pudenda juga terlibat dalam proses persalinan. Sehingga wanita
multipara sangat rentan terhadap faktor resiko terjadinya prolaps uteri
(Lazarou 2010).

B. Klasifikasi
Turunnya uterus dari tempat yang biasa disebut desensus uteri dan ini dibagi
dalam 3 tingkat yaitu :
1. Tingkat I apabila serviks belum keluar dari vulva atau bagian prolapsus masih
di atas introitus vagina.
2. Tingkat II apabila serviks sudah keluar dari vulva, akan tetapi korpus uteri
belum
3. Tingkat III apabila korpus uteri atau bagian prolapsus sudah berada diluar
vulva atau introitus vagina

C. Etiologi
Penyebab prolapsus uteri pada dasarnya disebabkan oleh kelemahan “pelvic
floor” yang terdiri dari otot-otot, fascia endopelvik dan ligamentum-ligamentum
yang menyokong terutama ligamentum transversum.
Sebagai faktor resiko untuk terjadinya kelemahan tersebut antara lain adalah
partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus dengan penyulit
merupakan penyebab prolapsus uteri dan memperburuk prolapsus yang sudah ada.
Pada saat partus, terjadi peregangan pelvic floor dan merupakan penyebab
prolapsus uteri paling signifikan. Selanjutnya bersamaan dengan terjadinya proses
penuaan, oleh karena kadar estrogen menurun menyebabkan jaringan pelvis
kehilangan elastisitas dan kekuatannya.

Faktor-faktor lain adalah akibat tarikan pada janin pada pembukaan yang belum
lengkap, perasat Crede yang berlebihan untuk mengeluarkan plasenta dan
sebagainya. Jadi, tidaklah mengherankan jika prolapsus uteri terjadi segera
sesudah partus atau dalam masa nifas. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis
akan mempermudah terjadinya prolapsus genitalia. Bila prolapsus uteri dijumpai
pada nullipara, faktor penyebab biasanya disebabkan oleh adanya kelainan
bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus. Pada wanita yang telah
menopause, di samping akibat kurangnya hormon estrogen yang dihasilkan oleh
ovarium serta karena faktor umur menyebabkan otot-otot dasar panggul seperti
diafragma pelvis, diafragma urogenital dan ligamentum serta fasia akan
mengalami atrofi dan melemah. Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot dan
fascia tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai alat penyokong
organ sehingga menyebabkan terjadinya prolapsus genitalia.Pada neonatus
prolaps uteri terjadi sekunder akibat kelaemahan congenital pada otot-otot pelvis
atau defek pada persyarafan.

1. Dasar panggul yang lemah, karena kerusakan dasar panggul pada persalinan
yang terlampau sering dengan penyulit seperti ruptura perineum atau karena
usia lanjut.
2. Tarikan pada janin pada pembukaan yang belum lengkap.
3. Ekspresi yang berlebihan pada saat mengeluarkan plasenta.
4. Asites, tumor-tumor di daerah pelvis, batuk yang kronis dan pengejan
(obslipasi atau striktura pada traktus urinarius).
5. Relinakulum uteri yang lemah (asteni atau kelainan congenital berupa
kelemahan jaringan penyokong uterus yang sering pada nullipara.
6. Lanjut usia dan menopause
7. Riwayat persalinan tinggi

Tabel 2.1 Derajat prolapsus organ panggul

Derajat 0 Tidak terlihat adanya prolapsus.


Derajat I Bagian distal dari prolapsus > 1cm di atas himen.
Derajat II Bagian yang paling distal dari prolapsus < 1cm di bawah

lingkaran himen.
Derajat III Bagian yang paling distal dari prolapsus > 1cm di bawah

himen, namun kurang dari TVL (total vaginal length) – 2 cm.


Derajat IV Eversi komplit total panjang traktus genetalia bawah. Bagian

distal prolapsus uteri menurun sampai (TVL-2) cm

D. Patofisiologi Prolapsus Uteri


Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkat, dari yang paling ringan sampai
prolapsus uteri totalis.Terutama akibat persalinan,khususnya persalinan pervagina
yang susah dan terdapatnya kelemahan-kelemahan ligament yang tergolong dalam
fasia endopelviks dan otot-otot serta fasia-fasia dasar panggul.Juga dalam keadaan
tekanan intra abdominal yang meningkat dan kronik akan memudahkan
penurunan uterus,terutama apabila tonus otot-otot mengurang seperti pada
penderita dalam menopause.

Serviks uteri terletak diluar vagina, akan tergeser oleh pakaian wanita dan lambat
laun menimbulkan ulkus yang dinamakan ulkus dekubitus.Jika fasia di bagian
depan dinding vagina kendor biasanya trauma obstetric,ia akan terdorong oleh
kandung kencing sehingga menyebabkan penonjolan dinding depan vagina
kebelakang yang dinamakan sistokel.Sistokel yang pada mulanya hanya ringan
saja,dapat menjadi besar karena persalinan berikutnya yang kurang lancar,atau
yang diselesaikan dalam penurunan dan menyebabkan urethrokel. Urethrokel
harus dibedakan dari divertikulum urethra. Pada divertikulum keadaan urethra dan
kandung kencing normal hanya dibelakang urethra ada lubang yang membuat
kantong antara urethra dan vagina. kekendoran fasia dibagian belakang dinding
vagina oleh trauma obstetric atau sebab-sebab lain dapat menyebabkan turunnya
rectum kedepan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol kelumen
vagina yang dinamakan retrokel. Enterokel adalah hernia dari kavum Douglasi.
Dinding vagina bagian belakang turun dan menonjol ke depan. Kantong hernia ini
dapat berisi usus atau omentum.

E. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda-tanda sangat berbeda dan bersifat individual. Kadang kala
penderita yang satu dengan prolaps uteri yang cukup berat tidak mempunyai
keluhan apapun sebaliknya penderita lain dengan prolaps ringan mempunyai
banyak keluhan.
Keluhan-keluhan yang hampir selalu dijumpai:
1. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di genetalia
eksterna.
2. Rasa sakit di pinggul dan pinggang (Backache). Biasanya jika penderita
berbaring,keluhan menghilang atau menjadi kurang.
3. Sistokel dapat menyebabkan gejala-gejala:
a. Miksi sering dan sedikit-sedikit. Mula-mula pada siang hari,kemudian
lebih berat juga pada malam hari
b. Perasaan seperti kandung kencing tidak dapat dikosongkan seluruhnya.
c. Stress incontinence yaitu tidak dapat menahan kencing jika batuk
mengejan. Kadang-kadang dapat terjadi retensio urine pada sistokel yang
besar sekali.
4. Retokel dapat menjadi gangguan pada defekasi:
a. Obstipasi karena feces berkumpul dalam rongga retrokel.
b. Baru dapat defekasi setelah diadakan tekanan pada retrokel dan vagina.
5. Prolapsus uteri dapat menyebabkan gejala sebagai berikut:
a. Pengeluaran serviks uteri dari vulva menggangu penderita waktu berjalan
dan bekerja. Gesekan portio uteri oleh celana menimbulkan lecet sampai
luka dan dekubitus pada portio uteri.
b. Lekores karena kongesti pembuluh darah di daerah serviks dan karena
infeksi serta luka pada portio uteri.
6. Enterokel dapat menyebabkan perasaan berat di rongga panggul dan rasa penuh
di vagina.

F. Komplikasi
1. Keratinisasi mukosa vagina dan portio uteri
Mukosa vagina dan serivks uteri menjadi tebal serta berkerut, dan berwarna
keputih-putihan
2. Dekubitus
Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser dengan paha dan
pakaian dalam, hal itu dapat menyebabkan luka dan radang, lambat laun
timbul ulkus dekubitus. Dalam keadaan demikian, perlu dipikirkan
kemungkinan karsinoma, lebih-lebih pada penderita berusia lanjut.
Pemeriksaan sitologi/biopsi perlu dilakukan untuk mendapat kepastian akan
adanya karsinoma.
3. Hipertropi serviks uteri dan elongasioa koli
Jika serviks uteri turun dalam vagina sedangkan jaringan penahan dan
penyokong uterus masih kuat, maka karena tarikan ke bawah di bagian uterus
yang turun serta pembendungan pembuluh darah – serviks uteri mengalami
hipertrofi dan menjadi panjang dengan periksa lihat dan periksa raba. Pada
elangasio kolli serviks uteri pada periksa raba lebih panjang dari biasa.
4. Gangguan miksi dan stress inkontinensia
Pada sistokel berat- miksi kadang-kadang terhalang, sehingga kandung
kencing tidak dapat dikosongkan sepenuhnya. Turunnya uterus bisa juga
menyempitkan ureter, sehingga bisa menyebabkan hidroureter dan
hidronefrosis. Adanya sistokel dapat pula mengubah bentuk sudut antara
kandung kencing dan uretra yang dapat menimbulkan stress incontinence
5. Infeksi saluran kencing
Adanya retensi air kencing mudah menimbulkan infeksi. Sistitis yang terjadi
dapat meluas ke atas dan dapat menyebabkan pielitis dan
pielonefritis.Sehingga hal tersebut dapat menyebabkan gagal ginjal.
6. Infertilitas
Karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus vaginae atau sama
sekali keluar dari vagina, tidak mudah terjadi kehamilan
7. Gangguan partus
Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil, maka pada waktu persalinan dapat
timbul kesulitan di kala pembukaan, sehingga kemajuan persalinan terhalang.
8. Hemoroid
Feses yang terkumpul dalam rektokel memudahkan adanya obstipasi dan
timbul hemoroid.
9. Inkarserasi usus
Usus halus yang masuk ke dalam enterokel dapat terjepit dengan
kemungkinan tidak dapat direposisi lagi. Dalam hal ini perlu dilakukan
laparotomi untuk membebaskan usus yang terjepit itu.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Penderita pada posisi jongkok diminta untuk mengejan dan ditemukan dengan
pemeriksaan jari apakah portio pada normal atau portio sampai introitus vagina
atau apakah serviks uteri sudah keluar dari vagina.
2. Penderita berbaring pada posisi litotomi ditentukan pula panjangnya serviks
uteri. Serviks uteri yang lebih panjang dari biasanya dinamakan Elongasio
kolli.
3. Pada sistokel dijumpai di dinding vagina depan benjolan kistik lembek dan
tidak nyeri tekan. Benjolan ini bertambah besar jika penderita mengejan.Jika
dimasukkan kedalam kandung kencing kateter logam,kateter itu diarahkan
kedalam sitokel,dapat diraba kateter tersebut dekat sekali pada dinding
vagina.Uretrokel letaknya lebih kebawah dari sistokel. Menegakkan diagnosis
retrokel dapat dilihat dari menonjolnya rectum kelumenvagina 1/3 bagian
bawah penonjolan ini berbentuk lonjong, memanjang dari proksimal kedistal
kistik dan tidak nyeri. Untuk memastikan diagnosis, jari dimasukkan kedalam
rectum dan selanjutnya dapat diraba dinding retrokel yang menonjol kelumen
vagina. Enterokel menonjol kelumen vagina lebih keatas dari retrokel.Pada
pemeriksaan rectal, dinding rectum lurus, ada benjolan ke vagina terdapat di
atas rectum.

H. Faktor Risiko Terjadinya Prolapsus Uteri


1. Pekerjaan
Pekerjaan mengangkat barang-barang berat yang dilakukan seperti orang
mengejan sehingga terdapat tekanan pada uterus. Pada saat itu otot- otot
panggul ikut teregang yang mengakibatkan otot-otot akan lemah pada ligamen
endopelvik. Pekerjaan dan aktifitas berat sering dikaitkan dengan pembentukan
prolaps uteri.
2. Berat badan
Banyak wanita yang menjadi gemuk selama menopause. Rasa letih yang
biasanya dialami pada masa menopause, diperburuk dengan perilaku makan
yang sembarangan. Banyak wanita yang bertambah berat badannya pada
menopause, hal ini disebabkan oleh faktor makanan ditambah lagi karena
kurang berolahraga. Pada orang gemuk otot-otot panggul yang dimiliki kurang
bagus, mudah terjadi prolaps uteri, sehingga memerlukan untuk olahraga atau
senam keagle.
Hendrik dkk (2002) menyatakan kelebihan berat badan berkaitan dengan
kejadian prolaps uteri. BMI 25-30 kg/m2 (overweight) berkaitan dengan
peningkatan bermakna prolaps uteri sebanyak 31%, sedangkan obesitas (BMI>
30 kg/m2) berhubungan dengan peningkatan prolaps uteri
sebesar 40%, lingkar perut ≥88cm meningkatkan resiko rektokel dan sistokel
sebanyak 17%.
3. Jenis proses persalinan normal
Saat persalinan, otot-otot dasar panggul mengalami tekanan langsung oleh
bagian terbawah janin, bersamaan dengan tekanan ke bawah yang berasal dari
tenaga meneran ibu. Pada penunjang uterus bagian atas adalah ligamentum
latum uteri yang relatif lemah, yang paling besar berfungsi untuk
mempertahankan uterus pada posisi anteversi sehingga meningkatkan tekanan
intra-abdomen pada waktu regangan lebih mendorong uterus ke kandung
kemih daripada langsung mengarah ke vulva.
Struktur penunjang ini bekerja mencegah prolaps uteri, akan tetapi keadaan ini
dapat berubah jika penunjang teregang pada waktu melahirkan. Hal ini dapat
terjadi apabila ibu berusaha mengeluarkan janin sebelum serviks membuka
lengkap, meneran lama pada persalinan kala dua. Dalam hal ini ligamentum
kardinale dapat mengendor, sehingga prolaps uteri dapat terjadi. Hal ini akan
menjadi nyata setelah menopause, karena estrogen menurun, jaringan kolagen
ligamentum berkurang dan otot-otot vagina menjadi lebih lemah sehingga
prolaps dapat terjadi.
Schaffer (2005) menyebutkan dasar panggul terpapar pada resiko trauma
penekanan akibat turunnya bagian terbawah dan juga akibat tekanan meneran
ibu. Pada suatu studi terhadap 42 wanita saat melahirkan, ditemukan tekanan
puncak rata-rata terhadap kepala janin dan dasar panggul saat meneran kuat
adalah 238.2 ± 82.4 mmHg dan tekanan maksimun bisa mencapai 403 mmHg.
Pada ibu yang meneran tanpa pimpinan penolong.
proses meneran umumnya tidak tercetus hingga kontraksi uterus benar- benar
terjadi dan keinginan meneran timbul. Meneran tanpa pimpinan penolong juga
umumnya berlangsung lebih singkat dengan penahanan nafas tidak melebihi 6
detik. Namun, pada proses meneran yang dipimpin oleh penolong, ibu biasanya
diharuskan meneran panjang yaitu lebih dari 10 detik, menarik nafas dan
meneran kembali. Schaffer (2005) menyebutkan bahwa meneran terpimpin
dalam persalinan, ditinjau dari segi preservasi dasar panggul dapat memberikan
efek yang tidak baik.
Kehamilan dan persalinan pervaginam merupakan teori etiologi paling populer
dalam menjelaskan terjadinya prolaps uteri. Kerusakan saraf, fasia dan otot
dasar panggul sebagai akibat dari proses persalinan dipostulasikan sebagai
faktor penyebab dari pembentukan prolaps uteri.
4. Riwayat persalinan multiparitas
Partus yang berulang kali dan terlampau sering dapat menyebabkan kerusakan
otot-otot maupun saraf-saraf panggul sehingga otot besar panggul mengalami
kelemahan, bila ini terjadi maka organ dalam panggul bisa mengalami
penurunan.
5. Penatalaksanaan pengeluaran plasenta
Pada saat pengeluaran plasenta adanya tekanan intra-abdomen pada waktu
regangan lebih mendorong uterus ke kandung kemih, ligamen latum akan
teregang dan kemudian saat itu juga dikerahkan tenaga yang sangat besar untuk
mengeluarkan plasenta. Dalam hal ini ligamentum kardinale dapat mengendor,
sehingga prolaps uteri dapat terjadi.
6. Menopause
Menopause juga dapat menyebabkan turunnya rahim karena produksi
hormon estrogen berkurang sehingga elastisitas dari jaringan ikat
berkurang dan otot-otot panggul mengecil yang menyebabkan
melemahnya sokongan pada rahim.
Keadaan menopause atau kekurangan hormon berlaku secara natural yaitu
ketika berumur 50 tahun ke atas ataupun akibat pembedahan oleh
karena penyakit seperti pengangkatan ovarium dapat menyebabkan
hormon estrogen turun dan dapat menyebabkan kelemahan otot dan
ligamen peranakan. Proses atrofi ligamen dan otot dalam jangka panjang
dapat menyebabkan prolaps. Nyata sekali prolaps yang parah, sering
terjadi pada wanita yang berumur 50 tahun ke atas akibat kekurangan
hormon karena menopause.
Ketika menopause hormon estrogen mengalami penurunan yang
menyebabkan atrofi organ pada traktus genitalis, otot-otot ligamentum
akan melemah, ligamentum kardinale akan mengendor, kerusakan otot-
otot saraf panggul, kelemahan otot ligamen endopelvik. Pada keadaan ini
fasia pelvis kurang baik pertumbuhannya dan kurang keregangannya
sehingga mudah terjadinya prolaps uteri.
Pada ibu menopause mengalami perubahan fisik yang terjadi pada alat
genitalia seperti lemahnya alat kelamin bagian dalam menyebabkan terasa
tidak nyaman di sekitar liang senggama, liang senggama terasa turun
(menonjol) dalam bentuk tonjolan kandung kencing (sistokel), tonjolan
dinding bagian belakang (rektokel), dan mulut rahim terbuka (Manuaba
2009).

I. Penatalaksanaan Prolapsus Uteri


Tujuan penatalaksanaan dari prolaps organ panggul adalah untuk
menghilangkan gejala, mengembalikan fungsi, memperbaiki anatomi, atau
bahkan untuk kosmetik. Prolaps organ panggul yang tidak ada gejala atau
dengan gejala ringan, kadang tidak diperlukan terapi. Wanita dengan prolaps
organ panggul berat atau dengan gejala berat, terapi baik konservatif (non
bedah) atau terapi pembedahan dapat dipilih. Pemilihan terapi bergantung
pada jenis, beratnya gejala, umur, keadaan umum penderita, kebutuhan fungsi
seksual, fertilitas, maupun faktor resiko kekambuhan (Doster 2012).
Pasien prolaps uteri dengan terapi operasi cenderung lebih tinggi kualitas
hidupnya. Operasi dipilih ketika pasien tidak nyaman dengan pesarium. Ada
beberapa teknik bedah yang berbeda dan efektif . Selain pengalaman dan
pelatihan ahli bedah, pilihan terapi operasi didasarkan pada beberapa aspek
individual pasien, yakni anatomi, kondisi kesehatan saat ini, dan keinginan
untuk mempertahankan hasrat seksual (American Urogynecologic Society,
2014). Junizaf (2011) menyebutkan bahwa berdasarkan sebuah telaah
sistematis mengenai penatalaksanaan prolaps uteri yang terbaru, terapi
operasi/pembedahan pada wanita yang memiliki prolaps dapat meningkatkan
kualitas hidup wanita. Operasi prolaps organ panggul biasanya efektif dalam
mengendalikan gejala-gejala prolaps, seperti adanya tonjolan pada vagina
(Maher C et al,. 2013).
Terapi Non Operatif
Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan tetapi cukup membantu. Cara
ini dilakukan pada prolapsus ringan tanpa keluhan, atau penderita masih ingin
mendapat anak lagi, atau penderita menolak untuk dioperasi, atau kondisinya
tidak mengizinkan untuk dioperasi. Terapi ini dapat dilakukan dengan cara
latihan-latihan otot dasar panggul, stimulasi otot-otot dengan alat listrik dan
pengobatan dengan pesarium (Winkjosastro 2005).
Tujuan dari terapi konservatif (non operatif) adalah untuk mencegah prolaps
bertambah parah, mengurangi gejala, meningkatkan kekuatan otot dasar
panggul. Pelatihan otot dasar panggul pertama kali diperkenalkan oleh Arnold
Kegel, caranya adalah dengan mengencangkan otot panggul selama beberapa
detik kemudian merelaksasikanya, dikerjakan secara berulang- ulang,
keuntungan dari cari ini adalah mudah untuk dikerjakan, tidak beresiko, tidak
mengeluarkan biaya, dapat dikerjakan dimana saja dan terbukti efektif jika
dikerjakan secara rutin, selain itu cara tersebut juga berguna untuk mencegah
dan menangani inkontinensia urin dan meningkatan sensasi seksual.
Selain cara di atas, terapi non bedah lainnya adalah dengan penggunaan
pesarium. Pesarium adalah suatu alat yang terbuat dari silikon, dipasang di
bawah atau di sekeliling serviks. Alat ini membantu menahan uterus untuk
turun dari tempatnya. Bagi sebagian ahli ureginokologi, pesarium digunakan
sebagai terapi lini pertama sebelum mereka menawarkan untuk terapi
pembedahan (Doster 2012).
Pesarium dapat dipasang pada hampir seluruh wanita dengan prolapsus tanpa
melihat stadium ataupun lokasi dari prolapsus. Pesarium digunakan oleh 75-
77% ahli ginekologi sebagai penatalaksanaan lini pertama prolapsus. Alat ini
tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran, serta mempunyai indikasi
tertentu (Cipta 2015).

J. Macam-macam Operasi
a. Ventrofiksasi
Pada wanita yang masih tergolong muda dan masih ingin menginginkan
anak lagi, maka dilakukan tindakan operasi untuk membuat uterus
ventrofiksasi dengan cara memendekkan ligamentum rotundum atau
mengikatkan ligamentum rotundum ke dinding perut.
1. Operasi Manchester
Pada tindakan operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri dan
dilakukan penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong di muka
serviks lalu dilakukan pula kolporafi anterior dan kolpoperineoplastik.
Amputasi serviks dilakukan untuk memendekkan servik yang
memanjang (elongasio kolli).
Gambar 3. Teknik opersi Manchester pada kasus prolapsus uteri
dan sistokel
Dikutip dari Thompson

Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, abortus, partus prematurus dan


distosia servikalis pada saat persalinan berlangsung. Bagian yang paling
penting pada tindakan operasi ini adalah penjahitan ligamentum kardinale di
depan serviks karena dengan tindakan ini ligamentum kardinale
diperpendek sehingga uterus akan terletak dalam posisi anteversiofleksi dan
turunnya uterus dapat dicegah.

Gambar 4. Teknik opersi rektokel dan enterokel menurut


Manchester

2. Histerektomi pervaginam
Operasi ini tepat untuk dialakukan pada prolapsus uteri dalam tingkatan
yang lebih lanjut dan pada wanita yang telah menopause. Setelah uterus
diangkat, puncak vagina digantungkan pada ligamentum rotundum kanan
dan kiri, bagian atas pada ligamentum infundebulopelvikum, kemudian
tindakan operasi dilanjutkan dengan melakukan kolporafi anterior dan
kolpoperineorafi untuk mencegah terjadinya prolapsus vagina dikemudian
hari.

Gambar 5. Teknik operasi histerektomi pervaginam pada prolapsus


uteri secara LeFort
Dikutip dari Thompson

3. Kolpoklesis
Pada waktu obat-obat serta pemberian anestesi dan perawatan pra dan pasca
tindakan operasi belum baik untuk perempuan tua yang seksual tidak aktif
lagi dapat dilakukan operasi sederhana dengan menjahitkan dinding vagina
depan dengan dinding bagian belakang, sehingga lumen vagina tertutup dan
uterus terletak di atas vagina. Akan tetapi tindakan operasi jenis ini tidak
akan memperbaiki sistokel atau rektokel sehingga akan dapat menimbulkan
inkotinensia urin. Obstipasi serta keluhan pada prolapsus uteri lainnya juga
tidak akan hilang pada tindakan ini.
4. Sacrohysteropexy
Prosedur ini menggunakan strip mesh sintetik untuk mempertahankan uterus
pada tempat normalnya. Hanya sedikit komplikasi yang timbul dari operasi
jenis ini tapi ada resiko penggunaan mesh yakni inflamasi.

b. Sacrospinous fixation
Operasi ini dengan cara menjahit uterus pada salah satu ligament tanpa
menggunakan mesh. Operasi ini dilakukan pervaginam.

K. Pengkajian Data
1. Data Subyektif
a. Biodata
Prolapsus uteri lebih sering ditemukan pada wanita yang telah melahirkan,
wanita tua dan wanita yang bekerja berat.
b. Keluhan utama
Gejala dan tanda-tanda sangat berbeda dan bersifat individual. Kadangkala
penderita yang satu dengan prolaps uteri yang cukup berat tidak
mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain dengan prolaps
ringan mempunyai banyak keluhan. Keluhan-keluhan yang hampir sering
dijumpai seperti: perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau
menonjol dan rasa sakit di pinggul dan pinggang, biasanya jika penderita
berbaring, keluhan menghilang dan menjadi kurang
c. Riwayat Haid
Awal menstruasi (menarche) pada usia 11 tahun atau lebih muda. Siklus
haid tidak teratur, nyeri haid luar biasa, nyeri panggul setelah haid atau
senggama
d. Riwayat kehamilan
Faktor resiko yang menyebabkan prolaps uteri jumlah kelahiran spontan
yang banyak, berat badan berlebih, riwayat operasi pada area tersebut,
batuk dalam jangka waktu lama saat hamil.
e. Riwayat persalinan
Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus dengan
penyulit merupakan penyebab prolapsus genitalis dan memperburuk
prolaps yang sudah ada. Faktor-faktor lain adalah tarikan janin pada
pembukaan belum lengkap. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nulipara,
faktor penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan
penunjang uterus Faktor penyebab lain yang sering adalah melahirkan dan
menopouse. Persalinan yang lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan
lengkap, laserasi dinding vagina bawah pad kala II, penatalaksanaan
pengeluaran plasenta, reparasi otot-otot dasar panggul yang tidak baik.
Pada menopouse, hormon estrogen telah berkurang sehingga otot-otot
dasar panggul menjadi atrofi dan melemah.
f. Pola kebiasaan sehari-hari
a) Eliminasi
Sistokel dapat menyebabkan gejala-gejala:
1) Miksi sering dan sedikit-sedikit. Mula-mula pada siang hari,
kemudian lebih berat pada malam hari
2) Perasaan seperti kandung kencing tidak dapat dikosongkan
seluruhnya
3) Stress incontinence yaitu tidak dapat menahan kencing jika batuk
dan mengejan. Kadang-kadang dapat terjadi retensio urine pada
sistokel yang besar sekali
4) Rektokel dapat menjadi gangguan pada defekasi
5) konsipasi karena feses berkumpul dalam rongga rektokel
6) Baru dapat defekasi setelah diadakan tekanan pada rektokel vagina
b) Aktivitas dan istirahat
Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita saat
berjalan dan beraktivitas. Gesekan portio uteri oleh celana dapat
menimbulkan lecet hingga dekubitus pada porsio.
2. Data Obyektif
a. Keadaan umum
b. Tanda-tanda vital
c. Pemeriksaan fisik
a) Muka
Tampak pucat pertanda adanya anemia, keluar keringat dingin bila
terjadi syok. Bila perdarahan konjungtiva tampak anemis. Pada klien
yang disertai rasa nyeri klien tampak meringis.
b) Mulut
Mukosa bibir dan mulut tampak pucat, bau kelon pada mulut jika
terjadi shock hipovolemik hebat.
c) Dada dan payudara
Gerakan nafas cepat karena adanya usaha untuk memenuhi kebutuhan
O2 akibat kadar O2 dalam darah yang tinggi, keadaan jantung tidak
abnormal.
d) Abdomen
Adanya benjolan pada perut bagian bawah. Teraba adanya massa pada
perut bagian bawah konsisten keras/kenyal, tidak teratur, gerakan, tidak
sakit, tetapi kadang-kadang ditemui nyeri. Pada pemeriksaan bimanual
akan teraba benjolan pada perut, bagian bawah, terletak di garis tengah
maupun agak kesamping dan sering kali teraba benjolan-benjolan dan
kadang-kadang terasa sakit
e) Genetalia
Pada kasus ringan, bagian uterus turun ke puncak vagina dan pada
kasus yang sangat berat dapat terjadi protrusi melalui orifisium vagina
dan berada di luar vagina.
f) Anus
Akan timbul haemoroid, luka dan varices pecah karena keadaan
obstipasi akibat penekanan mioma pada rectum.
g) Ekstremitas
Oedem pada tungkai bawah oleh karena adanya tekanan pada vena cava
inferior

L. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
a. Identifikasi lokasi, karakteristik,durasi, frakuensi, kualitas, intensitas
nyeri
b. Kaji skala nyeri
c. Identifikasi respon nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyer
e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
i. Monitor efek samping penggunaan analgetik

2. Depisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik


a. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
b. Monitor tingkat kemandirian
c. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias
dan makan
d. Sediakan lingkungan yang terapeutik ( mis. Suasana hangat, rileks,
privasi)

3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi


Monitor tanda dan gejala infeksi lokaldan sistemik
Terapeutik
a. Batasi jumlah pengunjung
b. Berikan perawatan kulit pada area edema
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
d. Pertahankan tehnik aseptik pada pasien beresiko tinggi
e. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
f. Ajarkan cara mencuci tangan yang benar

M. Implementasi Keperawatan
Setelah menyusun perencanaan, tindakan, langkah selanjutnya adalah
implementasi atau pelaksanaan tindakan. Di dalam tahap ini perlu mendapatkan
perhatian di dalam tahap implementasi adalah
1. Intervensi yang dilakukan harus berdasarkan prosedur tetap yang lazim
dilakukan.
2. Pengamatan yang telah dilakukan secara cermat dan tepat sesuai dengan
kriteria dan evaluasi yang telah ditetapkan.
3. Pengendalian kepada klien/pasien sehingga secara berangsur-angsur
mencapai kondisi yang diharapkan.
N. Evaluasi
Melakukan evaluasi sesuai yang telah ditetapkan di dalam rencana. Semakin
dekat hasil tindakan yang dilakukan dengan asuhan yang telah ditetapkan di
dalam kriteria, maka tindakan akan mendekati keberhasilan yang diharapkan
evaluasi dengan pendekatan SOAP yaitu:
S : Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien
melalui anamnesa.
O : Data obyektif
Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik, hasil
laboratorium dan tes diagnosa lain yang dirumuskan dalam data
focus untuk mendukung assessment.
A : Assesment
Menggambarkan interpretasi data subyektif dan obyektif dalam suatu
identifikasi;
Diagnosa/masalah
Antisipasi diagnosa lain/masalah potensial
P : Planning
Menggambarkan pendokumentasian dari perencanaan evaluasi
berdasarkan assessment

Anda mungkin juga menyukai